I. PENDAHULUAN
             Sejalan  dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden  Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami  pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para  menteri dan massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menunukkan  sebuah cara berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki  ciri, tujuan dan sasaran yang sama.            Dengan  bertolak dari fenomena itu, tulisan ini akan memfokuskan diri pada  proses komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan  karakter komunikasi politik yang muncul pada era Orde Reformasi yang  baru berusia tiga bulan. Selanjutnya akan dilihat sesungguhnya dalam  sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari para  pejabat yang menyampaikan kebijakannya baik melalui media massa atau  langsung. Namun sebelum itu ada baiknya kita menengok bagaimana kerangka  pemikiran ilmuwan sosial terhadap komunikasi politik ini. 
II. KERANGKA TEORITIS
            Menurut  Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi.  Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut  mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan  empat struktur komunikasi. 
            Pertama,  kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur  masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga  dan keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti  legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk  misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai  politik. Kelima, media massa.[1]
            Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan  bahwa  saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia  menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled  (1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas  kebanyakan individu.
            Mochtar  Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi politik sering  mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia  memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis  “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu  menunjukkan sebuah euphemisme. [2]
            Oleh  sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang  dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti  diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
            Kedua,  distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang  pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa  sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas  Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas  satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.” 
            Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
            Distorsi  ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam  distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa  berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila  kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. 
            Pabottinggi  memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan  orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said  (1978)  selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam  politik nasional pun, suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim  berkuasa sering dilukiskan sebagai penyeleweng, penganut aliran sesat  dan tidak memakmurkan rakyat.
            Yang  terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat  inilah yang paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi  ideologi itu rawan. Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah  bersifat distortif. Kedua, distorsi ideologi sangat lihai menggunakan  ketiga jenis distorsi lainnya.
            Kita  lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung  menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan  kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini  menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik  dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan  monopoli  politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata  menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.Mereka yang menganut  perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem  politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat. 
III. ERA ORDE BARU
            Dari  keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan  di Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih  menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang  dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada  akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di  DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
            Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
            Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3],  melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde Baru yang mencakup  didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm  iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan  atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan  ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu  komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik  pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan  merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era  reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan  pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
            Periode  kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik  dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi.  Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus  disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.  Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli politik yang  sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga  akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut  keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai  diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan  kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi  manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan  berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
            Bagaimana  komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde  Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4]  bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut  Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran  pemerintah sangat besar. Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi,  budaya dan hankam yang memaksa pemerintah mengambil peran lebih besar.  Demokrasi, dalam arti pembangunan politik, ekonomi dan sosial-budaya  sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk rakyat.  Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik  Indonesia.
            Cosmas  menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi  menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya  mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara  tapi juga berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang  dibutuhkan rakyat. Namun terlihat di sini bahwa dalam proses  timbal-balik itu monopoli bisa terjaga dan kalau bisa bahkan  dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk Orde  Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan keteraturan itu  demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat”.
            Mengapa  terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs  seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni  formalitas, overlapping dan heteroginitas.  
IV. ORDE REFORMASI
            Dengan  tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu  hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan  kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu  manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai,  sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak  pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal  partai adalah Pancasila.
            Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan  Muhammadiyah.  Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang  bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat  menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan  sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai  harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan  partainya kehadapan masyarakat.     
            Jika  pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak  isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya  menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional.  Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai  akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR  tingkat daerah atau pusat.
            Jika  kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya  tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan  konsep Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah  transisi dan wilayah perkotaan.Pemilih  di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir  sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai  kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan kadang-kadang apatis.
            Kalau  konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,  barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti  mendalami Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok  masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh  oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul  sikap-sikap yang cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin  bertentangan.
            Pakar komunikasi Dan Nimmo[5]  (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari  perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan  sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu  mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif  dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang  reaktif. Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia  miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya  mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
            Selanjutnya  Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni  pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper  yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu.  Menurut  dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter  pemilih responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa  politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi  suara.
            Kelompok  terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan  Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna  untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur  sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin  para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
            Di  sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi  kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi  bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis ideologis dan  program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan  masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde  Baru diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya  diperlukan. Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih  sepatahpun.
            Partai-partai  Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti  sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang  langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah,  bukanlah sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik  jarang digunakan dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde  Baru.
            Dalam  kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan  solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang  peranan dalam pengambilan kebijakan.
           Pabottinggi  menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung  dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya  ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu  ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga  pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam  dalam menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme,  sebagai warga Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam  paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan ummat dalam menyampaikan  pesan-pesan politik partai akan melahirkan perpecahan yang sulit  sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak memberikan  pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara  berpikirpun berhenti. 
V. PENUTUP
            Terbukanya  keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam  mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu  sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan  madu kebebasan berkumpul dan pendapat.
            Salah  satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai  berbasiskan Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan  programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun  sebagian terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasinya  membela rakyat, namun kekuatan riil mereka akan teruji benar-benar  dalam pesta demokrasi yang berlangsung Mei 1999. Wallahu’alam. 
[*]  Drs Asep Setiawan MA. Makalah ini disampaikan dalam diskusi ilmiah  Partai-partai Berbasiskan Agama: Prospek dan Tantangannya, tanggal    Agustus 1998.
CATATAN
[1] Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976, p. 167. 
[2] Mochtar Pabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalamIndonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf  dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta, Gramedia, 1993, p. 54.
[3] Jamie Mackie and Andrew MacIntyre, “Politics” dalam Indonesia’s New Order, edited by Hall Hill, Honolulu, University of Hawaii Press, 1994, p. 9.
[4] Cosmas Batubara, Komunikasi Politik dan Birokrasi di Indonesia, dalam Maswadi op.cit., p. 136.
[5] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (terj),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar