Jumat, 29 April 2011

Gerakan islam dan gusdur


Berbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari amatan terhadap kekuatan-kekuatan politik yang sedang berlangsung sekarang ini dan momentum-momentum yang sedang akan segera berlangsung, baik dalam skala nasional maupun lokal. Tahun 2008-2009 adalah tahun di mana proses politik berlangsung sangat intensif guna menghadapi momen paling krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang keduanya akan berlangsung pada 2009.

Kedua pemilu ini, kalau bisa dan semoga benar-benar terjadi, hasilnya bukan saja akan menentukan arah dan model demokrasi yang telah terbangun sejak runtuhnya Orde Baru, melainkan juga orientasi filosofi dan arti kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri. Seluruh persaingan dan pertaruangan tersebut sesungguhnya adalah pertarungan antar kekuatan Islam sendiri; dan tak ada persaingan dan pertarungan politik pun yang tanpa melibatkan unsur Islam.

Jadi, Islam kini sudah berada di tengah arena pertarungan itu sendiri, entah sebagai landasan bertindak atau ideologi, dan dengan demikian, ditawarkan sebagai alternatif dari bentuk negara dan masyarakat yang telah ada dan berlangsung; entah sebagai komoditi politik untuk tujuan kekuasaan dan meraih dukungan semata; entah sebagai sebuah cita-cita ideal yang diimpikan sebagai bentuk ideal dari bentuk terbangunnya integrasi Islam-bangsa Indonesia yang otentik.

***

Mark Woodward (2001), misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan paska Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama,indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.

Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.

***

Meskipun berbeda kategori dengan dua pengamat di atas, saya sepakat ada empat kekuatan Islam saat ini menjelang Pemilu 2009, yang merupakan cermin dari pemikiran dan gerakan Islam. Meskipun masing-masing kekuatan ini cukup kompleks untuk dijelaskan secara komprehensif, namun saya ingin menunjukkannya dengan cara sederhana, yakni dengan menunjukkan simbol sentral dan karakter utama dari pemikiran atau gerakan, atau idealisasi dan para pendukungnya.

Pertama , kekuatan Megawati dengan PDI-P-nya. Selama ini PDI-P dianggap sebagai kekuatan nasionalis yang, dalam peta politik tradisional, Orde Lama dan Orde Baru, diperhadapkan dengan arus politik atau partai Islam. Menurut saya, PDI-P tidak bisa lagi dipandang partai nasionalis vis-a-vis Islam. PDI-P dengan simbol Megawati-nya adalah partai yang juga setidaknya didukung oleh sebagian besar pemeluk agama Islam.

Yang menjadi ciri keislaman PDI-P, adalah bahwa Islam bukan sebagai dasar bertindak dan hampir tidak memiliki basis intelektual keislaman. Dan secara given mereka meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Paham ini bukan hanya datang dari paham sekuler Barat, melainkan juga datang dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, itu sendiri dengan apa yang oleh Woodward di atas disebut sebagai indigenized Islam.

Namun secara argumentatif, kelompok ini akan mengalami kesulitan untuk menjawab tuntutan dari kelompok Islam lain, seandainya ada tuntutan tertentu dari mereka, karena tidak memiliki basis intelektual Islam untuk menjawab mereka. Sehingga, kelompok ini akan lebih memainkan kekuasaan untuk menjawab tuntutan tersebut ketimbang argumentatif. Akibatnya, ia akan bergantung pada kekuatan negosiasi. Jika negosisasi kalah dan akan mengganggu kekuasaan mereka, maka mereka akan memilih mempertahankan kekuasaan dengan mengakomodasi tuntutan, betapa pun prinsipnya tuntutan tersebut.

Kedua, Golkar. Kita belum tahu siapa simbol figur sentral partai warisan Soeharto ini. Namun bisa diduga, calon presiden Golkar akan berasal dari Islam yang berpandangan modern atau modernis –dalam kategori akademik lama. Ciri model ini adalah pragmatis. Apapun tuntutan mayoritas anggota maupun masyarakat, akan menjadi acuan pengambilan keputusan asalkan partai ini tetap bisa meraih atau mempertahankan kakuasaan.

Partai ini memiliki banyak intelektual, termasuk intelektual Islam, tetapi orientasinya sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Ini bisa dilihat dari berbeda-bedanya orientasi partai ini dari daerah satu ke daerah lain, tergantung tuntutan utama mayoritas muslim di tempat tersebut. Sehingga seperti juga pada kekuatan pertama, negosiasi akan menjadi senjata utama kekuatan ini, bahkan dalam hal yang sangat prinsipil sekalipun.

Ketiga, kekuatan Gus Dur. Dari sudut partai, kekuatan Gus Dur tidak sebesar dua kekuatan sebelumnya. Namun dukungan terhadap pemikiran dan gerakan tokoh ini merata di hampir semua kelompok dan kekuatan, kecuali kelompok yang benar-benar Islamis yang menolak pandangan pluralisme atau kepelbagaian dan anti toleransi.

Banyak orang yang mengakui kebenaran pandangan dan gerakan Gus Dur, meskipun banyak yang kuatir dan takut mengikuti ideal Gus Dur, karena dia sering mengabaikan keuntungan material dan politik serta tidak peduli dengan citra diri demi mempertahankan prinsip. Ciri dari kekuatan ini adalah di samping basis intelektual kislaman yang tinggi juga memiliki prinsip keindonesiaan yang sangat kuat. Jika dirunut dari geneologi pemikiran dan gerakan ini, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin inilah tradisi yang paling otentik dari Islam-Indonesia. Ia berbasis pada pandangan tradisi Islam nusantara, tetapi memiliki geneologi yang kuat pada sejarah Islam paling awal sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di tangan kelompok ini, Islam terus berkembang tanpa meninggalkan nilai intrinsik dan keasliannya. Kekuatan ini sulit berkompromi dengan masalah-masalah yang idiil menyangkut ke-Islam-Indonesia-an: ada di dalamnya unsur-unsur penghormatan terhadap tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat serta hak-hak intrinsik warganegara, seperti misalnya hak untuk beragama dan berkeyakinan serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kelompok ini sangat ideal sebagai sebuah cita-cita, namun sangat sulit memenangkan pertarungan di masa yang sangat pragmatis dan serta jalan pintas seperti sekarang ini.

Dalam ekonomi, kalau kita boleh bercermin pada kepresidenan Gus Dur waktu lalu, maka mungkn Gus Dur bukan orang yang anti neoliberal, namun cenderung ingin membangun kekuatan ekonomi baru seperti poros India-China-Indonesia demi kemandirian rakyat di kawasan ini tanpa harus menimbulkan ketegangan yang berlebihan.

Keempat, kekuatan SBY. Karena SBY sedang berkuasa, maka lebih mudah dinilai. Melihat sepak terjangnya sebagai presiden, maka dengan mudah bisa dilihat, bahwa dari sudut agama ia mewakili arus kanan atau islamis dan agen paling telanjang dari neoliberal dari sudut ekonomi. Adalah bukan kebetulan, bahwa SBY dalam agama mengikuti arus MUI yang anti toleransi dan anti pluralisme, bukan pula kebetulan mengangkat KH. Ma’ruf Amin, juru bicara paling vokal anti pluralisme dan aliran sesat, sebagai anggota Wantimpres bidang agama.

Kasus Ahmadiyah dan Tragedi Monas berdarah memperlihatkan pandangan yang diderivasi menjadi kebijakan presiden SBY, bahwa SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, misalnya, dikeluarkan pada saat istana dikepung oleh kaum proponen Rizieq Shihab, ketua Umum FPI yang anti pluralisme dan toleransi. Bisa dikatakan, dalam kasus SKB Ahmadiyah, SBY bertekuk lutut di bawah tuntutan Rizieq dan Munarman (Panglima Komando Laskar Islam). Hal itu terjadi karena lingkaran pertama kekuasaan SBY adalah partai-partai Islam, yaitu PKS, PBB, PKS dan PD. Tiga partai yang disebut pertama dikenal sebagai partai militan Islam, sedangkan PD tidak memiliki cukup sumberdaya intelektual untuk berdebat dengan ketiga partai di atas.

Di pihak lain, di bidang ekonomi, selama pemerintahan SBY, meskipun dari sudut angka-angka makro ekonomi cukup stabil karena bertumpu pada modal luar negeri yang bersifat sangat sementara, tetapi dalam waktu yang sama fondasi ekonomi nasional runtuh. Lihatlah penurunan hasil minyak bumi, pasokan listrik, pasokan gas, minyak goreng dan BBM di dalam negeri. Belum pernah fenomena pemandangan rakyat antri makanan, BBM, minyak goreng serta gizi buruk seperti terjadi pada pemerintahan SBY ini. Tetapi pada saat yang sama, seorang menteri yang juga pengusaha kolaborasi SBY menjadi orang terkaya se Asia Tenggara untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.

Karena itu, kekerasan antar agama yang tidak pernah ditangani secara normal dan terpeliharanya kakum Islamis, menurut saya, praktis merupakan strategi pemerintahan ini untuk merawat dukungan Islamis demi Pemilu 2009. Demikian juga ketegangan yang sebenarnya sumir, yang terus terjadi seperti aliran sesat, termasuk di dalamnya Ahmadiyah, tidak lain untuk merawat sentimen Islam untuk tujuan yang sama. Dengan demikian, SBY dengan kekuatan pendukungnya adalah representasi Islam kanan tersebut. Makanya jangan heran kalau ketegangan seperti ini akan terus dipelihara sampai Pemilu 2009.

***

Melihat hal ini, ada beberapa isu yang perlu dicermati. Pertama, hubungan antar agama di mana campur tangan pemerintah mulai menggurita, karena menjadi bagian dari strategi merawat dukungan. Fenomena ini diperkirakan akan terus berkembang, bahkan akan merasuk ke UNDANG-UNDANG, peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah. Saya berharap tidak sampai pada konstitusi, meskipun hal ini tidak bisa diabaikan kemungkinannya. Ujungnya, akan terjadi dominasi kelompok tertentu dan diskriminasi atas kelompok yang lain, pada tingkat paling basis, yaitu konstitusi dan UU.

Kedua , kemiskinan dan antri. Dua kata ini akan terus saling berkait dan selama tidak ada perubahan strategi ekonomi yang signifikan, kata ini mungkin akan bertambang, yaitu kematian, disamping gizi buruk. Penguasaan sumberdaya alam oleh asing akan segera disusul dengan efisiensi melalui regenerasi mesin dan mengabaikan tenaga kerja manusia. Yang terjadi kemudian adalah pengangguran luar biasa. Imbasnya mudah diduga; kemiskinan, antri, gizi buruk dan bahkan kematian.

Ketiga , penguasaan sumberdaya alam. Orientasi ekonomi pemerintahan ini tampaknya sejak awal memang dirancang mengikuti arus besar ekonomi dunia, yaitu neoliberal. Pada batas waktu tertentu, Indonesia mungkin tidak akan memiliki sumberdaya alam yang dikelola sendiri, melainkan seluruhnya akan di”borong”kan kepada modal asing dengan masa kontrak sangat panjang dengan pengelolaan efisien untuk menggenjot keuntungan.

Keempat , gerakan Islamis. Pemerintahan sekarang ini, terutama SBY, tidak saja diduga kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis, dan juga tiga partai lingkaran utama di atas, melainkan SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis, mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan pemerintahan ini.

***

Saya tidak akan memberikan saran kepada PMII untuk mengikuti arus mana atau bahkan membuat arus baru. Tetapi komitmen atas rakyat sebagai organisasi yang berasal dari arus paling grassroot, serta visi ke-Islam-Indonesia-an mungkin harus menjadi pertimbangan utama. Tampaknya hanya dengan cara itu, Islam Indonesia akan tetap eksis dalam menatap masa depan.

Terima kasih.
Dengan argumentasinya itu ia dapat meyakinkan banyak
orang bahwa kemarahan yang begitu cepat itu keliru. Dari kasus
Monitor ini, pada sisi lain menunjukkan bahwa konflik setiap saat
bisa meletus antara dua umat atau lebih. Pada kasus Monitor (5 ini
memang seorang pemimpin agama dihadapkan pada pilihan yang
sulit, tetap menjalankan tugas dan fungsinya memimpin atau me-
ngikuti arus massa yang marah. Lebih-lebih bila kasus itu mengarah
pada suatu yang sangat berbahaya. Sikap dan tindakan Gus Dur
dalam menyikapi kasus Monitor ini, memiliki keberanian yang saya
kagumi. Pada titik yang sangat kritis, ia lulus ujian di mana banyak
pemimpin lainnya gagal. Sikap seperti itu mencerminkan kesa-
daran dan karena kesadarannya itu ia memiliki penglihatan yang
mencerminkan kapasitas dirinya sebagai seorang negarawan. Jelas,
yang dipikirkan Gus Dur bukan hanya kepentingan satu kelompok
saja tetapi kepentingan seluruh bangsa. Sikap, tindakan dan pikiran
yang demikian itu, tidak dikarenakan pengaruh dan didalangi Ben-
ny Moerdani.
  Sikapnya yang demikian, didukung lagi dengan Rois Aamnya,
KH Achmad Siddiq yang memiliki cakrawala yang luas. Kiai Ach-
mad Siddiq, di antara para kiai, merupakan sosok yang bisa me-
ngambil jarak dari kelompoknya sendiri dan bisa melihat kepen-
tingan yang lebih luas. Kiai Achmad Siddiq mengungkapkan masa-
lah ini dengan ungkapan yang sedikit lebih tradisional. Ia berbicara
tentang perlunya ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama Mus-
lim. Kemudian dia menambah lagi dua ukhuwah lain, yaitu ukhu-
wah wathaniyah (persaudaraan antar orang sebangsa, setanah air)
dan ukhuwah basyariyah yang mencakup persaudaraan seluruh ma-
nusia. Tentang Kiai Achmad Siddiq ini, Gus Dur pernah menga-
takan kepada saya, bahwa Kiai Achmad Siddiq mempunyai cakra-
wala yang dapat melihat bahwa kelompok NU memang berposisi
terbelakang dalam negeri ini. Masyarakat seluruh dunia sedang ber-
ubah cepat, jadi dia bisa mengaitkan antara visinya terhadap kepen-
tingan orang NU, kepentingan seluruh umat Islam Indonesia dan
Indonesia sebagai dunia ketiga. Tampak di sini, Kiai Achmad Siddiq
bisa mengungkapkan dan mendefinisikan permasalahan yang diha-
dapi umat, suatu agenda pembicaraan yang selalu diungkapkan
Gus Dur juga, hanya dalam hal ini Gus Dur mengungkapkan de-
ngan cara yang lebih canggih.
  Banyak orang di daerah tidak bisa mengikuti dan memahai pe-
mikiran Gus Dur. Meskipun begitu ada kesadaran di kalangan
Orang yang tidak bisa mengikuti pemikiran ini yang kurang lebih
begini: NU memang membutuhkan pemimpin yang memiliki visi
yang luas. Oleh orang-orang ini, Gus Dur memang selalu kritik
tetapi kritiknya hanya menyangkut beberapa hal saja tidak menca-
kup orang secara keseluruhan dan hanya terfokus pada perilakunya
yang dianggap nyleneh. Ada kesadaran umum, bahwa Gus Dur me-
mang dibutuhkan NU untuk bisa membawa warga NU kepada ma-
sa depan yang lebih baik. Lebih-lebih setelah orang-orang daerah
ini melihat dan menyadari, realitas orang-orang NU yang banyak
disingkirkan dari posisi strategis, terbelakang secara pendidikan,
sosial dan ekonomi, sehingga membutuhkan pemimpin yang bisa
membawa NU yang memiliki budaya sendiri untuk berhubungan
dengan kelompok lain.
  Jauh sebelom Gus Dur, NU pernah memiliki Subchan ZE. Sub-
chan tidak berasal dari kalangan NU, pendidikannya bukan pesan-
tren, konon suka berdansa-dansi dan kehidupannya sangat 'seku-
ler'. Tetapi ia memiliki loyalitas terbadap NU serta memiliki cakra-
wala luas dan pandangan strategis ke depan, di samping memiliki
hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat. Memiliki hu-
bungan baik dengan militer dengan kalangan religius dan sekuler
dari PSI sampai orang Masyumi. Subchan juga orang yang memiliki
banyak dimensi. Orang seperti ini diperlukan. Pada waktu itu para
kiai tidak senang dengan Subchan, tetapi para pengurus cabang
yang bukan kiai tetap membutuhkan jembatan untuk berhubungan
dengan kelompok masyarakat lain. Mereka memilih Subchan
Secara terang-terangan walaupun tidak disenangi Kiai Bisri. Sama
dengan Gus Dur, orang di daerah terutama pengurus cabang, me-
rasa sevisi dengan Gus Dur. Lebih-lebih Gus Dur memiliki hubung-
an internasional yang luas, bisa masuk di kalangan apa saja dan me-
miliki hubungan baik dengan ABRI.
  Yang 'lebih' dari Gus Dur adalah bahwa ia selalu kritis dengan
kelompok lain. Dengan Benny Moerdani misalnya, meskipun ber-
hubungan baik tetapi ia tetap kritis. Ia terang-terangan mengkritik
Benny dalam Kata Pengantar Biografinya misalnya, ia menulis seba-
gai seorang yang sangat menghargai hak-hak asasi manusia, ia tidak
lama ataupun yang baru, Pada sisi lain, sikap Gus Dur itu juga bisa
memberikan perlindungan pada generasi muda NU yang haus
akan pemikiran baru dan suka berpikir kritis baik dalam masalah
agama maupun bidang politik. Saya melihat di tubuh NU, teruta-
ma di kalangan mudanya suatu suasana diskusi yang lebih bebas di-
bandingkan dengan suasana yang sama pada ormas Islam lainnya,
maupun yang non Islam,
  Suasana yang tercipta itu pada sisi lain memunculkan satu pro-
ses kreatifitas olah nalar yang sudah terlalu mengalami kemandeg-
an dalam berpikir dan saya kira Indonesia memerlukan generasi
baru yang berani berfikir kreatif. Kelak lapisan muda NU yang te-
ngah mekar dengan situasi berfikir bebas itu akan memunculkan
pemikiran besar. Pemikiran kritis dan besar itu perlu karena bangsa
yang tidak memiliki pemikir-pemikir kritis maka bangsa itu tidak
akan menghasilkan apa-apa
  Dari sini bisa dipahami tidak mungkin bagi kita untuk meng-
kritik Gus Dur hanya dari segi pemikiran saja secara negatif, karena
pada sisi lain banyak menimbulkan implikasi positif. Pemerintah (6
biarpun tidak senang dengan banyak hal yang dikemukakan Gus
Dur, menyadari diperlukan juga orang-orang yang berfikir kritis se-
perti Gus Dur.7 Kalau dia bicara soal kerukunan antar penganut
umat beragama, semua orang tahu hal itu dikemukakan Gus Dur
secara bersungguh-sungguh. Dia berhasil meredam suasana yang
hangat seperti kasus Monitor membuktikan kalau orang seperti dia
dibutuhkan di negeri ini. Tokoh yang memiliki otoritas moral yang
diakui sebagian besar umatnya dan loyal kepada bangsa. Gus Dur,
adalah orang yang sangat loyal kepada UUD dan Pancasila, peme-
rintah tidak meragukan loyalitasnya itu.
  Pada saat yang sama, ia orang yang oleh golongan non-Islam di-
anggap sebagai juru selamat mereka. Golongan ini merasa kalau ti-
dak ada Gus Dur mereka terancam oleh suasana baru dalam Islam,
terutama ketika umat Islam sedang mendapat angin. Itu sebabnya,
kalau selama ini Gus Dur dianggap mengganggu pemerintah de-
ngan kritik-kritiknya maka pemerintah tidak akan begitu saja meng-
abaikan posisi Gus Dur. Pada diri Gus Dur tampak memiliki kebe-
basan yang tidak dimiliki banyak orang Indonesia.
  Walaupun begitu, dalam kapasitasnya selaku Ketua Umum
Tanfidziyah NU, saya tidak pernah mengatakan Gus Dur itu se-
orang demokrat. Hal-hal yang mengatasnamakan NU, seperti keti-
ka dia diwawancarai pers, apa yang dikemukakan itu seringkali bu-
kan hasil musyawarah. Kalau ditanya tentang kesediaannya untuk
menjadi ketua Umum PPP misalnya, dia menjawab akan konsultasi
dulu dengan koleganya di NU. Begitu dia menjawab, itu atas nama
Gus Dur pribadi, dia bicara selaku pribadi. Keikutsertaannya di Fo-
rum Demokrasi misalnya, atas nama pribadi, tidak sebagai PBNU,
tetapi itu sulit dipisahkan. Sebab Gus Dur itu milik NU dan ia
menjadi besar dan lebih diperhatikan karena mewakili NU.


Proyeksi Masa Depan

  Perubahan yang terjadi dalam tubuh NU, tidak perlu dibicara-
kan lagi, tetapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah perubahan
dalam elit muda NU. Elit muda yang semula belajar di pesantren,
kemudian meneruskan ke IAIN, menunjukkan perubahan yang
menarik dalam menggeluti dunia pemikiran dari pada kalangan
lain. Ia berani keluar dari wacana pemikiran yang selama ini hanya
berkisar pada kitab kuning, meloncat ke dunia pemikiran yang le-
bih maju dengan mencoba memahami pemikiran terbaru dari
penulis-penulis kontemporer dan pemikir Islam mutakhir, terma-
suk dalam wacana-wacana filsafat Barat Lapisan generasi ini mun-
cul sebagai dampak dari usaha yang dibuat oleh generasi Gus Dur
saya sebut sebagai hasil usaha dari generasi Gus Dur, karena di
samping Gus Dur ada orang-orang yang seide dengan Gus Dur dan
terus berkiprah.
  Dampak dari kiprah yang dilakukan NU generasi Gus Dur ini
melahirkan dampak yang tampak pada kelompok elit muda NU
yang aktifitasnya tampak lebih kritis, berani, kreatif dan intens. Sa-
yangnya, kelompok seperti ini hanya baru terbentuk di kota. Mencari
kelompok seperti ini di desa, tentu masih jauh.
  Bagaimana masa depan ide Gus Dur dan NU? Saya terus terang
tidak berani membuat ramalan. Namun yang sangat dirasakan
mendesak dilakukan sekarang ini adalah pentingnya kaderisasi. Ge-
nerasi muda produk dari upaya yang dilakukan Gus Dur, dengan
segenap aktivitas yang dilakukan, jelas menginginkan tindak lanjut.
Tetapi tidak tersedia saluran untuk mendapatkan latihan praktis da-
lam menerjemahkan ide-ide mereka dalam praktek. Juga saluran
untuk mendapatkan pendidikan non-agama yang lebih tinggi. Se
bagaimana saya kemukakan di muka, aktivis muda NU itu keba-
nyakan orang pesantren dan IAIN.

___________________________________________________________________
___________________________________________________________________

5. Seperti diketahui Monitor kemudian dibekukan SIUPP-nya. Pilihan sulit yang
   dihadapi Gus Dur adalah, larut dalam emosi massa yang marah dan kemudian
   pemerintah mem-by pass dengan pembekuan SIUPP atau tetap konsisten dengan
   sikapnya sebagai demokrat. Ia tidak setuju dengan Monitor tetapi ia juga
   tidak setuju emosi massa yang kemudian diredam pemerintah dengan pembekuan
   SIUPP. Bagi Gus Dur pemerintah mestinya mengambil tindakan dengan jalan
   hukum tidak dengan jalan pembekuan.

6. Meskipun Gus Dur tampak oposan terhadap pemerintah seperti tercermin dalam
   beberapa kritiknya atas kebijakan pemerintah Orde Baru, pemerintah tahu, Gus Dur
   adalah orang yang sangat loyal kepada Negara Tidak pernah ia oposan dalam arti
   menentang ideologi negara Kritik-kritik yang dikemukakan pun selama ini tetap
   dalam kerangka demokrasi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan tentu
   saja tetap berdasarkan Pancasila.

7. Dari sudut ini, orang seperti Gus Dur memang diperlukan. Ia berani menyerukan
   tuntutan masyarakaat kepada negara agar koridor demokrasi di buka lebih lebar. Ia
   tahu persis bagaimana kondisi masyarakat di bawah karena ia se-g turun ke daerah-
   daerah, tahu akar masalah, sehingga bisa dimaklumi kalau ia menyerukan demokrasi
   misalnya itu semata-mata kebutuhan kelas menengah tetapi juga suara kalangan
   bawah. Dalam idiom-idiomnp ia sering menyebut tukang becak, petani, nelayan
   yang merasakan bagaimana susahnya mencari nafkah untuk hidup sehari-hari.

Abdurrahman Wahid : Islam, Ideologi dan Etos Kerja di
Indonesia
 

Oleh Abdurrahman Wahid

Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di
Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa,
bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari
pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh
pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak
beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?

Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara
Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar,
sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut
menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan
ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber
rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin,
sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-Hadrami.

Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting
bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu
pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin
untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai
conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas
eksistensi negara tersebut, dan dengan demikian
memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin
dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam
membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk
negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara
dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses
sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum
muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada
ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang
bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang
berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin
dengan orientasi keagamaan cukup kuat, seperti yang
kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri
kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan itu
saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti
yang masih terjadi di negeri-negeri lain hingga saat
ini.

Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai
rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam
hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun
bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam
dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara
tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih
memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan kaum
muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai
agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam
kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya,
sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan
mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima
oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan
pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain,
tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara
kita di negeri ini.

Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan
hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang
lebih baik, dari hanya sekedar kebebasan melaksanakan
ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti yang selama
ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan
sadar harus dilakukan upaya untuk mencari tali
pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum muslimin
negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh
berbagai kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya
masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang
akan dipaparkan selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah
merupakan sebuah upaya lanjutan belaka, dan sama
sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban
yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia akan
mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari
jawaban final di kemudian hari

Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah
rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh
Ali Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia
menyatakan bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi
kehidupan bernegara, yaitu keadilan ('adalah),
persamaan (musawah) demokrasi (syura). Apabila suatu
negara telah memiliki ketiga sendi kehidupan itu,
dengan sendirinya ia dapat diterima keabsahannya oleh
Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi sangat
keras dari semua kalangan, baik ulama maupun
cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan
aktivis gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan
Al-Azhar, tempat ia mengajar sekian tahun lamanya, dan
bukunya dibakar serta dilarang beredar.

Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak
lain, karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari
Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan
yang terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk
hukum agama (fiqh). Dari fiqih itu lalu dikembangkan
wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan sebutan
Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama lain,
yaitu Syari'ah. Ali Abdurraziq melihat negara sebagai
instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan
demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan
negara sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin
tentang negara dan konstitusi.

Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh
tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum
nasional negara itu. Islam dilepaskan dari fungsi
normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka,
yaitu sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak
memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang
bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara
secara keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan
Ali Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu
merupakan bukti masih kuatnya pandangan yang
berkebalikan dari pandangannya itu. Masih cukup besar
jumlah kaum muslimin yang menentang pandangan sekuler
tentang hubungan agama dan negara. Juga terbukti masih
kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum Islam ini
dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.


Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung,
lebih lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq
menuliskan karyanya. Di luar Indonesia, kita lihat
betapa saat ini para aktivis gerakan Islam menuntut
pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan melarang
Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang
oleh pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena
tidak memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh
banyak kalangan (termasuk penguasa salah satu negara
bagian), keputusan itu dianggap melanggar ketentuan
agama yang tidak memberlakukan persyaratan apapun bagi
perkawinan dengan istri kedua.

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara
menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah
mencapai kemajuan pesat dalam pemikiran keagaman
maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila telah
didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu
menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi
aqidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi
sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan
dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak
diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama
di negara ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi
dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk
pertama adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika
sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua
adalah partikel-partikel dirinya yang dapat
diundangkan melalui proses konsensus (Undang-undang
seperti Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7/1989).

Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur
kehidupan warga negara, melalui filter berupa Hukum
Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa
terhindar dari orientasi sekuler, seperti yang
dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali
Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak
sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki
pelaksana ajaran Islam secara utuh sebagai produk
legislatif formal, atau dengan istilah lain yang
menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam
kehidupan bernegara. Bagi pandangan seperti itu,
memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya
sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang
dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.

Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah
dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat
menerima kehadiran Pancasila dalam konteks yang
diuraikan di atas. Pancasila masih harus diuji, apakah
mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan
dan kebangsaan yang dituntut Islam, antara lain
seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis,
menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang
dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila
harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi
kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas,
menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan
berserikat. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam
kepada ideologi kita, Pancasila. Kunci itu diperoleh
dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam
kepada warga masyarakat: jaminan dasar akan
keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga,
harta milik pribadi dan keselamatan profesi.

Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan
acuan yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah
yang terbatas, bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu
kedaulatan hukum atas lembaga pemerintahan maupun
kemasyarakatan, serta atas individu maupun kelompok
warga negara, harus dijaga sekuat mungkin. Penjagaan
kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan, apabila
kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar
dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat
merupakan kunci yang mutlak harus diberikan Islam
kepada ideologi negara dan bangsa kita.

Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan
penumbuhan etos kerja yang benar, yang akan membawa
kepada wawasan ideologi seperti dikemukakan di atas.
Etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan
pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan
bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan
transformasi sosial yang diperlukan untuk melintasi
garis kemiskinan menuju kepada kemakmuran di masa
depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan
dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika
masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi
kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan
yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement).
Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu
semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung
masyarakat modern. Semangat menjunjung tinggi
profesionalisme adalah titik kepentingan dari
transformasi sosial yang disebutkan di atas. Islam
menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan
di sini. Karena itu Islam mau tidak mau harus
mengembangkan dalam dirinya etos-etos kehidupan yang
berwatak transformis.

Gus Dur adalah contoh paling otentik, baik secara ideologis maupun secara biologis, tentang wajah keagamaan dan politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).

Maka ketika warga NU menggetarkan langit Indonesia pada hari ulang tahun kelahiran (harlah) yang ke-82 dua pekan lalu, nama Gus Dur selalu muncul. Komentar positif maupun minornya selalu menjadi berita, ulasan-ulasan media massa tentang harlah NU selalu dikaitkan dengannya, dan ungkapan takzim kepadanya selalu diucapkan pada sambutan-sambutan resmi acara harlah NU di berbagai tempat.

Ada disertasi doktor (S-3) tentang Gus Dur yang baru diluluskan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Munawar Ahmad, penulis disertasi itu, dinyatakan lulus cum laude (dengan pujian) setelah mempertahankannya di depan para profesor penguji pada Program Pascasarjana UGM.

Disertasi dengan judul "Kajian Kritis terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1970-2000" itu dipertahankan dalam rapat terbuka Senat Pascasarjana UGM tanggal 18 Desember 2007 lalu di depan delapan dari sembilan penguji, yaitu Yahya Muhaimin, Mohtar Mas'oed, Purwo Santoso, Joko Suryo, Moh Mahfud MD, Yudian Wahyudi, I Ketut Putra Ernawan, dan Edi Martono. Bachtiar Effendi yang juga menjadi penguji berhalangan hadir.

Metode CDA

Munawar Ahmad yang dosen pada Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta layak lulus dengan pujian (cum laude) karena hasil kerja kerasnya yang tergambar dari isi disertasinya itu.

Disertasi itu membedah dengan tekun kira-kira 500 tulisan Gus Dur yang dipublikasikan sejak 1970 sampai dengan 2000. Di dalam disertasi itu ada daftar tulisan tersebar karya Gus Dur sebanyak kira-kira 300 artikel ditambah 17 buku yang menghimpun berbagai tulisan Gus Dur sehingga keseluruhannya jika dipecah-pecah dalam tulisan aslinya memang tidak kurang dari 500 artikel. Metodologi yang dijadikan bingkai atau kerangka kerja penulisan itu adalah metode critical discourse analysis (CDA).

Berbeda dengan metode content analysis lainnya seperti analisis wacana atau analisis framing, metode CDA ini mempunyai kelebihan dam diyakini mampu untuk menjawab permasalahan penelitian yang oleh Munawar dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, bagaimana konstruksi akar pemikiran politik Gus Dur sebagai prototipe pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia? Kedua, mengapa Gus Dur melakukan difference dengan cara selalu menawarkan diskursus alternatif terhadap grand politics di Indonesia?

Ketiga, bagaimana karakter ijtihad politik yang dibangun Gus Dur ketika memetakan, mengomentari, dan mendialektikakan teks ilahiah (nash) dengan konteks keindoinesiaan (urf)? Metode CDA ini mempunyai kelebihan karena mampu melakukan analisis multi-track, yakni mikro, messo, dan makro sehingga kajian terhadap diskursus tidak hanya memberi arti atau memaknai saja, melainkan juga mampu menjelaskan kontekstualitas teks itu terhadap solusi sosiologisnya yang akhirnya pada tahap makro mengkritisi temuan data.

Metode CDA dengan demikian tidak hanya melakukan elaborasi, tetapi juga melakukan kritik atas teks itu sendiri. Munawar mengatakan bahwa CDA ini mampu membongkar kejujuran dan kebohongan yang terkandung di dalam teks-teks yang dianalisis.

Lima Traktat

Apa yang menarik dari Gus Dur sehingga diangkat dalam sebuah penelitian setingkat disertasi? Munawar beralasan karena pada diri Gus Dur melekat berbagai predikat, yakni kiai, politisi, intelektual, budayawan, mantan tokoh pergerakan, dan mantan Presiden RI.

Kemampuan Gus Dur melakukan gerakan politik diakui oleh kawan dan lawan yang ditunjukkan oleh keberhasilannya meraih jabatan presiden. Bagi sarjana politik, pemikiran dan perilaku Gus Dur dapat dipandang sebagai khazanah dalam dinamika pemikiran politik di Indonesia. Gayanya yang nyleneh menunjukkan adanya tipikal pemikiran politik saat melakukan interaksi dan advokasi politik yang untuk sebagian orang NU dianggap sebagai bentuk anomali.

Sikap nyleneh dan anomali itu merupakan keunikan sekaligus kelebihannya sebagai nilai tawar di hadapan politisi lain. Salah satu kelebihan Gus Dur yang patut diperhitungkan adalah kemampuannya membangun intelektualisme dan aktivisme sekaligus yang sangat jarang dilakukan oleh ulama klasik yang melingkunginya. Ia berjuang melalui politik praksis sambil melakukan perlawanan terhadap kebodohan politik itu sendiri dengan intelektualismenya.

Disertasi ini menemukan lima traktat pemikiran Gus Dur, yakni (1) dinamisasi dan modernisasi pesantren (1973) yang mengusung ide pendekatan ilmiah model Marxian terhadap situasi politik Indonesia; (2) pengenalan Islam sebagai sistem kemasyarakatan (1978) yang berisi semangat mengembangkan Islam klasik serta bagaimana syariah diimplimentasikan dalam menghadapi masalah-masalah mutakhir; (3) Islam dan militerisme dalam lintasan sejarah (1980) yang berisi ide perlawanan kultural model Marxian terhadap kekerasan (violence); (4) konsep kenegaraan dalam Islam (1983) yang berisi ide sekularistik dan integralistik pemikiran Gus Dur tentang hubungan antara agama dan negara; serta (5) pribumisasi Islam (1983) yang berisi pendekatan humanisme dalam politik dan keagamaan.

Dengan traktat-traktat itulah Gus Dur tampil sebagai tokoh nasional yang menguasai jagat pemikiran, jagat keagamaan, dan jagat politik di Indonesia. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh pejuang demokrasi yang sangat pluralis, egaliter, dan humanis. Dalam berjuang Gus Dur juga bekerja sesuai dengan adagium bellum omnium contra omnes yang mendalilkan bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kekuasaan.

Namun perlawanan kekuasaan Gus Dur terhadap kekuasaan dilakukan melalui perjuangan kultural dan antikekerasan. Bahkan Gus Dur juga lihai melakukan perlawanan melalui humor. Tentang ini ada tulisan Gus Dur yang berjudul "Melawan Melalui Lelucon" (Tempo, 2000) dan saya sendiri pernah menulis (Jawa Pos,15-3-2006) berjudul "Politik Humor Gus Dur".

Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik "tebar jala" yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.

Berikut Tulisan Gus Dur soal Negara Islam atau Negara :

Isu yang tak Kunjung Terselesaikan
Oleh: Abdurrahman Wahid


Dalam ICIS (International Conference of Islamic Scholars) baru-baru ini, para peserta berbeda sengit tentang sebuah isu: perlukah adanya sebuah negara Islam atau tidak. Dalam konferensi yang dihadiri para peserta dari 46 negara itu, penulis menunjuk kepada sebuah kenyataan, bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Ia adalah negara tidak berdasarkan agama. Dan semua warga negaranya memiliki hak yang sama. Memang ada 5 buah agama yang “diakui” pemerintah, tapi pengakuannya itu hanya untuk mempermudah pemberian bantuan kepada mereka oleh negara. Inipun sekarang mulai ditentang orang, karena dalam kenyataan agama Konghucu juga memiliki pengikut dalam jumlah besar yaitu sekitar 5 juta orang. Dengan berjalannya waktu, dapat diperkirakan bahwa nantinya, entah berapa tahun lagi, negara akan mengakui Konghucu sebagai agama yang perlu di dukung pemerintah, seperti 5 agama lain itu.

Karuan saja informasi penulis itu disanggah oleh sejumlah utusan/peserta seperti Ayatulloh Taskhiri dari Universitas Teheran di Iran. Ia dan DR. Wahbah Zuhaili dari Syiria, berkeras dengan pernyataan Islam harus membentuk sebuah negara guna memungkinkan pemberlakuan Syari’ah (hukum Islam) secara kongkret untuk berperan dalam kehidupan bernegara. Penulis menjawab, bahwa pemikiran negara agama tadinya memang ada dalam pembentukan negara , dalam kedudukan selaku Piagam Jakarta yang terletak dalam UUD 45. Tapi kemudian para wakil dari seluruh gerakan Islam di Indonesia, ketika pihak gerakan non muslim mengajukan keberatan, maka rumusan itu kemudian dikeluarkan dari UUD 45. Bahwa masih ada partai-partai Islam, yang berusaha tidak henti-hentinya untuk menegakkan sebuah negara Islam, menunjukkan bahwa pikiran tersebut belum sama sekali hilang dalam kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Ini adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kenyataan.

Memang gerakan-gerakan Islam dimanapun juga, selalu “dihantui” oleh masalah ini, sehingga tidak heran jika persolannya tidak pernah kunjung selesai. Di sinilah terletak perbedaan prinsipil antara Islam dan lain-lain. Sebagian kaum muslimin, jika benar-benar ia ingin dinilai sebagai muslim sejati,.menganggap bahwa syari’ah “hukum Islam” adalah kalam Illahi yang tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Sementara itu, pihak lain selalu menganggap bahwa syari’ah adalah gagasan “keputusan-keputusan agama” yang harus disesuaikan kepada kebutuhan hidup kaum muslimin, kecuali beberapa hal prinsip saja. Dengan kata lain, negara juga harus mampu mengikuti perubahan-perubahan hukum yang diingini, karena itu negara harus fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan.

Contohnya, yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam deklarasi tersebut, berpindah agama adalah hak asasi yang dimiliki siapapun dan dapat digunakan sewaktu-waktu, sedangkan fiqh/Syari’ah (hukum Islam), menentukan bahwa orang berpindah agama dari agama Islam ke agama lain, dapat dijatuhi hukuman mati. Sebab perpindahan dari agama Islam ke agama lain, merupakan tindak kemurtadan (apostasy), yang dapat dihukum mati. Karenanya, berkesesuaian dengan Deklarasi PBB itu, maka literatur hukum agama tentang hal ini pun harus diubah. Untuk itu, negara yang ada “haruslah netral”, berarti bukan negara agama. Kaitannya walaupun masing-masing pihak dalam negara itu “berkeras” dengan pendiriannya, namun pada akhirnya berujung pada sebuah “kompromi”. Dalam keadaan demikian masing-masing pihak saling menghormati pendirian pihak lain, sambil bersiteguh pada “ kebenaran” yang dimilikinya.

Pihak yang mewajibkan adanya negara Islam, secara sungguh-sungguh telah berusaha mencapai tujuan itu dengan berbagai cara. Konsep demi konsep telah dipaparkan yang terakhir adalah konsep “wilayat-i faqih” (pemerintahan para ahli fiqh) yang dikemukakan oleh Alm. Imam Ayatulloh Ruhollah Khomeini dari Iran dalam paruh kedua abad ke-20 Masedi. Pandangan beliau itu, pada akhirnya tertuang dalam konstitusi Republik Islam Iran yang dipakai kini di negeri tersebut. Kekuasaan pemerintahan pada dasarnya tertuang dalam 4 bagian. Bagian petama adalah kekuasaan eksekutif, yang dipegang oleh Presiden, yang dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Parlemen (Majelis), juga dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan Yudikatif terletak ditangan Mahkamah Agung yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Majelis.

Di luar itu, ada kekuasaan tertinggi yang dapat membatalkan/menganulir keputusan dari kekuasaan eksekutif dan legislative. Badan yang diserahi tugas ini adalah Dewan Para Ahli Agama (Khubrigan) yang beranggotakan 80 orang yang komposisinya dari para anggota yang telah ada (sleeve perpetuating), sehingga dengan demikian tidak tunduk kepada “ pilihan awam.” Inilah yang membuat mengapa sistem pemerintahan di Iran itu tidak dapat diterima oleh “pihak barat’ sebagai sistem yang demokratis. Dalam pandangan mereka, demokrasi senantiasa terkait dengan liberalisme atau menjadi demokrasi liberal. Dalam sistem yang demikian, kekuasaan rakyatlah yang menentukan segala-galanya, sehingga di luar itu tidak ada yang dianggap demokratis. Karena itulah, semboyan mereka adalah vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
******

Sebagai isu politik, soal ada tidaknya negara Islam adalah sesuatu yang tidak akan pernah dipecahkan secara konsepsional. Soalnya menjadi terpulang kepada keyakinan kaum muslimin sendiri. Pertama, kalau ia berpikir, bahwa hukum agama adalah sesuatu yang permanen datang dari Allah dan manusia tidak boleh merubahnya, maka dengan sedirinya ia akan sampai kepada pandangan bahwa hukum tersebut adalah dalam bentuk syari’ah yang harus diterapkan oleh negara, dan itu berarti perlunya konsep negara Islam. Sebaliknya dengan pendirian kedua, mereka yang beranggapan bahwa syari’ah adalah tugas masyarakat untuk merumuskan dan melaksanakan, dan bukanya negara, tidak merasa perlu akan adanya sebuah negara agama. Kaum muslimin yang berpikiran seperti ini sekarang merupakan mayoritas gerakan-gerakan Islam di negeri ini, sedangkan mereka yang berpegang pada pendirian pertama tadi, tetap menganggap perlu adanya sebuah negara Islam hanyalah minoritas. Pihak itu pada saat ini diwakili oleh beberpa “Partai Islam” yang berdiri di tanah air kita, lengkap dengan perbedaan-perbedaan teologis di antara mereka sendiri.

Karena kita adalah negara demokratis, dengan sendirinya haruslah dibiarkan mereka hidup di negeri ini, dan tergantung kepada rakyat sendiri untuk memilih parlemen yang memiliki pandangan pertama ataupun kedua.

Dalam pandangan penulis, garis perjuangan yang ditetapkan oleh kehidupan politik kita mengacu kepada pendirian kedua. Kekuatannya berasal dari kalangan gerakan Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan “dukungan” dari non gerakan Islam, gerakan nasionalis, golongan etnis dan beberapa golongan non-muslim, sehingga terbentuk sebuah koalisi politik yang tidak tampak dan tidak diproyeksikan oleh siapapun. “Islamisasi” terjadi tidak pada sistem kenegaraan, melainkan “kesadaran bermasyarakat”.

Karena itulah di berbagai kalangan “gerakan nasionalis” selalu didengungkan istilah ‘kaum nasionalis beragama” atau “kaum beragama yang nasionalistik”. Sebenarnya pengunaan kedua istilah tersebut sangat riskan, dan terkesan menyederhanakan bentuk-bentuk perjuangan kenegaraan yang sangat kompleks. Namun keduanya terpaksa digunakan saat ini (Karena belum dijumpai istilah-istilah yang sesuai dengan kenyataan yang ada). Ternyata, pencarian kedua istilah itu mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 29 April 2011

Gerakan islam dan gusdur


Berbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari amatan terhadap kekuatan-kekuatan politik yang sedang berlangsung sekarang ini dan momentum-momentum yang sedang akan segera berlangsung, baik dalam skala nasional maupun lokal. Tahun 2008-2009 adalah tahun di mana proses politik berlangsung sangat intensif guna menghadapi momen paling krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang keduanya akan berlangsung pada 2009.

Kedua pemilu ini, kalau bisa dan semoga benar-benar terjadi, hasilnya bukan saja akan menentukan arah dan model demokrasi yang telah terbangun sejak runtuhnya Orde Baru, melainkan juga orientasi filosofi dan arti kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri. Seluruh persaingan dan pertaruangan tersebut sesungguhnya adalah pertarungan antar kekuatan Islam sendiri; dan tak ada persaingan dan pertarungan politik pun yang tanpa melibatkan unsur Islam.

Jadi, Islam kini sudah berada di tengah arena pertarungan itu sendiri, entah sebagai landasan bertindak atau ideologi, dan dengan demikian, ditawarkan sebagai alternatif dari bentuk negara dan masyarakat yang telah ada dan berlangsung; entah sebagai komoditi politik untuk tujuan kekuasaan dan meraih dukungan semata; entah sebagai sebuah cita-cita ideal yang diimpikan sebagai bentuk ideal dari bentuk terbangunnya integrasi Islam-bangsa Indonesia yang otentik.

***

Mark Woodward (2001), misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan paska Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama,indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.

Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.

***

Meskipun berbeda kategori dengan dua pengamat di atas, saya sepakat ada empat kekuatan Islam saat ini menjelang Pemilu 2009, yang merupakan cermin dari pemikiran dan gerakan Islam. Meskipun masing-masing kekuatan ini cukup kompleks untuk dijelaskan secara komprehensif, namun saya ingin menunjukkannya dengan cara sederhana, yakni dengan menunjukkan simbol sentral dan karakter utama dari pemikiran atau gerakan, atau idealisasi dan para pendukungnya.

Pertama , kekuatan Megawati dengan PDI-P-nya. Selama ini PDI-P dianggap sebagai kekuatan nasionalis yang, dalam peta politik tradisional, Orde Lama dan Orde Baru, diperhadapkan dengan arus politik atau partai Islam. Menurut saya, PDI-P tidak bisa lagi dipandang partai nasionalis vis-a-vis Islam. PDI-P dengan simbol Megawati-nya adalah partai yang juga setidaknya didukung oleh sebagian besar pemeluk agama Islam.

Yang menjadi ciri keislaman PDI-P, adalah bahwa Islam bukan sebagai dasar bertindak dan hampir tidak memiliki basis intelektual keislaman. Dan secara given mereka meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Paham ini bukan hanya datang dari paham sekuler Barat, melainkan juga datang dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, itu sendiri dengan apa yang oleh Woodward di atas disebut sebagai indigenized Islam.

Namun secara argumentatif, kelompok ini akan mengalami kesulitan untuk menjawab tuntutan dari kelompok Islam lain, seandainya ada tuntutan tertentu dari mereka, karena tidak memiliki basis intelektual Islam untuk menjawab mereka. Sehingga, kelompok ini akan lebih memainkan kekuasaan untuk menjawab tuntutan tersebut ketimbang argumentatif. Akibatnya, ia akan bergantung pada kekuatan negosiasi. Jika negosisasi kalah dan akan mengganggu kekuasaan mereka, maka mereka akan memilih mempertahankan kekuasaan dengan mengakomodasi tuntutan, betapa pun prinsipnya tuntutan tersebut.

Kedua, Golkar. Kita belum tahu siapa simbol figur sentral partai warisan Soeharto ini. Namun bisa diduga, calon presiden Golkar akan berasal dari Islam yang berpandangan modern atau modernis –dalam kategori akademik lama. Ciri model ini adalah pragmatis. Apapun tuntutan mayoritas anggota maupun masyarakat, akan menjadi acuan pengambilan keputusan asalkan partai ini tetap bisa meraih atau mempertahankan kakuasaan.

Partai ini memiliki banyak intelektual, termasuk intelektual Islam, tetapi orientasinya sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Ini bisa dilihat dari berbeda-bedanya orientasi partai ini dari daerah satu ke daerah lain, tergantung tuntutan utama mayoritas muslim di tempat tersebut. Sehingga seperti juga pada kekuatan pertama, negosiasi akan menjadi senjata utama kekuatan ini, bahkan dalam hal yang sangat prinsipil sekalipun.

Ketiga, kekuatan Gus Dur. Dari sudut partai, kekuatan Gus Dur tidak sebesar dua kekuatan sebelumnya. Namun dukungan terhadap pemikiran dan gerakan tokoh ini merata di hampir semua kelompok dan kekuatan, kecuali kelompok yang benar-benar Islamis yang menolak pandangan pluralisme atau kepelbagaian dan anti toleransi.

Banyak orang yang mengakui kebenaran pandangan dan gerakan Gus Dur, meskipun banyak yang kuatir dan takut mengikuti ideal Gus Dur, karena dia sering mengabaikan keuntungan material dan politik serta tidak peduli dengan citra diri demi mempertahankan prinsip. Ciri dari kekuatan ini adalah di samping basis intelektual kislaman yang tinggi juga memiliki prinsip keindonesiaan yang sangat kuat. Jika dirunut dari geneologi pemikiran dan gerakan ini, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin inilah tradisi yang paling otentik dari Islam-Indonesia. Ia berbasis pada pandangan tradisi Islam nusantara, tetapi memiliki geneologi yang kuat pada sejarah Islam paling awal sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di tangan kelompok ini, Islam terus berkembang tanpa meninggalkan nilai intrinsik dan keasliannya. Kekuatan ini sulit berkompromi dengan masalah-masalah yang idiil menyangkut ke-Islam-Indonesia-an: ada di dalamnya unsur-unsur penghormatan terhadap tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat serta hak-hak intrinsik warganegara, seperti misalnya hak untuk beragama dan berkeyakinan serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kelompok ini sangat ideal sebagai sebuah cita-cita, namun sangat sulit memenangkan pertarungan di masa yang sangat pragmatis dan serta jalan pintas seperti sekarang ini.

Dalam ekonomi, kalau kita boleh bercermin pada kepresidenan Gus Dur waktu lalu, maka mungkn Gus Dur bukan orang yang anti neoliberal, namun cenderung ingin membangun kekuatan ekonomi baru seperti poros India-China-Indonesia demi kemandirian rakyat di kawasan ini tanpa harus menimbulkan ketegangan yang berlebihan.

Keempat, kekuatan SBY. Karena SBY sedang berkuasa, maka lebih mudah dinilai. Melihat sepak terjangnya sebagai presiden, maka dengan mudah bisa dilihat, bahwa dari sudut agama ia mewakili arus kanan atau islamis dan agen paling telanjang dari neoliberal dari sudut ekonomi. Adalah bukan kebetulan, bahwa SBY dalam agama mengikuti arus MUI yang anti toleransi dan anti pluralisme, bukan pula kebetulan mengangkat KH. Ma’ruf Amin, juru bicara paling vokal anti pluralisme dan aliran sesat, sebagai anggota Wantimpres bidang agama.

Kasus Ahmadiyah dan Tragedi Monas berdarah memperlihatkan pandangan yang diderivasi menjadi kebijakan presiden SBY, bahwa SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, misalnya, dikeluarkan pada saat istana dikepung oleh kaum proponen Rizieq Shihab, ketua Umum FPI yang anti pluralisme dan toleransi. Bisa dikatakan, dalam kasus SKB Ahmadiyah, SBY bertekuk lutut di bawah tuntutan Rizieq dan Munarman (Panglima Komando Laskar Islam). Hal itu terjadi karena lingkaran pertama kekuasaan SBY adalah partai-partai Islam, yaitu PKS, PBB, PKS dan PD. Tiga partai yang disebut pertama dikenal sebagai partai militan Islam, sedangkan PD tidak memiliki cukup sumberdaya intelektual untuk berdebat dengan ketiga partai di atas.

Di pihak lain, di bidang ekonomi, selama pemerintahan SBY, meskipun dari sudut angka-angka makro ekonomi cukup stabil karena bertumpu pada modal luar negeri yang bersifat sangat sementara, tetapi dalam waktu yang sama fondasi ekonomi nasional runtuh. Lihatlah penurunan hasil minyak bumi, pasokan listrik, pasokan gas, minyak goreng dan BBM di dalam negeri. Belum pernah fenomena pemandangan rakyat antri makanan, BBM, minyak goreng serta gizi buruk seperti terjadi pada pemerintahan SBY ini. Tetapi pada saat yang sama, seorang menteri yang juga pengusaha kolaborasi SBY menjadi orang terkaya se Asia Tenggara untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.

Karena itu, kekerasan antar agama yang tidak pernah ditangani secara normal dan terpeliharanya kakum Islamis, menurut saya, praktis merupakan strategi pemerintahan ini untuk merawat dukungan Islamis demi Pemilu 2009. Demikian juga ketegangan yang sebenarnya sumir, yang terus terjadi seperti aliran sesat, termasuk di dalamnya Ahmadiyah, tidak lain untuk merawat sentimen Islam untuk tujuan yang sama. Dengan demikian, SBY dengan kekuatan pendukungnya adalah representasi Islam kanan tersebut. Makanya jangan heran kalau ketegangan seperti ini akan terus dipelihara sampai Pemilu 2009.

***

Melihat hal ini, ada beberapa isu yang perlu dicermati. Pertama, hubungan antar agama di mana campur tangan pemerintah mulai menggurita, karena menjadi bagian dari strategi merawat dukungan. Fenomena ini diperkirakan akan terus berkembang, bahkan akan merasuk ke UNDANG-UNDANG, peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah. Saya berharap tidak sampai pada konstitusi, meskipun hal ini tidak bisa diabaikan kemungkinannya. Ujungnya, akan terjadi dominasi kelompok tertentu dan diskriminasi atas kelompok yang lain, pada tingkat paling basis, yaitu konstitusi dan UU.

Kedua , kemiskinan dan antri. Dua kata ini akan terus saling berkait dan selama tidak ada perubahan strategi ekonomi yang signifikan, kata ini mungkin akan bertambang, yaitu kematian, disamping gizi buruk. Penguasaan sumberdaya alam oleh asing akan segera disusul dengan efisiensi melalui regenerasi mesin dan mengabaikan tenaga kerja manusia. Yang terjadi kemudian adalah pengangguran luar biasa. Imbasnya mudah diduga; kemiskinan, antri, gizi buruk dan bahkan kematian.

Ketiga , penguasaan sumberdaya alam. Orientasi ekonomi pemerintahan ini tampaknya sejak awal memang dirancang mengikuti arus besar ekonomi dunia, yaitu neoliberal. Pada batas waktu tertentu, Indonesia mungkin tidak akan memiliki sumberdaya alam yang dikelola sendiri, melainkan seluruhnya akan di”borong”kan kepada modal asing dengan masa kontrak sangat panjang dengan pengelolaan efisien untuk menggenjot keuntungan.

Keempat , gerakan Islamis. Pemerintahan sekarang ini, terutama SBY, tidak saja diduga kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis, dan juga tiga partai lingkaran utama di atas, melainkan SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis, mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan pemerintahan ini.

***

Saya tidak akan memberikan saran kepada PMII untuk mengikuti arus mana atau bahkan membuat arus baru. Tetapi komitmen atas rakyat sebagai organisasi yang berasal dari arus paling grassroot, serta visi ke-Islam-Indonesia-an mungkin harus menjadi pertimbangan utama. Tampaknya hanya dengan cara itu, Islam Indonesia akan tetap eksis dalam menatap masa depan.

Terima kasih.
Dengan argumentasinya itu ia dapat meyakinkan banyak
orang bahwa kemarahan yang begitu cepat itu keliru. Dari kasus
Monitor ini, pada sisi lain menunjukkan bahwa konflik setiap saat
bisa meletus antara dua umat atau lebih. Pada kasus Monitor (5 ini
memang seorang pemimpin agama dihadapkan pada pilihan yang
sulit, tetap menjalankan tugas dan fungsinya memimpin atau me-
ngikuti arus massa yang marah. Lebih-lebih bila kasus itu mengarah
pada suatu yang sangat berbahaya. Sikap dan tindakan Gus Dur
dalam menyikapi kasus Monitor ini, memiliki keberanian yang saya
kagumi. Pada titik yang sangat kritis, ia lulus ujian di mana banyak
pemimpin lainnya gagal. Sikap seperti itu mencerminkan kesa-
daran dan karena kesadarannya itu ia memiliki penglihatan yang
mencerminkan kapasitas dirinya sebagai seorang negarawan. Jelas,
yang dipikirkan Gus Dur bukan hanya kepentingan satu kelompok
saja tetapi kepentingan seluruh bangsa. Sikap, tindakan dan pikiran
yang demikian itu, tidak dikarenakan pengaruh dan didalangi Ben-
ny Moerdani.
  Sikapnya yang demikian, didukung lagi dengan Rois Aamnya,
KH Achmad Siddiq yang memiliki cakrawala yang luas. Kiai Ach-
mad Siddiq, di antara para kiai, merupakan sosok yang bisa me-
ngambil jarak dari kelompoknya sendiri dan bisa melihat kepen-
tingan yang lebih luas. Kiai Achmad Siddiq mengungkapkan masa-
lah ini dengan ungkapan yang sedikit lebih tradisional. Ia berbicara
tentang perlunya ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama Mus-
lim. Kemudian dia menambah lagi dua ukhuwah lain, yaitu ukhu-
wah wathaniyah (persaudaraan antar orang sebangsa, setanah air)
dan ukhuwah basyariyah yang mencakup persaudaraan seluruh ma-
nusia. Tentang Kiai Achmad Siddiq ini, Gus Dur pernah menga-
takan kepada saya, bahwa Kiai Achmad Siddiq mempunyai cakra-
wala yang dapat melihat bahwa kelompok NU memang berposisi
terbelakang dalam negeri ini. Masyarakat seluruh dunia sedang ber-
ubah cepat, jadi dia bisa mengaitkan antara visinya terhadap kepen-
tingan orang NU, kepentingan seluruh umat Islam Indonesia dan
Indonesia sebagai dunia ketiga. Tampak di sini, Kiai Achmad Siddiq
bisa mengungkapkan dan mendefinisikan permasalahan yang diha-
dapi umat, suatu agenda pembicaraan yang selalu diungkapkan
Gus Dur juga, hanya dalam hal ini Gus Dur mengungkapkan de-
ngan cara yang lebih canggih.
  Banyak orang di daerah tidak bisa mengikuti dan memahai pe-
mikiran Gus Dur. Meskipun begitu ada kesadaran di kalangan
Orang yang tidak bisa mengikuti pemikiran ini yang kurang lebih
begini: NU memang membutuhkan pemimpin yang memiliki visi
yang luas. Oleh orang-orang ini, Gus Dur memang selalu kritik
tetapi kritiknya hanya menyangkut beberapa hal saja tidak menca-
kup orang secara keseluruhan dan hanya terfokus pada perilakunya
yang dianggap nyleneh. Ada kesadaran umum, bahwa Gus Dur me-
mang dibutuhkan NU untuk bisa membawa warga NU kepada ma-
sa depan yang lebih baik. Lebih-lebih setelah orang-orang daerah
ini melihat dan menyadari, realitas orang-orang NU yang banyak
disingkirkan dari posisi strategis, terbelakang secara pendidikan,
sosial dan ekonomi, sehingga membutuhkan pemimpin yang bisa
membawa NU yang memiliki budaya sendiri untuk berhubungan
dengan kelompok lain.
  Jauh sebelom Gus Dur, NU pernah memiliki Subchan ZE. Sub-
chan tidak berasal dari kalangan NU, pendidikannya bukan pesan-
tren, konon suka berdansa-dansi dan kehidupannya sangat 'seku-
ler'. Tetapi ia memiliki loyalitas terbadap NU serta memiliki cakra-
wala luas dan pandangan strategis ke depan, di samping memiliki
hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat. Memiliki hu-
bungan baik dengan militer dengan kalangan religius dan sekuler
dari PSI sampai orang Masyumi. Subchan juga orang yang memiliki
banyak dimensi. Orang seperti ini diperlukan. Pada waktu itu para
kiai tidak senang dengan Subchan, tetapi para pengurus cabang
yang bukan kiai tetap membutuhkan jembatan untuk berhubungan
dengan kelompok masyarakat lain. Mereka memilih Subchan
Secara terang-terangan walaupun tidak disenangi Kiai Bisri. Sama
dengan Gus Dur, orang di daerah terutama pengurus cabang, me-
rasa sevisi dengan Gus Dur. Lebih-lebih Gus Dur memiliki hubung-
an internasional yang luas, bisa masuk di kalangan apa saja dan me-
miliki hubungan baik dengan ABRI.
  Yang 'lebih' dari Gus Dur adalah bahwa ia selalu kritis dengan
kelompok lain. Dengan Benny Moerdani misalnya, meskipun ber-
hubungan baik tetapi ia tetap kritis. Ia terang-terangan mengkritik
Benny dalam Kata Pengantar Biografinya misalnya, ia menulis seba-
gai seorang yang sangat menghargai hak-hak asasi manusia, ia tidak
lama ataupun yang baru, Pada sisi lain, sikap Gus Dur itu juga bisa
memberikan perlindungan pada generasi muda NU yang haus
akan pemikiran baru dan suka berpikir kritis baik dalam masalah
agama maupun bidang politik. Saya melihat di tubuh NU, teruta-
ma di kalangan mudanya suatu suasana diskusi yang lebih bebas di-
bandingkan dengan suasana yang sama pada ormas Islam lainnya,
maupun yang non Islam,
  Suasana yang tercipta itu pada sisi lain memunculkan satu pro-
ses kreatifitas olah nalar yang sudah terlalu mengalami kemandeg-
an dalam berpikir dan saya kira Indonesia memerlukan generasi
baru yang berani berfikir kreatif. Kelak lapisan muda NU yang te-
ngah mekar dengan situasi berfikir bebas itu akan memunculkan
pemikiran besar. Pemikiran kritis dan besar itu perlu karena bangsa
yang tidak memiliki pemikir-pemikir kritis maka bangsa itu tidak
akan menghasilkan apa-apa
  Dari sini bisa dipahami tidak mungkin bagi kita untuk meng-
kritik Gus Dur hanya dari segi pemikiran saja secara negatif, karena
pada sisi lain banyak menimbulkan implikasi positif. Pemerintah (6
biarpun tidak senang dengan banyak hal yang dikemukakan Gus
Dur, menyadari diperlukan juga orang-orang yang berfikir kritis se-
perti Gus Dur.7 Kalau dia bicara soal kerukunan antar penganut
umat beragama, semua orang tahu hal itu dikemukakan Gus Dur
secara bersungguh-sungguh. Dia berhasil meredam suasana yang
hangat seperti kasus Monitor membuktikan kalau orang seperti dia
dibutuhkan di negeri ini. Tokoh yang memiliki otoritas moral yang
diakui sebagian besar umatnya dan loyal kepada bangsa. Gus Dur,
adalah orang yang sangat loyal kepada UUD dan Pancasila, peme-
rintah tidak meragukan loyalitasnya itu.
  Pada saat yang sama, ia orang yang oleh golongan non-Islam di-
anggap sebagai juru selamat mereka. Golongan ini merasa kalau ti-
dak ada Gus Dur mereka terancam oleh suasana baru dalam Islam,
terutama ketika umat Islam sedang mendapat angin. Itu sebabnya,
kalau selama ini Gus Dur dianggap mengganggu pemerintah de-
ngan kritik-kritiknya maka pemerintah tidak akan begitu saja meng-
abaikan posisi Gus Dur. Pada diri Gus Dur tampak memiliki kebe-
basan yang tidak dimiliki banyak orang Indonesia.
  Walaupun begitu, dalam kapasitasnya selaku Ketua Umum
Tanfidziyah NU, saya tidak pernah mengatakan Gus Dur itu se-
orang demokrat. Hal-hal yang mengatasnamakan NU, seperti keti-
ka dia diwawancarai pers, apa yang dikemukakan itu seringkali bu-
kan hasil musyawarah. Kalau ditanya tentang kesediaannya untuk
menjadi ketua Umum PPP misalnya, dia menjawab akan konsultasi
dulu dengan koleganya di NU. Begitu dia menjawab, itu atas nama
Gus Dur pribadi, dia bicara selaku pribadi. Keikutsertaannya di Fo-
rum Demokrasi misalnya, atas nama pribadi, tidak sebagai PBNU,
tetapi itu sulit dipisahkan. Sebab Gus Dur itu milik NU dan ia
menjadi besar dan lebih diperhatikan karena mewakili NU.


Proyeksi Masa Depan

  Perubahan yang terjadi dalam tubuh NU, tidak perlu dibicara-
kan lagi, tetapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah perubahan
dalam elit muda NU. Elit muda yang semula belajar di pesantren,
kemudian meneruskan ke IAIN, menunjukkan perubahan yang
menarik dalam menggeluti dunia pemikiran dari pada kalangan
lain. Ia berani keluar dari wacana pemikiran yang selama ini hanya
berkisar pada kitab kuning, meloncat ke dunia pemikiran yang le-
bih maju dengan mencoba memahami pemikiran terbaru dari
penulis-penulis kontemporer dan pemikir Islam mutakhir, terma-
suk dalam wacana-wacana filsafat Barat Lapisan generasi ini mun-
cul sebagai dampak dari usaha yang dibuat oleh generasi Gus Dur
saya sebut sebagai hasil usaha dari generasi Gus Dur, karena di
samping Gus Dur ada orang-orang yang seide dengan Gus Dur dan
terus berkiprah.
  Dampak dari kiprah yang dilakukan NU generasi Gus Dur ini
melahirkan dampak yang tampak pada kelompok elit muda NU
yang aktifitasnya tampak lebih kritis, berani, kreatif dan intens. Sa-
yangnya, kelompok seperti ini hanya baru terbentuk di kota. Mencari
kelompok seperti ini di desa, tentu masih jauh.
  Bagaimana masa depan ide Gus Dur dan NU? Saya terus terang
tidak berani membuat ramalan. Namun yang sangat dirasakan
mendesak dilakukan sekarang ini adalah pentingnya kaderisasi. Ge-
nerasi muda produk dari upaya yang dilakukan Gus Dur, dengan
segenap aktivitas yang dilakukan, jelas menginginkan tindak lanjut.
Tetapi tidak tersedia saluran untuk mendapatkan latihan praktis da-
lam menerjemahkan ide-ide mereka dalam praktek. Juga saluran
untuk mendapatkan pendidikan non-agama yang lebih tinggi. Se
bagaimana saya kemukakan di muka, aktivis muda NU itu keba-
nyakan orang pesantren dan IAIN.

___________________________________________________________________
___________________________________________________________________

5. Seperti diketahui Monitor kemudian dibekukan SIUPP-nya. Pilihan sulit yang
   dihadapi Gus Dur adalah, larut dalam emosi massa yang marah dan kemudian
   pemerintah mem-by pass dengan pembekuan SIUPP atau tetap konsisten dengan
   sikapnya sebagai demokrat. Ia tidak setuju dengan Monitor tetapi ia juga
   tidak setuju emosi massa yang kemudian diredam pemerintah dengan pembekuan
   SIUPP. Bagi Gus Dur pemerintah mestinya mengambil tindakan dengan jalan
   hukum tidak dengan jalan pembekuan.

6. Meskipun Gus Dur tampak oposan terhadap pemerintah seperti tercermin dalam
   beberapa kritiknya atas kebijakan pemerintah Orde Baru, pemerintah tahu, Gus Dur
   adalah orang yang sangat loyal kepada Negara Tidak pernah ia oposan dalam arti
   menentang ideologi negara Kritik-kritik yang dikemukakan pun selama ini tetap
   dalam kerangka demokrasi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan tentu
   saja tetap berdasarkan Pancasila.

7. Dari sudut ini, orang seperti Gus Dur memang diperlukan. Ia berani menyerukan
   tuntutan masyarakaat kepada negara agar koridor demokrasi di buka lebih lebar. Ia
   tahu persis bagaimana kondisi masyarakat di bawah karena ia se-g turun ke daerah-
   daerah, tahu akar masalah, sehingga bisa dimaklumi kalau ia menyerukan demokrasi
   misalnya itu semata-mata kebutuhan kelas menengah tetapi juga suara kalangan
   bawah. Dalam idiom-idiomnp ia sering menyebut tukang becak, petani, nelayan
   yang merasakan bagaimana susahnya mencari nafkah untuk hidup sehari-hari.

Abdurrahman Wahid : Islam, Ideologi dan Etos Kerja di
Indonesia
 

Oleh Abdurrahman Wahid

Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di
Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa,
bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari
pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh
pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak
beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?

Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara
Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar,
sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut
menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan
ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber
rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin,
sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-Hadrami.

Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting
bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu
pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin
untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai
conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas
eksistensi negara tersebut, dan dengan demikian
memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin
dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam
membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk
negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara
dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses
sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum
muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada
ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang
bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang
berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin
dengan orientasi keagamaan cukup kuat, seperti yang
kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri
kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan itu
saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti
yang masih terjadi di negeri-negeri lain hingga saat
ini.

Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai
rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam
hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun
bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam
dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara
tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih
memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan kaum
muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai
agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam
kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya,
sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan
mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima
oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan
pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain,
tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara
kita di negeri ini.

Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan
hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang
lebih baik, dari hanya sekedar kebebasan melaksanakan
ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti yang selama
ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan
sadar harus dilakukan upaya untuk mencari tali
pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum muslimin
negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh
berbagai kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya
masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang
akan dipaparkan selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah
merupakan sebuah upaya lanjutan belaka, dan sama
sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban
yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia akan
mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari
jawaban final di kemudian hari

Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah
rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh
Ali Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia
menyatakan bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi
kehidupan bernegara, yaitu keadilan ('adalah),
persamaan (musawah) demokrasi (syura). Apabila suatu
negara telah memiliki ketiga sendi kehidupan itu,
dengan sendirinya ia dapat diterima keabsahannya oleh
Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi sangat
keras dari semua kalangan, baik ulama maupun
cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan
aktivis gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan
Al-Azhar, tempat ia mengajar sekian tahun lamanya, dan
bukunya dibakar serta dilarang beredar.

Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak
lain, karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari
Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan
yang terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk
hukum agama (fiqh). Dari fiqih itu lalu dikembangkan
wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan sebutan
Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama lain,
yaitu Syari'ah. Ali Abdurraziq melihat negara sebagai
instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan
demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan
negara sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin
tentang negara dan konstitusi.

Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh
tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum
nasional negara itu. Islam dilepaskan dari fungsi
normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka,
yaitu sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak
memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang
bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara
secara keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan
Ali Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu
merupakan bukti masih kuatnya pandangan yang
berkebalikan dari pandangannya itu. Masih cukup besar
jumlah kaum muslimin yang menentang pandangan sekuler
tentang hubungan agama dan negara. Juga terbukti masih
kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum Islam ini
dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.


Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung,
lebih lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq
menuliskan karyanya. Di luar Indonesia, kita lihat
betapa saat ini para aktivis gerakan Islam menuntut
pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan melarang
Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang
oleh pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena
tidak memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh
banyak kalangan (termasuk penguasa salah satu negara
bagian), keputusan itu dianggap melanggar ketentuan
agama yang tidak memberlakukan persyaratan apapun bagi
perkawinan dengan istri kedua.

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara
menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah
mencapai kemajuan pesat dalam pemikiran keagaman
maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila telah
didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu
menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi
aqidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi
sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan
dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak
diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama
di negara ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi
dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk
pertama adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika
sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua
adalah partikel-partikel dirinya yang dapat
diundangkan melalui proses konsensus (Undang-undang
seperti Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7/1989).

Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur
kehidupan warga negara, melalui filter berupa Hukum
Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa
terhindar dari orientasi sekuler, seperti yang
dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali
Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak
sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki
pelaksana ajaran Islam secara utuh sebagai produk
legislatif formal, atau dengan istilah lain yang
menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam
kehidupan bernegara. Bagi pandangan seperti itu,
memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya
sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang
dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.

Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah
dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat
menerima kehadiran Pancasila dalam konteks yang
diuraikan di atas. Pancasila masih harus diuji, apakah
mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan
dan kebangsaan yang dituntut Islam, antara lain
seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis,
menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang
dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila
harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi
kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas,
menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan
berserikat. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam
kepada ideologi kita, Pancasila. Kunci itu diperoleh
dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam
kepada warga masyarakat: jaminan dasar akan
keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga,
harta milik pribadi dan keselamatan profesi.

Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan
acuan yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah
yang terbatas, bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu
kedaulatan hukum atas lembaga pemerintahan maupun
kemasyarakatan, serta atas individu maupun kelompok
warga negara, harus dijaga sekuat mungkin. Penjagaan
kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan, apabila
kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar
dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat
merupakan kunci yang mutlak harus diberikan Islam
kepada ideologi negara dan bangsa kita.

Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan
penumbuhan etos kerja yang benar, yang akan membawa
kepada wawasan ideologi seperti dikemukakan di atas.
Etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan
pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan
bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan
transformasi sosial yang diperlukan untuk melintasi
garis kemiskinan menuju kepada kemakmuran di masa
depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan
dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika
masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi
kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan
yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement).
Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu
semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung
masyarakat modern. Semangat menjunjung tinggi
profesionalisme adalah titik kepentingan dari
transformasi sosial yang disebutkan di atas. Islam
menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan
di sini. Karena itu Islam mau tidak mau harus
mengembangkan dalam dirinya etos-etos kehidupan yang
berwatak transformis.

Gus Dur adalah contoh paling otentik, baik secara ideologis maupun secara biologis, tentang wajah keagamaan dan politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).

Maka ketika warga NU menggetarkan langit Indonesia pada hari ulang tahun kelahiran (harlah) yang ke-82 dua pekan lalu, nama Gus Dur selalu muncul. Komentar positif maupun minornya selalu menjadi berita, ulasan-ulasan media massa tentang harlah NU selalu dikaitkan dengannya, dan ungkapan takzim kepadanya selalu diucapkan pada sambutan-sambutan resmi acara harlah NU di berbagai tempat.

Ada disertasi doktor (S-3) tentang Gus Dur yang baru diluluskan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Munawar Ahmad, penulis disertasi itu, dinyatakan lulus cum laude (dengan pujian) setelah mempertahankannya di depan para profesor penguji pada Program Pascasarjana UGM.

Disertasi dengan judul "Kajian Kritis terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1970-2000" itu dipertahankan dalam rapat terbuka Senat Pascasarjana UGM tanggal 18 Desember 2007 lalu di depan delapan dari sembilan penguji, yaitu Yahya Muhaimin, Mohtar Mas'oed, Purwo Santoso, Joko Suryo, Moh Mahfud MD, Yudian Wahyudi, I Ketut Putra Ernawan, dan Edi Martono. Bachtiar Effendi yang juga menjadi penguji berhalangan hadir.

Metode CDA

Munawar Ahmad yang dosen pada Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta layak lulus dengan pujian (cum laude) karena hasil kerja kerasnya yang tergambar dari isi disertasinya itu.

Disertasi itu membedah dengan tekun kira-kira 500 tulisan Gus Dur yang dipublikasikan sejak 1970 sampai dengan 2000. Di dalam disertasi itu ada daftar tulisan tersebar karya Gus Dur sebanyak kira-kira 300 artikel ditambah 17 buku yang menghimpun berbagai tulisan Gus Dur sehingga keseluruhannya jika dipecah-pecah dalam tulisan aslinya memang tidak kurang dari 500 artikel. Metodologi yang dijadikan bingkai atau kerangka kerja penulisan itu adalah metode critical discourse analysis (CDA).

Berbeda dengan metode content analysis lainnya seperti analisis wacana atau analisis framing, metode CDA ini mempunyai kelebihan dam diyakini mampu untuk menjawab permasalahan penelitian yang oleh Munawar dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, bagaimana konstruksi akar pemikiran politik Gus Dur sebagai prototipe pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia? Kedua, mengapa Gus Dur melakukan difference dengan cara selalu menawarkan diskursus alternatif terhadap grand politics di Indonesia?

Ketiga, bagaimana karakter ijtihad politik yang dibangun Gus Dur ketika memetakan, mengomentari, dan mendialektikakan teks ilahiah (nash) dengan konteks keindoinesiaan (urf)? Metode CDA ini mempunyai kelebihan karena mampu melakukan analisis multi-track, yakni mikro, messo, dan makro sehingga kajian terhadap diskursus tidak hanya memberi arti atau memaknai saja, melainkan juga mampu menjelaskan kontekstualitas teks itu terhadap solusi sosiologisnya yang akhirnya pada tahap makro mengkritisi temuan data.

Metode CDA dengan demikian tidak hanya melakukan elaborasi, tetapi juga melakukan kritik atas teks itu sendiri. Munawar mengatakan bahwa CDA ini mampu membongkar kejujuran dan kebohongan yang terkandung di dalam teks-teks yang dianalisis.

Lima Traktat

Apa yang menarik dari Gus Dur sehingga diangkat dalam sebuah penelitian setingkat disertasi? Munawar beralasan karena pada diri Gus Dur melekat berbagai predikat, yakni kiai, politisi, intelektual, budayawan, mantan tokoh pergerakan, dan mantan Presiden RI.

Kemampuan Gus Dur melakukan gerakan politik diakui oleh kawan dan lawan yang ditunjukkan oleh keberhasilannya meraih jabatan presiden. Bagi sarjana politik, pemikiran dan perilaku Gus Dur dapat dipandang sebagai khazanah dalam dinamika pemikiran politik di Indonesia. Gayanya yang nyleneh menunjukkan adanya tipikal pemikiran politik saat melakukan interaksi dan advokasi politik yang untuk sebagian orang NU dianggap sebagai bentuk anomali.

Sikap nyleneh dan anomali itu merupakan keunikan sekaligus kelebihannya sebagai nilai tawar di hadapan politisi lain. Salah satu kelebihan Gus Dur yang patut diperhitungkan adalah kemampuannya membangun intelektualisme dan aktivisme sekaligus yang sangat jarang dilakukan oleh ulama klasik yang melingkunginya. Ia berjuang melalui politik praksis sambil melakukan perlawanan terhadap kebodohan politik itu sendiri dengan intelektualismenya.

Disertasi ini menemukan lima traktat pemikiran Gus Dur, yakni (1) dinamisasi dan modernisasi pesantren (1973) yang mengusung ide pendekatan ilmiah model Marxian terhadap situasi politik Indonesia; (2) pengenalan Islam sebagai sistem kemasyarakatan (1978) yang berisi semangat mengembangkan Islam klasik serta bagaimana syariah diimplimentasikan dalam menghadapi masalah-masalah mutakhir; (3) Islam dan militerisme dalam lintasan sejarah (1980) yang berisi ide perlawanan kultural model Marxian terhadap kekerasan (violence); (4) konsep kenegaraan dalam Islam (1983) yang berisi ide sekularistik dan integralistik pemikiran Gus Dur tentang hubungan antara agama dan negara; serta (5) pribumisasi Islam (1983) yang berisi pendekatan humanisme dalam politik dan keagamaan.

Dengan traktat-traktat itulah Gus Dur tampil sebagai tokoh nasional yang menguasai jagat pemikiran, jagat keagamaan, dan jagat politik di Indonesia. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh pejuang demokrasi yang sangat pluralis, egaliter, dan humanis. Dalam berjuang Gus Dur juga bekerja sesuai dengan adagium bellum omnium contra omnes yang mendalilkan bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kekuasaan.

Namun perlawanan kekuasaan Gus Dur terhadap kekuasaan dilakukan melalui perjuangan kultural dan antikekerasan. Bahkan Gus Dur juga lihai melakukan perlawanan melalui humor. Tentang ini ada tulisan Gus Dur yang berjudul "Melawan Melalui Lelucon" (Tempo, 2000) dan saya sendiri pernah menulis (Jawa Pos,15-3-2006) berjudul "Politik Humor Gus Dur".

Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik "tebar jala" yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.

Berikut Tulisan Gus Dur soal Negara Islam atau Negara :

Isu yang tak Kunjung Terselesaikan
Oleh: Abdurrahman Wahid


Dalam ICIS (International Conference of Islamic Scholars) baru-baru ini, para peserta berbeda sengit tentang sebuah isu: perlukah adanya sebuah negara Islam atau tidak. Dalam konferensi yang dihadiri para peserta dari 46 negara itu, penulis menunjuk kepada sebuah kenyataan, bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Ia adalah negara tidak berdasarkan agama. Dan semua warga negaranya memiliki hak yang sama. Memang ada 5 buah agama yang “diakui” pemerintah, tapi pengakuannya itu hanya untuk mempermudah pemberian bantuan kepada mereka oleh negara. Inipun sekarang mulai ditentang orang, karena dalam kenyataan agama Konghucu juga memiliki pengikut dalam jumlah besar yaitu sekitar 5 juta orang. Dengan berjalannya waktu, dapat diperkirakan bahwa nantinya, entah berapa tahun lagi, negara akan mengakui Konghucu sebagai agama yang perlu di dukung pemerintah, seperti 5 agama lain itu.

Karuan saja informasi penulis itu disanggah oleh sejumlah utusan/peserta seperti Ayatulloh Taskhiri dari Universitas Teheran di Iran. Ia dan DR. Wahbah Zuhaili dari Syiria, berkeras dengan pernyataan Islam harus membentuk sebuah negara guna memungkinkan pemberlakuan Syari’ah (hukum Islam) secara kongkret untuk berperan dalam kehidupan bernegara. Penulis menjawab, bahwa pemikiran negara agama tadinya memang ada dalam pembentukan negara , dalam kedudukan selaku Piagam Jakarta yang terletak dalam UUD 45. Tapi kemudian para wakil dari seluruh gerakan Islam di Indonesia, ketika pihak gerakan non muslim mengajukan keberatan, maka rumusan itu kemudian dikeluarkan dari UUD 45. Bahwa masih ada partai-partai Islam, yang berusaha tidak henti-hentinya untuk menegakkan sebuah negara Islam, menunjukkan bahwa pikiran tersebut belum sama sekali hilang dalam kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Ini adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kenyataan.

Memang gerakan-gerakan Islam dimanapun juga, selalu “dihantui” oleh masalah ini, sehingga tidak heran jika persolannya tidak pernah kunjung selesai. Di sinilah terletak perbedaan prinsipil antara Islam dan lain-lain. Sebagian kaum muslimin, jika benar-benar ia ingin dinilai sebagai muslim sejati,.menganggap bahwa syari’ah “hukum Islam” adalah kalam Illahi yang tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Sementara itu, pihak lain selalu menganggap bahwa syari’ah adalah gagasan “keputusan-keputusan agama” yang harus disesuaikan kepada kebutuhan hidup kaum muslimin, kecuali beberapa hal prinsip saja. Dengan kata lain, negara juga harus mampu mengikuti perubahan-perubahan hukum yang diingini, karena itu negara harus fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan.

Contohnya, yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam deklarasi tersebut, berpindah agama adalah hak asasi yang dimiliki siapapun dan dapat digunakan sewaktu-waktu, sedangkan fiqh/Syari’ah (hukum Islam), menentukan bahwa orang berpindah agama dari agama Islam ke agama lain, dapat dijatuhi hukuman mati. Sebab perpindahan dari agama Islam ke agama lain, merupakan tindak kemurtadan (apostasy), yang dapat dihukum mati. Karenanya, berkesesuaian dengan Deklarasi PBB itu, maka literatur hukum agama tentang hal ini pun harus diubah. Untuk itu, negara yang ada “haruslah netral”, berarti bukan negara agama. Kaitannya walaupun masing-masing pihak dalam negara itu “berkeras” dengan pendiriannya, namun pada akhirnya berujung pada sebuah “kompromi”. Dalam keadaan demikian masing-masing pihak saling menghormati pendirian pihak lain, sambil bersiteguh pada “ kebenaran” yang dimilikinya.

Pihak yang mewajibkan adanya negara Islam, secara sungguh-sungguh telah berusaha mencapai tujuan itu dengan berbagai cara. Konsep demi konsep telah dipaparkan yang terakhir adalah konsep “wilayat-i faqih” (pemerintahan para ahli fiqh) yang dikemukakan oleh Alm. Imam Ayatulloh Ruhollah Khomeini dari Iran dalam paruh kedua abad ke-20 Masedi. Pandangan beliau itu, pada akhirnya tertuang dalam konstitusi Republik Islam Iran yang dipakai kini di negeri tersebut. Kekuasaan pemerintahan pada dasarnya tertuang dalam 4 bagian. Bagian petama adalah kekuasaan eksekutif, yang dipegang oleh Presiden, yang dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Parlemen (Majelis), juga dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan Yudikatif terletak ditangan Mahkamah Agung yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Majelis.

Di luar itu, ada kekuasaan tertinggi yang dapat membatalkan/menganulir keputusan dari kekuasaan eksekutif dan legislative. Badan yang diserahi tugas ini adalah Dewan Para Ahli Agama (Khubrigan) yang beranggotakan 80 orang yang komposisinya dari para anggota yang telah ada (sleeve perpetuating), sehingga dengan demikian tidak tunduk kepada “ pilihan awam.” Inilah yang membuat mengapa sistem pemerintahan di Iran itu tidak dapat diterima oleh “pihak barat’ sebagai sistem yang demokratis. Dalam pandangan mereka, demokrasi senantiasa terkait dengan liberalisme atau menjadi demokrasi liberal. Dalam sistem yang demikian, kekuasaan rakyatlah yang menentukan segala-galanya, sehingga di luar itu tidak ada yang dianggap demokratis. Karena itulah, semboyan mereka adalah vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
******

Sebagai isu politik, soal ada tidaknya negara Islam adalah sesuatu yang tidak akan pernah dipecahkan secara konsepsional. Soalnya menjadi terpulang kepada keyakinan kaum muslimin sendiri. Pertama, kalau ia berpikir, bahwa hukum agama adalah sesuatu yang permanen datang dari Allah dan manusia tidak boleh merubahnya, maka dengan sedirinya ia akan sampai kepada pandangan bahwa hukum tersebut adalah dalam bentuk syari’ah yang harus diterapkan oleh negara, dan itu berarti perlunya konsep negara Islam. Sebaliknya dengan pendirian kedua, mereka yang beranggapan bahwa syari’ah adalah tugas masyarakat untuk merumuskan dan melaksanakan, dan bukanya negara, tidak merasa perlu akan adanya sebuah negara agama. Kaum muslimin yang berpikiran seperti ini sekarang merupakan mayoritas gerakan-gerakan Islam di negeri ini, sedangkan mereka yang berpegang pada pendirian pertama tadi, tetap menganggap perlu adanya sebuah negara Islam hanyalah minoritas. Pihak itu pada saat ini diwakili oleh beberpa “Partai Islam” yang berdiri di tanah air kita, lengkap dengan perbedaan-perbedaan teologis di antara mereka sendiri.

Karena kita adalah negara demokratis, dengan sendirinya haruslah dibiarkan mereka hidup di negeri ini, dan tergantung kepada rakyat sendiri untuk memilih parlemen yang memiliki pandangan pertama ataupun kedua.

Dalam pandangan penulis, garis perjuangan yang ditetapkan oleh kehidupan politik kita mengacu kepada pendirian kedua. Kekuatannya berasal dari kalangan gerakan Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan “dukungan” dari non gerakan Islam, gerakan nasionalis, golongan etnis dan beberapa golongan non-muslim, sehingga terbentuk sebuah koalisi politik yang tidak tampak dan tidak diproyeksikan oleh siapapun. “Islamisasi” terjadi tidak pada sistem kenegaraan, melainkan “kesadaran bermasyarakat”.

Karena itulah di berbagai kalangan “gerakan nasionalis” selalu didengungkan istilah ‘kaum nasionalis beragama” atau “kaum beragama yang nasionalistik”. Sebenarnya pengunaan kedua istilah tersebut sangat riskan, dan terkesan menyederhanakan bentuk-bentuk perjuangan kenegaraan yang sangat kompleks. Namun keduanya terpaksa digunakan saat ini (Karena belum dijumpai istilah-istilah yang sesuai dengan kenyataan yang ada). Ternyata, pencarian kedua istilah itu mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms