A. Kondisi Umum
A.1. Pencapaian Tahun 2005 dan Perkiraan Tahun 2006
Secara ringkas pelaksanaan pembangunan pada tahun pertama dan perkiraan pada tahun kedua RPJM Tahun 2004 – 2009 memberikan beberapa kemajuan penting dalam pelaksanaan ketiga agenda pembangunan yaitu: Mewujudkan Indonesia Yang Aman dan Damai; Menciptakan Indonesia Yang Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Kemajuan penting tersebut adalah sebagai berikut.
Agenda Aman dan Damai
Dalam pelaksanaan Agenda Aman dan Damai dicapai kemajuan yang berarti tercermin dari kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat yang secara umum makin kondusif. Berbagai upaya penegakan hukum di bidang perjudian, illegal logging dan illegal fishing, korupsi, peredaran gelap dan produksi narkoba menunjukkan kemajuan yang signifikan. Pengawalan proses politik di daerah khususnya pemilihan kepala daerah, meskipun sering memunculkan gejolak karena benturan dari pendukung calon kepala daerah, dapat berjalan dengan baik.
Kemajuan dalam pelaksanaan Agenda Aman dan Damai juga ditunjukkan oleh keberhasilan aparat kepolisian dalam menangkap gembong terorisme Dr. Azahari. Keberhasilan ini semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas penanganan konflik khususnya konflik SARA di Poso telah dibentuk Komando Operasi Keamanan Sulawesi Tengah yang mulai beroperasi pada awal Januari 2006. Dengan pembentukan komando operasi tersebut diharapkan konflik horisontal antar masyarakat dapat semakin diredakan.
Tercapainya kesepakatan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam upaya penyelesaian masalah separatisme di Aceh. Penghancuran seluruh persenjataan milik GAM, penarikan pasukan non organik TNI dan Polri, serta timbulnya kesadaran bersama akan pentingnya kedamaian, merupakan modal dasar pencapaian kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat Aceh yang sedang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa Tsunami. Sementara itu, gerakan separatis di Papua terutama upaya internasionalisasi proses integrasi Papua ke dalam NKRI mengalami peningkatan eskalasi. Namun melalui upaya kontra diplomasi, pihak luar negeri mampu diyakinkan untuk tetap mengakui Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam tahun 2006, penciptaan kondisi aman dan damai dilakukan melalui upaya-upaya penyelesaian dan pencegahan konflik. Penyelesaian Aceh dengan telah ditandatanganinya MoU Helsinki dititikberatkan antara lain pada kelanjutan pencapaian MoU termasuk pelaksanaan Pilkada dan tersusunnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sedangkan penyelesaian dan pencegahan konflik di beberapa daerah akan diorientasikan untuk mengatasi dampak-dampak kekerasan fisik dan psikologis dengan melibatkan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan termasuk pranata-pranata adat lokal dan aparatur pemerintah sebagai fasilitator dan atau mediator serta peningkatan penyediaan informasi publik. Hal lain yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memperkuat ikatan kebangsaan dan pengembangan ruang dialog untuk meningkatkan rasa saling percaya di dalam masyarakat.
Agenda Adil dan Demokratis
Dalam pelaksanaan agenda adil dan demokratis dicapai beberapa kemajuan penting. Salah satunya adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Kemajuan ini tidak terlepas dari berfungsinya kelembagaan yang ada yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi, serta komitmen yang kuat dari Presiden untuk mendorong penegakan hukum. Sejak tahun 2004, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Hingga akhir tahun 2005, Presiden dan DPR telah mengeluarkan Surat Izin Pemeriksaan terhadap pejabat negara yang terindikasi tersangkut kasus korupsi sebanyak 200 buah dari 228 permintaan yang diajukan oleh Kejaksaan Agung.
Dalam pada itu, pembangunan bidang penyelenggaraan negara diarahkan pada reformasi birokrasi, sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga bidang tersebut dilaksanakan saling terkait dan mendukung. Pemberantasan korupsi dilakukan dengan melanjutkan berbagai upaya sistematis untuk memberantas korupsi, antara lain percepatan penerbitan peraturan perundang-undangan yang mengatur izin pemeriksaan terhadap penyelenggaraan negara, audit reguler atas kekayaan seluruh pejabat pemerintah dan pejabat negara, peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi, penuntasan kasus-kasus korupsi, serta peningkatan kualitas pengawasan. Sedangkan reformasi birokrasi dilakukan melalui penyempurnaan dan percepatan implementasi pedoman pelayanan pengaduan masyarakat, peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi negara, penyelesaian dan penerapan peraturan perundang-undangan tentang kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi, peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dan pelatihan pegawai, penyempurnaan sistem remunerasi PNS, serta peningkatan keberdayaan masyarakat
Keberhasilan lain dalam Agenda Adil dan Demokratis adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Meskipun terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, pemilihan kepala daerah secara langsung berjalan dengan aman, adil, dan demokrastis. Sampai dengan akhir tahun 2005, telah dilaksanakan 226 pemilihan kepala daerah secara langsung meliputi 11 provinsi, 180 kabupaten, dan 35 kota dan pada tahun 2006 diperkirakan sebanyak 85 pemilihan kepala daerah secara langsung yang meliputi 7 provinsi dan 78 kabupaten/kota.
Agenda Kesejahteraan Rakyat
Pelaksanaan Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dihadapkan pada berbagai tantangan antara lain bencana alam di daerah, kekuatiran terhadap wabah penyakit, serta meningkatnya tekanan eksternal terhadap stabilitas ekonomi di dalam negeri.
Bencana alam gempa bumi di Alor dan Nabire, bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, serta bencana alam banjir dan longsor yang baru saja terjadi di beberapa daerah di Sumatra, Jawa dan Kalimantan, telah mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar. Selain itu, beberapa kejadian luar biasa yang terjadi di beberapa daerah, seperti adanya penyebaran virus flu burung dan terjadinya musibah kekurangan pangan di Papua, menunjukkan beragamnya bencana kemanusiaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Ini membutuhkan penanganan secara khusus. Sesuai dengan tahapan penanggulangan bencana, pemulihan terhadap daerah-daerah yang tertimpa bencana terus ditingkatkan dengan memantapkan tahap rehabilitasi dari tiga pentahapan yang direncanakan.
Meningkatnya ketidakstabilan ekonomi pada tahun 2005 mengurangi kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja yang memadai. Meskipun perekonomian Indonesia tahun 2005 tumbuh sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dari tahun 2004 (5,1 persen), tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin belum mampu dikurangi. Pada bulan Februari dan Oktober 2005, jumlah angkatan kerja yang bekerja bertambah sebesar 1,8 juta jiwa dan 2,9 juta orang dibandingkan bulan Agustus 2004. Sedangkan lapangan kerja baru yang tercipta pada bulan Februari dan Oktober 2005 masing-masing sebesar 1,2 juta orang dan 2,0 juta orang. Dengan pertambahan angkatan kerja yang lebih besar dari lapangan kerja baru, pengangguran terbuka pada bulan Februari 2005 meningkat menjadi 10,8 juta orang (10,3 persen) dan pada bulan Oktober 2005 diperkirakan menjadi 11,6 juta orang (10,8 persen).
Harga minyak dunia dan suku bunga Fed Funds yang terus meningkat sejak paruh kedua tahun 2004 memberi tekanan yang berat terhadap stabilitas moneter dan ketahanan fiskal. Rupiah sempat melemah dan kekuatiran terhadap ketahanan fiskal meningkat. Untuk menjaga ketahanan fiskal dan menahan gejolak rupiah, harga BBM di dalam negeri dinaikkan dua kali dalam tahun 2005 serta ditempuh kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan suku bunga. Sejak akhir Agustus 2005, BI rate ditingkatkan lima kali hingga pada bulan Desember 2005 mencapai 12,75 persen. Rangkaian kebijakan ini mampu menjaga kembali stabilitas rupiah meskipun terjadi lonjakan yang tinggi pada laju inflasi bulan Oktober 2005. Secara bertahap nilai tukar rupiah yang sempat melewati Rp 10.000,- per dolar AS menguat kembali. Dalam keseluruhan tahun 2005, nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.705 per dolar AS. Laju inflasi tahunan (y-o-y) yang sempat mencapai 17,9 persen dan 18,4 persen pada bulan Oktober dan November 2005 melunak menjadi 17,1 persen pada bulan Desember 2005. Membaiknya stabilitas moneter mendorong kembali kinerja pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta yang sempat melemah di bawah angka 1000, kembali meningkat dan ditutup pada angka 1.162,6 atau menguat 9,6 persen dibandingkan akhir tahun 2004.
Dalam tahun 2006, stabilitas ekonomi akan ditingkatkan terutama untuk menurunkan laju inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter ditingkatkan dengan memperhatikan timing dari implementasi kebijakan fiskal dan moneter serta pengaruhnya terhadap perekonomian secara menyeluruh. Kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan suku bunga yang secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap rupiah serta mengurangi tekanan inflasi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan didorong sejak awal tahun 2006 oleh kebijakan fiskal dan diperkuat oleh kebijakan moneter yang melonggar pada triwulan III atau IV/2006. Meskipun kebijakan fiskal pada tahun 2006 tetap diarahkan untuk mengurangi defisit anggaran sebesar 0,7 persen PDB, pengaruh peluncuran dana pada awal tahun 2006 dapat memberi dorongan bagi kegiatan ekonomi dan pada gilirannya akan memberi pengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat. Dorongan fiskal terhadap perekonomian juga akan diberikan oleh belanja daerah dengan semakin besarnya fungsi pelayanan masyarakat yang diberikan oleh daerah. Keselarasan antara APBN dan APBD sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaannya. Dengan tekanan inflasi yang melunak pada triwulan III/2006, kebijakan moneter diharapkan melonggar pada triwulan III atau IV/2006 dan diperkirakan akan makin mendorong kegiatan investasi yang iklimnya dibenahi sejak awal tahun 2006.
Dengan upaya-upaya ini, perekonomian tahun 2006 diperkirakan lebih baik dari tahun 2005. Stabilitas ekonomi diperkirakan membaik dengan nilai tukar yang relatif stabil, laju inflasi yang terkendali, serta suku bunga yang menurun. Dalam empat bulan pertama tahun 2006, rata-rata nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 9.212,- per USD; laju inflasi menurun menjadi 15,4 persen (y-o-y) pada bulan April 2006; serta cadangan devisa meningkat menjadi US$ 42,8 miliar pada akhir bulan April 2006. Stabilitas ekonomi yang meningkat tersebut selanjutnya turut berperan dalam mendorong kinerja pasar modal. Pada akhir bulan April 2006, IHSG di BEJ meningkat menjadi 1464,4 atau naik 26,0 persen dibandingkan akhir tahun 2005.
Dengan perkembangan ini, laju inflasi pada akhir tahun 2006 diperkirakan menurun menjadi 8 persen. Dengan dorongan pada pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun 2006 melalui pemanfaatan pengeluaran pemerintah serta peningkatan investasi dan penguatan daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 2006 diperkirakan mencapai 6 persen. Resiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari 6 persen masih ada apabila terjadi gejolak eksternal yang besar serta lambatnya penguatan daya beli masyarakat dan peningkatan investasi.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus didorong oleh peningkatan pendidikan dan kesehatan. Berbagai upaya pembangunan pendidikan memberikan hasil yang cukup baik, antara lain terlihat pada peningkatan angka partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Pada tahun 2004 APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai 107,1 persen dan 82,2 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah mencapai 54,4 persen (Susenas 2004). Rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas meningkat menjadi 7,2 tahun dan angka buta aksara kelompok usia yang sama dapat diturunkan menjadi 9,6 persen. Sementara itu, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia juga mengalami peningkatan, antara lain terlihat pada angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan prevalensi kurang gizi. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2002–2003). Angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2002 – 2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 27,5 persen (2004). Namun dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung terjadi stagnasi.
A.2. Masalah dan Tantangan Pokok Tahun 2007
Dengan berbagai kemajuan pokok yang dicapai pada tahun 2005 dan perkiraan pada tahun 2006, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2007 adalah sebagai berikut.
Masih tingginya pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka terus meningkat. Pada awal tahun 2005, pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,8 juta orang atau 10,3 persen. Dari jumlah tersebut, 6,6 juta atau 60,8 persen berusia 15-24 tahun dan 6,2 juta orang atau 57,4 persen berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Dengan permasalahan tersebut di atas, tantangan utama yang harus dihadapi pada tahun 2007 adalah sebagai berikut.
Pertama, menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Sampai awal tahun 2005, jumlah angkatan kerja mencapai 105,8 juta orang atau bertambah 1,8 juta orang dibandingkan tahun 2004, sedangkan lapangan kerja baru yang tercipta sebesar 1,2 juta. Upaya ini untuk menciptakan lapangan kerja yang luas memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh.
Kedua, mendorong pekerja berpindah dari pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Dari 1,2 juta lapangan kerja baru yang tercipta pada tahun 2005, hanya 200 ribu lapangan kerja formal. Rendahnya keterampilan/keahlian dan kompetensi tenaga kerja menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Tantangan selanjutnya adalah meningkatkan kesejahteraan para pekerja yang masih bekerja di lapangan kerja informal. Upaya-upaya untuk terus meningkatkan kesejahteraan pekerja terus dilakukan, termasuk upaya-upaya mengurangi kesenjangan pendapatan antara pekerja formal dan informal. Tantangan ini berkaitan erat dengan pemberdayaan UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja informal.
Masih besarnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meningkatnya pengangguran terbuka dan tekanan terhadap stabilitas moneter di dalam negeri mengakibatkan jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Pada tahun 2005, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebesar 35,2 juta jiwa atau 15,8 persen dari jumlah penduduk.[1] Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tidak saja semata-mata dilihat dari kemampuannya untuk meningkatkan pendapatan, tetapi juga upaya-upaya lain untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan melihat aspek yang sifatnya multi dimensi.
Upaya penanggulangan kemiskinan difokuskan pada: Pertama, perluasan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan kesempatan memperoleh pekerjaan dan berusaha. Kedua, upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang bersifat pemberdayaan. Upaya pemberdayaan masyarakat miskin menjadi penting karena akan mendudukkan mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek berbagai upaya penanggulangan kemiskinan. Untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat miskin, diperlukan berbagai upaya pemberdayaan agar masyarakat miskin lebih berkesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Selain itu diperlukan upaya pemberdayaan agar masyarakat miskin dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi sehingga mengubah pandangan terhadap masyarakat miskin dari beban (liabilities) menjadi potensi (assets). Berbagai proses pemenuhan kebutuhan dasar dan pemberdayaan tersebut di atas perlu didukung oleh perbaikan sistem bantuan dan jaminan sosial serta kebijakan ekonomi yang pro-poor termasuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Beberapa masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat miskin antara lain sebagai berikut. Pertama, kerawanan pangan dan kurangnya penanganan masalah gizi kurang. Rendahnya kemampuan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pangan dengan gizi yang layak merupakan persoalan utama bagi masyarakat miskin. Berdasarkan data yang digunakan oleh MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga penduduk Indonesia berada di bawah asupan 2100 kalori per kapita/hari. Data Susenas tahun 2003 menyebutkan bahwa jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi tercatat 27,5 persen dari jumlah total anak balita. Berbagai kasus gizi kurang dan rawan pangan terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal menunjukkan persoalan terbatasnya infrastruktur dasar seperti jalan, sarana perhubungan, listrik, dan sarana dan prasarana produksi, yang menghambat berkembangnya diversifikasi pangan dan usaha ekonomi masyarakat miskin di daerah-daerah tersebut. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang asupan gizi yang baik.
Kedua, terbatasnya akses atas kebutuhan dasar terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Selama ini kelompok masyarakat miskin dihadapkan pada masalah tingginya biaya pendidikan. Meskipun SPP untuk jenjang SD/MI telah dihapuskan pada kenyataannya masih ada pengeluaran lain di luar iuran sekolah yang menghambat masyarakat miskin menyekolahkan anaknya. Putus sekolah juga masih terjadi, terutama pada jenjang pendidikan menengah, karena alasan anak harus membantu orangtua mencari nafkah. Kelompok masyarakat miskin juga dihadapkan pada mahalnya biaya pengobatan dan perawatan, jauhnya tempat pelayanan kesehatan, dan rendahnya jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15 persen yang memiliki Kartu Sehat (KS). Rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan tentang proses pembuatan KS dan kurang dipahaminya manfaat pelayanan oleh pemegang KS. Selanjutnya tempat tinggal yang sehat dan layak juga merupakan kebutuhan dasar yang masih sulit dijangkau masyarakat miskin. Data Potensi Desa 2003 menunjukkan bahwa di sekitar 17 kabupaten/kota terdapat permukiman dengan jumlah keluarga lebih dari 19.000 yang bertempat tinggal di bantaran sungai dan permukiman kumuh. Pada lingkungan tempat tinggal yang tidak layak ini masyarakat miskin sering dihadapkan pada masalah keterbatasan air bersih, terutama air minum, dan sanitasi yang baik.
Ketiga, belum tersusunnya sistem perlindungan sosial yang memadai. Perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, khususnya fakir miskin dan PMKS, diperlukan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri dan dapat mengakses sistem pelayanan sosial dasar. Jumlah fakir miskin berdasarkan data BPS dan Pusdatin Departemen Sosial tahun 2004 mencapai 14,8 juta jiwa dan jumlah PMKS mencapai 9,4 juta jiwa. Upaya yang telah dilakukan selama ini adalah dengan peningkatan pemberdayaan peran keluarga miskin. Akan tetapi dengan situasi ekonomi saat ini, yang ditandai dengan kenaikan harga bahan bakar minyak hingga dua kali dalam tahun 2005, telah menjadikan kelompok masyarakat yang berada di dekat garis kemiskinan menjadi kelompok rentan terhadap kemiskinan.
Keempat, rendahnya perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Tidak adanya aset yang dapat digunakan untuk penjaminan kredit menyebabkan mereka sulit mendapatkan permodalan dan akses terhadap sarana dan prasarana produksi serta bantuan teknis yang diperlukan. Salah satunya disebabkan karena masyarakat miskin sering terkendala oleh tidak adanya hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan tempat mereka tinggal atau berusaha. Kendala ini juga dialami oleh para pelaku usaha mikro dimana selain keterbatasan akses terhadap sarana dan prasarana produksi juga karena masih rendahnya kapasitas para pelaku usaha mikro.
Masih rentannya keberlanjutan investasi dan rendahnya daya saing ekspor non-migas. Meskipun investasi dan penerimaan ekspor non migas meningkat sejak tahun 2004; kenaikannya cenderung melambat. Pada tahun 2005, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto tumbuh 9,9 persen; lebih lambat dari tahun 2004 (14,6 persen). Secara triwulanan, pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto melambat sejak triwulan III/2004 dari 17,4 persen menjadi 1,8 persen pada triwulan IV/2005 (y-o-y). Minat investasi sebagaimana yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA juga masih jauh di bawah periode sebelum krisis. Penerimaan ekspor non-migas, meskipun pada tahun 2005 meningkat sebesar 18,6 persen; kenaikannya lebih didorong oleh peningkatan harga komoditi di pasar internasional. Kemampuan produksi di dalam negeri belum mampu secara maksimal memenuhi permintaan eksternal yang tinggi.
Upaya untuk mendorong investasi dan meningkatkan daya saing ekspor non-migas akan ditingkatkan. Tantangan ini semakin besar dengan kemungkinan melambatnya perekonomian dunia dan meningkatnya persaingan antar negara baik dalam menarik investasi maupun mempertahankan pangsa pasar ekspornya di luar negeri. Perbaikan iklim investasi dan peningkatan daya saing ekspor non-migas diarahkan untuk mengurangi hambatan-hambatan pokok antara lain prosedur perijinan yang panjang, administrasi perpajakan dan kepabeanan, kepastian hukum, peraturan-peraturan daerah yang mengganggu, iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif, serta infrastruktur.
Pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri masih terkendala. Pengembangan enegi di dalam negeri dihadapkan pada masalah kebutuhannya yang terus meningkat serta ketergantungannya yang sangat besar pada sumber energi konvensional. Penggunaan energi primer selama ini masih bertumpu pada minyak bumi (54,4 persen), gas bumi (26,5 persen), batubara (14,1 persen); sedangkan sumber-sumber energi lainnya hanya sekitar 4,8 persen. Pemanfaatan energi final juga masih bertumpu pada beberapa jenis, yaitu BBM (63 persen), gas bumi (17 persen), dan listrik (10 persen). Disamping itu, konsumsi energi di dalam negeri juga relatif lebih boros dibandingkan negara-negara lainnya. Ketergantungan energi yang sangat tinggi pada minyak bumi dan kecenderungan menurunnya produksi di dalam negeri akan meningkatkan kerentanan pembangunan terhadap gejolak harga minyak dunia. Pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri juga dihadapkan pada kendala infrastruktur energi yang terbatas dan tidak optimal yang pada gilirannya mengakibatkan terganggunya kelancaran dan distribusi energi.
Dalam kaitan itu, pemenuhan kebutuhan energi dihadapkan pada tantangan sebagai berikut. Pertama, mempercepat pencarian sumber energi sebagai upaya peningkatan cadangan sumber daya energi nasional. Kedua, meningkatkan proses produksi dan penciptaan nilai tambah produksi melalui proses pengolahan energi final di dalam negeri dengan mendorong pemanfaatan dan penguasaan teknologi rancang bangun dalam menjamin kelancaran dan pemerataan distribusi energi final. Ketiga, menyediakan energi kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau.
Pengurangan ketergantungan yang tinggi terhadap BBM didorong dengan diversifikasi atau penganekaragaman energi guna mengembangkan pemanfaatan dan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi alternatif, seperti panas bumi dan energi berbasis nabati, yakni biodiesel, dan biofuel. Energi ini, terutama biodiesel, dan biofuel, apabila dikelola dengan baik dapat memenuhi kebutuhan energi secara lokal. Percepatan pemanfaatan dan pengembangan energi alternatif juga membuka peluang usaha dan perluasan lapangan kerja serta kesempatan berusaha mulai dari budi daya, pengolahan dan niaganya.
Rendahnya produktivitas pertanian dalam arti luas dan belum terkelolanya sumber daya alam dan potensi energi terbarukan secara optimal. Upaya untuk mendorong pertanian dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pangan dihadapkan pada beberapa masalah pokok, yaitu: masih rentannya produksi padi sebagai akibat banyaknya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada akhir 2005 dan awal tahun 2006; rendahnya tingkat produksi peternakan dan lemahnya sistem kesehatan hewan nasional yang dapat mengganggu produksi dan keamanan pangan hasil ternak; serta rendahnya tingkat produktivitas dan kualitas hasil peternakan, perkebunan dan hortikultura, serta rendahnya dukungan infrstruktur pertanian dan perdesaan.
Selanjutnya tantangan untuk mendorong produktivitas pertanian dalam arti luas juga dihadapkan pada lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan dan rendahnya produktivitas nelayan dan pembudidaya ikan yang disebabkan oleh terbatasnya penguasaan teknologi, kompetisi dalam penggunaan lahan perairan, terjadinya overfishing, kenaikan harga dan kelangkaan BBM, masalah pengaturan perijinan, dan kerusakan ekosistem perairan; tingginya kegiatan pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh kapal-kapal asing maupun domestik; terbatasnya kemampuan dalam penyediaan benih/bibit bermutu dan pakan, serta buruknya irigasi tambak; rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan yang berakibat pada rendahnya mutu, nilai tambah, dan daya saing produk perikanan; kurangnya pengawasan terhadap penggunaan bahan berbahaya untuk mengawetkan hasil perikanan yang dapat mengganggu keamanan hasil ikan; lemahnya penegakan hukum, praktek illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, tumpang tindih kawasan hutan terutama dengan pertambangan, klaim kawasan hutan oleh masyarakat adat, serta konversi kawasan hutan untuk penggunaan lain serta review RTRWP/RTRWK yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan bagian penyebab dari semakin terdegradasinya hutan Indonesia.
Selanjutnya dukungan sektor pertanian juga masih terbatas dalam pemanfaatan hasil pertanian untuk sumber-sumber energi terbarukan (renewable energy). Masalah-masalah ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam tahun 2007.
Kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat masih relatif rendah. Meskipun terjadi peningkatan, kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat masih lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina; serta masih jauh dari sasaran Millennium Development Goals (MDGs). Di bidang pendidikan, belum semua anak usia 7–15 tahun mengikuti pendidikan dasar baik melalui jalur formal maupun nonformal sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahkan masih terdapat anak-anak yang tidak dapat menyelesaikan jenjang sekolah dasar sebagaimana sasaran MDGs bidang pedidikan. Keadaan tersebut harus segera diatasi, untuk menjamin semua anak paling tidak dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
Partisipasi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga masih sangat rendah, padahal kompetisi global menuntut tersedianya penduduk berpendidikan menengah dan tinggi yang bermutu dalam jumlah yang memadai. Penyebab utama rendahnya partisipasi pendidikan adalah faktor ekonomi yang disusul oleh faktor geografi. Anak yang tidak dapat bersekolah umumnya berasal dari keluarga miskin dan atau yang tinggal di daerah perdesaan, terpencil dan kepulauan. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa partisipasi pendidikan penduduk miskin jauh lebih rendah daripada penduduk kaya, dan partisipasi pendidikan penduduk perdesaan lebih rendah daripada penduduk perkotaan. Kualitas pendidikan juga dinilai masih rendah karena belum sepenuhnya mampu memberikan kompetensi sesuai dengan tahap pendidikan yang dijalani peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh ketersediaan dan kualitas pendidik yang belum memadai, kesejahteraan pendidik yang masih rendah, fasilitas belajar yang belum tersedia secara mencukupi dan biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Sementara itu, pembangunan kesehatan dihadapkan pada masalah dan tantangan: mutu, ketersediaan, dan keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memadai terutama bagi masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil; angka kesakitan yang masih tinggi terutama karena penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, tuberkulosis paru, malaria, diare dan infeksi saluran pernafasan, yang diperburuk dengan munculnya penyakit baru seperti flu burung yang berpotensi menjadi pandemi; masih tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk terutama pada ibu hamil, bayi, dan balita serta berbagai masalah gizi utama lain seperti anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat gizi mikro lainnya; belum optimalnya dukungan pelayanan kesehatan di bidang obat dan perbekalan kesehatan, pengawasan obat dan makanan, dan keamanan pangan; serta perilaku hidup sehat yang belum menjadi budaya dalam masyarakat baik karena faktor sosial ekonomi maupun karena kurangnya pengetahuan.
Khusus mengenai flu burung, data menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat baik dari segi jumlah kasus yang terkonfirmasi (confirmed cases) maupun yang meninggal. Untuk itu upaya pencegahan dan penanggulangan harus lebih ditingkatkan secara terkoordinasi. Dalam kaitan ini telah disusun strategi nasional pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influensa tahun 2006 – 2008.
Penegakan hukum dan reformasi birokrasi belum didukung secara optimal oleh lembaga penegak hukum. Meskipun terdapat kemajuan dalam penegakan hukum dan reformasi birokrasi, kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja dan koordinasi antara lembaga penegak hukum satu dengan lainnya serta dukungan sarana prasarana untuk mendukung percepatan pemberantasan korupsi belum optimal. Belum tuntasnya pembenahan kelembagaan penegak hukum untuk mempercepat pemberantasan korupsi, kendala aparat penegak hukum untuk bertindak secara cepat, tepat dan akurat dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi terlihat dari kemampuan, profesionalisme dan kualitas yang masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan yang juga mengemuka dari permasalahan korupsi adalah masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum.
Penegakan hukum terhadap hak asasi manusia juga dirasakan oleh masyarakat masih jauh dari rasa keadilan terutama terhadap kasus-kasus yang belum terselesaikan. Beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini menjadi perhatian masyarakat baik di dalam negeri maupun di luar negeri perlu segera diselesaikan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Tantangan selanjutnya adalah menuntaskan reformasi birokrasi dalam rangka memperkuat basis pembangunan yang berkelanjutan. Permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi sampai saat ini antara lain adalah masih tingginya pelanggaran disiplin dan lemahnya sistem pengawasan baik internal, eksternal termasuk pengawasan masyarakat dan sistem pertanggungjawaban publik yang berakibat masih tingginya tingkat penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN, rendahnya kinerja sumber daya manusia aparatur, belum memadainya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan yang berakibat pada rendahnya mutu pelayanan publik yang harus ditangani. Reformasi birokrasi perlu membangun komitmen moral bersama secara utuh dari segenap unsur aparatur negara dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik.
Masih rendahnya rasa aman, kurang memadainya kekuatan pertahanan, dan masih adanya potensi konflik horisontal. Memasuki tahun 2007 aktivitas pembangunan diperkirakan masih menghadapi kendala berupa rendahnya rasa aman sebagai akibat dari tindak kriminal yang berupa kejahatan konvensional maupun transnasional. Kejahatan konvensional merupakan implikasi dari tingginya tingkat pengangguran, rendahnya daya beli masyarakat, kesenjangan sosial, dan berbagai dampak kondisi perekonomian negara. Sementara itu, kejahatan transnasional yang terdiri dari tindak terorisme dan kejahatan narkoba merupakan kejahatan terorganisir yang melibatkan beberapa negara. Meskipun aparat keamanan telah berhasil menewaskan gembong terorisme, namun upaya mengatasi aksi terorisme masih menghadapi tantangan dengan belum tertangkapnya Noordin M Top beserta jaringannya. Sementara itu kejahatan di bidang narkoba yang terkait dengan pengungkapan sejumlah kasus narkoba seperti pembongkaran pabrik ekstasi skala besar, penangkapan para bandar pengedar, pelaksanaan hukuman atau eksekusi terpidana mati kasus narkoba diperkirakan belum dapat menekan kejahatan narkoba mengingat besarnya nilai ekonomi peredaran narkoba. Di sisi lain hasil pembangunan pertahanan keamanan baik dari sisi profesionalisme personil maupun peralatan pendukung belum mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Menurunnya frekuensi konflik bernuansa kekerasan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan pada tahun 2005 dan 2006, masih menuntut pembinaan kehidupan sosial masyarakat berupa kesabaran dan kewaspadaan politik yang tinggi untuk menjamin keberlanjutan perdamaian dan pencegahan konflik. Konflik-konflik yang berdimensi politik tinggi, seperti proses Pilkada, dapat menjadi bahaya laten bagi keharmonisan hidup antar kelompok masyarakat. Pada masa mendatang, potensi konflik-konflik sosial diharapkan dapat dikenali sejak awal, dan apabila tak terhindarkan terjadinya, dapat dikelola dan dikendalikan melalui mekanisme lembaga-lembaga sosial politik yang ada, termasuk pranata lokal/adat, tanpa menunggu munculnya gerakan-gerakan separatisme bersenjata, meletusnya kekerasan berskala besar yang menimbulkan kerusakan besar serta jatuhnya banyak korban jiwa.
Dengan orientasi kebijakan penyelesaian konflik pada tahun 2005 dan 2006 mengatasi dampak-dampak kekerasan fisik dan trauma psikologis pasca konflik baik pada manusia maupun pada sarana dan prasarana publik, pada tahun 2007 dan seterusnya fokus politik penyelesaian konflik adalah membangun konsensus dan kepercayaan melalui mekanisme kelembagaan jaringan sosial politik bagi pencegahan dan penyelesaian konflik melalui upaya-upaya politik, dialog dan perdamaian. Penundaan proses pengembangan konsensus dan kepercayaan pada proses kelembagaan dan jaringan sosial, akan meningkatkan resiko munculnya permasalahan baru dengan besarnya perubahan sosial politik ekonomi yang sedang berlangsung di tanah air. Pengembangan kepercayaan dan penyelesaian konflik melalui proses penguatan kelembagaan politik dan hukum, selain dapat menghindarkan tindakan-tindakan kekerasan dan anarki yang menimbulkan perpecahan dan trauma sosial yang mendalam, sekaligus memberikan sumbangan pada proses demokratisasi yang sedang berlangsung secara nasional.
Belum memadainya kemampuan dalam menangani bencana. Dalam dua tahun terakhir ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai bencana alam antara lain gempa bumi di Alor dan Nabire, bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, serta bencana alam banjir dan longsor yang terjadi di beberapa daerah di Sumatra, Jawa dan Kalimantan, dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar. Selain itu, beberapa kejadian luar biasa seperti adanya penyebaran virus flu burung dan terjadinya musibah kekurangan pangan di Papua, menunjukkan beragamnya bencana kemanusiaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, sehingga dibutuhkan penanganan secara khusus.
Sementara itu sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan bencana. Di samping itu faktor pendidikan, pengetahuan dan kemiskinan menjadikan mereka sangat rentan terhadap ancaman bencana. Kurangnya kapasitas sumber daya manusia, keterbatasan prasarana dan sarana serta belum siapnya sistem penanggulangan/mekanisme penanganan bencana, menyebabkan keterlambatan dan kurang efektifnya penanganan dan penanggulangan bencana.
Sebagaimana sudah dilakukan pada tahun 2005 dan tengah diupayakan pada tahun 2006, sekaligus memperhatikan berbagai tantangan adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki, serta merujuk kepada fokus tahapan rekonstruksi yaitu untuk membangun kembali masyarakat dan kawasan yang terkena bencana, maka tahun 2007 akan difokuskan pada upaya penguatan pelaksanaan rekonstruksi, terutama penyelesaian pembangunan perumahan dan permukiman bagi korban bencana alam yang telah dimulai sejak tahun 2005. Selain itu, akan dilanjutkan peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi skala korporasi, peningkatan pelayanan masyarakat, pembangunan infrastruktur utama, dan peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dearah.
Pelaksanaan seluruh tahapan tadi yang dimulai sejak terjadinya bencana hingga upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang tengah diupayakan pada saat ini saling terkait dan berkesinambungan. Khususnya untuk pemulihan dan pembangunan kembali wilayah Aceh dan Nias, sebagaimana telah direncanakan dalam rencana induk dimana masa tahap rehabilitasi dan rekonstruksi akan berakhir pada tahun 2009, maka pada tahun 2007 dirumuskan dan dirancang langkah-langkah penanganan bencana secara sistematis dan simultan dalam setiap proses pembangunan kembali wilayah yang terkena bencana tersebut.
Selanjutnya, dengan memperhatikan upaya pencegahan atau meminimalisir resiko bencana serta mempertimbangkan beberapa kondisi awal yang ditemui dalam kaitannya dengan mitigasi dan penanggulangan bencana, maka pada tahun 2007 mendatang diperlukan reorientasi terhadap pola dan model penanganan bencana serta pergeseran cara pandang terhadap masalah bencana di Indonesia, yang terutama diarahkan untuk merubah pola penanganan dari respon darurat ke manajemen resiko. Pergeseran ini mendorong penanganan bencana harus dapat melakukan manajemen resiko sehingga dampaknya dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Selain itu, perlu dilakukan pergeseran pola penanganan dari tanggung jawab pemerintah menjadi urusan bersama masyarakat, yang sangat berperan dalam penanganan bencana alam. Penanganan bencana yang selama ini masih dianggap sebagai urusan pemerintah perlu menjadi urusan bersama. Semua aspek penanganan bencana, dimulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme pencegahan dan penanggulangannya harus direorientasikan sedemikian rupa sehingga menggalakkan peranserta masyarakat secara maksimal.
Masih perlunya upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah khususnya di daerah perbatasan dan wilayah terisolir masih besar. Kesenjangan antar wilayah tercermin dari perbedaan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi antarwilayah. Pada tahun 2004, kemiskinan di DKI Jakarta hanya mencakup sekitar 3,2 persen penduduk, sedangkan di Papua sekitar 38,7 persen. Di Jakarta, penduduk rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya selama 5,8 tahun. Di Jakarta, hanya sekitar 30 persen penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, sedangkan di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih. Selanjutnya dalam tahun 2004, provinsi di Jawa dan Bali menguasai sekitar 61,0 persen seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra sekitar 22,2 persen, provinsi di Kalimantan 9,3 persen, Sulawesi 4,2 persen, serta provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,7 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,7 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,2 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 4,3 persen. Selain itu, 44 kabupaten/kota merupakan daerah perbatasan dan 20 diantaranya merupakan daerah tertinggal.
Masalah kesenjangan antarwilayah melalui pembangunan daerah tertinggal tetap akan menjadi salah satu perhatian utama pemerintah di dalam memeratakan hasil-hasil pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Upaya tersebut menuntut pentahapan karena besarnya permasalahan yang dihadapi. Dalam tahun 2007, pengurangan kesenjangan antarwilayah difokuskan pada penanganan daerah-daerah perbatasan yang sesungguhnya merupakan beranda negara kita terhadap negara-negara tetangga, serta daerah-daerah terisolir yang di dalamnya juga termasuk pulau-pulau kecil terluar. Dalam konteks pengembangan daerah-daerah perbatasan sebagian besar wilayahnya mengalami masalah ketertinggalan pembangunan akibat aksesibilitasnya yang umumnya terbatas dari ibu kota provinsi. Ketertinggalan tersebut selain berpotensi menimbulkan permasalahan sosial politik dengan negara-negara tetangga, juga mendorong munculnya sejumlah kegiatan yang bersifat ilegal. Dengan demikian, penanganan bagi daerah-daerah ini umumnya menggunakan pendekatan kesejehteraan (prosperity approach) yang diintegrasikan dengan pendekatan keamanan (security approach).
Beberapa masalah pokok di daerah perbatasan dan wilayah terisolir seperti: terbatasnya prasarana dan sarana penunjang ekonomi antara lain transportasi, telekomunikasi, ketenagalistrikan dan informasi, rendahnya akses ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, tingginya biaya produksi, serta terbatasnya prasarana sosial seperti air bersih, air irigasi, kesehatan, pendidikan akan mendapat perhatian yang besar.
Pembangunan wilayah perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar juga tertinggal, meliputi kawasan darat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor Leste serta perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini.
Disamping melalui pendekatan kesejahteraan yaitu dengan pola pembangunan yang lebih terencana, terpadu dan terintegrasi serta dengan meningkatkan sarana dan prasarana, pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar ini akan didorong dengan pendekatan keamanan dan diplomasi. Beberapa masalah di wilayah perbatasan dan terisolir antara lain: belum disepakatinya beberapa segmen garis batas dengan negara tetangga; belum ditetapkannya beberapa titik dasar di pulau-pulau kecil terluar; belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi payung bagi penetapan batas wilayah negara secara menyeluruh; belum tertatanya tanda fisik batas antarnegara; meningkatnya eksploitasi sumber daya alam secara tidak terkendali, seperti penebangan kayu illegal, penambangan pasir laut, serta pencurian ikan oleh kapal asing di perairan ZEE; meningkatnya kegiatan illegal di wilayah perbatasan antarnegara dan pulau-pulau kecil terluar; serta terbatasnya sarana dan prasarana wilayah perbatasan dan terisolir, masih rendahnya kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan dan terisolir khususnya Komunitas Adat Terpencil (KAT) serta terbatasnya jumlah aparat penegak hukum, akan ditangani dalam tahun 2007.
Dukungan infrastruktur masih belum memadai, baik mencakup infrastruktur sumber daya air, transportasi, energi, pos dan telematika, kelistrikan, maupun perumahan dan permukiman. Dalam pengelolaan sumber daya air, ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan air dalam perspektif ruang dan waktu terus berlangsung dan menimbulkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Bahkan di beberapa daerah kelangkaan air terjadi di musim hujan. Kelangkaan air juga mengakibatkan berkurangnya pasokan air baku bagi kebutuhan pokok sehari-hari, industri, maupun permukiman, terutama di daerah-daerah rawan kekeringan, terpencil, dan pulau-pulau kecil terisolir. Selanjutnya kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Selain infrastruktur irigasi, keandalan infrastruktur sumber daya lainnya juga mengalami degradasi, diantaranya bangunan pengendali banjir dan pengaman pantai yang mengakibatkan masih banyak terjadinya banjir dan abrasi di pantai. Kondisi tersebut di atas diperburuk dengan lemahnya koordinasi dalam pengelolaan sumber daya air serta belum adanya sistem pengelolaan data dan informasi yang cepat, akurat, dan mudah diakses.
Dukungan pelayanan transportasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pengembangan wilayah juga masih terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya. Kebutuhan penambahan kapasitas prasarana dan sarana di beberapa wilayah terus meningkat, di samping beberapa prasarana yang ada masih perlu dipertahankan kondisi dan tetap mempertahankan tingkat pelayanan transportasinya. Perkembangan ekonomi, sosial dan politik serta berbagai bencana alam yang terjadi menuntut peran mobilisasi sumber daya dan distribusi melalui pembangunan aksesibilitas transportasi baik di wilayah yang cepat tumbuh maupun pelayanan perintis di berbagai wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah terkena bencana semakin yang meningkat. Dengan keterbatasan dana pemerintah dalam memenuhi kebutuhan standar pemeliharaan serta untuk pembangunan baru prasarana dan sarana transportasi, strategi kebijakan pembangunan prasarana dan sarana transportasi akan terus dikembangkan agar partisipasi swasta dalam investasi dan penyelenggaraan transportasi semakin meningkat dan efisiensi serta keandalan pelayanan transportasi perlu ditingkatkan baik melalui keterpaduan antar moda, antar sektor dan antar wilayah termasuk peningkatan SDM dan teknologi serta manajemen sistem transportasi nasional.
Dalam pada itu pengembangan energi dihadapkan pada permasalahan antara lain pemanfaatan dan pengembangan energi yang belum seimbang antara kebutuhan untuk untuk ekspor maupun domestik serta kemampuan konsumen yang masih terbatas untuk dapat membeli energi dengan harga yang belum sesuai dengan nilai keekonomiannya. Selanjutnya ketergantungan konsumsi energi pada BBM masih sangat tinggi yang disebabkan terutama oleh terbatasnya infrastruktur energi dari ladang hingga ke konsumen secara terintegrasi.
Terbatasnya kapasitas, rendahnya kualitas pelayanan, tidak meratanya penyebaran infrastruktur pos dan telematika, dan terbatasnya pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi merupakan permasalahan yang dihadapi sektor pos dan telematika. Terbatasnya kemampuan pembangunan penyedia infrastruktur pos dan telematika akibat cepatnya perubahan teknologi informasi dan komunikasi, besarnya beban kewajiban pelayanan umum (PSO/USO), rendahnya dukungan industri dalam negeri; masih terbatasnya peran swasta karena tingginya hambatan masuk bagi penyelenggara baru; belum terjadinya kompetisi yang setara akibat masih lemahnya pengawasan pelaksanaan kompetisi; terbatasnya kemampuan penyelenggara untuk melakukan adopsi dan adaptasi teknologi; belum sinergis dan optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga timbul ketidakharmonisan dalam implementasi peraturan perundang-undangan akan ditangani dalam tahun 2007.
Sementara itu, sistem ketenagalistrikan nasional dihadapkan pada beberapa persoalan terutama masih banyaknya wilayah yang mengalami krisis listrik akibat kekurangan kapasitas terpasang/daya mampu sistem ketenagalistrikan yang tersedia serta ketidakefisienan sistem ketenagalistrikan nasional khususnya dalam hal pengelolaan, konfigurasi dan pengaturan beban puncak sistem ketenagalistrikan serta diversifikasi penggunaan energi primer yang digunakannya yang masih banyak menggunakan bahan bakar. Selain itu beberapa permasalahan lain dalam bidang ketenagalistrikan adalah tarif dasar listrik (TDL) yang masih berada di bawah harga pokok produksi (HPP) serta regulasi dan pengaturan yang masih belum tertata dengan baik pasca pembatalan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Kebutuhan perumahan dan prasarana-sarana permukiman semakin meningkat. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, kebutuhan terhadap perumahan beserta prasarana-sarana permukiman penunjangnya seperti jaringan air minum, jaringan air limbah, persampahan, dan jaringan drainase semakin meningkat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional yang berdampak kepada rendahnya kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah serta harga rumah yang terus meningkat karena meningkatnya harga lahan serta masih adanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam perijinan pembangunan rumah, merupakan tantangan yang dihadapi dalam perumahan. Disamping itu menurunnya kualitas lingkungan membawa dampak kepada semakin menurunnya ketersediaan air baku serta semakin mahalnya produksi air minum. Selain itu, prasarana dan sarana air minum yang telah berumur juga semakin menurunkan kehandalan pelayanan air minum. Rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pola hidup bersih dan sehat, prasarana dan sarana yang telah berumur, sulit dan mahalnya proses pengadaan lahan, serta keterbatasan anggaran pemerintah merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam upaya peningkatan penanganan air limbah, persampahan, dan drainase.
B. Tema Pembangunan Tahun 2007 dan Pengarusutamaan Pembangunan
Berdasarkan kemajuan yang dicapai dalam tahun 2005 dan perkiraan 2006, serta tantangan yang dihadapi tahun 2007, tema pembangunan pada pelaksanaan tahun ketiga RPJMN adalah meningkatkan kesempatan kerja dan menanggulangi kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di dalam melaksanakan pembangunan yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah ini, terdapat 4 (empat) prinsip-prinsip pengarusutamaan menjadi landasan operasional bagi seluruh aparatur negara, yaitu:
· Pengarusutamaan partisipasi masyarakat. Pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan harus mempertimbangkan partisipasi masyarakat dalam arti luas. Para jajaran pengelola kegiatan pembangunan dituntut peka terhadap aspirasi masyarakat. Dengan demikian akan tumbuh rasa memiliki yang pada gilirannya mendorong masyarakat berpartisipasi aktif.
· Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan juga dituntut untuk mempertimbangkan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Langkah-langkah membangun harus bermanfaat tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga bagi keberlanjutan pembangunan generasi-generasi berikutnya. Kondisi lingkungan dan sumber daya alam harus dikelola agar pembangunan dapat memberikan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
· Pengarusutamaan gender. Pada dasarnya hak asasi manusia tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Strategi pengarusutamaan gender ditujukan untuk mengurangi kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Perempuan dan laki-laki menjadi mitra sederajat, dan memiliki akses, kesempatan, dan manfaat dari pembangunan yang adil dan setara.
· Pengarusutamaan tata pengelolaan yang baik (good governance). Tata pengelolaan (governance) meliputi berbagai faktor kelembagaan dan organisasi yang mempengaruhi pembentukan kebijakan baik pemerintah maupun masyarakat, khususnya kelompok usaha. Dengan tata pengelolaan yang baik, pemerintahan dan perusahaan akan berjalan secara efisien dan upaya untuk mengatasi masalah akan berjalan secara efektif. Tata pengelolaan yang baik harus melandasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
C. Prioritas Pembangunan Tahun 2007
Berdasarkan sasaran yang harus dicapai dalam RPJM Tahun 2004 – 2009, kemajuan yang dicapai dalam tahun 2005 dan perkiraan tahun 2006, serta berbagai masalah dan tantangan pokok yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2007, prioritas pembangunan nasional pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Penanggulangan Kemiskinan;
2. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor;
3. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas dan Pembangunan Perdesaan;
4. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan;
5. Penegakan Hukum dan HAM, Pemberantasan Korupsi, dan Reformasi Birokrasi;
6. Penguatan Kemampuan Pertahanan, Pemantapan Keamanan dan Ketertiban, serta Penyelesaian Konflik;
7. Mitigasi dan Penanggulangan Bencana;
8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur; serta
9. Pembangunan Derah Perbatasan dan Wilayah Terisolir.
Prioritas pembangunan tahun 2007 ini ditempuh dengan fokus dan kegiatan prioritas sebagai berikut.
I. Penanggulangan Kemiskinan
Sasaran
Sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam prioritas Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya kesejahteraan penduduk miskin sehingga persentase penduduk miskin dapat mencapai 14,4 persen pada akhir tahun 2007;
2. Meningkatnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pangan, pendidikan, kesehatan dan prasarana dasar termasuk air minum dan sanitasi yang baik;
3. Berkurangnya beban pengeluaran masyarakat miskin terutama untuk pendidikan dan kesehatan, prasarana dasar khususnya air minum dan sanitasi, pelayanan KB dan kesejahteraan ibu, serta kecukupan pangan dan gizi;
4. Meningkatnya kualitas keluarga miskin yang ditandai antara lain dengan meningkatnya jumlah pasangan usia subur (PUS) miskin sebagai peserta KB baru menjadi sekitar 2,7 juta dan jumlah PUS miskin sebagai peserta KB aktif menjadi sekitar 12,2 juta; meningkatnya persentase keluarga yang aktif melakukan kegiatan bina keluarga (balita, remaja dan lansia); serta meningkatnya persentase keluarga Pra-S dan KS-I anggota UPPKS yang berusaha menjadi sekitar 55 persen dari keluarga Pra-S dan KS-I anggota UPPKS;
5. Meningkatnya pendapatan dan kesempatan berusaha kelompok masyarakat miskin termasuk penerbitan sertifikat tanah untuk 198 ribu rumah tangga miskin, dan meningkatnya askes masyarakat miskin terhadap permodalan, bantuan teknis, berbagai sarana dan prasarana produksi, serta meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pembangunan.
Arah Kebijakan, Fokus, dan Kegiatan Prioritas
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut ditempuh arah kebijakan sebagaimana tercantum dalam Bab 11, Bab 15, Bab 18, Bab 19, Bab 26, Bab 27, Bab 28, Bab 32, Buku II dengan fokus dan kegiatan prioritas sebagai berikut:
1. Perluasan Akses Masyarakat Miskin Atas Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Dasar
a. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan, dengan kegiatan prioritas:
· Penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs, Pesantren Salafiyah dan Satuan Pendidikan Non-Islam setara SD dan SMP;
· Beasiswa siswa miskin jenjang SMA/SMK/MA;
· Pengembangan pendidikan keaksaraan fungsional.
b. Peningkatan pelayanan kesehatan, dengan kegiatan prioritas:
· Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya sebagai pendukung desa siaga;
· Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit;
· Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar terutama di daerah perbatasan, terpencil, tertinggal dan kepulauan;
· Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan terutama untuk penanganan penyakit menular dan berpotensi wabah, pelayanan kesehatan ibu dan anak, gizi buruk dan pelayanan kegawatdaruratan;
· Pelatihan teknis bidan dan tenaga kesehatan untuk menunjang percepatan pencapaian MDG.
c. Peningkatan sarana dan prasarana dasar bagi masyarakat miskin, dengan kegiatan prioritas:
· Pembangunan dan rehabilitasi perumahan nelayan dan perumahan rakyat di wilayah perbatasan dan pulau kecil sebanyak 2.600 unit;
· Pengembangan lembaga kredit mikro perumahan sebanyak 8 kegiatan;
· Pengembangan subsidi kepemilikan atau perbaikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah;
· Peningkatan kualitas kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan dan desa eks transmigrasi di 150 kawasan;
· Pembangunan prasarana dan sarana permukiman di pulau kecil, kawasan terpencil di 25 kawasan;
· Pembangunan prasarana dan sarana air minum melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat di 105 lokasi/desa miskin, desa rawan air, desa pesisir dan desa terpencil.
d. Pengembangan program (uji coba) subsidi langsung tunai bersyarat, dengan kegiatan prioritas:
· Penyediaan Subsidi Langsung Tunai Bersyarat bidang pendidikan dan kesehatan kepada rumah tangga miskin di beberapa kabupaten percontohan;
· Penyediaan dukungan pembinaan peningkatan kesejahteraan bagi rumah tangga miskin.
2. Perlindungan Sosial
a. Peningkatan perlindungan kepada keluarga miskin, termasuk perempuan dan anak, dengan kegiatan prioritas:
· Jaminan penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi bagi keluarga miskin;
· Peningkatan akses informasi dan pelayanan ketahanan keluarga serta fasilitasi pemberdayaan keluarga;
· Fasilitasi pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2).
b. Peningkatan perlindungan kepada komunitas miskin, penyandang masalah sosial dan korban bencana, dengan kegiatan prioritas:
· Pemberdayaan sosial untuk masyarakat miskin;
· Pemberdayaan komunitas adat terpencil;
· Bantuan dan jaminan sosial untuk masyarakat rentan, termasuk korban bencana alam dan bencana sosial.
3. Penanganan Masalah Gizi Kurang dan Kerawanan Pangan
a. Perbaikan Gizi Masyarakat, dengan kegiatan prioritas: penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya pada rumah tangga miskin.
b. Peningkatan Ketahanan Pangan, dengan kegiatan prioritas: penyaluran beras bersubsidi untuk keluarga miskin.
4. Perluasan Kesempatan Berusaha
a. Penciptaan kepastian hukum atas hak tanah dan peluang permodalan bagi masyarakat miskin dengan mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah bagi rumah tangga miskin (Prona dan transmigrasi), serta advokasi penataan hak kepemilikan dan sertifikasi lahan petani.
b. Peningkatan dukungan pengembangan usaha skala mikro bagi masyarakat miskin, dengan kegiatan prioritas:
· Penyediaan sarana dan prasarana usaha mikro;
· Pelatihan budaya usaha dan teknis manajemen usaha mikro;
· Peningkatan pelayanan koperasi dalam peningkatan usaha mikro terutama melalui Program Perempuan Keluarga Sehat Sejahtera (Perkassa);
· Pembinaan sentra-sentra produksi tradisional.
c. Peningkatan sinergi dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat, dengan kegiatan prioritas:
· Peningkatan pemberdayaan masyarakat perdesaan, antara lain melalui program pengembangan kecamatan (PPK);
· Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pemantauan unit pengaduan masyarakat untuk program-program pengendalian dan pembinaan PKPS-BBM;
· Peningkatan kapasitas masyarakat miskin perkotaan, antara lain melalui program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP).
II. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor
Sasaran
Sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam prioritas Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Menurunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,4 persen dari angkatan kerja.
2. Meningkatnya investasi dalam bentuk pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebesar 11,5 persen.
3. Tumbuhnya industri pengolahan non-migas sebesar 8,1 persen.
4. Meningkatnya ekspor non-migas sekitar 8,2 persen.
5. Meningkatnya penerimaan devisa dari sektor pariwisata sekitas 15 persen dari tahun 2006, serta jumlah perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) menjadi 212 juta perjalanan.
Arah Kebijakan, Fokus, dan Kegiatan Prioritas
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut ditempuh arah kebijakan sebagaimana dalam Bab 16, Bab 19, Bab 22, Buku II dengan fokus dan kegiatan prioritas sebagai berikut.
1. Penciptaan Pasar Tenaga Kerja Yang Lebih Luwes
a. Penyiapan perangkat dan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, dan adil;
b. Penyusunan kerangka kualifikasi nasional dan sistem sertifikasi bidang pendidikan dan pelatihan;
c. Mendorong dan menyempurnakan pelaksanaan negosiasi bipartit antara serikat pekerja dan pemberi kerja;
d. Penyempurnaan dan pengkonsolidasian program-program penciptaan lapangan kerja, khususnya di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur;
e. Peningkatan fungsi dan kinerja Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi pusat pelatihan berbasis kompetensi;
f. Fasilitasi kegiatan pendukung pasar kerja melalui penguatan kelembagaan, informasi pasar kerja dan penyelenggaraan bursa kerja.
2. Perbaikan Iklim Investasi dan Berusaha
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan penanaman modal, yang diharapkan dapat diundangkan pada tahun 2006;
b. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan penanaman modal baik di tingkat pusat maupun daerah;
c. Peningkatan promosi investasi terintegrasi baik di dalam maupun di luar negeri;
d. Peningkatan fasilitasi terwujudnya kerjasama investasi PMA dan PMDN dengan UKM (match-making);
e. Penanganan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (penegakan hukum dan kerja sama dengan instansi terkait);
f. Penyusunan rancangan amandemen UU No. 5 Tahun 1999;
g. Memprakarsai dan mengkoordinasikan pembangunan kawasan industri.
3. Peningkatan Ekspor Non Migas, Perluasan Negara Tujuan dan Produk Ekspor
a. Persiapan pengembangan dan pembentukan National Single Window dalam rangka persiapan pelaksanaan ASEAN Single Window (termasuk sistem dan jaringan pertukaran data/dokumen);
b. Penyelenggaraan pusat promosi dagang Indonesia (Indonesian Trade Promotion Center/ITPC) di 20 kota dagang utama dunia;
c. Peningkatan partisipasi aktif Indonesia di fora internasional (WTO, APEC, ASEAN, dan mitra dialog ASEAN);
d. Optimalisasi fungsi tim nasional perundingan perdagangan internasional, peningkatan ekspor non migas, dan investasi;
e. Penyusunan peraturan perundang-undangan tentang perdagangan, Sistem Resi Gudang (SRG), Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK), dan Pasar Lelang;
f. Pembinaan pasar dan distribusi;
g. Pembinaan dan pengawasan standardisasi, akreditasi, dan pengendalian mutu;
h. Penanganan pasca panen dan peningkatan mutu hasil pertanian;
i. Pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.
4. Peningkatan Intensitas Pariwisata
a. Fasilitasi pengembangan destinasi pariwisata unggulan terutama wisata bahari, budaya dan MICE (Meetings, Incentives, Conventions and Exhibitions), serta pendukungan pengembangan daya tarik pariwisata daerah;
b. Pengembangan sarana dan prasarana promosi pariwisata dan peningkatan promosi pariwisata ke luar negeri;
c. Pengembangan kebijakan SDM dan peningkatan litbang kebudayaan dan pariwisata nasional.
5. Peningkatan Produktivitas dan Akses UKM kepada Sumberdaya Produktif
a. Penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang UMKM dan peraturan pelaksanaannya;
b. Fasilitasi formalisasi badan usaha UMKM dan sertifikasi tanah UMKM;
c. Penyusunan RUU lembaga penjaminan kredit;
d. Penyediaan skim penjaminan kredit UKM terutama kredit investasi pada sektor agribisnis dan industri;
e. Pembiayaan produktif dengan pola usaha bagi hasil/syariah dan konvensional;
f. Pengembangan klaster bisnis dengan basis kawasan industri;
g. Penyediaan sarana dan penyelenggaraan promosi produk KUKM;
h. Penumbuhan wirausaha baru terutama melalui Program Sarjana Pencipta Kerja (Prospek) Mandiri;
i. Fasilitasi pengembangan UKM berbasis teknologi;
j. Pembinaan, pengawasan dan penilaian koperasi;
k. Penyediaan sarana produksi bersama bagi anggota koperasi;
l. Penyempurnaan dan penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang koperasi.
III. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dan Perdesaan
Sasaran
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dan Perdesaan pada tahun 2007 adalah tercapainya pertumbuhan di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan sebesar 2,7 persen, dengan rincian pertumbuhan untuk tanaman pangan 1,5 persen, perkebunan 3,9 persen, peternakan 3,3 persen, dan perikanan sebesar 4,5 persen, untuk:
1. Terwujudkan ketahanan pangan nasional melalui:
a. Tercapainya produksi padi/beras dalam negeri sebesar 54,6 juta ton gabah, didukung dengan optimalisasi lahan tanaman padi terutama di 14 provinsi penghasil utama, operasi dan pengelolaan, pengembangan serta peningkatan fungsi jaringan irigasi, pengendalian banjir, pengelolaan sungai, danau dan waduk, konservasi sumber-sumber air, pengembangan jalan produksi/usahatani dan pengaturan impor;
b. Meningkatnya produksi jagung dan tanaman palawija lainnya serta meningkatnya produksi dan produktivitas pertanian nasional untuk peningkatan pendapatan petani;
c. Meningkatnya sistem kesehatan hewan untuk mengendalikan wabah flu burung;
d. Meningkatnya distribusi, akses pangan, diversifikasi dan keamanan pangan bagi masyarakat;
e. Membaiknya kondisi 282 DAS prioritas dalam mendukung kebutuhan sumber air bagi tercapainya revitalisasi pertanian dan kehutanan.
2. Meningkatnya produksi pertanian, perikanan dan kehutanan yang berkelanjutan dan kesejahteraan petani dan nelayan melalui:
a. Meningkatnya produksi perkebunan, peternakan dan hortikultura;
b. Meningkatnya produksi perikanan sebesar 5,0 persen atau sebesar 7,5 juta ton;
c. Meningkatnya konsumsi, mutu dan nilai tambah perikanan;
d. Terjangkaunya program pemberdayaan ekonomi masyarakat di 14 persen kabupaten/kota yang berpesisir;
e. Berfungsinya penyuluhan dan bimbingan di 3.557 BPP;
f. Terlaksananya fasilitasi pembangunan hutan tanaman seluas sekitar 800 ribu ha dan hutan rakyat 200 ribu ha;
g. Meningkatnya produksi hasil hutan non kayu (rotan, gaharu, gatah jelutung, seedlak);
h. Terlaksananya pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan di 5 taman nasional dan 3 taman wisata alam;
i. Terlaksananya proyek percontohan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di 8 provinsi;
j. Menurunnya kebakaran hutan dan lahan pada 5 provinsi rawan kebakaran;
k. Terlaksananya koordinasi penanganan illegal logging.
3. Meningkatnya kapasitas dan keberdayaan masyarakat dan lembaga perdesaan, serta dukungan pembangunan infrastruktur perdesaan untuk mendorong diversifikasi kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di perdesaan.
4. Tersusunnya peraturan yang kondusif dan dukungan agar:
a. Tercipta pasar biodiesel (B-10) sebagai bahan pencampur solar untuk dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi lokal dan regional secara terbatas;
b. Terumuskan standardisasi biodiesel dan biofuel nasional;
c. Berkembang produksi bahan baku bahan bakar nabati (BBN) dan pabrik pengolahan (demo plant) biodiesel untuk kapasitas 1 – 8 ton per hari atau sekitar 300-3000 ton per tahun;
d. Tersosialisasikan etanol (E-10) sebagai gasohol (biofuel) di kota-kota besar.
Arah Kebijakan, Fokus dan, Kegiatan Prioritas
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut, ditempuh arah kebijakan sebagaimana tercantum pada Bab 18, Bab 24, dan Bab 32 Buku II, dengan fokus pembangunan dan kegiatan prioritas sebagai berikut.
1. Ketahanan Pangan Nasional
Ketahanan pangan nasional difokuskan pada tercukupinya kebutuhan beras dari dalam negeri dan didukung dengan produksi palawija dan daging, melalui kegiatan prioritas sebagai berikut:
a. Peningkatan produksi dan produktivitas pangan dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan terutama padi/beras di dalam negeri melalui pengembangan perbenihan/perbibitan; pengembangan intensifikasi padi-padian, kacang-kacangan dan umbi-umbian, pengembangan penyediaan prasarana dan sarana termasuk peningkatan fungsi jaringan irigasi di tingkat petani, perluasan areal tanam dan areal panen; penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian; peningkatan intensifikasi dan ketahanan pangan; pengembangan dan perlindungan tanaman dan ternak yang didukung sistem perkarantinaan dan pengawasan ketahanan pangan juga pengendalian wabah flu burung pada hewan;
b. Perbaikan sistem distribusi dan akses pangan melalui pengembangan pendukung pangan antar wilayah, model distribusi pangan yang efektif dan pengembangan cadangan pangan;
c. Peningkatan konsumsi, diversifikasi dan keamanan pangan dengan melakukan pengembangan pola konsumsi pangan yang berimbang, penyediaan beras bersubsidi untuk masyarakat miskin;
d. Peningkatan sistem pendukung produksi pangan dan pertanian dengan melakukan pengembangan teknologi produksi, pengolahan dan pengembangan pasca panen produk pangan serta peningkatan kelembagaan petani dan pertanian, termasuk penguatan kelembagaan perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) pertanian dalam rangka mengupayakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang adil;
e. Pengelolaan waduk, sungai, rawa dan pengendalian banjir;
f. Konservasi sungai, waduk dan sumber-sumber air;
g. Pengendalian banjir dan pengamanan pantai;
h. Peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya pada DAS-DAS prioritas.
2. Peningkatan Kualitas Pertumbuhan Produksi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Difokuskan pada pertumbuhan produksi pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk peningkatan pendapatan dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dengan kegiatan prioritas sebagai berikut:
Peningkatan produksi dan pendapatan petani dengan mendorong:
a. Peningkatan produktivitas dan produksi perkebunan, peternakan dan hortikultura;
b. Pengembangan komoditas dan pengolahan untuk meningkatkan nilai hasil perkebunan, peternakan dan hortikultura;
c. Penguatan lembaga penyuluhan pertanian, peningkatan lembaga pelayanan bagi petani (keuangan dan saprodi), peningkatan SDM penyuluh, aparat, petani dan pelaku agribisnis;
d. Peningkatan pengembangan dan diseminasi teknologi tepat guna untuk mendukung peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian;
e. Peningkatan daya saing dengan penerapan harmonisasi tarif dan penyelarasan kebijakan program agribisnis, pengembangan kelembagaan dan informasi pasar, kerjasama perdagangan internasional, perbaikan kualitas dan standar mutu serta penerapan sistem karantina untuk mengendalikan penyakit yang membahayakan produksi dan keamanan produk;
f. Pengembangan agroindustri perdesaan, pola kemitraan usaha di bidang pertanian serta pengembangan infrastruktur perdesaan (jalan produksi/usaha tani, dan fasilitas irigasi lahan kering).
Peningkatan produksi perikanan dan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya dengan melakukan:
a. Penguatan dan pengembangan perikanan tangkap yang efisien dan berbasis kerakyatan, serta pengembangan usaha budidaya yang berwawasan lingkungan;
b. Revitalisasi perikanan terutama untuk komoditas tuna, udang dan rumput laut dengan mengembangkan skala usaha nelayan dan pembudidaya ikan, pemberdayaan ekonomi dan penguatan kelembagaan masyarakat;
c. Pengembangan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan serta input produksi lainnya;
d. Pengembangan dan penguatan industri penanganan dan pengolahan untuk meningkatkan standar mutu dan nilai tambah, serta pemasaran hasil;
e. Penguatan basis data statistik dan sistem informasi perikanan, rekayasa teknologi terapan perikanan dan diseminasinya serta peningkatan kualitas SDM perikanan dan sistem penyuluhan perikanan;
f. Pengembangan sistem karantina dan sistem pengelolaan kesehatan ikan;
g. Peningkatan kualitas dan sistem perijinan usaha perikanan, sertifikasi balai benih, serta pengembangan wilayah berbasis perikanan dan koordinasi penanganan illegal fishing, dan prasarana pendukung lainnya;
h. Pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan serta pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir.
Peningkatan produksi kehutanan dengan melakukan:
a. Pengembangan pengelolaan pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan serta perhutanan sosial;
b. Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan;
c. Perlindungan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;
d. Pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya;
e. Deregulasi peraturan perundangan kehutanan untuk mendukung percepatan pembangunan hutan tanaman;
f. Koordinasi penanganan illegal logging;
g. Percepatan pembentukan KPH;
h. Memprioritaskan suplai kayu untuk industri yang mempunyai nilai tambah tinggi.
3. Pengembangan Diversifikasi Ekonomi dan Infrastruktur Perdesaan
Pengembangan diversifikasi ekonomi dan infastruktur perdesaan dilakukan melalui kegiatan prioritas:
a. Fasilitasi pengembangan diversifikasi ekonomi perdesaan, pembinaan lembaga keuangan perdesaan, dan penyelenggaraan diseminasi teknologi tepat guna bagi kawasan perdesaan;
b. Pembangunan prasarana dan sarana kawasan agropolitan;
c. Pembangunan prasarana desa pusat pertumbuhan, pembangunan sarana dan prasarana pendukung P2KPDT, dan pembangunan infrastruktur perdesaan pola PKPS BBM;
d. Pemberdayaan lembaga dan organisasi masyarakat perdesaan, peningkatan kapasitas fasilitator pembangunan perdesaan, penyelenggaraan diseminasi informasi bagi masyarakat desa, dan pemantapan kelembagaan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan;
e. Penyediaan skim permodalan usaha dengan sistem bunga, sistem bagi hasil dana bergulir, sistem tanggung renteng atau jaminan tokoh masyarakat setempat sebagai pengganti agunan;
f. Penyediaan skim penjaminan kredit UKM, terutama kredit investasi pada sektor agrobisnis dan industri;
g. Pembangunan 27.515 satuan sambungan telepon baru di 10.100 desa serta 100 unit pusat informasi masyarakat (community access point);
h. Pengembangan pola kerjasama pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan listrik-listrik perdesaan.
4. Pengembangan Sumber Daya Alam Sebagai Sumber Energi Berkelanjutan Yang Terbarukan (renewable energy)
Fokus pengembangan dilakukan dengan melakukan kegiatan prioritas:
a. Penetapan rencana induk pemanfaatan biodiesel dan biofuel sebagai sumber energi terbarukan, penetapan harga biodiesel dan biofuel disesuaikan dengan nilai keekonomiannya, penyediaan fasilitas kepada badan usaha untuk melakukan pengembangan pengolahan biodiesel dan biofuel, serta jaringan pendistribusiannya;
b. Penyempurnaan peraturan dan penyiapan perangkat hukum dan insentif untuk inovasi pemanfaatan biodiesel dan biofuel sebagai sumber energi terbarukan; perumusan dan penerapan standar mutu produk biodiesel dan biofuel sebagai sumber energi terbarukan;
c. Penyediaan pasokan bahan baku dan cadangan strategis biodiesel dan biofuel dengan memberi dukungan untuk penyiapan lahan pertanian, pengembangan tatacara penggunaan biodiesel dan biofuel sebagai energi terbarukan dan tatacara penyimpanannya, dorongan untuk pembangunan pabrik pengolahan minyak sawit/jarak untuk biodiesel dan pabrik pengolahan etanol untuk gasohol (biofuel) dengan skala produksi kecil dan menengah (skala pilot), dan peningkatan kegiatan riset dan penelitian dalam pencarian sumber-sumber energi terbarukan (biodiesel dan biofuel) dan teknologi aplikasi pengolahannya.
IV. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan
Sasaran
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan dasar yang diukur dengan meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SD termasuk SDLB/MI/Paket A setara SD menjadi 114,9 persen; meningkatnya APK jenjang SMP/MTs/Paket B setara SMP menjadi 91,7 persen; meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun menjadi 99,5 persen; dan meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun menjadi 91,1 persen;
2. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang diukur dengan meningkatnya APK jenjang SMA/SMK/MA/Paket C setara SMA menjadi 60,7 persen; meningkatnya APS penduduk usia 16-18 tahun menjadi 61,3 persen; dan meningkatnya APK jenjang pendidikan tinggi menjadi 16,1 persen;
3. Meningkatnya proporsi guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan standar kompetensi yang disyaratkan;
4. Menurunnya angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 6,7 persen, bersamaan dengan makin berkembangnya budaya baca;
5. Meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antarkelompok masyarakat termasuk antara perkotaan dan perdesaan, antara daerah maju dan daerah tertinggal, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara penduduk laki-laki dan perempuan;
6. Meningkatnya pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Puskesmas dan kelas III rumah sakit mencakup 100 persen;
7. Meningkatnya persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) mencakup 92 persen;
8. Meningkatnya case detection rate TB mencakup lebih dari 70 persen;
9. Meningkatnya persentase penderita demam berdarah (DBD) yang ditangani mencakup 100 persen;
10. Meningkatnya persentase penderita malaria yang diobati mencakup 100 persen;
11. Menurunnya case fatality rate diare saat KLB mencakup 1,3 persen;
12. Meningkatnya persentase orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mendapat pertolongan ART mencakup 100 persen;
13. Meningkatnya persentase ibu hamil yang mendapat tablet Fe mencakup 85 persen;
14. Meningkatnya persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif mencakup 60 persen;
15. Meningkatnya persentase balita yang mendapat Vitamin A mencapai 80 persen;
16. Meningkatnya persentase peredaran produk pangan yang memenuhi syarat keamanan mencakup 70 persen;
17. Meningkatnya cakupan pemeriksaan sarana produksi dalam rangka cara pembuatan obat yang baik (CPOB) mencakup 45 persen.
Arah Kebijakan, Fokus, dan Kegiatan Prioritas
Dalam mencapai sasaran pembangunan tersebut ditempuh arah kebijakan sebagaimana tercantum dalam Bab 26 dan Bab 27 Buku II, dengan fokus dan kegiatan prioritas sebagai berikut.
1. Percepatan Pemerataan, Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
a. Penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI/SDLB, SMP/ MTs, pesantren Salafiyah dan Satuan Pendidikan Non-Islam setara SDdan SMP;
b. Rehabilitasi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar