1. Pendahuluan Paska reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia. Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak 48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu yaitu Golongan Karya, Partai persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun 1999, partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.[1]
Pembatasan dengan ET ini kemudian dianggap sebagai cara untuk mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya, dan di Indonesia threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu berikutnya bagi partai yang ikut pemilu yang tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah partai politik. Akibatnya, partai-partai politik yang tidak memenuhi ET tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Kondisi ini memunculkan gugatan bahwa mekanisme ET melanggar kontitusi yaitu UUD 1945 yang pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).[2]
Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang menghasilkan UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan parliamentary threshold (PT). Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009, secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam aturan peralihannya di pasal 316 huruf (d) terdapat ketentuan bahwa partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3% ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR. Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1 (satu) kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 (d) inilah yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas kebijakan penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET.
Tulisan ini akan menguraikan tentang ketentuan ET dalam sistem multi partai di Indonesia, khususnya dalam melihat konsistensi kebijakan penyederhanaan partai politik dalam peraturan perudang-undangan dan perlindungan terhadap partai politik dalam konstitusi. Tulisan disusun berdasarkan analisis sejumlah UU terkait dengan Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 16/PUU-V/2007.
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menegaskan posisi penting partai politik yakni “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik”. Demikian pula dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Namun demikian, masih diperlukan UU untuk mengatur tentang pemilu sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “tatacara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dengan UU” dan pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan UU”.
Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut, kedudukan partai politik dan sistem pemilu kemudian dikuatkan dalam sejumlah undang-undang, diantara UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut, juga diatur ketentuan pembatasan partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (tahun 2009) dengan ketentuan sebagaimana pasal 9:
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Ketentuan dalam pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 itulah yang kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan peserta pemilu tahun 2009 mendatang. Hasil persolehan suara pemilu tahun 2004, dari 24 partai politik yang ikut pemilu hanya 7 partai politik yang memenuhi ketentuan 3% dan dapat lolos secara langsung mengikuti pemilu 2009, sementara sisanya 17 partai politik tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2009 kecuali bergabung dengan partai lain untuk memenuhi syarat 3%.[3]
Hasil pemilu tahun 2004 tersebut ternyata tidak cukup memuaskan partai-partai kecil yang tidak memenuhi 3% persen jumlah kursi di DPR RI dan kemudian mengajukan permohonan judicial review terhadap pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 ke MK.[4] Para pemohon ini mendalilkan bahwa ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2003 bertentangan UUD 1945 khususnya terkait dengan hak asasi manusia yakni pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (1) dan (3), pasal 28E ayat (3), pasal 28F, pasal 28H ayat (2) dan pasal 28I ayat (2).
Permohon untuk menguji pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2003 tersebut sejatinya merupakan pengujian terhadap ketentuan electoral threshold, atau bisa dikatakana bahwa berdasarkan para pemohon ketentuan mengenai electoral threshold tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. MK pada akhirnya tidak mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan bahwa pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat bahwa karena pasal tersebut hanya memuat tentang persyaratan obyektif kepada semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
MK juga menyatakan bahwa persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung dari partai politik yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya.
Kebijakan ET sebetulnya merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET. MK menambahkan bahwa kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multi partai yang hidup kembali di Indonesia di era refomasi.
Dari berbagai pertimbangan tersebut, MK menyimpulkan bahwa pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak mempengaruhi hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk mendirikan partai politik, serta tidak ada unsur yang bersifat diskriminatif sehingga ketentuan dalam pasal tersebut tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.[5] Berdasarkan putusan MK, telah jelas bahwa ketentuan pambatasan partai politik untuk mengikuti pemilu bukanlah pelanggaran terhadap konstitusi. Partai-partai politik yang tidak memenuhi ET 3% kemudian mulai melakukan upaya-upaya untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 dengan menggabungkan diri ataupun membentuk partai baru.
Ketentuan mengenai ET untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 mendatang pada awalnya diasumsikan akan diatur dengan subtansi yang sama dengan pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2003 dalam UU pemilu yang direvisi. Hal ini tercermin dalam serangkaian dokumen tentang persiapan untuk revisi UU No. 12 tahun 2003 misalnya Naskah Akademis maupun RUU penyempurnaan UU Pemilu. Demikian pula dengan dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) saat pembahasan RUU Pemilu di DPR.
Berdasarkan Naskah Akademik RUU Pemilu versi Pemerintah, penyempurnaan UU No. 12 tahun 2003 pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance). Agar tercapai keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) harus dilakukan langkah-langkah regulasi yang salah satunya adalah melakukan penyederhanaan jumlah pelaku. Kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah pelaku adalah sangat penting sehingg ide tentang penyederhaan jumlah pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam penyempurnaan UU No. 12 tahun 2003, yang antara lain diwujudkan dalam penentuan batasan threshold bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Melalui penciutan peserta Pemilu secara wajar dan rasional, diharapkan pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah tingkat nasional.
Cakupan penyempurnaan UU No. 12 tahun 2003 salah satu agendanya adalah pengetatan persyaratan bagi partai peserta Pemilu legislatif dalam rangka mengkondisikan sistem multipartai sederhana. Ruang lingkup agenda pengetatan persyaratan peserta Pemilu yang dapat dilakukan adalah:
- Memberlakukan persyaratan partai peserta Pemilu sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sebelum Pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon partai peserta Pemilu memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat;
- Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta Pemilu legisatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga) persen untuk Pemilu tahun 1999 menjadi 5 (lima) persen untuk Pemilu 2014. Persyaratan ET 2 (dua) persen pada Pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta Pemilu dari 48 partai peserta Pemilu 1999 menjadi separohnya (24 partai) pada Pemilu berikutnya. Persyaratan ET 3 persen untuk Pemilu 2009 dan ET 5 persen untuk Pemilu 2014 diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta Pemilu secara lebih signifikan lagi;
- Partai politik yang tidak lolos ET 3 persen dapat bergabung dengan partai yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang tidak lolos ET 3 % sehingga memenuhi ET 3%, kedua metode dimaksud sebagaimana dimaksud telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
- Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA (Kartu Tanda Anggota).
Dalam Naskah Akademis RUU tersebut juga dinyatakan adanya kesadaran bahwa terdapat berbagai problematika UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang salah satunya adalah persyaratan electoral threshold tidak diterapkan secara konsisten. Walaupun jumlah partai peserta Pemilu berkurang, namun UU No. 12 tahun 2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi. Oleh karenanya, dalam RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD salah satu materi penting yang diatur adalah partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu ditingkatkan menjadi memiliki kepengurusan lengkap di seluruh jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan lengkap sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi. Sedangkan persyaratan khusus berupa perolehan kursi bagi partai politik yang pernah mengikuti Pemilu sebelumnya berupa perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPR, perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dan perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan partai politik lain. Apabila partai politik bergabung dengan partai politik lain dilakukan dengan cara:
- bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004;
- bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan kursi pada Pemilutahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau
- bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.[6]
Pandangan dan paradigma tentang penyederhanaan partai politik yang mengikuti pemilu tersebut sejalan dengan pasal-pasal mengenai peserta Pemilu dalam RUU Pemilu versi Pemerintah yang tercantum dalam BAB XXI Ketentuan Peralihan dalam pasal 286 dan pasal 287.[7]
Pasal 286
Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh 3% (tiga perseratus) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling sedikit 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 287
(1) Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan partai politik lain.
(2) Bergabung dengan partai politik lain dilakukan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara:
a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 286;b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.
Berdasarkan dua dokumen yaitu Naskah Akademis dan RUU, paradigma dan kebijakan penyederhaan partai politik peserta Pemilihan Umum melalui threshold telah konsisten dengan upaya untuk mencapai keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dan sesuai dengan kesadaran bahwa UU No. 12 tahun 2003 tidak dapat berlaku secara konsisten sehingga perlu disempurnakan. Hal ini telah pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/V/2007.
Bahwa sampai dengan pembahasan di DPR, Rumusan pasal 286 dan 287 RUU Pemilihan Umum tetap menjadi pembahasan yang terlihat dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap RUU Pemilu.[8] Bahkan sampai dengan tahap-tahap akhir pembahasan RUU Pemilihan Umum, rumusan dalam pasal 286 dan 287 RUU Pemilihan Umum secara subtansi masih sama dengan pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2003.
Namun kemudian daalam pengesahan RUU Pemilihan Umum menjadi UU Pemilihan Umum (yang menjadi UU No. 10 Tahun 2008) muncul ketentuan baru tentang dibolehkannya partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak memenuhi threshold sebagaimana disyaratkan dalam UU Pemilihan Umum namun mempunyai kursi di DPR dapat langsung mengikuti Pemilihan Umum 2009 tanpa harus 1) bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang memenuhi ketentuan, atau 2) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau 3) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 315 dan 316 UU No. 10 Tahun 2008.
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Kemunculan pasal 316 huruf (d) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsep penyederhanaan partai politik yang dapat mengikuti pemilu (khususnya tahun 2009). Ketentuan ini justru mereduksi konsep penyederhanaan partai yang akan diupayakan di Indonesia. Akibatnya, peserta Pemilihan Umum tahun 2009 tidak akan sesuai dengan yang diharapkan karena dibuka kemungkinan adanya partai politik yang dapat mengikuti Pemilihan Umum tahun 2009 meskipun tanpa memenuhi threshold. Hal ini tercermin dari kondisi awal bahwa berdasarkan hasil pemilu tahun 2004 yang seharusnya hanya 7 partai politik yang dapat mengikuti pemilu 2009 secara langsung menjadi 16 partai politik.[9]
Ketentuan sebagaimana dalam pasal 316 huruf (d) UU No. 10 tahun 2008 ini kemudian memunculkan banyak kritikan yang pada pokoknya menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi mengenai konsep penyederhanaan partai peserta pemilu.[10] Bahkan ketentuan tersebut dianggap pula sebagai sebuah kemunduran dalam demokrasi dan merusak tatanan sistem pemilu.[11] Bahkan ketentuan tersebut juga dianggap merupakan ketentuan yang memberikan perlakukan yang berbeda (diskriminatif) terhadap partai politik perserta pemilu tahun 2004 yang tidak mempunyai kursi di DPR, meskipun mendapatkan suara yang signifikan dan bahkan melebihi jumlah suara beberapa partai yang punya kursi di DPR.[12]
4. Penutup
Sistem multi partai dalam pemilu di Indonesia telah berkonsekuensi membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Hal ini wajar karena paska reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru diluar 3 partai politik yang hidup pada era Orde Baru. Namun demikian, pembatasan partai politik peserta pemilu memang perlu dilakukan untuk memperkuat dan memperdalam demokrasi. Pembatasan inipun bukan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
UU No. 10 tahun 2008 dengan aturan peralihan pasal 316 huruf (d) justru kembali mundur dengan ketentuan memberikan peluang partai politik yang tidak memenuhi threshold namun punyai kursi di DPR langsung ikut pemilu tahun 2009. Ketentuan tersebut kembali meneguhkan sikap partai-partai politik di DPR yang lebih mendahulukan kepentingan partainya daripada kepentingan untuk penguatan sistem pemilu di Indonesia. Akibatnya, cita-cita untuk adanya keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dengan cara melakukan penyederhanaan jumlah peserta pemilu tidak tercapai.
Kedepan, semua partai politik harus konsisten dengan regulasi yang dibuat dan tidak merubah kembali tujuan dilakukannya penyederhanaan jumlah peserta pemilu. Jika tidak, apalagi dengan terus menerus merubah aturan main pemilu yang hanya ditujukan untuk kepentingan sesaat maka akan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Penulis: Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Terlibat dalam berbagai koalisi NGO dan juga dalam penyusunan beberapa Naskah Akademis dan RUU Versi Masyarakat. Saat ini bekerja di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai Direktur Riset dan Pengembangan.
[Jurnal Legislasi, Vol 5 No. 1]
[Jurnal Legislasi, Vol 5 No. 1]
[1] Lihat pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003.
[2] Lihat Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 16/PUU-V/2007.
[3] Lihat Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004. 7 (tujuh) partai politik yang memanuhi 3% adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS.
[4] Para pemohon ini terdiri dari 13 Parpol yakni PPD, PPIB, PBR, PDS, PBB, PKPI, PPDK, PNBK, Partai Pelopor, PPDI, PBSD, PSI, dan PKPB.
[5] Lihat Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007, hal. 83.
[6] Lihat Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007).
[7] Lihat RUU Pemilu versi pemerintah.
[8] Lihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.
[9] Partai-partai yang langsung dapat mengikuti pemilu tahun 2009 meskipun tidak memenuhi 3% kursi di DPR adalah PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNI Marhaenisme, partai Pelopor, dan PPDI.
[10] Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi. Lihat juga Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu 2003.
[11] Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008
[12] Lihat Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008.
DAFTAR BACAAN
Undang-Undang Dasar 1945Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 16/PUU-V/2007.
Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008.
Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004.
Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007.
Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007).
Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.
Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi.
Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu 2003.
Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008
0 komentar:
Posting Komentar