Pages

Pages

Pages

Jumat, 29 April 2011

Fenomena Golongan Putih


Golput (kependekan dari golongan putih) secara singkat dapat didefinisikan sebagai kelompok pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Perilaku untuk menjadi golput biasanya diasumsikan atas dasar alasan politis bahwa proses pemilu tidak akan terlaksana secara jujur dan adil serta diyakini tidak akan membawa perubahan pada kondisi yang lebih baik. Intinya pemilih yang golput didasari atas ketidakpercayaan pada pelaksanaan dan hasil dari pemilu.
                                                                                             
Sejarah Golput
Dalam sejarahnya golput sebagai sebuah perilaku politik dicetuskan oleh aktivis gerakan mahasiswa era 70-an. Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan mahasiswa terhadap Undang-undang Pemilu pertama yang dirancang oleh rezim Orde Baru. Selain disebabkan oleh ketidakdemokratisan Undang-undang Pemilu tersebut, yang memberi ruang bagi masuknya sejumlah personil angkatan bersenjata (ABRI) sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa melalui pemilihan umum, juga dikarenakan oleh fenomena penganakemasan pemerintah terhadap Golongan Karya (Golkar) serta pemarginalan terhadap partai-partai politik lainnya. Pakar politik terkemuka, Daniel Dhakidae, menuturkan bahwa  secara kasat mata terjadi penggarapan politik terhadap semua kalangan masyarakat dan parpol yang menguntungkan posisi Golkar (Dhakidae 1981). Ini dilakukan melalui berbagai kebijakan diskriminatif sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri lewat peraturan maupun surat edaran yang melarang keanggotaan PNS dalam parpol serta upaya-upaya intimidatif militer terhadap para pemilih terutama di daerah pedesaan.
Menyikapi situasi politik yang pengap dan kotor menjelang pemilu pertama Orba tersebut, mahasiswa melancarkan gerakan moral penentangan terhadap pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1971 itu. Protes para aktivis mahasiswa ini diwujudkan dalam bentuk parodi yang dimaksudkan untuk mengolok pemerintah dan kekuatan politik yang didukungnya (Golkar) melalui deklarasi Golongan Putih pada tanggal 28 Mei 1971 (Dhakidae 1981).  Golput yang diusung oleh para mahasiswa tersebut disimbolkan dengan mengambil bentuk tanda gambar Golkar yakni segilima namun bagian tengahnya dikosongkan dari segala gambar dan dibiarkan berwarna putih. Bisa jadi asal nama golongan putih diambilkan dari ruang kosong berwarna putih tersebut.
Secara umum seruan mahasiswa untuk golput kurang begitu mendapat sambutan yang luas dari para pemilih karena dalam kenyataannya hanya 5 % pemilih yang tidak memberikan suaranya (golput). Bila dianalisa lebih lanjut, ternyata persentasi pemilih golput yang paling tinggi berada pada daerah-daerah perkotaan. Tak berlebihan bila sebagian ilmuwan politik menyebut fenomena golput tahun 1971 sebagai gejala kota, yang terutama ” menghinggapi sekelompok kecil mereka yang sangat peka dan tinggi tingkat kesadaran politiknya atau para cendekiawan, atau mahasiswa yang tidak mau memilih untuk memprotes kekerasan dan kekasaran yang memaksa rakyat untuk memilih” (Dhakidae 1981).     

Perkembangan Golput
Berdasarkan data yang diolah oleh Lingkaran Survey Indonesia, pada masa Orde Baru golput tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti (LSI 2007).   Tingkat golput rata-rata selama pemilu Orde Baru sangat kecil yakni berada dibawah level 10%. Fenomena ini bisa dipahami sebab memang pada masa itu terjadi mobilisasi politik secara massal yang dilakukan oleh jaringan birokrasi dan militer untuk mensukseskan pemilu bagi kemenangan Golkar. Selain itu, situasi politik yang intimidatif menyebabkan masyarakat umum tidak berani untuk secara terbuka tidak mencoblos pada hari pemungutan suara. Pada posisi ini pilihan untuk golput pastilah sangat beresiko. Bila ada yang tetap golput tentu lebih disebabkan oleh adanya kesadaran dan keberanian politik yang tinggi yang hanya menghinggapi sekelompok kecil kalangan masyarakat yang meyakini pemilu tidak memberikan jaminan bagi terwujudnya kondisi yang lebih baik. Tingkat golput ini semakin mengecil pada pemilu 1999, sebab hanya 6.7% saja pemih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini bisa dipahami karena pemilu ini adalah pemilu demokratis pertama setelah lengsernya rezim Orde Baru. Pada masa tersebut pemilu dianggap cukup memberikan harapan untuk terjadinya perubahan keadaan. Jadi sangat wajar bila tingkat voter turnout (partisipasi pemilih) sangat tinggi. Namun pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat voter turnout menurun yang berarti pula angka golputnya meningkat. Tingkat golput pada pemilu ini hampir mencapai 16%. Angka ini semakin meningkat pada saat pemilu presiden, baik putaran pertama yang mencapai 21,5% maupun putaran kedua sejumlah 23,3%. Bahkan selama pelaksanaan Pilkada angka mencapai tingkat rata-rata yang cukup tinggi pada kisaran 27%.
Bagaimana kita seharusnya membaca tren peningkatan golput tersebut? Berbagai alasan dan motif masyarakat untuk memilih golput  bisa cukup menjelaskan fenomena peningkatan ini. Untuk pemilu legislatif tahun 2004 alasan politis mungkin masih tepat untuk digunakan. Sebagian kalangan masyarakat bisa jadi kecewa dengan kinerja para wakil rakyat hasil pemilu 1999 dan memutuskan untuk tidak berpartisipasi lagi dalam pemilu. Tak heran bila sebagian pengamat politik menyatakan bahwa tingginya jumlah pemilih yang golput dengan tidak datang pada hari pemilihan menandakan adanya oposisi sosial di kalangan rakyat (Rachman 2004). Akan tetapi asumsi ini tidak cukup memuaskan untuk menjelaskan kecenderungan meningkatnya golput pada dua kali putaran pilpres dan terutama pada rangkaian pelaksanaan pilkada langsung di berbagai daerah di Indonesia. Pilpres maupun pilkada adalah sebuah pengalaman politik baru bagi masyarakat. Sebagai sesuatu yang baru event ini tentunya memberi harapan baru. Selain itu, karena merupakan pengalaman pertama tentunya belum ada masyarakat yang dikecewakan oleh hasil pilpres maupun pilkada.
Riset yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia terhadap 167 pilkada yang sudah terlaksana di Indonesia menunjukkan adanya beragam alasan orang untuk golput. Alasan untuk golput setidaknya dapat dibagi dalam tiga  kategori (LSI 2007). Pertama, alasan administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi—seperti tidak tahu nama terdaftar dalam daftar pemilih, belum mendapat kartu pemilih atau kartu undangan. Kedua, alasan teknis. Seorang pemilih memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih—seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, alasan politis. Seorang pemilih memutuskan tidak menggunakan haknya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pilkada dipandang tidak ada gunanya dan tidak akan membawa perubahan. Dari tiga kategori alasan memilih golput ini, sebagian besar bisa diidentifikasi karena alasan administrasi (38.6%) dan teknis / individual (39.1%). Hanya 16.5% pemilih yang golput karena alasan politis. Ini membuktikan bahwa klaim  mengenai golput sebagai bentuk protes terhadap penyelenggaraan pemilu atau oposisi sosial terhadap sistem  tidaklah besar dari segi jumlah.

Fenomena Golput pada pilkada Banyumas
Berdasarkan dua kali survey yang diselenggarakan oleh Laboratorium Ilmu Politik (Labpol) FISIP UNSOED terhadap para pemilih di Kabupaten Banyumas, tingkat potensi voter turnout (partisipasi pemilih) ternyata sangat tinggi yaitu 93% pada survey ke 1 yang dilaksanakan setahun sebelum pilkada dan 94% pada survey ke 2 yang dilaksanakan lima bulan menjelang pilkada. Meski pemilih yang menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam pilkada hanya dibawah angka 10%, kita tidak dapat mengatakan tingkat potensi golput di Banyumas sangat kecil. Angka ini tidaklah menunjukkan fenomena golput secara keseluruhan sebab angka ini lebih mengarah pada fenomena golput atas dasar alasan politis seperti pilkada tidak ada gunanya untuk perbaikan kondisi kehidupan, pilkada hanya menguntungkan segelintir orang, tidak ada calon favorit dan calon dianggap hanya mengumbar janji.
Bila dilihat dari segi waktu survey, para pemilih ini memang sejak awal secara sadar sudah menentukan untuk tidak ikut memilih dalam pilkada. Baik setahun sebelum pilkada maupun lima bulan menjelang pilkada tingkat potensi golput yang bernuansa politis ini cenderung tidak berubah atau tetap (hanya selisih 1%). Tingkat golput ini bisa saja bertambah pada saat hari pemilihan, 10 Pebruari 2008 mendatang, apabila terdapat kendala administratif dan teknis yang menyebabkan seorang pemilih tidak dapat ikut berpartisipasi dalam pilkada.

Sikap atas Golput
               Golput atas dasar alasan politis sebetulnya tidak terlalu perlu di khawatirkan. Pertama, jumlah para pemilih yang golput dalam kategori ini ternyata tidak sebesar yang kita perkirakan. Kedua, hal ini juga harus dipahami sebagai bentuk partisipasi politik. Pemilih yang tidak mencoblos dalam pemilu tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang yang tak bertanggung jawab sejauh hal tersebut dilakukan dengan sadar dan penuh kecermatan. Ketiga, golput yang dilakukan dengan pertimbangan politis ini adalah ekspresi politik warga negara yang sah secara hukum karena di Indonesia ikut mencoblos dalam pemilu atau tidak  adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. Adapun yang perlu kita risaukan adalah golput atas dasar alasan administratif dan teknis. Pertama, golput dalam kategori ini  cukup besar jumlahnya terutama dalam berbagai pemilu di tingkat lokal (pilkada). Kedua, tingkat golput yang cukup tinggi ini memungkinkan adanya konflik pasca pemilihan. Calon yang kalah bisa saja mengklaim bahwa pemilih yang golput tersebut adalah para pendukungnya yang secara administratif dihambat untuk memberikan suaranya.
               Oleh karena itu pihak penyelenggara pemilu perlu banyak melakukan pembenahan administratif, sejak dari proses pendaftaran pemilih, sosialisasi daftar pemilih sampai memastikan bahwa undangan untuk memilih benar-benar sampai ke tangan para pemilih.  Selain itu secara teknis perlu diciptakannya mekanisme yang memudahkan para pemilih untuk memberikan suaranya semisal melaksanakan pemilihan di hari libur atau yang diliburkan, memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memberikan suaranya di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS) dimana ia terdaftar serta penyediaan TPS-TPS di ruang-ruang publik semacam pasar, terminal, rumah sakit dan lain-lain.
Pembenahan-pembenahan administratif-teknis tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat golput sampai pada level minimal. Stakeholders pemilu mesti bekerja keras untuk memastikan bahwa golput bukanlah sebagai pemenang pemilu dalam artian angka perolehan golput melebihi angka perolehan peserta pemilu. Sementara itu dalam konteks hanya ada dua pasangan calon sebagaimana yang  terjadi dalam pilkada Jakarta, Lembaga Survey Indonesia merekomendasikan agar  tingkat Golput ditekan serendah mungkin (LSI 2007). Setidaknya harus di bawah selisih perolehan suara dua pasangan calon sehingga tidak ada alasan bagi calon yang kalah untuk menolak kemenangan yang pada akhirnya akan meredam perwujudan potensi konflik pasca pemilihan.
 .

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar