SIMPUL - Serangkaian peristiwa menjelang Pemilu 2004, baik legislatif maupun pemilihan presiden dan wapres (pilpres) lalu menunjukkan adanya fenomena yang klasik di masa-masa awal demokrasi: terbatasnya demokrasi internal partai politik...
Serangkaian peristiwa menjelang Pemilu 2004, baik legislatif maupun pemilihan presiden dan wapres (pilpres) lalu menunjukkan adanya fenomena yang klasik di masa-masa awal demokrasi: terbatasnya demokrasi internal partai politik.
Tidak dapat dipungkiri, partai politik adalah sebuah institusi yang esensial di dalam demokrasi. Partai politik sesungguhnya adalah tulang punggung dari demokrasi. Partai politik ada karena kebutuhan hubungan yang intensif antara masyarakat sipil dengan pemerintah.
Kay Lawson (1988) misalnya, mengemukakan bahwa partai politik merupakan sebuah agensi (agency) yang dapat mengklaim memiliki rasion d'etre untuk mendasari berbagai keterkaitan di dalam sebuah negara. Keterkaitan tersebut, ungkap Lawson, merupakan sebuah hal yang utama, karena partai politik menyediakan 'benang penghubung' antara pemilih, proses pemilihan umum, dan pemerintah yang dihasilkan dari proses tersebut. Jika secara formal partai politik menyediakan wadah tersebut, yang menjadi permasalahan kemudian adalah, seberapa jauh partai politik tersebut mampu untuk mengakomodasi kepentingan grassroot.
Meskipun secara formal fungsi-fungsi parpol tersebut terpenuhi melalui rutinitas politik seperti pemilihan umum, kelemahan yang mendasar dari partai politik di Indonesia adalah rendahnya kapasitas dan kapabilitas partai untuk mengakomodasi kepentingan grassroot. Padahal, keterikatan sebuah parpol dengan grassroot sesungguhnya merupakan substansi yang melengkapi prosedur formal demokrasi tersebut itu. Ini ditunjukkan oleh pengalaman Pemilu 1999, dan masa setelahnya di mana kualitas partai -dibandingkan dengan jumlah partai-ternyata jauh lebih dibutuhkan dalam sebuah demokrasi.
Sumber dari kelemahan tersebut memang beragam, namun yang belakangan ini menonjol dan cukup memprihatinkan adalah tentang manajemen partai politik. Scott Mainwaring (1999) mengatakan, manajemen partai politik sebagai satu dari empat dimensi utama dalam proses institusionalisasi sistem kepartaian di sebuah negara. Institusionalisasi dianggap penting karena meningkatkan kepastian dan kestabilan politik negara pada jangka panjang. Tanpa manajemen partai politik yang baik, institusionalisasi akan terjerembab di dalam personalisasi politik yang hanya akan mengedepankan kepentingan sesaat elit politik yang bersangkutan.
Demokrasi Internal
Kegagalan manajemen parpol dapat dipersalahkan pada hampir tidak adanya prosedur demokratis di dalam partai politik. Segala keputusan 'penting' dan 'strategis' diserahkan sepenuhnya di tangan pimpinan partai. Implikasinya, ketika hal-hal 'penting' dan 'strategis' ini bersinggungan dengan hak-hak demokratis dari pengurus di daerah, atau anggota partai, seringkali pimpinan bertindak otoriter dan mengabaikan aspirasi dari anggota demi 'kepentingan partai'.
Keputusan pimpinan partai bersifat final dan mutlak dan tidak dapat ditantang secara demokratis. Sebagai tambahan, pemberlakuan hukuman tidak lain diperuntukkan sebagai tindakan penangkal, sebuah pencegahan terhadap tindakan serupa yang mungkin dilakukan oleh anggota atau pengurus daerah partai di tempat lain.
Setidaknya ada dua isu sentral di dalam manajemen partai dimana demokrasi seharusnya menjadi prinsip dasar di dalamnya.
Pertama, cara-cara bagaimana keputusan diambil. Dalam demokrasi, keputusan yang akan melibatkan banyak pihak harus diambil secara partisipatoris. Sudah barang tentu bahwa hal ini seharusnya berlaku juga di tingkat internal partai. Partai politik adalah mikrokosmos dari demokrasi. Selain diatur dalam aturan perundang-undangan, bagaimana sebuah partai ditata juga akan mencerminkan tindak tanduk partai politik tersebut dalam politik nasional.
Oleh karena itu, partai yang demokratis akan menghasilkan keputusan yang juga tentunya akan berpihak pada demokrasi. Partai yang demokratis tentunya bisa menerima kekalahan dalam pemilu, karena keputusan strategis yang diambil merupakan kesepakatan kolektif dari anggota partai tersebut. Memang perlu dipikirkan seberapa jauh tingkat partisipasi anggota dapat dibenarkan di dalam pengambilan keputusan partai politik.
Kedua tentang penyelesaian konflik. Konflik internal partai dapat terjadi antara pengurus partai dan sesama pengurus partai, antara pengurus partai dan anggota, atau antara sesama anggota. Partai politik yang demokratis tentunya memiliki prosedur dan wadah yang memadai untuk mengatur bagaimana konflik dapat ditangani. Sebagai institusi yang memiliki fungsi untuk mengaggregasikan kepentingan, konflik menjadi hal yang tidak terhindarkan.
Ketiadaan pengaturan konflik dapat dipersalahkan kepada kelompok dominan dalam partai yang menghendaki status-quo yang menguntungkan pihaknya, namun merugikan banyak pihak yang lain. Ketiadaan pengaturan konflik ini juga meningkatkan 'sampah' demokrasi, munculnya partai-partai 'pecahan'. Fenomena munculnya partai-partai politik 'pecahan' (splinter parties) karena konflik internal partai sesungguhnya merupakan pendidikan politik yang buruk untuk masyarakat.
Potensi berkembangnya demokrasi internal melalui pencarian konsensus - membiasakan diri tidak hanya menerima perbedaan pendapat, tetapi juga mencari titik temu - dipadamkan melalui jalan pintas pendirian partai baru.
Selain itu, patut juga disayangkan, pendirian parpol rupanya tidak mengantisipasi hal-hal yang demikian. Dari telaah singkat anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai-partai besar pemenang Pemilu 1999, tidak banyak yang mencantumkan aturan khusus tentang penyelesaian konflik internal. Sekalipun ada, seringkali jauh panggang daripada api. Artinya, meskipun secara struktural ada aturan-aturan tentang penyelesaian konflik, namun praktek politik seringkali masih mengabaikan hal tersebut oleh karena beragam sebab, misalnya kharisma pimpinan partai.
Menuju Demokrasi Parpol
Jika partai-partai politik di Indonesia mengalami masalah yang demikian, maka perlu dipikirkan tentang cara-cara untuk keluar dari keadaan yang merugikan demokrasi di Indonesia tersebut. Sudah pasti bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan tidak sedikit. Namun, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan hal ini.
Pertama, perlu ada reformasi internal partai politik. Adalah salah jika ada yang beranggapan bahwa manajemen partai politik adalah semata-mata urusan partai yang bersangkutan. Kunci eksistensi partai politik sesungguhnya berada legitimasi publik, sehingga akuntabilitas menjadi persyaratan yang penting untuk keberadaan sebuah partai politik. Tak mengherankan jika politik internal partai politik juga menjadi 'urusan' pemilih. Ada tiga ujung tombak reformasi internal partai politik: (a) kemauan politik elite partai; (b) kesadaran anggota; dan (c) kesadaran publik (pemilih).
Kemauan politik elite partai sangat penting untuk reformasi internal partai politik. Gus Dur, misalnya, memberikan contoh kemauan elite politik yang 'baik' ketika memutuskan untuk 'tunduk' pada hasil voting yang bertentangan dengan keinginannya tentang reposisi Sekjen PKB, Syaifullah Yusuf, beberapa waktu yang lalu. Sikap tersebut, pada kasus ini, meruntuhkan mitos bahwa figur partai yang dihormati harus selalu dipatuhi.
Kenyataan ini juga membuka pintu kesempatan untuk meningkatkan kesadaran anggota. Runtuhnya mitos tersebut dapat memperkuat kesadaran anggota atas hak-hak demokratisnya. Kesadaran anggota untuk mengedepankan demokrasi internal penting karena aktivitas keseharian anggota dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi internal atau sebaliknya.
Terakhir, adalah kesadaran publik (pemilih). Sensitivitas publik terhadap isu-isu demokrasi internal partai juga harus ditingkatkan. Publik (pemilih) harus memahami bahwa 'demokrasi internal' adalah juga merupakan isu politik yang harus 'dijual' oleh partai politik dalam pemilu. Kesadaran publik dapat berwujud dalam kritisisme di bilik suara. Publik dapat menolak untuk memilih (kembali) partai yang tidak demokratis.
Kedua, pada saat yang bersamaan tekanan struktural untuk membatasi pilihan-pilihan elit partai juga harus diberlakukan. Tantangannya adalah menciptakan sebuah struktur yang membatasi, namun tidak menghilangkan kepentingan individu untuk mengartikulasikan kepentingannya di dalam sebuah partai politik. Dari perspektif yang demikian, tampaknya perlu ada revisi aturan perundangan untuk mendorong demokrasi internal partai politik.
Meskipun aturan perundangan ini telah mengalami perbaikan yang cukup memadai, masih banyak ruang untuk perbaikan yang harus dilakukan. Misalnya, dalam UU Partai Politik maupun UU Pemilu masih belum ada pasal yang mendorong partai politik untuk secara kongkrit bertindak secara demokratis terhadap anggota/pemilih-nya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi internal parpol menjadi sangat penting karena dapat meningkatkan hubungan antara partai politik dengan grassroot secara kualitatif, dan akan meningkatkan peran partai politik di dalam demokrasi pada tingkat substansial.
Manajemen partai politik secara demokratis juga penting untuk mencegah munculnya 'sampah' demokrasi, dimana pilihan masyarakat direduksi menjadi nol karena tiadanya partai politik yang memiliki kualitas yang memadai. Oleh karena itu, perlu penyelesaian dari dua sisi sekaligus: dari sisi internal, melalui peningkatkan kesadaran elite, anggota, dan pemilih; dan dari sisi struktural melalui pembatasan-pembatasan yang dapat mengurangi pilihan elit politik, namun justru meningkatkan kepastian bagi anggota dan publik (pemilih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar