gnes Kleden, mencoba melakukan evaluasi terhadap perkembangan politik dan budaya politik Indonesia era reformasi, Yang sampai pada kenyataan bahwa reformasi yang berlangsung tidak menunjukan hadirnya efektivitas penggunaan kekuasaan, perubahan atau pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan kekuasaan. Dalam fokus politik makro lebih didominasi pada hubungan antar aktor-aktor politik. Bahkan secara keseluruhan politik Indonesia masih terkonsentrasi pada kepentingan Negara dibanding pada kepentingan masyarakat atau rakyat. Begitu juga tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi dengan gerakan reformasi, bagi Ignas hanya memindahkan “sentralisme” politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.[1] Sisi lain, “transisi” yang terjadi menciptakan konflik-konflik politik pada tingkatan partai politik, yaitu antara kepentingan-kepentingan (elitis maupun kolektif) serta antara kepentingan dengan ideologi. Seperti yang disinyalir oleh Dedi Irawan [2] dimana konflik politik yang muncul adalah tarikan pada perspektif konservatisme yang mencoba kukuh pada pemikiran, sistem dan mekanisme yang lama –sebagai konsepsi konsolidasi awal kejayaan Soeharto–dengan kelompok yang berkeinginan tanggap terhadap perubahan serta tuntutan reformasi terhadap ideologi politik golkar. Isue yang signifikan dalam perdebatan dan konflik yaitu mengenai peran militer-sipil dalam perubahan politik Indonesia,. Juga mengenai modal politik dari institusi, badan atau lembaga yang ada dimana ketika awal kehadirannya merupakan basis massa dari golkar dalam upaya menciptakan mobilitas politik akibat masifnya gerakan politik kelompok “komunis”. Kesemua konflik tersebut tentu saja bermuara pada kepentingan tarik ulur tentang “suksesi” dalam partai pasca Soeharto dari vested interest tiga pilar penyanggah golkar, antara ABRI, Teknokrat dan Profesional.
Begitu pula yang tercermati oleh Heru Cahyono, masa reformasi membawa pada dua arus utama dari konflik. Pertama pada tarikan pada konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan dan arus kedua adalah ketegangan ideologis yang sangat kentara pada gerakan atas “Islamic state” dari sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis –nasionalists state. [3] Disamping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan internal partai-partai politik dimana pola hubungan pasca reformasi “partai” politik keberadaan menjadi keharusan dalam kehidupan politik modern di Indonesia.
Disinilah partai politik, disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.
Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Begitu pula yang tercermati oleh Heru Cahyono, masa reformasi membawa pada dua arus utama dari konflik. Pertama pada tarikan pada konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan dan arus kedua adalah ketegangan ideologis yang sangat kentara pada gerakan atas “Islamic state” dari sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis –nasionalists state. [3] Disamping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan internal partai-partai politik dimana pola hubungan pasca reformasi “partai” politik keberadaan menjadi keharusan dalam kehidupan politik modern di Indonesia.
Disinilah partai politik, disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.
Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Mr.Gobar
22-11-2008, 09:44 PM
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 –dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan—walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.[4]
Tarikan-tarikan politis pada kepentingan dalam konstitusi atau penyusunan UU di MPR merupakan wujud dari keinginan mempengaruh dan memanfaatkan ketetapan politik dalam relasi-relasi kekuasaannya, seperti pada sistem perwakilan rakyat untuk mengadopsi “bikameral’ (terdiri dari DPR dan DPD) dan tetap “unikameral” seperti berlaku sebelum reformasi (terdiri dari DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan). Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap melalui MPR.
Berbeda di masa Soeharto, dimana ideologi-ideologi tidak muncul kepermukaan, era reformasi membuka kembali gairah ideologis dan muncul dengan semangat perjuanganan primordialismenya. Kelompok-kelompok nasionalis teguh pada tuntutan atas prisip-prisip nasionalisme, bahkan di antaranya adalah dari kepentingan nasionalis radikal. Golongan kiri mencoba bangkit –walaupun kurang berhasil—melalui Partai Rakyat Demokratik, sedangkan golongan Islam kembali memperjuangkan suara ideologisnya mengenai penerapan Syariat Islam dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sejak SU MPR 1989 kerap menuntut agar pemberlakuan asas tunmggal bagi organisasi sosial politik dicabut. Hebatnya dalam SUT MPR 2000, beberapa Fraksi MPR meminta dipertimbangkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta untuk dimasukan dalam Pancasila.
Di era reformasi hingga saat ini aliran-aliran “lama” [5] muncul kembali walau dalam kemasan baru, PDIP mewakili abangan dan non Islam, Golkar wujud dari Islam modern (luar Jawa) PKB sebagai Islamtradisionalis, PPP wakil dari kaum modernis dan tradisioalis, sementara PAN, PBB, PK meruapakan Islam modernis. Dari pendekatan agama yang teridentifikasi, maka itensitas emosi politik menjadi sangat mendalam, mereka terbelah menjadi dua kelompok besar yakni Islam dan non Islam. Dari dua kelompok besar tersebut dilihat pada kepentingan kekuasaan menjadi perseteruan kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Disinilah yang sampai saat ini menjadi masalah tersendiri bagi proses demokratisasi dan penciptaan masyarakat Indonesia yang terbuka.
Jika dilacak lebih jauh, di Indonesia pola perseteruan ideologis yang tercermin dalam partai politik memang sejarahnya hadir di masa pergerakan kemerdekaan yang oleh Feith meupakan perebutan pengaruh sosial politik dari lima ideologi besar, yaitu nasionalis radikal, komunisme, sosialisme demokrat, Islam, dan tradisional Jawa. Dari sini perdebatan ideologis tentang konsepsi politik kenegaraan mengalami dinamisasi, sementara partai-partai yang berbasis aliran muncul membawa semangat ideologisnya masing-masing hingga sekarang (kecuali komunisme). Fase-fase sejarah dari perdebatan ideologis dapat terlihat dalam fase-fase sejarah “politik” seperti sidang BPUPKI –konstituante, dan gerakan perjuangan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia . Juga beberapa konflik baru yang muncul dari perseteruan “agama” atau primordialisme, sesungguhnya bila dicermati merupakan konflik-konflik politik dan perebutan “elitis” atas kekuasaan.
Kembali pada pemahaman historisisme politik Indonesia sebagai real politik dari pertentangan kepentingan dan ideologi, Ignas Kleden memberikan pijakan awal sebagai dasar pecermatan. Pertama perlu ada dasar empiris untuk memahami tentang kekuatan-kekuatan nyata –seperti ABRI— dalam pertarungan kekuasaan yang terjadi. Juga untuk mengetahui seberapa signifikasinya pembesaran jumlah partai politik dengan penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai bentuk representasi kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elite partai. Kedua adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian dari realitas politik yang telah dan sedang berlangsung di Indonesia . Apakah gerakan pembaruan dan pembangunan politik di masa reformasi menunjukan proses mendekati atau menjauh terhadap kriteria normatif yang ditetapkan atau disepakati.
Ketiga,. Hubungan dari ketentuan normatif dan kenyataan empiris dalam politik praktis, hal ini melihat perbedaan yang muncul dari hubungan antara kenyataan empiris dengan pegangan teoritis dalam ilmu pengetahuan. Juga mengingat dalam kehidupan politik keadaannya lebih kompleks, dimana norma-norma politik merupakan muatan yang berisi norma-norma yang bersifat tetap dan mempunyai daya universalitas, disamping norma-norma yang terbentuk berdasar konsesus nasional pada masa tertentu.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 –dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan—walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.[4]
Tarikan-tarikan politis pada kepentingan dalam konstitusi atau penyusunan UU di MPR merupakan wujud dari keinginan mempengaruh dan memanfaatkan ketetapan politik dalam relasi-relasi kekuasaannya, seperti pada sistem perwakilan rakyat untuk mengadopsi “bikameral’ (terdiri dari DPR dan DPD) dan tetap “unikameral” seperti berlaku sebelum reformasi (terdiri dari DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan). Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap melalui MPR.
Berbeda di masa Soeharto, dimana ideologi-ideologi tidak muncul kepermukaan, era reformasi membuka kembali gairah ideologis dan muncul dengan semangat perjuanganan primordialismenya. Kelompok-kelompok nasionalis teguh pada tuntutan atas prisip-prisip nasionalisme, bahkan di antaranya adalah dari kepentingan nasionalis radikal. Golongan kiri mencoba bangkit –walaupun kurang berhasil—melalui Partai Rakyat Demokratik, sedangkan golongan Islam kembali memperjuangkan suara ideologisnya mengenai penerapan Syariat Islam dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sejak SU MPR 1989 kerap menuntut agar pemberlakuan asas tunmggal bagi organisasi sosial politik dicabut. Hebatnya dalam SUT MPR 2000, beberapa Fraksi MPR meminta dipertimbangkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta untuk dimasukan dalam Pancasila.
Di era reformasi hingga saat ini aliran-aliran “lama” [5] muncul kembali walau dalam kemasan baru, PDIP mewakili abangan dan non Islam, Golkar wujud dari Islam modern (luar Jawa) PKB sebagai Islamtradisionalis, PPP wakil dari kaum modernis dan tradisioalis, sementara PAN, PBB, PK meruapakan Islam modernis. Dari pendekatan agama yang teridentifikasi, maka itensitas emosi politik menjadi sangat mendalam, mereka terbelah menjadi dua kelompok besar yakni Islam dan non Islam. Dari dua kelompok besar tersebut dilihat pada kepentingan kekuasaan menjadi perseteruan kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Disinilah yang sampai saat ini menjadi masalah tersendiri bagi proses demokratisasi dan penciptaan masyarakat Indonesia yang terbuka.
Jika dilacak lebih jauh, di Indonesia pola perseteruan ideologis yang tercermin dalam partai politik memang sejarahnya hadir di masa pergerakan kemerdekaan yang oleh Feith meupakan perebutan pengaruh sosial politik dari lima ideologi besar, yaitu nasionalis radikal, komunisme, sosialisme demokrat, Islam, dan tradisional Jawa. Dari sini perdebatan ideologis tentang konsepsi politik kenegaraan mengalami dinamisasi, sementara partai-partai yang berbasis aliran muncul membawa semangat ideologisnya masing-masing hingga sekarang (kecuali komunisme). Fase-fase sejarah dari perdebatan ideologis dapat terlihat dalam fase-fase sejarah “politik” seperti sidang BPUPKI –konstituante, dan gerakan perjuangan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia . Juga beberapa konflik baru yang muncul dari perseteruan “agama” atau primordialisme, sesungguhnya bila dicermati merupakan konflik-konflik politik dan perebutan “elitis” atas kekuasaan.
Kembali pada pemahaman historisisme politik Indonesia sebagai real politik dari pertentangan kepentingan dan ideologi, Ignas Kleden memberikan pijakan awal sebagai dasar pecermatan. Pertama perlu ada dasar empiris untuk memahami tentang kekuatan-kekuatan nyata –seperti ABRI— dalam pertarungan kekuasaan yang terjadi. Juga untuk mengetahui seberapa signifikasinya pembesaran jumlah partai politik dengan penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai bentuk representasi kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elite partai. Kedua adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian dari realitas politik yang telah dan sedang berlangsung di Indonesia . Apakah gerakan pembaruan dan pembangunan politik di masa reformasi menunjukan proses mendekati atau menjauh terhadap kriteria normatif yang ditetapkan atau disepakati.
Ketiga,. Hubungan dari ketentuan normatif dan kenyataan empiris dalam politik praktis, hal ini melihat perbedaan yang muncul dari hubungan antara kenyataan empiris dengan pegangan teoritis dalam ilmu pengetahuan. Juga mengingat dalam kehidupan politik keadaannya lebih kompleks, dimana norma-norma politik merupakan muatan yang berisi norma-norma yang bersifat tetap dan mempunyai daya universalitas, disamping norma-norma yang terbentuk berdasar konsesus nasional pada masa tertentu.
Mr.Gobar
22-11-2008, 09:46 PM
Dari tiga kriteria , maka muatan reformasi dapat diposisikan selalu sarat dengan perebutan kekuasaan (power building) dan bukan pada efektivitas penggunaan kekuasaan (the use of power). Institusionalisasi politik terbelah akibat dari peneguhan personalisasi politik dari elite-elite di lingkar kekuasaan. Maka bawaan dari perebutan kekuasaan dan persolisasi politik memunculkan diskursus politik yang lebih terfokus pada persoalan penggantian dan posisi elite politik tetapi bukan pada bentuk-bentuk kompetisi program-program kerja partai. Partai politik masih menjadi alat dari kepentingan mobilisasi politik. Parahnya dinamika politik masa reformasi adalah lebih merupakan politik kesempatan (the politics of opportunities) dan bukan seni dari kemungkinan-kemungkinan (the art of the possible), dimana kesempatan adalah kemungkinan yang tersedia dalam masa sekarang sedang kemungkinan adalah kesempatan yang dapat dan masih harus diciptakan di masa depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar