Masa Kritis Pemerintahan Gus Dur
PADA tahun 2000, dukungan publik terhadap pemerintahan Gus Dur
diperkirakan menurun. Belum seratus hari pemerintahan Gus Dur
terbentuk, tanda-tanda ketidak puasan atas pemerintahan ini mulai
tumbuh. Jika popularitas pemerintah Gus Dur terus merosot, di tahun
2000 masyarakat dapat kembali menyatakan mosi tidak percaya atas
pemerintahan baru. Hal ini dapat membuat pemerintahan Gus Dur tidak
efektif untuk memimpin perubahan sistemik menuju Indonesia baru yang
demokratis dan bersih dari korupsi.
Demikianlah sebagian hasil dari survai dan analisa yang dibuat oleh
Pusat Studi Demokrasi, Universitas Jayabaya. Survai ini dilakukan di
empat kota besar: Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar, melibatkan
2.000 responden yang mewakili golongan sosial-ekonomi atas, menengah
dan bawah secara proporsional.
Legitimasi pemerintahan Gus Dur memang masih kuat. Pemilihan Presiden
dan pemilu yang relatif demokratis tahun 1999 menjadi penopang utama
legitimasi itu. Sementara Gus Dur sendiri melakukan politik akomodasi
yang ekstrem. Semua partai besar di parlemen yang menang pemilu,
termasuk TNI yang tak ikut pemilu, menjadi bagian pemerintahan Gus
Dur. Dapat dikatakan pemerintahan Gus Dur mewakili hampir semua
masyarakat pemilih dan kekuatan politik utama masyarakat.
Berdasarkan alasan di atas, popularitas pemerintahan Gus Dur
seharusnya sangat tinggi. Ditambah lagi, masa sebelum seratus hari
pelantikannya adalah masa bulan madu. Dalam masa itu tingkat
penerimaan masyarakat atas pemerintahan baru mesti lebih tinggi lagi.
Masa bulan madu semestinya menyebabkan bias akibat meluapnya antusias
dan harapan publik.
Namun hasil survai menunjukan bahwa popularitas pemerintahan Gus Dur
tidak setinggi semestinya. Demikian pula tingkat kepercayaan atas
kemampuan pemerintah Gus Dur untuk menyelesaikan krisis dan membawa
Indonesia menuju pemerintahan yang bersih dari korupsi juga di bawah
60%.
Dengan kata lain, belum seratus hari pemerintahan Gus Dur terbentuk,
ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur mulai tumbuh. Sebanyak 30,7%
tidak puas dengan situasi politik pemerintahan Gus Dur. Sebanyak 42,9%
tak puas dengan kondisi ekonominya. Sebesar 49,8% tidak puas dengan
gaya kepemimpinan Gus Dur. Sebanyak 50,8% merasa tak aman hidup dalam
era pemerintahan Gus Dur. Lebih dari 40% tidak mempercayai
pemerintahan ini mampu membawa Indonesia menuju pemerintahan yang
bersih dan berwibawa.
Jika angka ketidak-puasan itu terjadi dalam sistem politik di Amerika
Serikat, sebagai misal, tingkat kepuasan di bawah 70% atau 60% masih
dianggap baik. Politik di Amerika Serikat adalah politik dua partai
yang sama-sama kuat. Masyarakat terbelah secara sama rata di antara
dua partai itu. Pemerintahan baru di sana adalah pemerintahan satu
partai. Dengan sendirinya publik yang berasal dari partai yang tidak
memerintah, wajar saja jika tidak memberikan penilaian yang memuaskan
atas presiden dari partai yang sedang memerintah.
Tetapi untuk kasus pemerintahan Gus Dur, hal ini menjadi lain.
Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintah yang akomodasi politiknya
sangat ekstrem. Semua partai besar yang masuk parlemen, terwakili
dalam pemerintahan ini. Berarti, kabinet ini seharusnya mewakili
hampir seratus persen masyarakat pemilih. Apalagi di era awal
terbentuknya pemerintahan baru, seharusnya tingkat popularitasnya
mencapai angka 80% sampai 90%. Kenyataannya survai memperlihatkan
angka popularitas pemerintah Gus Dur jauh di bawah angka itu. Besarnya
angka ketidak-puasan itu sudah cukup mengkhawatirkan. Tanpa ada
gebrakan pemerintahan Gus Dur yang efeknya terasa pada publik,
ketidak-puasan itu dapat terus meluas. Ujungnya, pemerintahan Gus Dur
dapat jatuh di tengah jalan. Program transisi dan reformasi pun dapat
tersendat.
Penyebab
Ada beberapa kemungkinan penyebab popularitas pemerintahan Gus Dur
tidak setinggi seharusnya. Ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur
yang baru berjalan beberapa minggu itu dapat disebabkan oleh empat
alasan.
Pertama, pemerintahan Gus Dur memang tidak dipersiapkan jauh hari. Gus
Dur bukanlah tokoh dari partai pemenang pemilu. Ia terpilih dari
proses yang unik, yang akhirnya menyingkirkan dua kandidat utama saat
itu, Megawati dan Habibie. Tidak seperti saingannya, sebelum pemilihan
presiden, Gus Dur menyiapkan siapa yang akan menjadi tim kabinetnya.
Terlebih lagi, Gus Dur tidak pula menyiapkan program kerja seratus
hari pertama setelah dilantik, sebagaimana yang dilakukan para
presiden terpilih di negara maju.
Akibatnya, setelah ia menjadi presiden dan membentuk kabinet, tak ada
kejelasan tentang program kerja. Tak ada pula kejelasan tentang
platform bersama yang menjadi tuntutan kabinet. Semua serba dibuat
berdasarkan kompromi dan ketergesaan. Masyarakat melihat sebuah
pemerintahan demokratis berjalan tanpa program yang jelas.
Ketidak-puasan mudah lahir dalam situasi seperti itu.
Kedua, pemerintahan Gus Dur juga harus berlomba dengan waktu.
Pemerintahan ini tidak berada dalam situasi normal. Sebaliknya,
pemerintahan itu lahir dalam situasi krisis yang meminta penanganan
segera. Keterlambatan bertindak baik dalam persoalan politik ataupun
ekonomi dapat kehilangan banyak. Apalagi jika sang pemimpin dinilai
bukan saja terlambat tetapi salah bertindak.
Ketiga, pemerintah Gus Dur saat itu berhadapan dengan dua pilihan yang
bersifat trade off antara efektivitas pemerintahan dan utang budi
politik. Jika ingin membalas utang budi aneka partai yang
menyebabkannya terpilih, Gus Dur mesti merekrut sebanyak mungkin
partai politik yang menolongnya. Sebaliknya, dari sisi efektivitas
pemerintahan, makin banyak dan beragam partai politik yang turut dalam
pemerintahan, makin tak efektif pemerintahan itu, karena sulitnya
mencari pesepakatan dan platform bersama.
Gus Dur agaknya memilih alternatif pertama. Jika yang ia utamakan
adalah pemerintahan yang efektif, partai yang perlu ia ajak cukup dua
atau tiga partai saja yang memiliki kedekatan platform. Sulit
membayangkan sebuah pemerintahan yang terdiri atas enam partai yang
platform-nya berbeda bahkan saling berlawanan dapat secara sinkron
menjadi pemerintahan yang efektif.
Keempat, Gus Dur pribadi masih memerlukan waktu untuk
mentransformasikan dirinya, dari pemimpin sebuah organisasi keagamaan
menjadi pemimpin sebuah negara modern. Sebagai pemimpin negara modern
ada tuntutan lebih yang masih belum dipenuhi Gus Dur, seperti
kemampuan manajerial dan kearifan negarawan yang berhati-hati dalam
membuat statemen dan membuat kebijakan.
Empat alasan di atas menjadi penyebab mulai tumbuhnya ketidak-puasan
atas pemerintahan Gus Dur. Ketidak-puasan itu dapat mengecil ataupun
membesar.
Kebijakan Mendatang
Agar popularitas pemerintah Gus Dur tidak makin merosot, harus ada
kebijakan kongkret yang efeknya terasa langsung oleh publik luas.
Hasil survai ini memperlihatkan berbagai kerangka kehendak yang hidup
secara dominan dalam sentimen publik. Berbagai kebijakan yang diminta
antara lain:
Hukum bagi pejabat yang korupsi (83%); Otonomi daerah yang luas bagi
tiap propinsi (52,3%); Harga barang-barang yang terkendali (42,5%);
Meningkatkan rasa aman (43,3%); Gus Dur mesti lebih matang dalam
membuat pernyataan publik (27%).
Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata bukanlah
pilihan mayoritas. Sentimen mayoritas masih menghendaki negara
kesatuan namun dengan otonomi yang luas.
Hal lain yang perlu diperhatikan, berdasarkan hasil survai, di masa
mendatang, Gus Dur agaknya mesti memiliki tim politik yang membantunya
dalam membuat pernyataan publik ataupun kebijakan.
Yang menarik dari temuan survai dalam aspek politik ini ialah bahwa
eksistensi Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk berdasarkan
akomodasi dari berbagai kelompok kepentingan dalam pandangan umum
publik dinilai sebagai pemerintahan dari hasil pemilu yang demokratis
(35,9%) dan lebih dapat dipercaya (33,1%). Suatu hal yang sebenarnya
dapat diperdebatkan jika dikaji dalam perspektif demokrasi yang
sebenarnya. Apologia publik terhadap makna demokrasi ditunjukkan oleh
pandangannya terhadap kehadiran Presiden Gus Dur sebagai hal yang
dapat diterima karena personifikasi popularitas Gus Dur yang dapat
diterima oleh banyak pihak sebagaimana dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, agar Gus Dur lebih efektif dalam memimpin negara,
publik berharap selain agar para menterinya dapat bekerja sama dan
mendengar aspirasi rakyat (48,7% responden), Gus Dur perlu memiliki
tim politik yang profesional (21% responden) dan berasal dari kelompok
ahli politik nonpartisan (54,1% responden). Aspirasi publik semacam
ini menunjukkan bahwa objektivitas perjalanan Kabinet Persatuan
Nasional perlu dijaga. Oleh karena itu, pulik juga berharap munculnya
kekuatan oposisi yang mampu mengontrol pemerintah (19,6%).
Harapan publik di sektor ekonomi juga menunjukkan sikap rasional dalam
mencermati keadaan yang sedang dialami Indonesia sebagai warisan yang
tidak menyenangkan dari pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu,
mengatasi krisis ekonomi (46,7%) dengan cara tidak menaikkan harga
barang secara umum, meningkatkan kepercayaan para penanam modal serta
membuka lowongan pekerjaan baru menjadi prioritas yang dituntut publik
dalam kebijakan pemerintah Gus Dur - Megawati.
Kepedihan ekonomi yang dirasakan publik menimbulkan tuntutan publik
(30,4% responden) terhadap pemerintahan Gus Dur - Megawati agar mampu
memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan cara membentuk
lembaga independen pengawas korupsi (47,2%), mengadili mantan Presiden
Soeharto dan kroninya, serta pengumuman kekayaan Presiden, Wapres dan
para menteri.
Tuntutan publik terhadap rasa keadilan sangatlah tinggi. Hal ini
terekam dalam tuntutan publik agar para menteri dan/atau pejabat
tinggi negara yang terbukti terlibat korupsi diganti dan dihukum
(83,2% responden), tidak terkecuali kasus mantan Presiden Soeharto dan
kroninya untuk diadili dan jika terbukti bersalah dihukum (60,3%
responden). Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata
bukanlah pilihan mayoritas, Sentimen mayoritas masih menghendaki
negara kesatuan dengan otonomi yang luas (52,3%).
Memang terlalu dini untuk memberikan penilaian terhadap pemerintahan
yang baru berjalan kurang dari seratus hari. Oleh karena itu survai
tahap pertama ini menjaring informasi yang berkaitan dengan masalah
persepsi, kepercayaan dan harapan publik terhadap Pemerintahan Gus Dur
- Megawati.
Gus Dur dan Politik Multikulturalisme
Banyak yang telah ditulis tentang keberpihakan Gus Dur terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Harus diakui bahwa komentar, tafsir, dan berbagai teks tentang Gus Dur akan terus mengalir tiada henti. Ini konsekuensi logis dari dua hal.Pertama, pluralisme bagi Gus Dur bukan sebuah wacana dan bukan pula sekadar sebuah perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, kedua, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur. Tulisan ini ingin mengangkat tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Pengakuan Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti pertama-tama ada pengakuan mengenai adanya orang lain dalam keberbedaan dan keberlainannya. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.
Konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam-ragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar moral dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah humanisme: setiap orang hanya bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya: agama, suku, jenis kelamin, aliran politik.
Pemaksaan terhadap cara hidup yang berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Demikian pula sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan identitas agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik.
Ini semua dihayati oleh Gus Dur secara konsekuen, termasuk bahkan dianggap nyeleneh dan kontroversial. Namun, itu adalah risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.
Toleransi Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Memaksa orang lain menjadi kita, atau menghambat orang lain menjadi orang lain, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.
Hanya saja, yang menarik pada Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayati oleh beliau bukan secara negatif-minimalis: sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya (dalam pengertian luas mencakup agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik). Toleransi yang negatif-minimalis adalah sekadar tidak melarang, tidak menghambat, tidak mengganggu, dan tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas kulturalnya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.
Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju dari toleransi negatif-minimalis di atas. Yang dihayati dan dipraktikkan beliau adalah toleransi positif-maksimal: membela kelompok mana saja—termasuk khususnya minoritas—yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Maka, ia mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Ia mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya.
Toleransi positif-maksimal ini bahkan dihayati Gus Dur secara konsekuen tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi humanisme: mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.
Kian jadi diri sendiri
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Gur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen.
Ini hanya mungkin terjadi karena Gus Dur sendiri sudah oke dengan jati dirinya sendiri, dengan identitas kulturalnya, dan menjalankan identitas kulturalnya secara murni dan konsekuen sebagaimana ia menghendaki orang lain melakukan hal yang sama. Itu disertai dengan keyakinan yang teguh bahwa semakin orang menjadi dirinya sendiri dalam identitas kulturalnya, maka semakin terjamin tertib sosial. Sebab, ketika seseorang melaksanakan identitas kulturalnya sampai merusak tertib sosial, ia merusak citra diri dan identitasnya, serta identitas semua kelompok kultural terkait.
Artinya, multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia akan justru menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya yang unik.
Proyek besar yang ditinggalkan Gus Dur, yang sekaligus menjadi tantangan kita bersama, adalah bahwa kita masih berbicara tentang multikulturalisme pada tingkat wacana. Kita belum benar-benar menghayati dan melaksanakannya secara konsekuen sebagaimana Gus Dur. Hal itu, antara lain, karena kita terhambat oleh ketakutan kita sendiri.
Pertama, kita takut tidak diterima orang lain dalam keberbedaan dan keunikan identitas kultural dan jati diri kita. Kedua, kita takut akan bayangan kita sendiri yang kita proyeksikan pada orang lain seakan orang lain akan menolak segala praktik kultural kita karena kita sendiri tidak benar-benar oke dengan identitas kultural dan jati diri kita. Ketiga, kita takut kalau-kalau dengan mengakui identitas kultural pihak lain, kita sendiri terbawa hanyut dalam identitas kultural pihak lain lalu kehilangan jati diri.
- Minimal Gus Dur telah mengajarkan dan meninggalkan warisan bagi kita bahwa ternyata menghayati dan mempraktikkan multikulturalisme secara murni dan konsekuen itu tidak repot. ”Betul, Gus. Gitu aja kok repot.”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar