Struktur social timbul atas pengaruh tiga hal yaitu global (capital), Negara/Pemerintahan, dan modal domestic. Dengan hadirnya tiga hal tersebut menyebabkan munculnya struktur social. Struktur social terbagi atas tiga yaitu elit, kelas menengah, dan masyarakat bawah. Kelas-kelas tersebut yang menjadi standard struktur social. Pelapisan social juga didasarkan dari gabungan ekonomi, religi, dan cultural. Yang tertinggi adalah mereka yang memiliki ketiganya, baik ekonomi, religi, dan cultural. Ini yang dihadapi di desa-desa.
Dari sebuah hubungan social pasti melahirkan peristiwa social. Salah satunya adalah konflik. Konflik lahir merupakan gabungan dari ekonomi, religi, dan cultural. Konflik merupakan gejala yang melekat dalam suatu masyarakat juga disebabkan karena kelas-kelas tersebut yang juga merupakan kelompok social memiliki kepentingan yang satu sama lain bertentangan. Selain dapat disebabkan karena kesenjangan social (jika dapat dikatakan termasuk dalam hal ekonomi).
Jelas saja konflik tidak dapat dielakkan karena dalam masyarakat selalu terjadi perubahan-perubahan social. Pada akhirnya terjadi konflik kelas, konflik simbolik, dan konflik komunal. Konflik social juga terjadi di Desa Mangun Jaya Kelurahan Purwokerto Lor. Konflik lebih disebabkan karena gabungan dari ekonomi dan religi.
Berawal dari sebuah program pemerintah tentang penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan dilakukan dalam tiga bidang, yaitu social, lingkungan, dan ekonomi. Untuk bidang yang pertama dan kedua telah dilaksanakan dengan sukses. Namun, bidang yang ketiga belum dilaksanakan. Atau lebih tepatnya tidak akan dilaksanakan. Dalam hal ekonomi, bentuk programnya berupa dana pinjaman bergulir untuk usaha masyarakat setempat.
Proses pelaksanaan bidang social dan lingkungan dilakukan melalui rembug warga, sesuai dengan panduan pelaksanaan program dari pusat. Namun, tidak begitu dengan program ekonomi. Pelaksanaan program ekonomi diputuskan untuk tidak dilaksanakan. Keputusan bukanlah hasil rembug warga tapi berdasar penilaian individu (jajaran RT) terhadap warga yang akan menerima bantuan dana bergulir tersebut. Penilaian elit itu berupa ketidakpercayaan pada kembalinya dana pinjaman bergulir tersebut. Hal ini membuat konflik antara masyarakat bawah dan elit.
Kepentingan masyarakat bawah untuk mendapatkan dana usaha terhambat karena kepentingan lain dari si elit. Struktur social yang menempatkan si elit pada kelas tertinggi (karena ekonomi dan religi) menjadikan keputusan yang sebelumnya keputusan sepihak “dianggapnya” menjadi keputusan bersama. Hal itu terjadi karena kewenangan dan kekuasaanya. Begitupan juga dengan elit yang lain menyetujui pendapat tersebut karena melihat kelasnya. Masyarakat bawah tidak dapat berbuat apa-apa karena adanya paksaan dari kelas dominan dalam masyarakat. Terlebih symbol religi telah melekat pada elit tersebut. Dimana symbol ini menjadi penguatan atas posisi tawar elit dalam masyarakat. Pada masyarakat desa umumnya, gelar haji sangatlah dihormati.
Melihat contoh di atas mengenai pengaruh yang begitu besar oleh elit, mengingatkan pada pendapat Weber bahwa sumber pengaruh kekuasaan adalah orang yang mempunyai kekuasaan tersebut. Sekaligus elit memiliki kewenangan untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu rencana program. Dengan hak perintah yang didapat karena kewenangan yang dimiliki, maka dominasi terjadi.
Dalam buku himpunan teori-teori politik dijelaskan bahwa konflik terjadi dalam masyarakat karena distribusi kewenangan yang tak merata, sehingga bertambah kewenangan pada suatu pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan pihak lain.oleh sebab itu konflik merupakan gekala yang melekat di masyarakat. Yang dapat dilakukab nasyarakat adalah mengatur konflik itu agar konflik yang terjadi tidak berlangsung secara kekerasan. Begitu pula di desa Mangun Jaya ini, konflik social yang terjadi tidak dalam bentuk kekerasan.
Referensi :
Surbakti, Ramlan. Himpunan Teori-Teori Politik. Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar