Pages

Pages

Pages

Jumat, 29 April 2011

Ekonomi Politik Pembaharuan Desa1


Ekonomi Politik  Pembaharuan Desa1

 
Gagasan tentang pembaharuan desa telah lama bertebaran. Banyak individu maupun lembaga telah lama mempromosikan pembaharuan agragia sebagai jalan untuk menciptakan keadilan sosial bagi rakyat desa. Kini, di era reformasi, lebih banyak elemen masyarakat membikin wacana pembaharuan desa semakin membahana. Fokus perhatian pembaharuan desa sekarang tidak hanya pada pembaharuan agraria, melainkan juga mengusung desentralisasi dan demokratisasi ke level desa. Desentralisasi merupakan kekuatan untuk “membela” desa dihadapan pemerintah supradesa, sedangkan demokratisasi adalah kekuatan alternatif untuk “melawan” desa terutama untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan dan pembangunan desa. 
Tulisan ini adalah pendatang baru yang bakal melakukan crafting dan membingkai ulang gagasan pembaharuan desa yang berserakan. Melalui perspektif ekonomi-politik, saya hendak
mengatakan bahwa pembaharuan desa adalah sebuah wacana dan gerakan perubahan atas ketimpangan ekonomi-politik yang terjadi di level desa. Tulisan yang belum rampung ini setidaknya
                                                
1Makalah disajikan dalam Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003. Makalah ini merupakan pengembangan tulisan saya, “Pembaharuan Pemerintahan dan Pembangunan Desa”, FORUM INOVASI UI,  Vol. 6, Maret-Mei 2003.
Tentu saja naskah ini belum final. Saya tengah mempersiapkan banyak dokumen, literatur dan cerita-cerita lokal, yang akan saya kembangkan menjadi sebuah buku yang bertitel “Pembaharuan Desa”, melalui APMD Press. 
2Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) "APMD"  Yogyakarta dan Direktur Eksekutif I NSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE). 
3Hasil wawancara saya dengan KH. Thoha Muntoha, Krikilan, Banyuwangi, 28 Mei 2000. 
 1


hendak mengemukakan tiga hal besar. Pertama, problem ekonomi-politik desa, sebuah komunitas yang selama ini menjadi medan tempur antara negara, modal dan masyarakat lokal. Kedua, perubahan dan tantangan desa dalam menghadapi arus demokratisasi dan desentralisasi yang kini
menjadi mainstream pembaharuan politik di Indonesia. Ketiga, pemikiran ekonomi-politik pembaharuan desa. 
  Ketimpangan Ekonomi Politik   Desa sudah lama menghadapi ketimpangan ekonomi-politik akibat masuknya kekuasaan (negara) dan kekayaan (modal). Bagan 1, misalnya, memperlihatkan empat bentuk ketimpangan ekonomi-politik baik secara internal maupun eksternal. Kuadran I (ekonomi-eksternal) menggambarkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya (penduduk dan tanah) desa. Kuadran II (politik-eksternal) memperlihatkan pengendalian penguasa supradesa terhadap entitas desa melalui sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi. Kuadran III (ekonomi-internal) memotret ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam desa, antara si kaya dan si miskin. Kuadran IV (politik-internal) menunjukkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary people).
 Bagan 1
Peta ketimpangan ekonomi-politik di desa
  Eksternal Internal Ekonomi  Kapitalisasi dan eksploitasi

terhadap sumberdaya (tanah dan penduduk) desa
Politik  Sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi negara terhadap desa
 
Ketimpangan penguasaan aset desa antara kelompok kaya dan miskin
Dominasi elite lokal terhadap proses politik di desa. Partisipasi masyarakat sangat lemah. 

Desa sudah lama menjadi medan tempur antara sosialisme vs kapitalisme, maupun antara negara vs masyarakat. Secara sosiologis-historis, desa sebagai sebuah entitas masyarakat lokal, punya basis ekonomi sosialis ketimbang kapitalistik. Kepemilikan tanah, misalnya, dikelola secara komunal melalui semangat egalitarian dan pemerataan. Hukum adat tidak mengenal kepemilikan privat secara jor-joran yang bisa menimbulkan ketimpangan. Tanah ulayat masyarakat adat di Luar Jawa
merupakan contoh yang baik pengelolaan basis ekonomi secara sosialis. Karena konteks historis dan sosilogis ini, maka para founding father Indonesia menelorkan prinsip-prinsip pengelo laan ekonomi
sosialistik dalam konstitusi.  Tetapi penundukkan terhadap desa, yang membuat ketimpangan ekonomi-politik di desa,
sebenarnya sudah berlangsung lama sejak zaman prakolonial. Cerita-cerita lokal yang bisa kita lihat melalui legenda atau sejarah mempelihatkan bahwa desa (sebagai wilayah dan komunitas lokal) menjadi domain mutlak kerajaan. Raja sebagai penguasa pribadi melakukan pengendalian dan pemilikan atas desa beserta seluruh isinya (terutama tanah dan penduduk) secara absolut. Semuanya adalah milik raja. Konsep warga negara (citizen) tidak dikenal, kecuali konsep kawula (client). Dengan
memelihara sistem patrimonial, birokrasi kerajaan tersusun secara hirarkhis-konsentris sampai ke pelosok desa. Raja mempunyai sarana-sarana kekerasan untuk melakukan represi terhadap desa.
 2


Para penguasa lokal harus tunduk sepenuhnya pada perintah raja. Rakyat desa, melalui penguasa lokal itu, diwajibkan memberikan upeti kepada raja karena mereka telah menikmati lahan garapan milik raja.   Negaranisasi dan kapitalisasi semakin tampak nyata dan keras ketika kolonialisme masuk ke Indonesia. Kolonialisme meneguhkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap  tanah dan penduduk desa, sehingga basis ekonomi sosialis di desa hancur berantakan.   Frans Husken (1998), misalnya, melukiskan dengan gamblang bekerjanya cultuurstelsel pada masa kolonial, sebagai bentuk
negaranisasi dan kapitalisasi sektor pertanian di desa. Akibatnya adalah terkonsolidasinya deferensiasi sosial, ketimpangan sosial dan kekuasaan politik karena semakin banyaknya modal dan campur tangan negara ke desa. Yang paling banyak memperoleh keuntungan adalah elite desa dan pemilik modal.
Ketika Indonesia merdeka kapitalisasi desa merupakan isu yang sangat krusial, yang kemudian mendorong lahirnya undang-undang pokok agragia (UUPA) 1960, sebagai sebuah langkah awal untuk pembaharuan agraria di Indonesia. Tetapi proyek pembaharuan agragia gagal total ketika lahir Orde Baru, yang mengeluarkan sejumlah regulasi yang bertentangan dengan UUPA, seperti undang-undang penamaman modal. Orde Baru secara perkasa memperdalam negaranisasi dan kapitalisasi dengan menerapkan proyek modernisasi. Proyek Revolusi Hijau dilancarkan untuk memperdalam kapitalisasi pertanian di desa, dengan bingkai "swasembada beras". Proyek modernisasi secara kolosal ditopang dengan model pembangunan top down yang direkayasa
oleh para teknokrat, represi militer, kontrol ketat birokrasi sipil, yang kesemua-nya didukung oleh modal inter-nasional. Anasir-anasir pendukung pembaharuan agraria dihabiskan, sementara masyarakat terkena depolitisasi sehingga voice mereka sangat lumpuh.
Kapitalisasi desa melalui Revolusi Hijau berjalan sangat efektif. Mekanisasi pertanian diperkenalkan, produk-produk kapitalisme dipaksakan. Pemerin-tah membuka lebar-lebar masuknya para pemilik modal besar sampai tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui kongkalingkong (patronase). Akibatnya terjadilah involusi pertanian. Para elite desa maupun para
tengkulak semakin kaya, sementara para tunawisma semakin banyak. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Apa yang tersisa? Susah untuk dicari. Masyarakat lokal secara politik ditindas dan secara ekonomi dieksploitasi. Habis sudah. Untuk menghibur masyarakat, pemerintah mambagi-bagi bantuan seperti sinterklas. Pemerintah menyalurkan bantuan desa dan proyek-proyek sektoral yang sangat banyak. Kebijakan ini bisa merubah fisik desa, sehingga desa tidak lagi becek, tersisolir, gelap gulita, terbelakang dan seterusnya. Dari sisi pelayanan publik, rakyat desa bisa dengan mudah mengakses sarana pendi dikan (SD Inpres) dan kesehatan (Puskesmas dan Posyandu). 
Di sektor politik, rezim Orde Baru melakukan pengendalian politik secara total terhadap desa. Desa diintegrasikan ke dalam formasi “negara modern”. Segala keputusan dan peraturan negara mengikat seluruh warga desa di seluruh Indonesia. Apalagi di zaman Orde Baru, formasi negara modern yang hirarkhis semakin ketat dan sentralistik. Melalui berbagai perangkat peraturan, terutama UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979, desa dikendalikan oleh tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri, propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Pemerintah pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit pemerintahan terendah menjadi nama “desa”, sebagai upaya untuk memudahkan kontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa. UU No. 5/1979 diperkenalkan yang membuat penyeragaman desa model Jawa ke seluruh penjuru tanah air. Bagi komunitas lokal di luar Jawa, UU No. 5/1979 merupakan bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal, maupun adat-istiadat lokal. Struktur birokrasi sipil dan militer dirancang secara hirarkhis dan paralel dari Jakarta sampai ke pelosok desa. Hirarkhi birokrasi sipil mengalir dari Departemen Dalam Negeri, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa. Departemen Dalam Negeri adalah
 3


pengendali hirarkhi birokrasi sipil, yang bertanggung jawab pada struktur di atasnya, yakni istana negara (Presiden). Paralel dengan hirarkhi birokrasi sipil adalah hirarkhi militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam di Propinsi, Korem di wilayah pembantu gubernur, Kodim di Kabupaten/Kotamadya, Koramil di Kecamatan, dan Babinsa di Kelurahan/Desa. Korporatisasi dilakukan untuk membuat penyeragaman organisasi-organisasi lokal di desa (LMD, LKMD, PKK, Karang Taruna, Dasawisma, Kelompok Tani, dan lain-lain), yang memudahkan rezim untuk melakukan pengendalian. Sebuah kebijakan yang populer, dengan sebutan massa mengambang (floating mass), dipaksakan untuk memutus akses partai ke desa dan melarang warga desa untuk
berpolitik. Tetapi pada saat yang sama, warga desa dibohongi, dimobilisir dan dipaksa untuk mendukung Golkar secara total. Barang siapa berani menentang pemerintah maka akan diganjar dengan stigma menakutkan: PKI.   Secara empirik peranan negara dalam politik dan ekonomi di level desa berjalan paralel. Di luar Jawa, pendekatan represif aparatus negara mengawal secara ketat proses eksploitasi tanah ulayat masyarakat adat. Di Jawa, negara memaksa warga desa mengalihkan kegiatan mereka dari sektor politik  ke sektor ekonomi. Negara memang melakukan restriksi politik tetapi di sisi lain juga menawarkan peluang sangat besar bagi akumulasi modal bagi segelintir elite desa. Para elite desa bisa tumbuh menjadi “borjuis desa” tanpa terganggu oleh kondisi politik otoriter. Para pamong desa, terutama lurah, umumnya menguasai secara kedinasan maupun pribadi, lebih banyak tanah ketimbang warga desa lainnya. Dalam banyak kasus, para pamong desa, sudara dan kerabat mereka merupakan lapisan terkaya di desa; mereka memiliki toko-toko kelontong maupun bahan-bahan pertanian, menjalankan usaha penggilingan padi maupun traktor, mendominasi pengelolaan KUD, memperoleh keuntungan dari perkebunan tebu dalam peranannya sebagai ketua kelompok tani di bawah program TRI. Mereka mengawinkan anak perempuannya dengan kaum profesional dan pemilik tanah luas; mereka mengatur anak lelakinya menikah dengan keluarga lurah desa tetangga atau menempatkan mereka dalam keluarga-keluarga strategis atau jabatan-jabatan di level kecamatan dan kabupaten melalui patronase, dsb.  Di sisi lain negaranisasi telah membawa dampak serius terhadap demokrasi di level desa. Kita sering mendengar cerita-cerita romantis bahwa desa merupakan basis dan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi secara nasional telah mati. Orang Minangkabau misalnya, selalu membanggakan bahwa nagari di sepanjang masa selalu merawat demokrasi komunitarian melalui tradisi musyawarah untuk pengambilan keputusan secara kolektif. Banyak orang sering mengemukakan bahwa sisa-sisa demokrasi masih terpelihara di desa Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan sejumlah indikator: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis, terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, warga masyarakat yang saling hidup damai berdampingan, dan sekarang tumbuh badan perwakilan desa yang dipilih secara demokratis.
Pembelaan terhadap demokrasi desa seperti itu juga pernah dilontarkan oleh seorang pendiri republik Indonesia, Mohammad Hatta, pada tahun 1950-an. “Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi”, demikian tutur Hatta. Dia juga menegaskan bahwa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada tradisi demokrasi asli yang berlaku di desa.   Tetapi kisah dominasi elite desa yang lebih berorientasi pada pemerintah supradesa merupakan pertanda substantif bahwa demokrasi desa telah terjadi kemunduran yang luar biasa. Tesis kemunduran demokrasi desa telah dikedepankan oleh banyak orang. Sebagai contoh adalah Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa
(1983), yang menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 19760-an hingga 1970an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah
 4


hidup: gotong royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama,
lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan
penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang
menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi pasca kemerdekaan, konflik mengenai land reform,  meluasnya pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades
dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa.  Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara
masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat.  Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Karena itu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempel untuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalau ada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani”, demikian tutur seorang kepala desa.
Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnya dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batasbatas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana (jagong, layat dan sanja).  
Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa (lurah desa) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. “Hitam putihnya desa ini tergantung pada lurahnya”, demikian ungkap seorang warga desa. Kades harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terusmenerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul, mempunyai sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat setiap hari. Umumnya kepala desa yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan
 5


maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.
Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh
rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Pak Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan kapasitas untuk voice
dan exit dari kondisi struktural desa yang bias elite, sentralistik dan feodal.4
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya. 
Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga.  Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa.
Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif. “Saya tidak tahu persis cara ngurus kelahiran dan berapa biayanya. Biayanya kok beda-beda. Warga desa sini biasanya tidak ngurus sendiri, tapi dititipkan dan diurus oleh pamong desa. Nanti kita menambah biaya administrasi dan
                                                 
4Sutoro Eko (dkk.), Pembaharuan Pemerintahan Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003).  
 6


transport”, demikian tutur seorang warga desa. Fenomena ini memperlihatkan praktik-praktik “pasar gelap” dalam penjualan pelayanan publik, meski warga desa sudah lama mahfum. 
Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat desa. Di zaman Orde Baru, dua institusi yang seharusnya
menjadi basis partisipasi (LMD dan LKMD) ternyata tidak memainkan peran penting mewadahi partisipasi masyarakat, karena keduanya adalah institusi korporatis untuk pengendalian masyarakat dan wadah oligarki elite desa. Sampai sekarang, elite desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala desa, partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah desa. Karena mengikuti instruksi dari atas, pemerintah desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan desa yang didesain secara sentralistik. Di atas kertas, Indonesia mengenal perencanaan pembangunan dari bawah yang dimulai dari forum RT, Musbangdus dan Musbangdes. Tetapi alur perencanaan dari bawah ini tidak otentik dan tidak bermakna partisipatif karena sarat dengan manipulasi yang akhirnya semua agenda pembangunan dirumuskan menurut preferensi kepala desa. 
Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkus dalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistik-klientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat betul pada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadi pengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringan tangan, dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakat itu tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan dengan masalah kekuasaan, kekayaan dan barangbarang publik. Tetapi berurusan dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensi kekuasan dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaan dan kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justru menyebabkan pergeseran makna pamong desa: dari pamong desa yang populis dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis. Pamong tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat, melainkan telah menjadi tangan-tangan negara yang membenani dan mengendalikan  masyarakat     Perubahan dan Tantangan Baru  Transisi politik di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, yang kerap disebut era reformasi, setidaknya membawa dua bentuk perubahan dan tantangan baru bagi desa. Pertama, arus
desentralisasi yang membawa perubahan relasi politik antara desa dengan negara (pemerintah supradesa). Kedua, arus demokratisasi yang menimbulkan eforia perubahan politik secara internal di
desa.   1. Desentralisasi Desa  Desa memasuki babak baru ketika desentralisasi mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU No. 22/1999.  Desentralisasi, secara normatif, bisa mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan pemerintahan lokal yang transparan dan akuntabel, dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal. UU No. 22/1999, sebuah undang-undang yang paling populer, sedikit-banyak telah memberikan ruang bagi eforia kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi desa. Secara normatif desa tidak lagi dipandang sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak asal-usul desa. UU No. 22/1999 memastikan pengurangan peran camat terhadap desa, dan desa berada di bawah kontrol langsung kabupaten. Implikasinya adalah, desa berhak membuat regulasi desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan desa, sejauh belum diatur oleh kabupaten.
 7


Dulu, desa selalu memperlihatkan kepatuhan yang luar biasa kepada kecamatan dan kabupaten. Sekarang, meski otonomi desa belum sempurna dibingkai, tetapi suara menuntut otonomi desa dari bawah membahana di berbagai tempat. Di Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, Purworejo, Rembang, Pekalongan, Pati, Indramayu, dan lain-lain telah tumbuh asosiasi kepala desa maupun Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berupaya mempengaruhi kebijakan kabupaten agar memberikan otonomi desa yang lebih besar.   Tetapi praktik desentralisasi, mulai dari kebijakan sampai praktik empirik pengelolaan kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan yang ujungnya adalah ruang yang terbatas bagi otonomi daerah. Kelemahan pertama bisa dilihat dari sisi paradigmatik atau pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah kerapkali dipahami secara sempit hanya sebagai bentuk penyerahan urusan secara administratif, otonomi dalam keuangan, maupun pengelolaan kewenangan pemerintah. Pemahaman itu antara lain telah mengabaikan aspek pembagian kewajiban dan tanggungjawab publik pemerintah serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah.   Kelemahan kedua bisa dibidik dari sisi kebijakan maupun regulasi pemerintah. UU No. 22/1999 justru lebih menekankan otonomi daerah berbasis pada kabupaten/kota, sehingga tidak memberikan jaminan formal bagi otonomi desa. UU maupun PP No. 76/2001 memang telah menggariskan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Tetapi konsepsi ini tidak memberikan batas-batas otonomi yang lebih besar dan konkret sebagaimana otonomi yang diterima kabupaten/kota. Desa bagaimanapun tetap dipandang sebelah mata oleh pemerintah supradesa, yang tetap menjadi subordinat yang harus tunduk pada perintah kabupaten.  Para penguasa kabupaten umumnya mengatakan bahwa otonomi berhenti di kabupaten. Desa hampir hilang dari peta wacana, pemikiran dan kebijakan desentralisasi.   Kelemahan ketiga, dari sisi praktik empirik, desa hanya mempunyai kewenangan yang sangat terbatas karena semuanya telah dikuasai kabupaten/kota. Setiap urusan pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan dengan regulasi kabupaten. “Pembagian tanah bengkok dan pengarem-
arem saja, kabupaten campur tangan ke desa. Padahal dulu diatur sendiri oleh desa”, demikian ungkap seorang kepala desa di Imogiri, Bantul. Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten
5tentang pemerintahan desa yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas.                                                  
5Harian Kedaulatan Rakyat (KR) kerapkali melaporkan tentang kegelisahan hingga resistensi paguyuban perangkat desa terhadap kebijakan kabupaten maupun Perda. “3.000 Perangkat Desa Klaten
Kepung Gedung DPRD”, KR, 18 Maret 2000; “460 Kades Kebumen Sodorkan Petisi”, KR, 9 April 2000;  “1.500 Perdes Sleman Unjukrasa”, KR, 19 April 2000; “Kades di Banjarnegara Gelisah Hadapi Perda Baru”,
KR, 23 Juni 2000; “Kades di Klaten Takut Dikebiri”, KR, 7 Oktober 2000; “55 Kaur Keuangan Datangi Pemda Bantul: Takut Mlorot, Minta Disejajarkan Kabag”, KR, 1 Desember 2000;  “Kegagalan Peraturan Daerah Penghasilan Perdes, Banyak Orang Luar Campuri Urusan Desa”, KR, 9, Juli 2002;  dan lain-lain. Lihat juga “Kades-Perdes Demo, DPRD Bantul Dimaki”, Bernas, 10 Mei 2001. Waktu itu ada sejumlah 1.500 kades dan perangkat desa menggelar tuntutan agar masa jabatan kades di Bantul yang ditetapkan
selama lima tahun, seperti tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No 14 Tahun 2000, ditinjau kembali. Mereka menuntut masa jabatan kades diganti menjadi 10 tahun per periode. Tuntutan lain adalah pengarem-
arem (pensiun) bagi perdes seumur hidup, serta menuntut dana PBB yang dikembalikan ke desa tidak hanya 1,5 persen melainkan 20 persen.
 8


Berkembangnya asosiasi (paguyuban) lurah desa di berbagai kabupaten tampaknya juga didorong oleh resistensi para lurah desa terhadap kebijakan kabupaten, yang kini terus berkembang menjadi basis akses desa dalam proses pembuatan kebijakan kabupaten.   Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana pusat yang didaerahkan melalui Dana Alokasi Umum. Dalam praktiknya, sebagian dana kabupaten/kota memang didesakan tetapi tidak dibingkai melalui kerangka regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati. Di Kutai Kartanegara, misalnya, dana alokasi desa sebesar 2 milyar rupiah
melalui program Gerbang Dayaku, dinilai banyak pihak (termasuk perangkat birokrasi daerah), sangat rentan dari sisi kepastian dan keberlanjutan. “Kami sangat khawatir apakah program 2 milyar akan  terus berlanjut jika Pak Syaukani tidak lagi menjadi Bupati”, demikian ungkap seorang pejabat eselon III di Kutai Kartanegara.    2. Demokratisasi Desa  Era reformasi sedikit-banyak telah mendorong demokratisasi desa, terutama mendorong perubahan pola hubungan antara rakyat dan pamong desa.  Pamong desa sebenarnya telah menjadi mitos karena terus-menerus mengalami krisis. Krisis pamong desa tidak bisa dihindarkan ketika terjadi kasus penyimpangan terjadi yang diikuti dengan gelombang protes masyarakat. Pada era reformasi, protes sosial masyarakat pada pemimpin lokal (baik bupati maupun pamong desa) membahana ke seluruh pelosok negeri.  Seperti halnya bola salju, reformasi di tingkat nasional bergulir meluas dan membesar sampai ke daerah dan bahkan pelosok desa. Fenomena ini, menurut Kompas (24 Desember 1998), merupakan bentuk kebangkitan rakyat pedesaan yang mendadak
6memperoleh kedaulatan setelah sekian lama hidup mereka sangat tertekan. Seperti halnya gerakan reformasi nasional, semangat reformasi yang berkobar di tingkat lokal tampaknya hendak merombak tatanan politik lama yang tidak adil dan tidak demokratis, yang lebih khusus adalah “mengkudeta” para pemimpin lokal yang bermasalah atau mengidap penyakit “KKN”.
 Fenomena protes sosial masyarakat tentu merupakan indikator krisis pamong desa, yang hanya mengutamakan legitimasi simbolik secara personal ketimbang legitimasi politik secara institusional. Protes sosial masyarakat desa yang setiap saat bisa berkobar merupakan pertanda tuntutan masyarakat yang melambung tinggi untuk mendesak pemerintah desa agar menunjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Ketika pemerintah desa lebih mengedepankan paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan, maka ia jauh dari prinsip akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas.   Dari sisi demokrasi desa, orang yang berhaluan populis dan romantis selalu “membela” desa sebagai level pemerintahan yang paling demokratis. Dari sisi prosedural, demokrasi desa sekarang dilihat dari praktik pemilihan kepala desa secara langsung serta kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga legislatif yang merumuskan kebijakan desa dan melakukan kontrol terhadap desa. Dari sisi kultural, orang sering menjustifikasi solidaritas sosial dan kebersamaan dalam gotong royong sebagai indikator abadi demokrasi dalam komunitas desa. 
                                                
6“2 Aparat Desa Tempurejo Diminta Mundur”, KR, 1 Juni 1998; “Di Slawi, Rumah Kades Dikabar Massa”, KR, 28 Oktober 1998; “Sekali Demo, 2 Perdes Jadi Sasaran”, KR, 6 November 1998; “Didemo, Dua Kadus Mundur”, KR, 6 November 1998; “Biaya KTP Naik Rp 100,- Balai Desa Dirusak”, KR, 18 November 1998; “Pintu Kantor Desa Disegel, Tuntut Sekdes Mundur”, KR, 2 Desember 98. “Dinilai  tak Bisa Dijadikan Panutan, Kadus Nayan Diadukan ke Pemda”, KR, 2 Februari 1999; “Bupati Gunungkidul
Pecat Sekdes Logandeng”, KR, 3 Februari 1999; “Warga Ngamuk, Gedung PKK Dibakar”, KR, 25 Juni 1999; “Bupati Kulonprogro Jemput Pendemo Kades”, KR, 13 Agustus 1999; “Demo di Pragak, Minta Kadusnya Dipecat”, KR, 12 September 1999; dan masih banyak lagi. 
 9


 Akan tetapi, secara empirik, pemilihan kepala desa secara langsung, keberadaan BPD dan gotong royong tidak mencerminkan indikator yang sempurna (atau bahkan tidak otentik) bagi demokrasi desa. Mengapa? Pertama, sejarah membuktikan secara gamblang bahwa pilkades di
7berbagai tempat selalu rawan permainan politik uang dan yang lebih serius adalah praktik-praktik kekerasan, protes sosial serta “perang dingin” berkepanjangan antarkelompok warga di komunitas desa. Fenomena itu terus-menerus berlanjut dalam setiap pilkades. Tetapi tidak ada kajian yang lebih mendalam dan upaya pemecahan masalah yang serius dari berbagai pihak terhadap pilkades bermasalah. Orang hanya bisa mengatakan bahwa masyarakat desa belum dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi, termasuk dalam hal menerima kekalahan dan menghargai kemenangan.
Kedua, lembaga perwakilan sebagai institusi demokrasi desa tidak memberikan jaminan secara substantif terhadap tumbuhnya demokrasi desa. Masyarakat berharap bahwa kehadiran BPD
menjadi dorongan baru bagi demokrasi desa, yakni sebagai artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat, pembuat kebijakan secara partisipatif dan alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa. Kehadiran BPD di era transisi demokrasi desa memang  telah membuat pemerintah desa lebih “hati-hati” dalam bertindak dan membuat ruang politik desa semakin semarak.98 Akan tetapi kehadiran BPD juga menimbulkan masalah baru, seperti ketegangan antara kades dengan BPD. Di satu sisi ketegangan ini disebabkan karena kepala desa memang tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD dan takut kehilangan kekuasaan. Di sisi lain, di mata kades, BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenangan yang telah digariskan dalam regulasi.10 Sekarang lurah mengahadapi tekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari masyarakat. Sebagai contoh, demikian ungkap seorang lurah desa, Kabupaten Rembang:
 Kepala desa itu seperti kerbau yang digiring ke kanan, ke kiri. Dari atas ditekan, dari bawah dituntut. Kami kehilangan muka dan harga diri di hadapan masyarakat, karena “demokrasi
                                                 
7Lihat “Marak Dimana-mana, Protes-memprotes Hasil Pilkades”, KR, 1 Desember, 1998; “Demo dan Perusakan terus Mewarnai Pilkades”, KR, 8 Desember 1998; “Protes-memprotes Pilkades di Purbalingga”, KR, 9 Desember 1998; “Tim Independen untuk Atasi Kerusuhan Pilkades”, KR, 11 Desember 1998; “Pilkades Balesari Magelang Rusuh”, KR, 16 Desember 1998; “Meski Bulan Puasa, Protes Pilkades Berlanjut”, KR, 26 Desember 1998; “Ruang Kades Adikarta Muntilan Dibakar”, KR, 26 Januari 1999; “Pilkades di Jateng Sarat Kerusuhan”, KR, 26 Januati 1999; “Pelaksanaan Pilkades di Tegal: 5 Desa Rusuh, 3 Rumah Dibakar”, KR, 1 Februari 1999; “26 Rumah Pendukung Kades Terpilih Dirusak”, KR, 2 Maret 1999; “Pilkades Semangkak Ricuh, Balai Desa Rusak”, KR, 29 April 2002; “Dinilai Banyak Pelanggaran,
Pilurdes Banyuraden Minta Dibatalkan”, KR, 8 Juni 2002; “Pilurdes Dengok Diprotes Warga”, KR, 18 Juni 2002;  “Rumah Panitia Pilurdes Diamankan, Masyarakat Menuntut Pemilihan Ulang”, KR, 21 Juni 2002;
“Pelantikan Lurah Bulurejo Diwarnai Demo”, KR, 22 Juni 2002; “Pilurdes Wates Bermasalah Lagi”, KR, 28 Juni 2002; “600 Warga Tolak Hasil Pilurdes Dengok”, KR, 2 Juli 2002;  dan masih banyak lagi. 
8Sutoro Eko, “Badan Perwakilan Desa: Arena Baru Kekuasaan dan Demokrasi Desa”, Makalah Dipresentasikan Dalam Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal: Politik Pemberdayaan”, Kerjasama Yayasan Percik, Riau Mandiri, The Ford Foundation, Pekanbaru, 13-16 Agustus, 2001. 
9Lihat “Otonomi Daerah Menumbuhkan Arogansi Desa”, Kompas, 13 Februari 2002;  “Badan Perwakilan Desa: Konfrontasi atau Kompromi”,  Kompas, 3 Agustus 2002; “BPD Belum Tentu Mewakili Kepentingan Masyarakat Desa”, Kompas, 19 Agustus, 2002. 
10Sutoro Eko, “Membuat Desentralisasi dan Demokrasi Lokal Bekerja”, Makalah Disampaikan pada International Conference on Indonesia: Democracy and Local Politics, Kerjasama Pusat Studi Sosial dan Asia
Tenggara UGM, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD", FISIP Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 7-8 Januari 2003. 
 10


pokoke” maupun ulah dan arogansi BPD. BPD menganggap dirinya seperti “dewa”, yang menggunakan masyarakat sebagai “kereta”, mengatasnamakan masyarakat untuk menekan kepala desa. Padahal itu hanya keinginan beberapa anggota BPD.  
BPD, sekarang, dianggap sebagai musuh atau ancaman terhadap kekuasaan, kewenangan dan kekayaan kepala desa. Di Bantul, misalnya, BPD diplesetkan menjadi Badan Pemborosan Desa, di Kalimantan Timur BPD dikatakan sebagai Badan Provokasi Desa. Keresahan ini sampai sekarang belum padam, karena berbeda dengan bupati/walikota (yang dengan gampang membungkam DPRD dengan uang), kepala desa tidak mempunyai duit untuk membungkam BPD.    Ketiga, gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas
11sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial, bukan modal finansial sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen umumnya juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk keswadayaan masyarakat desa. Banyak proyek yang turun dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang mengagumkan. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana phisik kontribusi  gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancing partisipasi masyarakat yang bila dijabarkan dalam nilai uang jumlahnya selalu (jauh) lebih besar dibanding dengan dana dari pusat itu. Di era Orde Baru, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.
 Gagasan Pembaharuan Desa
Berbicara tentang pembaharuan desa (baik pemerintahan maupun pembangunan) secara preskriptif, desa harus diletakkan dalam bingkai desentralisasi dan demokrasi. Desentralisasi adalah bingkai preskriptif relasi eksternal antara desa dengan supradesa (kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat) serta pasar. Desentralisasi telah mengajarkan bahwa kekuasaan, kewenangan, tanggungjawab dan sumberdaya harus dibagi sampai ke level bawah, yakni sampai ke tingkat desa. Sedangkan demokrasi merupakan kerangka preskriptif relasi internal dalam desa, yakni relasi yang demokratis antara pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan masyarakat. Jika bingkai desentralisasi dan demokratisasi itu diletakkan dalam ranah ekonomi-pembangunan dan politikpemerintahan, maka ada empat gagasan besar pembaharuan desa, sebagaimana terlihat dalam bagan 2. 
        
                                                
11Lihat Rahardjo, “Gotong-royong Sebagai Modal Sosial: Sebuah Wawasan Sosiologis”, JENDELA, Buletin STPMD "APMD", No. 4, 2002. 
 11


   
Bagan 2 Tipologi gagasan pembaharuan desa

    Politik- Pemerintahan Ekonomi- Pembangunan
  Desentralisasi   Desentralisasi pemerintahan desa  Desentralisasi ekonomi dan pembangunan  

  Demokratisasi 
 Demokratisasi politik pemerintahan desa
 Demokratisasi ekonomi  dan pembangunan 

  1.  Desentralisasi Politik-Pemerintahan
Kuadran I (desentralisasi pemerintahan) membingkai relasi kekuasaan dan keuangan antara desa dengan pemerintah supradesa (kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat). Pemerintahan desentralistik, idealnya, tidak hanya berhenti di kabupaten/kota, tetapi juga harus dibawa sampai ke desa. Dalam konteks ini, saya mengedepankan beberapa argumen penting untuk membingkai kembali formula membawa desentralisasi ke desa untuk membangun otonomi desa. 
Pertama, secara substantif, otonomi desa adalah kemandirian desa di hadapan pemerintah supradesa, yaitu kemandirian mengelola pemerintahan sendiri yang berbasis masyarakat (selfgoverning community), mengambil keputusan sendiri dan mengelola sumberdaya lokal berbasis masyarakat (community based recources management). Dari segi substansi (kontens), kebijakan regional dan nasional harus mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan (needs) desa, berpihak pada desa, serta mampu memberikan jaminan (kepastian) bagi upaya penanganan keterbatasan
(constrains) yang dihadapi desa. Dilihat dari atas, pemerintah supradesa—dengan dalih kewenangan, regulasi, hirarkhi dan wacana negara kesatuan—tidak bisa menggunakan kekuasaan atas (power over) melalui kontrol dan intervensi yang ketat, melainkan harus menggunakan semangat kekuasaan
untuk (power to) memberdayakan desa melalui visi transformatif dan pendekatan fasilitatif.   Kedua, membuat struktur pemerintahan secara nonhirarkhis. Indonesia sejak dulu mewarisi struktur pemerintahan tersusun secara hirarkhis ketika kesatuan hukum masyarakat lokal
diintegrasikan ke dalam formasi negara. Formasi negara sudah tersusun secara hirarkhis (pusat, provinsi, kabupaten dan desa) sehingga menghilangkan struktur self-governing community. Hirarkhi
itu adalah realitas. Dalam memformulasikan otonomi desa, kita tidak bisa berangkat dari titik nol, melainkan memperhatikan level (jika bukan diterima sebagai hirarkhi) pemerintahan yang sudah ada: pusat, provinsi, kabupaten dan desa. Provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi sentrum pembicaraan tentang basis otonomi daerah/desa tentu tidak bisa saling meniadakan dan juga tidak bisa memandang sebelah mata terhadap desa, yang konon mempunyai “otonomi asli” dan self-
governing community jauh lebih tua ketimbang provinsi dan kabupaten. Apalagi desa merupakan basis
 12


kehidupan yang paling dekat dengan masyarakat. Pembicaraan basis otonomi daerah pada kabupaten atau provinsi sebenarnya tidak terlalu relevan, karena itu harus dibangun format otonomi yang mampu melewati (beyond) batas-batas dan hirarkhi kabupaten maupun provinsi. 
Keempat level pemerintahan bukanlah hirarkhi yang konsentris-sentralistik, melainkan sebagai sebuah sistem non-hirarkhis yang masing-masing level mempunyai otonomi. Dalam konteks ini butuhk perumusan kembali formula desentralisasi kewenangan, kewajiban, tanggungjawab, sumberdaya, keuangan dan hak secara detail dan tegas antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Ketegasan dan kerincian (tentang kewenangan, kewajiban, tanggungjawab, sumberdaya, keuangan dan hak) harus dijamin supaya tidak terjadi tumpang tindih dan sekaligus menghindari multitafsir berdasarkan kepentingan masing-masing level pemerintahan.
Setiap level pemerintah tidak bertanggungjawab secara hirarkhis pada struktur atasnya, melainkan kepada publik dan lembaga perwakilan rakyat. Kontrol rakyat setempat perlu dilegalkan dalam UU, misalnya melalui mekanisme petisi, recalling sampai referendum. Presiden tidak perlu
menghukum atau membubarkan DPRD yang tidak bertanggungjawab, biarkan masyarakat setempat yang memberikan hukuman terhadap terdakwa DPRD.  Demikian juga perlakuan bupati terhadap kepala desa. Kepala desa bukan bertanggungjawab secara hirarkhis kepada bupati, melainkan kepada masyarakat setempat. 
Tugas level pemerintah atasan adalah melakukan desentralisasi, memfasilitasi capacity building dan supervisi terhadap level pemerintah bawahan.  Supervisi antara lain dimaksukan untuk menjaga agar pelaksanaan otonomi sesuai dengan visi besar otonomi daerah dan meminimalkan
praktik “raja-raja kecil” yang mbalela, misalnya sikap mbalela bupati terhadap gubernur. Gubernur melakukan fasilitasi dan koordinasi atas kerjasama antarkabupaten, demikian juga dengan bupati di
hadapan seluruh desa di wilayah yurisdiksinya. Kalau diilihat dari atas perlu penegasan tentang supervisi, maka kalau dilihat dari bawah perlu ada akses, yakni akses pemerintah bawah ke level yang lebih tinggi. Desa perlu punya akses terhadap kabupaten, kabupaten pada provinsi dan provinsi pada pusat, terutama akses dalam proses pembuatan keputusan. Akses desa dan daerah harus dilegalkan dalam UU sehingga pemerintah yang lebih tinggi tidak lagi punya senjata untuk memukul pemerintah bawahan yang hendak mempengaruhi kebijakan. Kalau kita belajar pada Filipina, misalnya, keberadaan Liga barangay dan akses barangay pada pemerintah di atasnya dijamin secara
tegas dalam Local Government Code 1991. Ketiga, memastikan kebijakan dan tindakan subsidiarity kepada desa. Formula desentralisasi
perlu dilengkapi dengan formula subsidiarity. Desentralisasi dan subsidiarity tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau
penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiarity terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai
bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan
menggunakan kewenangan secara mandiri. 12                                                  
12Tentang subsidiarity lihat Lars Blichner dan Linda Sangolt, "The Concept of Subsidiarity and the Debate on European Cooperation: Pitfalls and Possibilities". Governance 7 (3), 1993; David Bosnich, “The
Principle of Subsidiarity,” Religion and Liberty, 6 (4), 1996; dan  Andreas Follesdal, "Subsidiarity", Journal of Political Philosophy. 6 (2), 1998. 
 13


13 Secara gampang, subsidiarity dapat dipahami sebagai lokalisasi pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan oleh struktur atau organisasi di level bawah. Kalau organisasi lokal punya kemampuan bertindak yang bisa dipertanggungjawabkan, maka keputusan cukup diambil di tingkat lokal, tidak perlu ditarik ke organisasi yang lebih tinggi. Sebagai contoh, kalau desa mempunyai kemampuan mengelola konflik, perkawinan, melakukan pungutan berskala kecil, harta desa, dan lain sebagainya, maka keputusan dan kewenangan untuk hal-hal itu tidak perlu dibawah naik ke kabupaten. Desa tidak perlu dipaksa menunggu keputusan maupun juklak dan juknis dari kabupaten.   Apa yang terjadi kalau tidak ada subsidiarity, dan apa manfaat dengan adanya subsidiarity?
Selama ini pemerintah atasan sering menggunakan argumen “tidak siap” untuk membatasi ruang gerak atau tidak memberikan kewenangan pada pemerintah bawahan. Pemerintah atasan sering merasa “dilangkahi” kalau pemerintah bawahan mengambil keputusan secara mandiri. Tanpa subsidiarity, maka tidak ada proses belajar yang bisa mengurangi ketidaksiapan. Tanpa subsidiarity,
pemerintah bawahan akan selalu tidak siap, tergantung, tidak mempunyai inisiatif dan kreativitas, selalu menjadi kerdil di hadapan pemerintah atasan. Kenyataan ini tentu saja sangat bertentangan dengan semangat dan substansi otonomi daerah. Subsidiarity niscaya akan memberikan banyak
manfaat: (1) membatasi kesewenang-wenangan pemerintah atasan; (2) memberi ruang belajar untuk maju bagi pemerintah desa; (3) memperkuat prakarsa, kapasitas, tanggungjawab dan kemandirian pemerintah desa. Melalui subsidiarity, niscaya semangat kemandirian dalam otonomi desa bisa
dibangun meski membutuhkan waktu panjang.   2. Desentralisasi Ekonomi dan Pembangunan
Kuadran II (desentralisasi ekonomi dan pembangunan) membingkai relasi antara desa dengan supradesa dalam mengelola pembangunan (pengelolaan sumberdaya ekonomi dan fisik). Gagasan pembangunan desentralistik pada prinsipnya paralel dan terintegrasi dengan desentralisasi pemerintahan. Artinya pembangunan desa yang desentralistik harus didukung oleh desentralisasi fiskal ke desa, pola hubungan yang nonhirarkhis, dan subsidiarity.  
Ada beberapa gagasan utama desentralisasi ekonomi dan pembangunan. Pertama, membawa desentralisasi fiskal sampai ke desa yang dijamin secara tegas melalui UU nasional. Tujuannya adalah
memastikan perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Dana Alokasi Umum, misalnya, harus dibagi secara seimbang antara provinsi, kabupaten/kota dan desa. Demikian juga pembagian tentang dana perimbangan (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam) maupun pemberian taxing power kepada desa. Desa,
misalnya, juga perlu diberi kesempatan untuk melakukan pungutan pajak maupun retribusi maupun mengelola sumber-sumber lain di luar tanah kas desa, seperti pasar.  Pungutan dan hasil pasar bisa dikumpulkan langsung oleh desa tanpa harus disetor kepada kabupaten, untuk pembiayaan urusan desa. Cara seperti ini memungkinkan penguatan kesempatan, kepercayaan, tanggungjawab desa dan sekaligus bisa mengurangi budaya ketergantungan dan (maaf) kultur mengemis pada kabupaten. Sebaliknya cara alokasi dana dilakukan secara merata (flat) justru tidak memperkuat kapasitas desa
dan tidak merangsang desa berbuat sesuatu secara kreatif. Kedua, perencanaan pembangunan desa dari bawah ke atas (bottom-up) harus
ditransformasikan menjadi pembangunan desa berbasis masyarakat (community based rural development). Perencanaan pembangunan desa melalui musbangdes tidak perlu dibawa ke atas,
                                                
13Sutoro Eko, “Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat”, Makalah Disajikan Dalam Lokakarya Membangun Keistimewaan Yogyakarta Dalam Konteks Desentralisasi dan Demokratisasi, Kerjasama
I NSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 22-25 Oktober 2002. 
 14


melainkan cukup berhenti di desa. Dengan kalimat lain, desentralisasi pembangunan identik dengan membuat perencanaan pembangunan berhenti hanya sampai di desa. Desa berarti punya kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan intervensi yang mematikan. Ini bukan berarti hendak membuat desa sebagai “negara berdaulat” di hadapan kabupaten, tetapi semangatnya adalah memberi ruang bagi desa untuk membangun kreasi dan prakarsa secara mandiri. Yang dilakukan kabupaten bukanlah “campur tangan” melainkan memberi “uluran tangan” kepada desa. Uluran tangan pun bukan berarti memberi sedekah (charity), tetapi pada konteks
fasilitasi pengembangan kapasitas desa dan supervisi terhadap perencanaan dan implementasi pembangunan desa. Pembangunan desentralistik harus ditopang dengan transfer dana alokasi umum (block grant) dan kepastian perimbangan keuangan antara desa dan supradesa..
 3. Demokratisasi Pemerintahan Desa  Kuadran III (pemerintahan desa yang demokratik) membingkai relasi kekuasaan antara pemerintah desa, BPD dan masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan desa (village governance).
Pemerintahan yang demokratis (democratic governance) mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal “dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan
oleh” wakil-wakil yang dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkan secara responsif “untuk” kebutuhan masyarakat. Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga demokrasi memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa, BPD dan masyarakat. Dalam konteks ini, saya memahami dam meletakkan demokrasi (yang relevan dengan konteks desa) ke dalam tiga ranah utama: pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan desa; serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.   a. Pengelolaan Kebijakan Desa
Sebuah kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada  masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa berbasis masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandang dari “manfaat untuk rakyat”, perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa.  Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya.  Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat (demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik,
 15


revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya.   b. Kepemimpinan dan kepemerintahan  Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang
transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan
kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent dan kepemimpinan birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu
14para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa.   Pemerintah desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal.   Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat  dan kepercayaan yang diberikan oleh warga.
Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi,  dan seterusnya.  BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.   Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan
publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang
                                                 
14Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003). 
 16


korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.  Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus
mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.  c. Partisipasi Masyarakat 
Jika pandangan yang berpusat pada negara memahami demokrasi dari sisi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas penyelenggaraan pemerintahan, maka pandangan dari masyarakat  memahami bahwa pilar utama demokrasi adalah masyarakat sipil (civil society). Sebuah pandangan
dari masyarakat melihat demokratisasi bukan sekadar sebagai suatu periode transisi terbatas dari satu set aturan-aturan rezim formal ke satu set lainnya, tetapi lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan abadi, sebuah perjuangan yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi domain masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya (self-generating), setidaknya berswadaya secara parsial,
15otonom dari negara, dan terikat oleh suatu tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dari "masyarakat" secara umum dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingankepentingan, hasrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi. untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntutan pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk menekan para pejabat negara lebih akuntabel.
Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam
pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement
berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat.16 Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. 
                                                 
15Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1999), bab VI. 
16Deepa Narayan, et. al, Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook (Washington D.C: PREM World Bank, 2002).  
 17


Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah,
sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai
kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi  pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai
kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh, dan sebagainya.  Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan (rencana strategis desa, program pembangunan dan APBDES, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, musbangdus, musbangdes maupun rembug desa. Forum-forum itu juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol  terhadap
pemerintah desa.   Kontrol masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi,
sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga.  Kontrol bisa dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch dogs), dan
yang lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi tidak percaya, atau recalling terhadap elite lokal oleh masyarakat.  Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri
terhadap wakil rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main baik Undang-undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.    Membangun civil society maupun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari
titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk seremonial atau self-help,
tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa.   4. Demokratisasi Ekonomi dan Pembangunan
17Kuadran IV (demokratisasi ekonomi dan pembangunan) berbicara mengenai dua hal: membuat proses pembangunan desa secara partisipatif (berbasis masyarakat) dan mendorong demokratisasi ekonomi di sektor tanah melalui pembaharuan agraria. Pembangunan demokratis (partisipatif) umumnya dibingkai dengan konsep pembangunan desa berbasis komunitas (PDBK), yakni sebuah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan yang meningkatkan tindakan kolektif oleh komunitas dan memasukkan mereka dalam pengendalian intervensi pembangunan dengan membuat tenaga penggerak organisasi berbasis komunitas (OBK) dalam proses itu. PDBK sangat efektif dalam konteks perdesaan karena konsep menghadapi secara langsung tantangan-tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa. Dengan meningkatkan pendekatan partisipatif-demokratis, PDBK dapat
                                                
17Luis Coirolo, et. al.,  Community Based Rural Development: Reducing Rural Poverty from the Ground Up, World Bank, 2001. 
 18


memberikan aspirasi kepada rakyat miskin di pedesaan yang terpinggirkan secara politik dalam komunitas mereka dan dengan entitas pemerintah. Dengan membantu pembuatan keputusan yang terdesentralisir dan mengalihkan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kepada tingkat lokal, PDBK juga mengatasi beberapa biaya dan kesulitan kerja penduduk desa yang tersebar secara spasial. Pendekatan PDBK dapat juga digunakan untuk untuk membantu kegiatan-kegiatan lokal yang memasukkan sumber daya secara langsung ke dalam ekonomi lokal, meningkatkan kesempatan tingkat lokal di pedesaan, meningkatkan pendapatan tersedia untuk pembangunan lokal dan mendiversifikasi pendapatan rumah tangga pedesaan.
Kata kunci dalam pembangunan demokratis adalah partisipasi masyarakat. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya
mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses pembangunan terutama kelompok-
kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap
warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pembangunan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis perencanaan pembangunan. Kedua, akses, yakni setiap warga
mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi  perencanaan pembangunan desa dan akses terhadap sumberdaya lokal. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat
mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap lingkungan kehidupan dan pelaksanaan pembangunan.  Jika pembangunan desa berbasis masyarakat berbicara pada level yang lebih mikro, maka pembicaraan tentang demokratisasi ekonomi harus dimulai dari level ideologi, yaitu cara pandang makro terhadap alokasi sumberdaya dalam masyarakat, terutama tanah. Dalam konteks ini saya merekam perdebatan menarik antara dua haluan dalam memandang pembaharuan agraria: haluan pemerataan-keadilan yang mempromosikan landreform dan haluan pertumbuhan-kemakmuran
18yang mempromosikan agribisnis dan agropolitan. Haluan pertama didukung oleh kalangan NGO seperti Konsorsium Pembaruan  Agraria (KPA) maupun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara serta para pakar pendukung ekonomi kerakyatan seperti Prof. Mubyarto. Haluan kedua didukung oleh para ekonom berhaluan liberal, para sarjana pertanian, fakultas pertanian dan juga departemen pertanian.   Kemiskinan desa, terutama kemiskinan petani gurem, merupakan problem utama yang sama-sama dilihat oleh kedua haluan itu. Tetapi keduanya punya cara pandang dan pemahaman yang berbeda. Haluan kedua (pertumbuhan-kemakmuran) melihat bahwa kemiskinan petani gurem di desa terjadi karena lahan yang sempit, lahan pertanian yang tidak produktif, lemahnya kapasitas petani, kurangnya modal dan seterusnya. Bahkan Pantjar Simatupang menegaskan bahwa fenomena semakin bertambahnya penduduk miskin di pedesaan justru akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang mengandalkan bertani sebagai kehidupan. “Farming is livelihood adalah akar masalah kemiskinan di pedesaan yang harus diberantas”, demikian tuturnya. Pendukung haluan ini melontarkan kritik bahwa landreform adalah solusi yang utopis karena di desa sudah lama terjadi involusi pertanian. Demikian komentar Pantjar Simatupang, seorang pejabat Departemen Pertanian:
                                                
18Lihat misalnya perdebatan antara Prof. Mubyarto, “Reformasi Agraria: Menuju Pertanian Berkelanjutan” dengan Dr. Pantjar Simatupang, “Reformasi Agraria: Menuju Pertanian Berkelanjutan: Komentar Terhadap Makalah Profesor Mubyarto”, di www.ekonomirakyat.org.
 
 19


 Total luas lahan pertanian kurang dari 40 juta hektar sedangkan jumlah keluarga tani lebih dari 20 juta. Sehingga kalaupun lahan yang ada dibagi rata, seluruh usaha tani tetap gurem, tidak memadai untuk menopang kehidupan yang layak bagi keluarga tani.  Mempertahankan bertani tetap menjadi kehidupan petani gurem dan buruh tani berarti membelenggu kaum miskin pedesaan dalam lingkaran setan kemiskinan. Pemikiran macam ini hanya melestarikan involusi pertanian yang berujung pada pemerataan kemiskinan (sharing poverty).
 Karena itu pendukung haluan pertumbuhan-kemakmuran merekomendasikan bahwa kemiskinan di pedesaan hanya dapat diberantas dengan mengurangi jumlah petani gurem dan buruh tani melalui penyediaan livelihood non-pertanian. Yaitu menumbuhkembangkan agribisnis, agroindustri dan
industri kecil di pedesaan. Dalam melihat pembaharuan agragia, haluan ini mengedepankan dua pemikiran. Pertama, pembaharuan agraria hendaklah dirancang  antara lain dengan pertimbangan
bahwa farming, small and large, are all business enterprises. Pembaruan agraria harus tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap efisiensi usaha tani sebagai bisnis. Kedua, bertani atau agriculture tidak bersifat terisolir, bebas dari pengaruh konteks off-farm. Paradigma agribisnis berpandangan bahwa usahatani sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan
perbankan, dan sebagainya.   Gagasan promosi agribisnis yang banyak dipengaruhi oleh tradisi liberal itu lebih berorientasi pragmatis, bahkan cenderung ahistoris dan reduksionis. Tanah, secara historis, merupakan basis penghidupan bagi rakyat desa. Tetapi oleh pendukung agribisnis, tanah direduksi hanya sebagai modal produksi. Persoalan agraria tentu bukan hanya produksi yang mendukung kemakmuran, tetapi yang lebih krusial adalah ketimpangan akses dan sengketa agraria akibat penguasaan tanah oleh negara dan pemilik modal. Ketika basis strukturalnya sudah timpang, maka promosi bisnis di sektor pertanian pasti hanya meneguhkan dominasi orang-orang kaya yang memiliki tanah luas.   Sementara, haluan pemerataan-keadilan memandang kemiskinan desa dalam konteks struktural penguasaan tanah yang timpang akibat miskinnya kebijakan pemerintah serta eksploitasi tanah oleh negara dan kaum kapitalis. Karena itu pendukung haluan ini sejak lama memperjuangkan land reform yang diyakini sebagai upaya menciptakan pembagian tanah secara adil dengan merombal
struktur pertanahan secara revolusioner. Pembaharuan agraria, khususnya land reform, dimengerti sebagai upaya-upaya yang dilakukan negara dan masyarakat dalam merubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk-bentuk penguasaan tanah dan sumberdaya alam menuju ke arah pemerataan dan keadilan, melalui mekanisme sistem politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Gunawan Wiradi, 1997; Noer Fauzi, 1999; 2001; Bonnie Setiawan, 2001). Dalam konteks ini, land reform bisa dipahami sebagai sebuah jalan untuk membangun demokrasi ekonomi, yang berupaya menciptakan redistribusi tanah secara adil-merata serta memberikan ruang akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya tanah.  Belum Selesai!       
 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar