TULISAN Dr Wahyudi Winarjo yang berjudul ‘Pilkada Kembali ke Pola Lama’ (Manado Post, 8 Februari 2008) sangat menarik. Tulisan tersebut mencoba melihat sisi lain dari proses demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia, khususnya sisi negatif yang muncul. Setiap proses tentu ada sisi negatif dan positif, termasuk dalam proses demokrasi, terlebih dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun guna menentukan pilihan tentu kita harus melihat sisi mana yang lebih dominan.
PEMBANGUNAN POLITIK
Selama rezim Soeharto berkuasa dapat dikatakan tidak ada demokrasi, pembangunan politik tidak dilakukan. Demi mempertahankan kekuasaan, rezim Soeharto melakukan pembonzaian terhadap demokrasi. Demokrasi yang dilakukan hanya sebatas prosedural dan formalitas, bukan dalam arti demokrasi yang sebenarnya. Akibatnya aspirasi rakyat menjadi terhambat dan partisipasi politik rakyat terbelenggu. Oleh karena hal tersebut maka pada era reformasi pembangunan politik mendapat perhatian yang besar. Pembangunan politik menjadi penting karena bukan hanya sekadar jalannya proses demokrasi, namun akan bermuara pada naiknya kualitas hidup rakyat dalam segala bidang. Menurut Samuel P Huntington: ‘Tujuan dari pembangunan politik adalah untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi; melembaganya pemerataan bagi warga; terbangunnya iklim yang demokratis; terciptanya stabilitas dan otonomi nasional’.
Rezim Soeharto dalam Pemilihan Umum (Pemilu) menggunakan sistem proporsional representatif dalam mendapatkan ‘’wakil rakyat’’ yang akan duduk di DPR, DPRD I, dan DPRD II. Para anggota DPRD I akan memilih gubernur dan anggota DPRD II memilih bupati/walikota. Cara pemilihan seperti ini sering berdampak dengan munculnya gubernur; bupati/walikota yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Era reformasi berusaha membuat cara yang lebih baik, yaitu gubernur, bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Cara pemilihan semacam ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih sesuai dengan harapan rakyat karena rakyat dapat langsung melihat, menilai dan memilih pemimpin yang dianggap cocok menjadi gubernur, bupati/walikota.
PARTAI POLITIK
Dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia telah muncul fenomena menurunnya partisipasi politik rakyat dalam Pilkada di beberapa daerah. Misalkan di DKI Jakarta sebagai ‘’Indonesia Kecil’’ dan merupakan barometer politik nasional, dalam Pilkada gubernur hanya mencapai tingkat partisipasi rakyat sekitar 70 persen. Hal ini diduga karena rakyat merasa kurang puas dengan kandidat yang diajukan oleh Partai Politik (Parpol). Rakyat merasa Parpol kurang memperhatikan figur yang tepat untuk diajukan dalam proses Pilkada. Hal ini tentu memprihatinkan, karena salah satu fungsi dari Parpol adalah menyalurkan aspirasi masyarakat sebagai usaha guna mendapatkan dukungan dari rakyat itu sendiri. Sigmund Neumann dalam tulisan Modern Political Parties menyatakan ‘Parpol adalah organisasi dari para aktivitis politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan pemerintahan dan merebut dukungan rakyat’. Kegagalan Parpol dalam mengajukan kandidat pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat menyebabkan timbulnya wacana calon pemimpin dari jalur independen.
DEMOKRASI TIDAK INSTAN
Guna mencapai alam demokrasi yang baik tentu dibutuhkan proses. Dalam hal demokratisasi, Indonesia lebih baik daripada Pakistan dan India, dimana demokratisasi di kedua negara telah dikotori oleh jatuhnya darah dan nyawa dari pemimpin mereka. Jika ingin dibandingkan dengan Amerika Serikat, maka Indonesia masih lebih beruntung. Amerika butuh lebih dari satu abad guna mendapatkan era demokrasi seperti yang diharapkan, bahkan dalam proses mewujudkan cita-cita demokrasi harus kehilangan putra-putra terbaik mereka, Abraham Lincoln dan John F Kennedy secara tragis.
Indonesia sedang berbenah guna mendapatkan cita-cita demokrasi, dari segi pengalaman tentu masih kurang. Rakyat baru 1 (satu) kali memilih pemimpinnya di tingkat nasional untuk presiden, provinsi untuk gubernur dan kabupaten/kota untuk bupati/walikota, maka Pilkada yang ada perlu diberi kesempatan untuk berkembang. Biarlah pola Pilkada sekarang tetap berjalan, tentunya dengan pembenahan-pembenahan dan penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan harapan rakyat. Pada dasarnya Pilkada punya peluang besar untuk berkembang dengan baik, karena pemilihan langsung seorang pemimpin oleh rakyat telah dikenal berpuluh tahun di Indonesia dalam pemilihan kepala desa di berbagai daerah.
Pembangunan politik sebagai bagian demokratisasi perlu dikawal oleh rakyat, perbaikan-perbaikan dengan tujuan penyempurnaan perlu dilakukan tapi tentu harus dengan cara yang benar. Huntington mengingatkan dalam tulisannya di Journal World Politics yang berjudul Political Development and Political Decay: ‘Jika demokratisasi dilakukan dengan serampangan, maka rakyat justru akan semakin kehilangan kekuatannya seperti yang terjadi di banyak negara berkembang’. Maka biarlah proses pembangunan politik terus berjalan, masih terlalu pagi untuk memutuskan Pilkada kembali ke pola lama.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar