Pemilu  yang di selenggarakan pada tahun 1999 di ikuti oleh sekitar 48 partai  politik dan pemilu ini di laim sebagai pemilu paling demokratis dalam  sejarah pemilu di indonesia 
Munculnya  Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998  membawa implikasi pada munculnya partai-partai dengan aliran politik  masing-masing, termasuk partai agama
Masa Jeda Demokrasi (1955-1971)
Oleh Us Tiarsa R.
Oleh Us Tiarsa R.
SELEPAS  Pemilu 1955 para politisi Indonesia menaruh harapan besar, Indonesia  akan menjadi negara demokrasi yang liberalistik. Pemilu dengan sistem  multi-partai dan dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, aman, dan  tertib merupakan titik awal kebebasan berpolitik. Ada  keinginan sebagian masyarakat pada perjalanan demokrasi itu terjadi  sublimasi kepartaian. Dari multi-partai tanpa batas ke multi-partai  terbatas. 
Keinginan  itu muncul dari rasa khawatir sebagian masyarakat, terutama kaum  birokrat. Mereka berasumsi sistem multi-partai hanya akan melebarkan  jurang ketidaksepahaman. Akibatnya bangsa Indonesia akan terus didera  konflik internal. Padahal kita membutuhkan kekompakan. Sebagai negara  yang baru saja merdeka (lima tahun setelah penyerahan kedaulatan) akan  mengalami kehancuran bila belum apa-apa sudah terjadi konflik politik.
Kenyataannya  memang demikian, paling tidak menurut kacamata pemerintah. Konstituante  hasil Pemilu 1955 selama empat tahun tidak menghasilkan apa-apa.  Pemerintah, dalam hal ini Presiden Soekarno, mengecam kinerja  Konstituante yang dinilainya sangat lamban akibat perbedaan yang sangat  tajam antar-anggota dan antar-fraksi. Karena itu Konstituante harus  dibubarkan. 
Dekrit  Presiden 1959 tentang pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945,  membuyarkan semua harapan kaum politisi. Menurut para anggota  Konstituante, Dekrit Presiden merupakan senjata pamungkas pemerintah  yang tanpa ampun menghancurkan sendi-sendi demokrasi dan merupakan titik  balik dari perjuangan menegakkan demokrasi liberalistik di Indonesia. 
Pendapat  yang berlawanan dengan Dekrit Presiden itu tetap tumbuh menjadi  kekuatan politik yang laten. Namun sebagian besar rakyat menyambut baik  keputusan Bung Karno itu. Lahan untuk tumbuhnya paham demokrasi  sosialistik menjadi terbuka lebar. Perlawanan terhadap liberalisme  semakin kuat. Apalagi setelah adanya pencanangan "Perang terhadap  Amerika dan Sekutunya". Arah politik pemerintahan Indonesia semakin  jelas menuju ke arah sosialisme. Kaum politisi yang mengusung paham  liberalisme semakin tersingkir bahkan banyak pemimpinnya yang dikucilkan
Penyelenggaraan  pemerintahan negara yang baik (good governance) menjadi agenda utama di  Indonesia dewasa ini. Menarik bahwa penentuan agenda ini didahului oleh  krisis finansial (1997) yang meluas menjadi krisis ekonomi. Krisis  tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang menuntut perbaikan  ekonomi negara, penciptaan good corporate governance di sektor swasta,  dan perbaikan pemerintahan negara.
Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.
Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika governance menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir dituntut meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan negara.
Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat dihindari. Berbagai faktor telah menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive constitution, yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an tahun terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini telah didukung secara sistematis melalui peran birokrasi yang tidak netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada Golkar, sistem kepartaian dominan (dominant party system), dan militer.
Dengan pemerintahan negara yang elitis, sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan dibungkam, pemerintah memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi. Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh hutang luar negeri. Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah tersebut juga merambah ke dunia usaha dan menghasilkan pengusaha pemburu rente (rent-seekers).
Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai strategi pencapaiannya.
Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.
Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.
Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika governance menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir dituntut meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan negara.
Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat dihindari. Berbagai faktor telah menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive constitution, yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an tahun terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini telah didukung secara sistematis melalui peran birokrasi yang tidak netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada Golkar, sistem kepartaian dominan (dominant party system), dan militer.
Dengan pemerintahan negara yang elitis, sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan dibungkam, pemerintah memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi. Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh hutang luar negeri. Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah tersebut juga merambah ke dunia usaha dan menghasilkan pengusaha pemburu rente (rent-seekers).
Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai strategi pencapaiannya.
Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.
Sistem multi partai
Salah  satu "hasil" reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan  berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai (multi  partai) dengan berbagai asas dan ciri. Undang-undang kepartaian telah  membolehkan berdirinya partai dengan berbagai asas dan ciri dengan tetap  harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai  baru pun bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai  kesempatan untuk mempropagandakan "ide-ide" dan "program-program  mereka". Ratusan partai telah berdiri dan berusaha mendaftarkan diri ke  Departemen kehakiman untuk mendapatkan pengesahan. Tak ketinggalan media  massa sebagai "alat pengarah dan penggiring massa" mengikuti gejala  pluralitas partai itu pun dengan masing-masing menekankan dan  menonjolkan partai atau tokoh partai yang cenderung didukungnya. 
Partai-partai  yang begitu banyak dan masing-masing memiliki kepentingan sendiri Namun  yang jelas, target partai-partai yang ada, apapun asas ciri dan warna  partai itu, termasuk dalam hal ini partai-partai yang mengaku berasaskan  Islam atau berbasis umat Islam, jelas adalah mendapatkan suara dan  kekuasaan dalam pemilu mendatang untuk nantinya menyusun pemerintahan  yang mendapatkan legitimasi. Partai apapun yang menang, sekalipun asas  dan cirinya mengarah kekiri-kirian, partai itu akan dianggap layak  memerintah. Sekalipun partai itu adalah partai yang menyerukan kepada  ide-ide sekularisme dan gaya hidup kebebasan, jika mendapat suara  terbanyak, pemerintahan partai itu harus ditaati. Itulah realitas  multipartai yang ada dalam sistem demokrasi. 
Dalam  kerangka inilah pertarungan antar partai atau lebih tepatnya  kepentingan politik partai akan semakin seru. Ya mereka akan bertarung  untuk menjadi penguasa atau oposisi. Namun semua berada dalam platform  politik demokrasi. Dan siapapun akan dikeluar- kan dari pertarungan itu  ataupun kemenang- annya bakal dianulir manakala dianggap mengancam platform  demokrasi itu. Yang menjadi pertanyaan kita, bagaimana pandangan Islam  tentang pluralisme dan multipartai dalam pengertian demokrasi? Bagaimana  pula pandangan Islam tentang partai? Adakah multipartai dalam  perspektif Islam? Tulisan ini mencoba mengungkapkannya.
PAK HARTO
Pak  Harto yang dikukuhkan MPRS sebagai Presiden RI Kedua, Maret 1968,  menyelenggarakan Pemilu tahun 1971, Pemilu kedua setelah absen selama 15  tahun. Di dalam Pemilu tersebut, Golkar yang menghimpun 200 organisasi  karya, memperoleh 227 kursi, NU 58 kursi, Parmusi 24 kursi, PNI 20  kursi. Sedangkan Parkindo, Partai Katolik dan Partai Murba mendapat sisa  dari seluruh 360 kursi yang diperebutkan sembilan Parpol dan Golkar.  ABRI mendapat alokasi 100 kursi di luar Pemilu, sehingga keseluruhan  kursi DPR menjadi 460.
Sebelum memasuki Pemilu 1977, pemerintahan Pak Harto melakukan pembenahan partai-partai politik lewat UU Parpol. Sembilan partai pada Pemilu 1971, menyusut menjadi hanya tiga kekuatan politik—PPP, PDI dan Golkar. PPP merupakan fusi dari partai-partai Islam, sedangkan PDI fusi dari partai-partai nasionalis dan agama non-Islam. Pemilu 1977 diikuti oleh PPP, PDI dan Golkar.
Maka sejak itu, sampai Pemilu 1997, hanya tiga kekuatan politik tersebut yang berhak mengikuti Pemilu. Dalam Pemilu lima tahunan, Golkar selalu unggul sebagai peraih kursi terbanyak, dan ABRI tetap mendapat jatah 100 kursi, kecuali di dalam DPR hasil Pemilu 1997, tinggal 75 kursi.
Setelah Pak Harto meletakkan jabatan 21 Mei 1998, pemerintahan Presiden B.J. Habibie menyelenggarakan Pemilu tahun 1999. Indonesia kembali menganut demokrasi multi partai. Partai-partai politik tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Demikian juga pada Pemilu legislatif tahun 2004 di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun ada perubahan penting di dalam sistem politik Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh menjabat dua kali masa jabatan. Dan perubahan paling spektakuler, Presiden dan Wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan pada era pemerintahan Pak Harto, Pak Habibie dan Gus Dur, MPR-lah yang berhak mengangkat dan memberhentikan keduanya. ►mti/sh, diolah dari berbagai sumber.
Peran Habibie
Melihat  gejala anti partai Soekarno ini, sejumlah tokoh partai, mulai khawatir  dan mengajukan protes. Salah seroang diantaranya adalah  Mr.Mohammad  Natsir, Ketua Umum Masyumi, salah satu partai Islam terbesar ketika  itu. Ia berkata, jika mimpi Soekarno benar-benar menjadi kenyataan untuk  mengubur partai-partai, maka demokrasipun ikut terkubur, dan diktator  akan berdiri di atasnya. Karena itu, ia mengingatkan semua pihak bahwa  demokrasi itu adalah satu sistem yang sulit,  lebih sulit  dari  sistem yang lain. Tetapi kita harus berani menghadapi  kesulitan-kesulitan itu. . Kalau tidak awas, memang demokrasi itu  mungkin meluncur ke arah anarki. Ini diucapkan Moh.Natsir pada HUT  Masyumi 7 November l956.  Sumber kekeruhan saat  itu menurut Moh.Natsir , hanya karena melunturnya idealisme , kaburnya  nilai-nilai moral , nilai keadilan dan objektivitas. Karenanya dalam  berpolitik, kita harus memegang teguh ajaran agama sebagai sumber nilai  hidup dan ukuran moral. Dengan nada keras Moh.Natsir berkata : Kita  tidak mau adanya demokrasi yang liar dan centang perentang yang hanya  akan menimbulkan chaos. Tidak hanya Moh.Natsir yang memberikan reaksi  keras atas rencana Soekarno mengubur partai-partai, tetapi juga tokoh  seperti Burhanuddin Harahap. Moh.Roem dan lain-lain.
Inilah sejarah  perdebatan  pertama yang muncul antartokoh, tentang kehidupan sistem multi partai  di Indonesia. Setelah itu, Soekarno memang berhasil menguburkan  partai-partai dan mempraktekkan sistem "demokrasi terpimpin". Penguasa  berikutnya, melanjutkan tradisi ini dengan melakukan "penyederhanaan  partai" dan mengukuhkan  Golkar sebagai "partai pemerintah".  Masa reformasi selama kurang lebih lima  tahun  ini, telah memberikan kembali hak munculnya sistem multi partai.  Sejarah berulang, rakyat mulai skeptis dengan sistem multi partai yang  menurut  teori partai adalah pilar menuju demokrasi yang sebenarnya. Pemilihan  Kepala Daerah secara langsung yang juga menerapkan praktik demokrasi,  kini malah berubah menjadi "demokrasi centang perentang", "demokrasi  yang menimbulkan anarki dan chaos", seperti, kekhawatiran Moh.Natsir .  Jadi apa yang salah dalam "demokrasi kita ?" 
Salah satu kelemahan  utama  partai  politik setelah masa reformasi, karena tidak pernah berperan  sebagaimana fungsinya sebagai partai . Partai politik hanya semata-mata  muncul kurang lebih menjadi "broker" bagi para elite partai atau siapa  saja untuk menaiki tangga kekuasaan. Hal ini, bisa terjadi karena  kesalahan  lahir. Ketika Soeharto "lengser  keprabon" dan menyerahkan jabatannya kepada Wapres B.J.Habibie, sesuai  ketentuan UUD 45, sejumlah tokoh, termasuk tokoh partai  mendatangi  Presiden B.J.Habibie dan mendesaknya menyelenggarakan pemilu dalam  waktu paling lama tiga bulan. Untung Pak Habibie menolaknya dan berkata,  jika tanpa  UU politik yang baru  merubah  sistem keparataian, maka yang akan berkuasa kembali adalah kekuatan  politik lama yakni Golkar, karena orpol inilah yang sekarang memiliki  infrastruktur partai yang kuat. Kita perlu waktu minimal persiapan satu  tahun, kata B.J.Habibie. Ada diantara tokoh ini katanya pulang sambil  bersungut-sungut. 
Kemudian  ketika muncul UU politik baru yang memberi kebebasan berdirinya partai  baru, rata-rata partai yang berdiri orientasinya hanya kekuasaan.  Bagaimana dengan segera mengganti presiden yang dikatakannya "transisi"  dan "statusquo", kemudian menduduki kursi kepresidenan dan membagi-bagi  jabatan  menteri-menteri. Mereka mendirikan partai  untuk memenuihi syarat administratif saja, "platform" partai yang  muluk-muluk hanya selesai di atas kertas. Terkabul, ketika para pimpinan  partai itu akhirnya bisa berkuasa dan menduduki jabatan penting, maka  selesailah tugas partai itu. 
Rata-rata  partai  tidak melakukan lagi konsolidasi internal yang ketat. Perhatikan, jika  ada muktamar, kongres, maka yang menonjol sampai sekarang hanya  perebutan jadi pimpinan partai, bahkan kalau perlu lahir pengurus  kembar. Jarang partai yang  melakukan fungsi pendidikan politik pada kader - jika tokh  memiliki kader - . Tidak ada "political sosialization", atau memelihara  konsensus dalam masyarakat mengenai program dan  cita-cita  partai yang mungkin sedang berkuasa. Bandingkan partai-partai yang  didirikan sebelum pemilu 1955. Partai-partai dibentuk dengan kohesi  berbagai ideologi dan agama  yang jelas dan solid, seperti islam, nasionalis, sosialis, komunis, katholik, kristen  serta dipimpin oleh tokoh yang kharsimatik yang sudah malang melintang dalam gerakan politik sebelum Indonesia merdeka. 
Sekarang, kegiatan partai  yang menonjol dan sangat dominan, hanyalah fungsi partai sebagai "mobilization of voters", baik  menghadapi pemilu nasional yang lalu  maupun  dalam pilkada gubernur dan kepala daerah. Ini setali tiga uang, urusan  kekuasaan lagi. Dalam pilkada, bahkan partai seperti kehilangan  inisiatif. Yang muncul pertama kali adalah inisiatif para calon, partai  kemudian dikendalikan oleh para calon yang punya uang dan punya  kharisma. Partai hanya memberikan stempel dan legitimasi yang  bukan  tidak mungkin melalui tawar-menawar materi. Itulah sebabnya banyak  muncul calon ganda dari satu partai, atau calon yang sebenarnya tidak  terpuji dalam masyarakat, melenggang jadi calon. 
Akhirnya-akhir  ini , Pengurus Pusat Partai mungkin menyadarinya, Amin Rais dan PAN,  Megawati dari PDIP, Jusuf Kalla dari Golkar, mengadakan kampanye  mendukung calon partai yang maju dalam pilkada Gubernur dan Bupati.  Tindakan ini sebenarnya hanya seperti tindakan "penyelamatan muka".  Pertimbangannya ;  daripada ditinggalkan oleh DPD,  sekalian didukung saja calon DPD itu , supaya tetap ada "grip" pusat di  DPD . Padahal tanpa hal tersebut, para calon dan DPD akan jalan terus.  Jelas di sini tidak ada ": political recruitment" internal dalam partai  dari pusat sampai daerah. Partai tidak pernah melakukan pemilihan dan  pengerahan calon yang betul-betul sesuai aspirasi partai, loyal dan  handal. Para calon partai dalam pilkada, hanya calon yang datang karena  merasa punya uang, atau mereka sudah terlanjur punya akses yang kuat  dalam partai; bupati yang bertahan, ketua DPD dan karena nepotisme  pimpinan DPD. Jika toh ada konvensi partai, hanya dilakukan asal-asalan,  tanpa kreteria dan sosialisasi yang cukup. Singkat kata, calon dan  pengurus partai seperti jika hanya "ketemu di jalan", dua orang  kebetulan bertemu di pasar, katakanlah antara seorang penjual dan  seorang pembeli . Karena itu, jika  demokrasi kita sekarang ini hanya mengandalkan partai sebagai satu-satunya katalisator demokrasi, resikonya  demokrasi kita menjadi  "demokrasi centang perentang", dan tidak lebih hanya sebuah "demokrasi pasar". 
Walaupun  perhitungan suara PEMILU 2004 belum tuntas tetapi untuk sementara dapat  dilihat kenyataan bahwa tidak akan ada satu partai politik pun akan  keluar sebagai pemenang yang dominan menguasai suara mayoritas + 147  juta pemilih Pemilu legislatif ini. Untuk pemilihan presiden nanti  hasilnya tidak akan beda jauh. Lain dari sistem politik Anglo saxon yang  biasanya di dominasi 2 partai politik kuat sehingga yang kalah akan  menjadi oposisi untuk mengimbangi partai berkuasa (ruling party),  Indonesia sebaliknya menganut sistem multi partai. Konsekuensi dari  sistem politik ini adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat yang  didukung parlemen diperlukan koalisi partai politik yang mempunyai  platform yang sama. Setelah kejatuhan Soeharto sangat dirasakan betapa  Indonesia memerlukan pemerintahan yang kuat, tetapi sistem multi partai  tidak membuka kesempatan untuk suatu partai mendominasi hasil Pemilu,  sebagai konsekuensi logis dari keadaan ini tidak lain harus ada koalisi  partai-partai politik yang mempunyai platform yang sama. Secara  tradisi partai-partai politik di Indonesia sejak Pemilu pertama 1955  terdiri dari partai politik dengan platform nasionalis, agama dan  sosialis. 
Praktek  money politics malahan menjadi duri dalam daging dalam Pemilu 2004 dan  sangat memalukan karena ditengah tuntutan memerangi korupsi dan  pembentukan pemerintahan yang efisien dan kuat yang menjadi isu paling  panas bagi rakyat Indonesia ada saja partai politik yang mengotori  Pemilu 2004 dengan money politics dan menawarkan, katanya paradigma  baru, padahal adalah produk lama tetapi kemasan baru, alih-alih sama  saja bohongnya dengan janji-janji Pemilu sebelumnya. Produknya lama  tetapi bohongnya baru. Malahan ada partai yang menawarkan untuk tetap  setia menjadi pengikut Soeharto, suatu tawaran yang tidak logis dan  menghina intelegensia rakyat Indonesia. Sebagaimana telah diulas di  atas, rakyat semakin rasional dalam memilih partai dan pemimpin, yang  direfleksikan dalam keberanian berpindah memilih partai yang  mengecewakannya yang merupakan angin segar dalam proses demokratisasi di  Indonesia. Keberanian berpindah pilihan (swing voters) akan berdampak  positif bagi kehidupan demokrasi karena para pemimpin kedepan tidak  berani seenaknya mempermainkan komitmen kepada rakyat dengan janji janji  kosong, karena akibatnya akan dihukum dalam Pemilu berikutnya. Semoga  dalam panggung politik akan terjadi persaingan ketat para pemimpin dan  politisi untuk memenuhi janji dan memperjuangkan nasib rakyat.
Berbicara tentang partai oposisi (the party in opposition) tidak bisa lepas dari kultur-sistem politik, terutama sistem-kultur kepartaian (party-system) yang  dianut (berlaku) di suatu negara. Yang hakiki dalam adanya partai  oposisi, adalah adanya pengakuan bahwa tidak ada manusia yang sempurna.  Terutama tentang power (kekuasaan) yang melibatkan nasib bangsa (masyarakat), itu perlu kultur-sistem checks & balances. "Power tends to corrupt -- absolute power corrupts absolutely", kata Lord Acton. "History is past politics -- present politics future history", kata  Sir John Seely. Ada dua kemungkinan kepemimpinan politik dalam sistem  politik yang tidak mengakui (mengenal) adanya partai oposisi; "Ratu  Adil", atau diktator-tiran! Checks & balances, itulah salah satu substansi demokrasi modern.
Adanya partai oposisi melekat kuat dengan sistem dua partai (two-party system) dan sistem banyak partai (multi-party system), bukan dengan "sistem satu partai" ("one party system") yang contradictio in terminis dan otoriter-totaliter. Kedua sistem dua partai dan sistem banyak partai sama-sama mensyaratkan adanya partai oposisi (the party in opposition)  secara jelas dan tegas serta lugas, kalau tidak begitu maka pada  hakikatnya sama saja dengan "sistem satu partai" meskipun bisa saja  terdapat jumlah (struktur, format) lebih dari adanya hanya satu partai. 
Dalam  demokrasi semu bisa terjadi, formalnya berlaku sistem banyak partai  tapi faktual-aktualnya berlaku "sistem satu partai" tanpa adanya checks & balances.  Adanya partai oposisi di negara-negara demokratis-modern bukan hanya  lumrah tapi harus; oposisi adalah bagian dari paritisipasi, tidak ada  partisipasi berarti tidak ada demokrasi! Tugas partai oposisi tidak  kalah penting dibanding dengan tugas partai pemerintah (the party in power). 
Contoh-contoh  di Inggris, Kanada, Australia ketua partai oposisi merupakan jabatan  yang penting dan terhormat serta diberi uang kehormatan oleh negara.  Menjalankan tugas oposisi tidak sama dengan secara membabibuta (hantam  kromo) melakukan sabotase dan/atau subversi. Oposisi politik ada aturan  mainnya (bukan teror politik!). Beroposisi politik berarti secara  lugas-jelas-tegas melakukan kontrol, koreksi, kritik terhadap pemerintah  demi kepentingan publik. 
Baik  partai pemerintah maupun partai oposisi sama-sama adalah partai politik  yang legal, yang eksistensi-fungsinya sama-sama dijamin undang-undang  dan kebiasaan (konvensi-tradisi) politik negeri. Rezim yang menutup  pintu untuk adanya partai oposisi, bisa berarti membuka jendela untuk  adanya konspirasi (komplotan), rebelli, putsch, coup d'etat, dan bahkan revolusi. Hakikat manusia dan kebebasan, selalu mencari celah untuk bebas (bukan liar!). 
Dalam rezim otoriter-totaliter yang mempraktikkan "sistem partai tunggal" (dengan segala modifikasinya), pergantian penguasa (the ruling elite)  biasa dilakukan dengan perebutan kekuasaan yang penuh rahasia dan  sering kali keras dan bahkan ganas. Ketertutupan mengundang  ketertutupan, kekerasan mengundang kekerasan, pengkhianatan mengundang  pengkhianatan!
Logika  dan etika politik yang berlaku di negara-negara modern demokratis;  sistem mekanisme demokrasi dikatakan jalan, hanya kalau masing-masing  partai politk (berdasarkan undang-undang dan aturan main) dimungkinkan  (berdasarkan pilihan rakyat) utuk secara bergantian menjadi partai  pemerintah. Maka karakteristik dari sistem banyak partai adalah: (1)  terdapat jumlah (struktur) lebih dari dua partai politik, (2) praktik  politik "dagang sapi" di kalangan partai-partai politik dalam proses  pembentukan kabinet, (3) watak perwakilan (representasi) dalam tubuh  kabinet, kabinet koalisi atau kabinet yang terdiri dari blok-blok partai  politik yang berkoalisi, (4) kekuatan politik yang terbagi (shared-partial power) dalam tubuh kabinet, (5) kabinet labil, sewaktu-waktu terancam perpecahan dari dalam tubuhnya sendiri. 
Negara-negara di Eropa barat merupakan kawasan utama dari sistem banyak partai, dengan ideologi partai sebagai landasannya.
Karakteristik  dari sistem dua partai adalah: (1) kesederhanaan, (2) kejelasan, (3)  kebebasan, (4) kesempatan, (5) kegunaan demi kepentingan publik. Sistem  dua partai yang berlaku di Amerika Serikat dan Britania Raya sebetulnya  tidak persis sama: Amerika Serikat menganut sistem kabinet presidensial,  sedangkan Britania Raya mempraktikkan sistem kabinet parlementer  (demokrasi parlementer). 
Dua  besar partai politik di Amerika Serikat adalah Partai Demokrat dan  Partai Republik, sedangkan di Britania Raya adalah Partai Konservatif  dan Partai Buruh (belakangan berdiri lagi Partai Liberal). Di Amerika  Serikat, partai politik yang memenangkan kursi kepresidenan (eksekutif)  belum tentu menguasai (mayoritas) dalam Congress (legislatif). Di  Britania Raya, pimpinan mayoritas dalam parlemen (legislatif) otomatis  merebut kursi perdana menteri (Primer Minister, Downing Street No. 10, London).
Begitulah  sekilas saja tentang reformasi dan oposisi secara lugas, dengan harapan  lebih mencerahkan dan mencerdaskan wawasan politik masyarakat umum.  Sedangkan di Indonesia sendiri sejauh ini, masih juuga belum nyambung (unmatched) antara  sistem konstitusional (UUD 1945) yang menganut sistem kabinet  presidensial (yang cocok dengan sistem dua besar) dengan warisan kultur  praktik kepartaian yang justru ultra multi partai. Jangan  skeptis-pesimistis, sejarah masih panjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar