Bicara tentang upaya penegakan hukum di Indonesia adalah berbicara tentang sesuatu yang utopis. Apakah pengertian utopis itu?
Secara etimologi, lawan kata dari utopis adalah realis. Maka dari sini kita bisa mendefinisikan utopis secara etimologi, yakni sifat yang melukiskan sebuah keadaan yang tidak berlandaskan kenyataan atau keadaan yang sesungguhnya. Atau sederhananya utopis adalah sesuatu yang mengawang-awang, tidak nyata. Demikianlah jika kita berbicara tentang penegakan hukum di negeri ini.
Penegakan hukum di negeri ini menjadi utopis, terutama, karena pada praktiknya ia tidak berjalan secara mandiri, tetapi telah tercemari kepentingan dan campur tangan pihak-pihak yang merasa memiliki kuasa.
Hukum telah dicemari urusan politik. Hukum telah dikotori pembedaan pribadi, pangkat, dan golongan. Prinsip hukum equality before the law menjadi tak bermakna lagi. Sementara pemimpin negeri ini seringkali mengungkapkan bahwa hukum adalah panglima.
Anda tentu masih ingat dengan kasus Susno Duadji, sang ‘whistleblower’ yang malah didakwa mencemarkan nama baik oleh institusinya sendiri, Polri, yang notabene merupakan alat utama penegakan hukum.
Secara berturut-turut hampir setiap hari media massa memberitakan perkembangan kasus Susno. Ketika itu, negeri ini mirip dalam keadaan ‘darurat perang’ karena segalanya harus dilakukan sekarang, hari ini juga, detik ini juga. Pembentukan Tim 8 adalah indikasinya.
Bahkan, seorang praktisi hukum senior menganggap kasus Susno merupakan titik balik yang bisa membawa negeri ini maju selangkah dalam penegakan hukum, atau malah mundur jauh ke belakang, ke titik nadir paling buram. Namun nyatanya, hiruk-pikuk itu kemudian reda dengan sendirinya, menyisakan tanya yang masih menggantung di mana-mana.
Mari berpikir positif saja, bahwa kasus Susno bukanlah dagelan politik para elit. Semoga Susno memang bukan sengaja “disimpan” berkaitan dengan suksesi Kapolri yang lalu. Bukan pula karena seorang Susno amat berbahaya bagi jajaran pimpinan KPK sekarang yang dituding tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, bukan juga karena ia adalah mantan Kabareskrim Polri yang terkait kasus mega skandal Century.
Masih juga segar dalam ingatan betapa ramainya negeri ini saat seorang pegawai golongan III-A (bukan pejabat yang punya eselonering), Gayus Tambunan (GT) Direktorat Jendral Pajak memiliki simpanan kekayaan yang fantastis, Rp 25 miliar. Dengan penghasilan 12 juta rupiah per bulan, paling tidak GT membutuhkan waktu 2.084 bulan (sekitar 174 tahun) untuk mengumpulkan uang sebayak itu.
Kasus GT pun menguap, dan kini publik diramaikan oleh dua nama: Nunun Nurbaeti dan Muhammad Nazaruddin. Nama pertama kabur karena kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sedangkan nama yang kedua kabur ke Singapura terkait kasus dugaan korupsi di tubuh Kemenegpora.
Debat pun ramai. Ada yang menyoal pencabutan paspor Nunun. Ada pula yang mengkritisi tentang KPK yang selalu kecolongan. Contoh, dicekal hari Senin, namun yang dicekal sudah kabur duluan dua hari sebelumnya. Terkait Nazaruddin, kritik yang paling pedas adalah adanya anggapan kalau KPK sebenarnya enggan menanggung risiko politik besar, mengingat yang bersangkutan adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat.
Pemimpin redaksi Koran Tempo, Gendur Sudarsono, dalam acara talkshow sebuah stasiun TV berita, mengemukakan bahwa terhadap masalah pelarian para tersangka atau orang yang terkait dengan kasus hukum ke luar negeri hanyalah tentang kemauan politis para penentu kebijakan di negeri ini untuk berani bertindak sesuai prosedur yang ada dan demi kebenaran serta keadilan semata. “Hentikan dagelan ini. Masyarakat sudah pintar dan bosan dengan ‘tontonan’ ini,” ujarnya geram.
Begitulah jika politik yang menjadi panglima. Ia akan melibas kemana-mana. Melebur dan memberi warna sesukanya, tentu saja dengan warna politik di mana tidak ada satu pun warna yang asli. Ia bisa saja hitam, tetapi khasnya adalah abu-abu. Tidak pula ada kebenaran, kawan, atau lawan. Yang abadi dalam politik hanyalah kepentingan.
Jika sudah demikian, janganlah berharap hal yang utopis itu menjadi realis di Indonesia. Tanpa ada gebrakan serupa revolusi di bidang hukum dan politik, selamanya negeri ini akan menjadi negeri utopia, di mana gembar-gembor keberhasilan pemerintah tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya. Padahal, ada keterkaitan yang jelas antara penegakan hukum yang bersih dengan tingkat investasi (yang juga berarti meningkatnya kesejahteraan rakyat).
“Penegakan hukum akan berpengaruh dalam pertumbuhan suatu negara,” demikian ujar mantan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, seperti dikutip dari indonesiatoday.in.
Sudah saatnya negeri ini terbangun dari tidur panjang penegakan hukum dan praktik politik beking-membekingi. Revolusi itu bisa dimulai dengan adanya pemisahan yang tegas antara politik dan hukum. Biarkanlah keduanya berjalan pada jalurnya masing-masing.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-economy/2185885-habis-susno-gayus-terbitlah-nunun/#ixzz1T82zoi6Q
0 komentar:
Posting Komentar