Masa kampanye sudah dimulai. Baru kali ini masa kampanye diperkenankan dilaksanakan jauh hari sebelum hari H pemilihan legislatif (April 2009). Yang jelas masa kampanye ini bakal melelahkan seluruh anggota partai yang ada. Dan semoga tidak cukup melelahkan bagi rakyat yang jadi penontonnya.
Satu tahapan kehidupan umur manusia sudah dilewati untuk belajar dari pengalaman Pemilu tahun 1955. Maksudnya pada tahun segitu, kebanyakan anda-saya kan belum lahir. Ya paling tidak ada sejarah yang bisa dijadikan acuan apabila ingin hasil yang dikerjakan bukan merupakan suatu kesia-siaan belaka.
Dengan lebih dari 300 kabupaten kota, dan termasuk pilkada, Pemilu (baik daerah, pusat) merupakan salah satu cost center yang tidak kecil bagi anggaran negara. KPU sendiri mengajukan anggaran 47.9 Trilyun untuk Pemilu 2009 yang dinyatakan oleh Mendagri masih terlalu besar untuk dipenuhi oleh APBN.
Belum lagi dana yang dikeluarkan oleh masing-masing partai yang mencapai ratusan miliar, dan efek domino bisnis terkait dengan proses pesta demokrasi rakyat ini.
Apabila total subsidi BBM yang diributkan tidak ada akhirnya hanyalah melakukan penghematan 10 Trilyun, dan seorang Presiden tidak memiliki absolutisme untuk meletakkan dasar kepemimpinan dan fundamental suatu kenegaraan yang kokoh karena sistem multipartai membuat DPR juga memiliki kekuasaan untuk mengimbangi Presiden, dan rakyat masih sibuk kelaparan dan kebingungan dengan biaya hidup di Indonesia yang semakin tinggi, kok rasanya model pemerintahan di negeri ini jadi membingungkan bagi sebagian besar rakyat termasuk saya ya. Presidential ato Parlementer? Ato masihkah model multipartai itu cocok bagi negeri ini?
Jangan sampai negeri ini hanya sibuk melaksanakan pesta demokrasi, padahal rakyatnya mati kelaparan, dan cenderung tidak memilih (golput). 34 Partai peserta dalam pemilu 2009 hanya akan membuat dominasi satu diantara lainnya menjadi tidak mungkin. Bagaimana bisa efektif bekerja apabila DPR hanya diwakili fraksi yang memiliki 1 wakil.
Apakah sistem multipartai itu efektif untuk Indonesia, ataukah hanya euforia untuk suatu kata mahal bernama demokrasi?
Satu tahapan kehidupan umur manusia sudah dilewati untuk belajar dari pengalaman Pemilu tahun 1955. Maksudnya pada tahun segitu, kebanyakan anda-saya kan belum lahir. Ya paling tidak ada sejarah yang bisa dijadikan acuan apabila ingin hasil yang dikerjakan bukan merupakan suatu kesia-siaan belaka.
Dengan lebih dari 300 kabupaten kota, dan termasuk pilkada, Pemilu (baik daerah, pusat) merupakan salah satu cost center yang tidak kecil bagi anggaran negara. KPU sendiri mengajukan anggaran 47.9 Trilyun untuk Pemilu 2009 yang dinyatakan oleh Mendagri masih terlalu besar untuk dipenuhi oleh APBN.
Belum lagi dana yang dikeluarkan oleh masing-masing partai yang mencapai ratusan miliar, dan efek domino bisnis terkait dengan proses pesta demokrasi rakyat ini.
Apabila total subsidi BBM yang diributkan tidak ada akhirnya hanyalah melakukan penghematan 10 Trilyun, dan seorang Presiden tidak memiliki absolutisme untuk meletakkan dasar kepemimpinan dan fundamental suatu kenegaraan yang kokoh karena sistem multipartai membuat DPR juga memiliki kekuasaan untuk mengimbangi Presiden, dan rakyat masih sibuk kelaparan dan kebingungan dengan biaya hidup di Indonesia yang semakin tinggi, kok rasanya model pemerintahan di negeri ini jadi membingungkan bagi sebagian besar rakyat termasuk saya ya. Presidential ato Parlementer? Ato masihkah model multipartai itu cocok bagi negeri ini?
Jangan sampai negeri ini hanya sibuk melaksanakan pesta demokrasi, padahal rakyatnya mati kelaparan, dan cenderung tidak memilih (golput). 34 Partai peserta dalam pemilu 2009 hanya akan membuat dominasi satu diantara lainnya menjadi tidak mungkin. Bagaimana bisa efektif bekerja apabila DPR hanya diwakili fraksi yang memiliki 1 wakil.
Apakah sistem multipartai itu efektif untuk Indonesia, ataukah hanya euforia untuk suatu kata mahal bernama demokrasi?
0 komentar:
Posting Komentar