Pages

Pages

Pages

Jumat, 03 Juni 2011

FILSAFAT POLITIK ERA KONTRAK SOSIAL: THOMAS HOBBES, JOHN LOCKE, ZAMAN PENCERAHAN, DAN J.J. ROSSEAU

FILSAFAT POLITIK ERA KONTRAK SOSIAL:
THOMAS HOBBES, JOHN LOCKE, ZAMAN PENCERAHAN, DAN J.J. ROSSEAU
A. THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Sejak lahir sampai akhir hidupnya, terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi antara raja dengan dewan rakyat terjadi tanpa henti-hentinya. Kekerasan kekejaman, dendam dan ketakutan akibat peperangan agama dan perang sipil di Inggris mewarnai kehidupan Thomas Hobbes. Riwayat kehidupan Thomas Hobbes, seperti, melukiskan dirinya sebagai saudara kembar rasa ketakutan. Thomas Hobbes dilahirkan dalam kondisi premature. Dengan rasa ketakutan semakin dekatnya Armada Spanyol ke kawasan Inggris, begitu mencekam perasaan ibunya. Ketakutan mencekam itulah yang memaksa Thomas Hobbes lahir ke dunia. Pada waktu ia lahir, Ratu Elisabeth I Sedang sibuk menaklutkan kelompok agama Katolik
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.
Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka.
Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Untuk terselenggaranya perdamaian maka menurut Thomas Hobbes, manusia-manusia itu lalu mengadakan perjanjian, yang disebut perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu masyarakat yang selanjutnya negara, di mana setiap orang dalam negara itu dapat bekerja untuk memiliki sesuatu dan tidak selalu terancam jiwanya.
Menurut Thomas Hobbes perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau kemerdekaannya kepada raja. Jadi, tidak melalui masyarakat. Raja berada di luar perjanjian, jadi tidak merupakan pihak dalam perjanijian itu dan mempunyai kekuasaan yang absolute. Sedangkan sebab adanya perjanjian itu sendiri adalah rasa takut yang ada pada tiap-tiap manusia bahwa keselamatannya selalu terancam. Jadi, pengikatnya adalah nasib. (Soehino, 2005:100)
B. JOHN LOCKE
Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota “Royal Society.” Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton. Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih gelar sarjana muda di bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.
Locke menyandarkan kewajiban politik pada kontrak sosial. Ia memulai risalahnya tentang filsafat politik dengan menempatkan keadaan alamiah asli yang ia sebut sebagai komunitas umat manusia alamiah yang besar. Kondisi ini, demikian ia menggambarkannya, adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akal tetapi tanpa otoritas politik. Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, ia bukan keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidak beradab, tetapi masyarakat anarki yang beradab dan rasional.
Locke mengakui perlunya beberapa aturan hukum lain selain yang ada bersifat moral karena “hukum alam, sebagaimana hukum-hukum lain yang mengatur manusia di atas bumi, akan sia-sia jika tidak ada orang dalam keadaan alamiah yang mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan hukum tersebut, dan juga untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah serta mencegah orang-orang yang ingin menyerang.
Dalam sistem sosial yang tergantung pada pelaksanaan sendiri dan hukum alam tersebut terdapat beberapa cacat, seperti pertama terdapat kebutuhan akan pelaksanaan hukum yang mapan, diketahui, yang diterima dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi standar benar dan salah, dan tindakan bersama untuk memutuskan semua pertentangtan di antara mereka; dan kedua, terterdapat kebutuhan akan hakim yang dikenal dan adil dengan otoritas memutuskan semua perselisihan menurut hukum yang baku. Di bawah kondisi seperti ini upaya manusia untuk menikmati hak pribadi dan hak miliknya menjadi tidak pasti dan tidak aman. Meskipun mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam keadaan alamiah, berbagai kekurangan dari kondisi tersebut mendorong manusia untuk bersatu dalam masyarakat politik.
Menurut John Locke, untuk menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia, manusia lau menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat yang selanjutnya negara. Dalam perjanjian itu, orang-orang menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seorang penguasa, dan kepada penguasa ini kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia tadi. Tetapi di dalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas. Yang membatasi adalah hak-hak asasi tersebut. Artinya, di dalam menjalankan kekuasaannya itu penguasa tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia. (Soehino, 2005:108)
John Locke menjelaskan bahwa memang ada kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa dalam mengelola perihal kenegaraan dan kewargaan. Untuk menjalankan hal taresebut, maka negara pantas memiliki kekuasaan besar. Tetapi kekuasaan itu ada batasnya. Batasannya menurut John Locke adalah hak alamiah manusia yang melekat semenjak manusia itu lahir. Di antaranya adalah hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan, hingga hak atas milik pribadi. (Leo Agustino, 2008:37).
Locke melanjutkan, pemisahan kekuasaan harus dillakukan ke dalam tiga institusi besar, yakni: (i) lembaga legislatif, lembaga yang merumuskan berbagai kebijakan; (ii) lembaga eksekutif, sebagai lembaga yang mengimplementasikan atau menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh parlemen; dan (iii) lembaga federative, sebagai wujud adanya interaksi hubungan negara lain. Sistem yang ditawarkan Locke kemudian dikenal dengan istilah Monarki Konstitusional atau Monarki Parlementer.
Beberapa sifat dari kontrak sosial Locke perlu dicatat, yaitu:
Pertama, prinsip yang mengerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Orang-orang tidak lari dari kesulitan hidup dengan mencari perlindungan di balik kekuatan semua penguasa yang kuat.
Kedua, individu tidak meneyrahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi hanya hak untuk melaksanakan hukum alam.
Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu. Locke mendaftar empat pembatasan khusus dari kekuasaan legislatif: (1) ia wajib mengikuti hukum alam yang “menjadi hukum abadi bagi semua orang, baik pembuat hukum atau orang lain; (2) Ia harus bertindak sesuai dengan hukum dan tidak boleh sewenang-wenang; (3) Ia tidak bisa menetapkan pajak terhadap harta milik rakyat tanpa persetujuan mereka; dan (4) Ia tidak mendelegasikan kekuasaan membuat hukum kepada pihak lain. pembatasan yang ditempatkan oleh Locke ini menunjukkan betapa kayanya gudang ide yang dikemukakannya bagi pemikiran politik Amerika. (http://seedhieqz.wordpress.com/2010/02/02/pemikiran-politik-zaman-pencerahan-dan-reformasi-antara-hobbes-dan-locke/)
Locke yakin bahwa perlindungan milik adalah tugas pokok, jika bukan satu-satunya, dari negara. Locke menjelaskan bahwa ketika ia menggunakan istilah properly (milik) yang ia maksudkan adalah “kehidupan, kebebasan dan estate”. Namun demikian, ia menempatkan hak milik pada tanah dan barang-barang pada kedudukan tertinggi di antara hak-hak prerogatif lainnya
Locke berpendapat bahwa pemerintahan sipil tidak perlu jika tidak karena adanya gangguan alamiah – gangguan yang menghalangi manusia dalam menikmati gak dan miliknya. Jadi, tugas dan fungsi negara adalah kekuasaan yang terorganisir untuk menjamin keteraturan dan menyelesaikan perselisihan. Pemerintah juga turut wajib untuk melindungi milik, menjaga keteraturan menyediakan lingkungan yang aman di mana individu-individu bisa mencapai tujuan mereka dengan bebas.
Sebagaimana yang dinyatakan Locke, jika kekuasaan sipil dibatasi oleh hukum alam, hasil logis dan akhir dari filsafat politiknya pasti tergantung pada pemahamannya terhadap watak hukum ini. Locke berpendirian bahwa terdapat ketentuan moral tertentu yang ditetapkan oleh Tuhan yang bersifat valid, terlepas apakah ia diketahui oleh pemerintah atau tidak. Pendekatan Locke terhadap pengetahuan manusia, lebih khususnya pada kemampuan manusia untuk mengetahui hukum moral, sangat dibatasi. Empirisme Locke yang kaku menyebabkan menolak setiap habitus prinsip-prinsip moral dalam diri manusia dan menolak bahwa hukum alam bisa diketahui dan kecenderungan alamiahmanusia pada kebenaran dan kebajikan.
C. ERA ZAMAN PENCERAHAN
Abad Pencerahan (Age of Enlightenment dalam literatur berbahasa Inggris) adalah suatu masa di sekitar abad ke-18 di Eropa yang diketahui memiliki semangat revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional. Bertolak dari pemikirian ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya diskusi-diskusi dan pemikiran ilmiah. Semangat ini kemudian ditularkan pula kepada koloni-koloni Bangsa Eropa di Asia, termasuk Indonesia. Contoh nyatanya adalah pendirian Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum Gajah), suatu perhimpunan untuk menelaah ditinjau dari riset-riset ilmiah.
Zaman pencerahan di Eropa pada abad ke 18 sering dikaitkan dengan kemodernan Eropa, baik pemikiran maupun institusi politik dan sosial. Sebagai contoh, Revolusi Perancis yang tercetus pada 1789, dikatakan, sebagai pengaruh filsafat pencerahan, termasuk para filsof perancis, seperti Voltire, Holbach, D’Alembert dan lainnya. Dimana perubahan pemikiran telah membawa kepada perubahan sosial dan institusional yang kemudian membawa eropa pada era modern.
Menurut Immanuel Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.
Perlu kita ketahui bahwa perubahan tersebut tidak terjadi dengan serta-merta, melainkan didahului oleh beberapa rentetan peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain, seperti zaman Renaissance dan gerakan Reformation di abad 16, juga Revolution of Science di abad ke 17. Rentetan atau rangkaian proses ini, kemudian disebut “Rationalization” oleh Max Weber. Rationalization terlihat pada adanya reinterpretasi agama katolik, rasionalisasi agama, bahkan, bagi kalangan tertentu, adalah penolakan agama, seperti filsafat ateis-nya David Hume dan D’Holbach.
Dalam Abad Pencerahan, fungsi dan peran negara berwajah multi. Namun dari kesemua pandangan tentang negara yang meluber pada Abad Pencerahan dapat kita tarik benang merah ide yang tertuang, yakni negara mengada demi kepentingan dan keuntungan rakyat itu sendiri. Misalnya apa yang disampaikan oleh Thomas Hobbes, mengenai pentingnya peran negara dalam menekan perseteruan manusia yang pada dasarnya memiliki state of nature (keadaan alamiah) yang negatif (senang berperang, rakus kekuasaan, keji, senang melukai, iri, pendusta, korup, dan lain-lain).
D. J.J. ROSSEAU
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Seperti yang dikemukakan Rousseau bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dan bergerak menurut emosinya. Kedaaan tersebut sangat rentan akan konflik dan pertikaian. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, manusia mengadakan ikatan bersama yang disebut kontrak sosial.
Rousseau berpendapat bahwa negara merupakan bentuk nyata dari kontrak sosial. Individu-individu di dalamnya sepakat untuk menyerahkan sebagian dari hak-haknya untuk kepentingan bersama melalui pemberian kekuasaan kepada pihak-pihak tertentu di antara mereka. Kekuasaan tersebut digunakan untuk mengatur, mengayomi, menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kedaulatan rakyat.
Hal yang pokok dari perjanjian masyarakat adalah menemukan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang, sehingga karena itu semuanya dapat bersatu. Akan tetapi, meskipun demikian masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala. Pikiran inilah yang menjadi dasar dari semua pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran selanjutnya. (Soehino, 2005:119)
Perbedaan teori kontak sosial dalam pandangan Hobbes dan Rousseau adalah Hobbes menyatakan bahwa setelah negara terbentuk sebagai suatu kontrak sosial, negara tidak terikat lagi dengan individu tetapi individulah yang terikat dengan negara dengan kata lain, negara dapat berbuat apa saja terhadap individu. Berbeda dengan Hobbes, Rousseau berpendapat bahwa negara adalah berasal dari kontrak sosial antara individu jadi negara merupakan representasi kepentingan individu-individu di dalamnya, negara harus berusaha mewujudkan kehendak umum bila kehendak itu diabaikan oleh negara, rakyat dapat mencabut mandatnya terhadap penguasa.
Rousseau mendambakan suatu sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi langsung di mana rakyat menentukan penguasa atau pemimpin mereka, membuat tata negara dan peraturan secara langsung. Demokrasi langsung hanya dapat dilaksanakan pada wilayah yang tidak terlalu luas .
Menurut Roussau keanekaragaman pemerintahan di dunia adalah baik karena biasanya mengakomodasikan kepentingan beranekaragam bentuk, tradisi dan adat istiadat masyarakat yang berbeda-beda. Klasifikasi pemerintahan dan kriteria tolak ukur negara menurut Rousseau dapat dilihat berdasarkan jumlah mereka yang berkuasa.
Bila kekuasaan dipegang oleh seluruh atau sebagian besar warga negara (citizen magistrates lebih banyak dari ordinary privat citizen), maka bentuk negara tersebut adalah demokrasi. Tetapi bila kekuasaan dipegang oleh beberapa penguasa (ordinary privat citizen lebih banyak dari citizen magistrates) maka negara tersebut berbentuk aristokrasi. Apabila negara tersebut hanya terpusat pada satu orang penguasa, maka negara tersebut berbentuk monarki.
Rousseau juga berpendapat bahwa mungkin nanti terdapat bentuk negara campuran yang memadukan sistem dan bentuk negara demokrasi, aristokrasi dan monarki.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2008. Perihal ilmu Politik. Jakarta : Graha Ilmu.
Sidik, Fatah H. 2010. Pemikiran Politik Zaman Pencerahan dan Reformasi (Antara Hobbes dan Locke). http://seedhieqz.wordpress.com/. Tanggal Akses: 11 Juli 2010.
Soehino. 2005. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty.
Tarigan, Tommy. 2008. Pemikiran-Pemikiran Filsafat Politik J.J. Rosseau. http://tommytarigan.wordpress.com/. Tanggal Akses: 12 Juli 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar