| Rabu, 17 April 2002 RAKYAT" adalah sebuah tema yang selalu ditempatkan di mulut mereka yang sedang berjuang untuk memperoleh kekuasaan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. "Rakyat" pula yang menjadi ide sentral sebuah konflik kepentingan yang kerap terjadi di atas panggung politik. Dan "Rakyat" selalu diatasnamakan sebagai justifikasi dari sebuah tindakan atau kebijakan politik. Dari dua pernyataan itu terselip sebuah ironi besar. Secara de jure, rakyat dan "obyek penderita" juga tampak seperti dua sisi dari sebuah mata uang yang sama. Masalahnya, bagaimana realitas politik melemparkan sebuah mata uang dan menangkapnya kembali untuk melihat jenis mata uang yang berlaku. Yang jelas, sebagai pemegang kedaulatan atau obyek penderita, rakyat bukan berarti suatu kepribadian yang terbelah atau ganda; tetapi cuma masalah kepada siapa rakyat mempercayakan kedaulatannya. Dan, bagaimana si mandataris itu menempatkan persepsinya pada diktum kedaulatan di tangan rakyat! Posisi abadi rakyat Bung Hatta pernah menyatakan-kira-kira-posisi yang paling abadi adalah rakyat. Ia tidak terpengaruh oleh pemerintahan yang berganti-ganti setiap saat. Sistem pemerintahan boleh berubah, entah itu berbentuk kerajaan atau republik, tetapi rakyat tetap rakyat, tidak menjadi merah, kehitaman, atau memutih. Rakyat menjadi penonton setia dari bangkit dan tersungkurnya suatu pemerintahan. Rakyat konsisten dengan jati dirinya, tetapi pihak penguasalah yang sering inkonsisten dalam menempatkan rakyat pada proporsinya. Agaknya pernyataan Bung Hatta simetris dengan apa yang dikatakan William Lippmann yang menyebutkan, rakyat adalah suatu korporasi, suatu entitas yang dapat dikatakan terus hidup, sekalipun secara individu mereka masuk dan keluar. Aneh! Padahal, secara teoritik dan normatif, rakyat sering disebut sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atau pemegang mutlak kekuasaan sebuah negeri. Atau dalam formulasi bahasa Lippmann, rakyat sebagai badan korporasi adalah pemilik sesungguhnya kekuasaan yang berdaulat. Bahkan, jika ada terminologi adil dan lalim bagi penguasa, hal itu tidak berlaku bagi rakyat. Pola take and give yang mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat sering tidak adil dan tidak sebanding dengan menempatkan rakyat pada posisi subordinat. Rakyat konsisten sebagai pihak yang mempercayakan (memberi kekuasaan) kepada penguasa. Dan kepercayaan itu sering dibalas penguasa dengan pengingkaran atau pengkhianatan; rakyat yang memberi kuasa, diingkari, dikhianati. Pengalaman kita di bawah pemerintahan Soeharto, berlaku peribahasa "air susu dibalas air tuba": air susunya dari rakyat, sementara tuba-nya tentu dari pemerintahan Soeharto. Dengan ilustrasinya yang bagus seorang De la Fayette menggambarkan batin rakyat sebagai berikut, "Ingatlah perasaan yang telah diukir kodrat manusia dalam hati setiap warga bangsa, perasaan yang menjelma menjadi kekuatan baru bila dengan khusuk diakui semua orang-suatu bangsa, jika ingin mencintai kebebasan cukup dengan mengenalnya; jika ingin merdeka, cukup dengan menghendakinya". Pribadi rakyat yang senantiasa bersahaja dan lembut ini, sering kali malah mengundang penafsiran yang bersifat meremehkan. Rakyat dan representasi kelembagaan Konon, sejak ada lembaga perwakilan seperti parlemen, maka suara rakyat sudah terwakili. Rakyat tak perlu repot-repot! Tetapi kenyataannya, rakyat harus berteriak keras hanya untuk menyampaikan suara-suara keprihatinan yang sepatutnya digodok oleh mereka yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Suara yang direspons lalu digodok itu, mestinya pada gilirannya menghasilkan suatu produk politik yang memihak kepada kepentingan rakyat. Menengok ke negeri ini, kita terus mempertanyakan kebenaran representasi kelembagaan politik, apakah sudah mencerminkan kedaulatan rakyat atau belum? Karena faktanya justru berbicara lain. Kita bisa melihat bagaimana sosok partai politik yang cenderung elitis ketimbang populis. Kita juga masih bisa menyaksikan sistem pemilu dan birokrasi yang masih mengabaikan substansi kerakyatan! Bahkan, seringkali, apa yang diagendakan, diproses, dan diproduksi lembaga perwakilan, malah sama sekali tidak menyentuh kepentingan yang menyejahterakan rakyat! Kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik dan telepon, menunjukkan adanya disparitas antara wakil rakyat dengan rakyat yang memilihnya. Produk hasil para wakil rakyat bukan untuk membuat beban rakyat menjadi ringan, tetapi malah menambah beban rakyat. Kenapa? Pertanyaan itu sedikit terjawab oleh pendapat Lippmann: bila kita bicara tentang kedaulatan rakyat, kita harus mengetahui apakah kita bicara tentang rakyat sebagai pemilih atau mengenai rakyat sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari seluruh penduduk yang ada, termasuk nenek moyang dan anak cucu mereka. Sering diasumsikan, tetapi tanpa bukti, bahwa pendapat rakyat sebagai pemilih dapat diperlakukan sebagai pernyataan kepentingan rakyat sebagai suatu masyarakat historis. Para pemilih tidak dapat begitu saja dianggap mewakili rakyat. Pendapat pemilih dalam pemilihan umum tidak diterima begitu saja sebagai pertimbangan yang benar-benar mewakili kepentingan vital masyarakat. Jadi, rakyat yang kita bicarakan di sini adalah "rakyat yang tidak terlihat" atau "rakyat yang tidak terdengar", yang hanya bisa dijaring oleh suatu bentuk demokrasi yang bersifat substantif, seperti yang disarankan Jeff Hayness. Sayang, demokrasi kita belum sampai pada tahap ini. Demokrasi di negeri ini masih bersifat formal atau paling banter menjadi demokrasi di permukaan. Dengan begitu, tampaknya masih lama lagi bagi kita untuk menyaksikan "rakyat yang tersentuh". Seyogianya, adalah tugas lembaga perwakilan sebagai salah satu lembaga politik untuk selalu konsisten dengan tujuan semua perhimpunan politik, sebagaimana diinginkan Thomas Paine, yaitu mempertahankan hak-hak kodrati manusia yang tidak bisa dihapuskan dengan undang-undang. Yang dimaksudkan di sini adalah kemerdekaan, hak milik, dan hak menentang penindasan. Selanjutnya dikatakan, suatu bangsa bukanlah suatu tubuh yang sosoknya harus digambarkan dengan tubuh manusia. Bangsa itu mirip suatu badan yang termuat dalam sebuah lingkaran yang mempunyai suatu pusat bersama tempat setiap jari-jari bertemu. Dan pusat itu dibentuk oleh perwakilan. Perwakilan itu sendiri adalah pelimpahan kekuasaan oleh bangsa, dan tidak dapat merendahkan dirinya sendiri dengan melimpahkan kekuasaan selanjutnya pada orang lain. Sistem perwakilan, lanjut Paine, menyebarkan pengetahuan sedemikian rupa ke seluruh penjuru negeri mengenai masalah pemerintahan, sehingga mengikis kebodohan dan menyingkirkan pemaksaan kehendak. Dalam sistem perwakilan, harus ada alasan jelas dan terbuka bagi masyarakat tentang segala sesuatu. Kedaulatan rakyat dan suara Tuhan Selama ini, terutama di zaman Orde Baru sampai pada kehidupan di Era Reformasi, kita sering digoda pertanyaan-pertanyaan sama, yang sayang, jawabannya hanya berupa teori di atas kertas atau retorika-retorika di masa kampanye pemilu. Mengapa pada level realitas, diktum kedaulatan rakyat (power of the people) sering dilecehkan suatu kepentingan penguasa yang cenderung terkontaminasi semangat despotisme? Padahal, bangsa kuno sudah ada yang mengungkapkan, vox populi vox dei-suara rakyat adalah suara Tuhan! Artinya, kedaulatan rakyat tidak boleh dikompromikan dengan apa dan siapa pun. Sementara, ungkapan kuno lain; salus populi suprema lex-kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi. Ungkapan ini meneguhkan, tidak ada hukum negara paling tinggi dari kemauan rakyat. Ungkapan itu mestinya disadari dan dijadikan pegangan pemimpin negeri ini, termasuk para wakil rakyat. Mereka harus sadar, sebuah produk politik yang berseberangan dengan suara atau kemauan rakyat, bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap amanat Tuhan. Negara dan sistemnya akan berhadapan dengan, sebut saja, kekuasaan Tuhan. Contoh kasus, lihat bagaimana kuatnya rezim Soeharto, bagaimana kokohnya sistem politik, bagaimanapun solidnya mesin politik yang ditungganginya (Golkar), bila nyata-nyata mengingkari kedaulatan rakyat, akhirnya menemui nasib hina, hancur berkeping-keping! Dalam skala lebih kecil, produk politik seperti kenaikan BBM, bila tidak hati-hati akan menjadi bumerang mengerikan bagi pemerintah. Karena efek kebijakan yang menaikkan BBM adalah efek bola salju, menaikkan harga berbagai jenis barang, mengakibatkan rakyat akan terpukul berkali-kali. Mengenai kecenderungan itu, Haedar Nashir menyatakan, demokrasi tidak dengan sendirinya memiliki mekanisme kontrol internal yang kokoh dalam mengimplementasikan kekuasaan power of the people secara adil dan representatif di tengah dominasi lapisan masyarakat tertentu yang mapan atas lapisan masyarakat lain yang rentan, yang dapat berubah menjadi atau memberi peluang terjadinya anarki. Bila demikian, sebenarnya di mana kedaulatan rakyat Indonesia? Sebab, dari hari ke hari, rakyat selalu menjadi obyek penderita yang pedih! Catatan akhir Karena itu, kedaulatan rakyat mensyaratkan iklim yang kondusif agar bisa menjamin terwujudnya kepentingan rakyat dalam urutan pertama pada skala prioritas sebuah pemerintahan yang populis. Itu sebabnya, menurut Dahl, ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warganegaranya. Mengabaikan keringat, darah, dan mimpi rakyat, boleh diartikan sebagai pengingkaran terhadap model sistem politik atau sistem kekuasaan apa pun yang dibangunnya dengan susah payah. Akibatnya, jangan menyesal dan tak usah dipertanyakan, bila pada gilirannya nanti bisa saja rakyat (dengan cara apa pun) akan mengambil kembali mandat kekuasaannya. Bila itu terjadi, susah dibayangkan akibatnya. SETIA PERMANA dosen di FISIP Unpas, STIA-LAN RI, dan FISIP Unpar, Bandung | |
Pages
▼
Pages
▼
Pages
▼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar