Jumat, 29 April 2011

ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUMAS DIBIDANG SOSIAL KEAGAMAAN

Abstract:

Perda (local-regencies rule) enacted by Banyumas Regency on social-religious domain generally are explanation or elaboration of higher act or rule. It’s a realization of implementation Local Autonomy Act. Analyzing from existing perdas, showing that reformation on Banyumas Regency Government emphasize on institution and administration system. However, system and institutional reformation can’t work smoothly if without cultural reformation, that being done by work programs of every local agency and technical institution. In order to enhancing culture, necessitating support from perda as highest local-rule, so that community dynamics and creativity can develop. We have to recognize that there’s a few perda by Banyumas Regency Government that in purpose fulfilling people’s need and demand. But not yet as strong basis empower society. Therefore, in the future we should think about perdas with this goal, namely enhancing social participation.

Keywords: Perda, Local Autonomy Act, social-religious, empower society.



I. PENDAHULUAN

Dengan keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki warna baru. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam pembangunan daerah, yakni dari paradigma government yang bercorak sentralistis dan telah melahirkan monopoli peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan, ke arah paradigma governance yang bercorak desentralistis, yang akan memberikan peran dan tanggung jawab seimbang di antara pilar utama pembangunan daerah, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta.1

Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut, maka filosofi pembangunan daerah pun mengalami perubahan. Filosofi pembangunan tidak lagi mengedepankan filosofi “membangun daerah”, yang dalam praktiknya telah melahirkan tingkat ketergantungan yang besar, baik secara ekonomi maupun politis kepada pusat, tetapi akan lebih mengedepankan filosofi “daerah membangun”, yang menekankan pada upaya menumbuhkembangkan kreativitas, pemberdayaan masyarakat, dan kemandirian daerah baik secara ekonomi maupun politik.

Di samping perubahan paradigma, ada beberapa perubahan atau ciri khusus dari undang-undang yang baru ini, yaitu pertama, rekruitmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi diberikan kepada daerah untuk menentukannya. Kedua, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan kota, bukan kepada daerah provinsi. Ketiga, otonomi daerah menganut sistem otonomi luas dan nyata. Dengan sistem ini, pemerintah daerah berwenang untuk melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, kecuali lima hal, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.2

Keempat, tidak mengenal sistem otonomi bertingkat. Kelima, daerah diberi kewenangan yang seluasluasnya.

Dengan kewenangan itu, maka daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber danakeuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat.

Keenam, penguatan rakyat melalui peran DPRD.3

Bertitik tolak dari adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan RI tentang Otonomi Daerah, maka masing-masing daerah di Indonesia akan melakukan respons dan melaksanakan kebijakan tersebut. Persoalannya, sejauhmana pemerintahan daerah merespons dan melaksanakan kebijakan tersebut sangat bergantung kepada cara pandang, potensi, peluang, tantangan, karakter masyarakat, dan berbagai faktor lain. Hal tersebut berlaku untuk semua daerah, tidak terkecuali pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas.

Untuk merespons dan menjalankan Undang-Undang Otonomi Daerah, pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas telah mengambil langkah-langkah, baik yang bersifat strategis maupun yang bersifat teknis. Langkah-langkah tersebut diturunkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik berbentuk peraturan daerah (perda), kebijakan-kebijakan khusus, maupun aturan-aturan teknis yang mengatur program pembangunan daerah.

Persoalan yang menarik untuk diketahui dan dikaji; apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas memiliki semangat dan komitmen yang tinggi untuk memberdayakan masyarakat dan menciptakan demokratisasi sesuai dengan semangat Undang-undang Otonomi Daerah seperti diuraikan pada bagian atas? Dalam hal ini, perlu dilakukan evaluasi dan analisis mendalam dari produk-produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kabupaten Banyumas.

Apakah tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan-kebijakan tersebut?; bagaimana proses pelaksanaannya?; mengapa dikeluarkan kebijakan?; apakah kebijakan sesuai dengan problem dan kebutuhan masyarakat?; bagaimana melakukan evaluasinya?; dan berbagai macam pertanyaan lain yang tidak dapat diidentifikasi satu persatu.

Kebijakan-kebijakan yang dijadikan bahan kajian adalah kebijakan-kebijakan di bidang sosialkeagamaan, yakni bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan agama. Alasan dasar untuk mengkaji bidang sosial-keagamaan adalah pertama, bidang ini merupakan bidang yang strategis untuk investasi sumber daya manusia di masa depan. Kedua, bidang ini merupakan bidang yang dapat menciptakan demokratisasi dan keterlibatan masyarakat begitu kuat dalam proses pembangunan daerah. Ketiga, bidang ini menjadi problem dan tuntutan masyarakat selama ini. Keempat, bidang ini menjadi ruh (semangat) untuk mempengaruhi bidang-bidang yang lainnya

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 29 April 2011

ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUMAS DIBIDANG SOSIAL KEAGAMAAN

Abstract:

Perda (local-regencies rule) enacted by Banyumas Regency on social-religious domain generally are explanation or elaboration of higher act or rule. It’s a realization of implementation Local Autonomy Act. Analyzing from existing perdas, showing that reformation on Banyumas Regency Government emphasize on institution and administration system. However, system and institutional reformation can’t work smoothly if without cultural reformation, that being done by work programs of every local agency and technical institution. In order to enhancing culture, necessitating support from perda as highest local-rule, so that community dynamics and creativity can develop. We have to recognize that there’s a few perda by Banyumas Regency Government that in purpose fulfilling people’s need and demand. But not yet as strong basis empower society. Therefore, in the future we should think about perdas with this goal, namely enhancing social participation.

Keywords: Perda, Local Autonomy Act, social-religious, empower society.



I. PENDAHULUAN

Dengan keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki warna baru. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam pembangunan daerah, yakni dari paradigma government yang bercorak sentralistis dan telah melahirkan monopoli peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan, ke arah paradigma governance yang bercorak desentralistis, yang akan memberikan peran dan tanggung jawab seimbang di antara pilar utama pembangunan daerah, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta.1

Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut, maka filosofi pembangunan daerah pun mengalami perubahan. Filosofi pembangunan tidak lagi mengedepankan filosofi “membangun daerah”, yang dalam praktiknya telah melahirkan tingkat ketergantungan yang besar, baik secara ekonomi maupun politis kepada pusat, tetapi akan lebih mengedepankan filosofi “daerah membangun”, yang menekankan pada upaya menumbuhkembangkan kreativitas, pemberdayaan masyarakat, dan kemandirian daerah baik secara ekonomi maupun politik.

Di samping perubahan paradigma, ada beberapa perubahan atau ciri khusus dari undang-undang yang baru ini, yaitu pertama, rekruitmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi diberikan kepada daerah untuk menentukannya. Kedua, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan kota, bukan kepada daerah provinsi. Ketiga, otonomi daerah menganut sistem otonomi luas dan nyata. Dengan sistem ini, pemerintah daerah berwenang untuk melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, kecuali lima hal, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.2

Keempat, tidak mengenal sistem otonomi bertingkat. Kelima, daerah diberi kewenangan yang seluasluasnya.

Dengan kewenangan itu, maka daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber danakeuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat.

Keenam, penguatan rakyat melalui peran DPRD.3

Bertitik tolak dari adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan RI tentang Otonomi Daerah, maka masing-masing daerah di Indonesia akan melakukan respons dan melaksanakan kebijakan tersebut. Persoalannya, sejauhmana pemerintahan daerah merespons dan melaksanakan kebijakan tersebut sangat bergantung kepada cara pandang, potensi, peluang, tantangan, karakter masyarakat, dan berbagai faktor lain. Hal tersebut berlaku untuk semua daerah, tidak terkecuali pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas.

Untuk merespons dan menjalankan Undang-Undang Otonomi Daerah, pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas telah mengambil langkah-langkah, baik yang bersifat strategis maupun yang bersifat teknis. Langkah-langkah tersebut diturunkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik berbentuk peraturan daerah (perda), kebijakan-kebijakan khusus, maupun aturan-aturan teknis yang mengatur program pembangunan daerah.

Persoalan yang menarik untuk diketahui dan dikaji; apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas memiliki semangat dan komitmen yang tinggi untuk memberdayakan masyarakat dan menciptakan demokratisasi sesuai dengan semangat Undang-undang Otonomi Daerah seperti diuraikan pada bagian atas? Dalam hal ini, perlu dilakukan evaluasi dan analisis mendalam dari produk-produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kabupaten Banyumas.

Apakah tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan-kebijakan tersebut?; bagaimana proses pelaksanaannya?; mengapa dikeluarkan kebijakan?; apakah kebijakan sesuai dengan problem dan kebutuhan masyarakat?; bagaimana melakukan evaluasinya?; dan berbagai macam pertanyaan lain yang tidak dapat diidentifikasi satu persatu.

Kebijakan-kebijakan yang dijadikan bahan kajian adalah kebijakan-kebijakan di bidang sosialkeagamaan, yakni bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan agama. Alasan dasar untuk mengkaji bidang sosial-keagamaan adalah pertama, bidang ini merupakan bidang yang strategis untuk investasi sumber daya manusia di masa depan. Kedua, bidang ini merupakan bidang yang dapat menciptakan demokratisasi dan keterlibatan masyarakat begitu kuat dalam proses pembangunan daerah. Ketiga, bidang ini menjadi problem dan tuntutan masyarakat selama ini. Keempat, bidang ini menjadi ruh (semangat) untuk mempengaruhi bidang-bidang yang lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms