Jumat, 04 Maret 2011

FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan

Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
1.2. RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis
mengambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran
2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis
3. Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan
1.3. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui teori tentang kebenaran
2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis
3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan
1.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama dengan membaca buku sumber, kedua browsing di
Internet, ketiga dengan membaca media cetak dan terakhir dengan
pengetahuan yang penulis miliki.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini disusun dengan urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang berkaitan dengan
pengertian kebenaran serta pengertian positivisme.
Bab III Pembahasan

Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari teori tentang kebenaran, asal dan gagasan positivisme logis, serta positivisme di dalam ilmu pengetahuan.
Bab IV Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang
penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN KEBENARAN

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan
Kebenaran (Truth)
1. Pernyataan yang benar.
Apakah makna “benar” dalam kalimat di atas?
2. Contoh pernyataan (statement):Dian belajar filsafat; Buku di atas meja;
Ali adalah orang Islam.
3. Tanya-jawab.

Apakah kamu orang Banjar?; Benar, Saya orang Banjar; Benar bahwa
Saya orang Banjar.
Bahwa Saya orang Banjar adalah benar.
4. Apakah pernyataan yang benar?
Jika suatu keadaan memang terjadi, dan kita menyatakannya demikian,
maka pernyataan kita adalah benar.
Contoh:
Pernyataan “Saya orang Banjar” adalah benar jika Saya memang orang
Banjar.
Pernyataan “Buku di atas meja” adalah benar jika buku memang di atas
meja.
5. Apakah pernyataan yang benar?: Pernyataan yang benar adalah
pernyataan yang mengungkapkan fakta.
Contoh: Rumput adalah hijau; Pernyataan adalah bahasa, sedangkan
fakta adalah keadaan di dunia (di luar bahasa)

6. Pertanyaan “Apakah suatu pernyataan adalah benar?” adalah berbeda
dengan pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu
pernyataan adalah benar?”

Contoh: Cara kita mencari kebenaran “70 + 30 = 100” adalah berbeda Dengan cara kita mencari kebenaran bahwa “Buku di atas meja”, “Semua harimau adalah karnivora” , “Semua mahasiswi IAIN memakai jilbab.”
Contoh:
1. Kebenaran matematika
1 + 11 = 12; 2 + 10 = 12; 3 + 9 = 12; 4 + 8 = 12; 5 + 7 = 12; 6 + 6 = 12

2. Logika deduktif
Semua Mahasiswa IAIN beragama Islam
Johanes adalah mahasiswa IAIN
Johanes adalah beragama Islam
Contoh lain: Semua manusia akan mati. Dian adalah manusia. Jadi,
Dian akan mati. (Ada tiga pernyataan: dua pertama adalah premis,
satu terkahir adalah kesimpulan)

Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
2.2. PENGERTIAN POSITIVISME

Teori Positivisme Logikal Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus

melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop ? salah seorang anggota dari Lingkaran Wina ? dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan(affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat- kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas ? dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan ? tetapi hanya sebatas pemuasan

akal. name="_ednref18">[18] Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
BAB III
KEBENARAN ILMU MENURUT PANDANGAN POSITIVISME
3.1. TEORI TENTENG KEBENARAN

Teori Tentang Kebenaran Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud. Beberapa teori itu adalah:
A.Teori Korespondensi :

"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya" (L. O. Kattsoff)

Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
B. Teori Konsistensi :

"Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri " (A.C. awing, The Fundamental Question of Philosophy).

Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
C. Teori Pragmatis :

"Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut
" (Charles S. Baylin).

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice. We act as if there were a God” (James, 1982: 51-55). Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.

Sedangkan teori kebenaran menurut pandangan positiveme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam
positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak mencukupi.
Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan
positivisme
adalah
kebenaran
yang
pernah
dialami

oleh pancaindera(empiris), yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."

William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai.. .."

Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari
kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah
pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??)
Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang
bagaimanakah yang dapat disebut benar ?

Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.

Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran".
3.1.1. AGAMA

Apakah agama dapat dikatakan sebuah kebenaran ? Ataukah agama adalah suatu bentuk terakhir yang bisa diwujudkan manusia atas kegagalannya mendefinisikan sesuatu?

Golongan atheis menuduhkan pernyataan yang kedua bagi agama- agama. Sementara disisi lain, kebenaran agamapun masih menjadi klaim dan rebutan masing-masing pemeluknya. Masih sering terdengar ungkapan kesombongan dari pemeluk suatu agama bahwa agamanya adalah yang terbaik dan paling benar, yang ia sendiri lupa bahwa seharusnya kebenaran tersebut hanyalah menjadi milik Tuhan yang ia puja. Bahkan ada kesengajaan secara sistemik mengajarkan kepada pemeluknya tentang perbedaan agama-agama. Ada yang disebut agama langit (samawi) dan ada agama bumi. Agama samawi adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan (tentu saja dengan penjelasan lebih lanjut bahwa satu-satunya agama samawi adalah agama yang mereka anut). Sedangkan agama bumi adalah agama yang dilahirkan oleh cita-karsa atau kebudayaan manusia.....dan menjadi sangat memprihatinkan ketika faham
tersebut
akhirnya
menghegemoni
pemeluknya

sampai menghilangkan sisi logika yang seharusnya menjadi ciri khas setiap manusia. Inilah yang penulis maksud diatas, keyakianan adalah penjara kebebasan fikiran sebagai sesuatu hal yang berbahaya.
Bila kemudian kita mencoba menoleh pada berbagai teori kebenaran
diatas, hal manakah yang bisa disebut kebenaran ? Sulit mencari

korespondensi antara pernyataan dalam ayat-ayat suci dengan fakta dan realitas, sebab akan selalu saja ada hal yang sulit dijelaskan dengan fakta tetapi harus diyakini, meskipun tidak selamanya demikian. Itulah salah satu prinsip theologi yang tak bisa dihindarkan. Sementara ketika kita mencoba menerapkan teori kebenaran konsistensi, menjadi sangat sulit karena putusan sebelumnya akan selalu dapat diragukan/dibantah, sehingga tidak dapat menjadi acuan yang cukup untuk membuahkan putusan-putusan baru. Putusan-putusan sebelumnya juga berupa konsep theologi.

Mungkin yang paling menarik adalah teori pragmatis. Kelihatannya dengan teori yang cukup radikal ini (berani membuang fakta, realitas dan putusan sebelumnya) kita dapat menemukan sesuatu yang sedikit memuaskan (satisfies); "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut " Pertanyaannya sekarang, apakah kita merasa agama yang kita anut berguna atau memuaskan buat kita? (tentu saja penilaian ini menjadi sangat subjektif). Bila jawabannya ya, maka agama tersebut adalah sebuah kebenaran, namun sebaliknya jika jawabannya tidak, maka agama yang kita anut bukanlah kebenaran. Nah.. ..!

Kedengarannya sebuah pernyataan yang terlalu prematur dan mengada-ada. Namun sekali lagi, tulisan ini hanya dibuat dengan asumsi bahwa yang membacanya pastilah manusia, yang menurut uraian berbagai ahli dibagian awal tulisan ini disebut sebagai mahluk yang selalu berfikir, bertanya dan berusaha untuk mencari kebenaran. Termasuk mencari makna benar dari kebenaran itu sendiri. Apakah kita sudah menyadari hakikat diri kita sendiri, kerendah-hatian ataupun kesombongan kita ? Maka teruslah berfikir, tanpa harus menghilangkan keyakinan- keyakinan yang sudah ada. Hanya berfikir jernih terhadap sesuatu yang telah diyakini bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dosa. Semoga kita masih menjadi manusia yang tak segan untuk berfikir dan bertanya. Manusia hanya berhak berteori dan berusaha mencari, tapi sesungguhnya apakah, dimanakah dan milik siapakah kebenaran tersebut?

Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka: Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.
Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran
proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna

(kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen. Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna. Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna. Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci) dan sejarah. Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan?), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan. Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
3.2. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
3.2.1. KRITIK

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang
menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan
dapat digolongkan sebagai ilmiah.
3.3. POSITIVISME DI DALAM ILMU PENGETAHUAN

Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.

Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.

Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai.
3.3.1. KRITIK TERHADAP POSITIVISME

Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).

Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!

Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan

manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).

Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia
BAB IV
KESIMPULAN

Kebenaran menurut pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Junjun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan
http//www.wikipedia.com 2008
http//www.google.co.id 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 04 Maret 2011

FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan

Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
1.2. RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis
mengambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran
2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis
3. Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan
1.3. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui teori tentang kebenaran
2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis
3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan
1.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama dengan membaca buku sumber, kedua browsing di
Internet, ketiga dengan membaca media cetak dan terakhir dengan
pengetahuan yang penulis miliki.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini disusun dengan urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang berkaitan dengan
pengertian kebenaran serta pengertian positivisme.
Bab III Pembahasan

Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari teori tentang kebenaran, asal dan gagasan positivisme logis, serta positivisme di dalam ilmu pengetahuan.
Bab IV Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang
penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN KEBENARAN

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan
Kebenaran (Truth)
1. Pernyataan yang benar.
Apakah makna “benar” dalam kalimat di atas?
2. Contoh pernyataan (statement):Dian belajar filsafat; Buku di atas meja;
Ali adalah orang Islam.
3. Tanya-jawab.

Apakah kamu orang Banjar?; Benar, Saya orang Banjar; Benar bahwa
Saya orang Banjar.
Bahwa Saya orang Banjar adalah benar.
4. Apakah pernyataan yang benar?
Jika suatu keadaan memang terjadi, dan kita menyatakannya demikian,
maka pernyataan kita adalah benar.
Contoh:
Pernyataan “Saya orang Banjar” adalah benar jika Saya memang orang
Banjar.
Pernyataan “Buku di atas meja” adalah benar jika buku memang di atas
meja.
5. Apakah pernyataan yang benar?: Pernyataan yang benar adalah
pernyataan yang mengungkapkan fakta.
Contoh: Rumput adalah hijau; Pernyataan adalah bahasa, sedangkan
fakta adalah keadaan di dunia (di luar bahasa)

6. Pertanyaan “Apakah suatu pernyataan adalah benar?” adalah berbeda
dengan pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu
pernyataan adalah benar?”

Contoh: Cara kita mencari kebenaran “70 + 30 = 100” adalah berbeda Dengan cara kita mencari kebenaran bahwa “Buku di atas meja”, “Semua harimau adalah karnivora” , “Semua mahasiswi IAIN memakai jilbab.”
Contoh:
1. Kebenaran matematika
1 + 11 = 12; 2 + 10 = 12; 3 + 9 = 12; 4 + 8 = 12; 5 + 7 = 12; 6 + 6 = 12

2. Logika deduktif
Semua Mahasiswa IAIN beragama Islam
Johanes adalah mahasiswa IAIN
Johanes adalah beragama Islam
Contoh lain: Semua manusia akan mati. Dian adalah manusia. Jadi,
Dian akan mati. (Ada tiga pernyataan: dua pertama adalah premis,
satu terkahir adalah kesimpulan)

Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
2.2. PENGERTIAN POSITIVISME

Teori Positivisme Logikal Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus

melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop ? salah seorang anggota dari Lingkaran Wina ? dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan(affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat- kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas ? dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan ? tetapi hanya sebatas pemuasan

akal. name="_ednref18">[18] Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
BAB III
KEBENARAN ILMU MENURUT PANDANGAN POSITIVISME
3.1. TEORI TENTENG KEBENARAN

Teori Tentang Kebenaran Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud. Beberapa teori itu adalah:
A.Teori Korespondensi :

"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya" (L. O. Kattsoff)

Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
B. Teori Konsistensi :

"Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri " (A.C. awing, The Fundamental Question of Philosophy).

Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
C. Teori Pragmatis :

"Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut
" (Charles S. Baylin).

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice. We act as if there were a God” (James, 1982: 51-55). Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.

Sedangkan teori kebenaran menurut pandangan positiveme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam
positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak mencukupi.
Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan
positivisme
adalah
kebenaran
yang
pernah
dialami

oleh pancaindera(empiris), yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."

William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai.. .."

Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari
kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah
pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??)
Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang
bagaimanakah yang dapat disebut benar ?

Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.

Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran".
3.1.1. AGAMA

Apakah agama dapat dikatakan sebuah kebenaran ? Ataukah agama adalah suatu bentuk terakhir yang bisa diwujudkan manusia atas kegagalannya mendefinisikan sesuatu?

Golongan atheis menuduhkan pernyataan yang kedua bagi agama- agama. Sementara disisi lain, kebenaran agamapun masih menjadi klaim dan rebutan masing-masing pemeluknya. Masih sering terdengar ungkapan kesombongan dari pemeluk suatu agama bahwa agamanya adalah yang terbaik dan paling benar, yang ia sendiri lupa bahwa seharusnya kebenaran tersebut hanyalah menjadi milik Tuhan yang ia puja. Bahkan ada kesengajaan secara sistemik mengajarkan kepada pemeluknya tentang perbedaan agama-agama. Ada yang disebut agama langit (samawi) dan ada agama bumi. Agama samawi adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan (tentu saja dengan penjelasan lebih lanjut bahwa satu-satunya agama samawi adalah agama yang mereka anut). Sedangkan agama bumi adalah agama yang dilahirkan oleh cita-karsa atau kebudayaan manusia.....dan menjadi sangat memprihatinkan ketika faham
tersebut
akhirnya
menghegemoni
pemeluknya

sampai menghilangkan sisi logika yang seharusnya menjadi ciri khas setiap manusia. Inilah yang penulis maksud diatas, keyakianan adalah penjara kebebasan fikiran sebagai sesuatu hal yang berbahaya.
Bila kemudian kita mencoba menoleh pada berbagai teori kebenaran
diatas, hal manakah yang bisa disebut kebenaran ? Sulit mencari

korespondensi antara pernyataan dalam ayat-ayat suci dengan fakta dan realitas, sebab akan selalu saja ada hal yang sulit dijelaskan dengan fakta tetapi harus diyakini, meskipun tidak selamanya demikian. Itulah salah satu prinsip theologi yang tak bisa dihindarkan. Sementara ketika kita mencoba menerapkan teori kebenaran konsistensi, menjadi sangat sulit karena putusan sebelumnya akan selalu dapat diragukan/dibantah, sehingga tidak dapat menjadi acuan yang cukup untuk membuahkan putusan-putusan baru. Putusan-putusan sebelumnya juga berupa konsep theologi.

Mungkin yang paling menarik adalah teori pragmatis. Kelihatannya dengan teori yang cukup radikal ini (berani membuang fakta, realitas dan putusan sebelumnya) kita dapat menemukan sesuatu yang sedikit memuaskan (satisfies); "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut " Pertanyaannya sekarang, apakah kita merasa agama yang kita anut berguna atau memuaskan buat kita? (tentu saja penilaian ini menjadi sangat subjektif). Bila jawabannya ya, maka agama tersebut adalah sebuah kebenaran, namun sebaliknya jika jawabannya tidak, maka agama yang kita anut bukanlah kebenaran. Nah.. ..!

Kedengarannya sebuah pernyataan yang terlalu prematur dan mengada-ada. Namun sekali lagi, tulisan ini hanya dibuat dengan asumsi bahwa yang membacanya pastilah manusia, yang menurut uraian berbagai ahli dibagian awal tulisan ini disebut sebagai mahluk yang selalu berfikir, bertanya dan berusaha untuk mencari kebenaran. Termasuk mencari makna benar dari kebenaran itu sendiri. Apakah kita sudah menyadari hakikat diri kita sendiri, kerendah-hatian ataupun kesombongan kita ? Maka teruslah berfikir, tanpa harus menghilangkan keyakinan- keyakinan yang sudah ada. Hanya berfikir jernih terhadap sesuatu yang telah diyakini bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dosa. Semoga kita masih menjadi manusia yang tak segan untuk berfikir dan bertanya. Manusia hanya berhak berteori dan berusaha mencari, tapi sesungguhnya apakah, dimanakah dan milik siapakah kebenaran tersebut?

Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka: Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.
Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran
proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna

(kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen. Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna. Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna. Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci) dan sejarah. Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan?), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan. Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
3.2. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
3.2.1. KRITIK

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang
menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan
dapat digolongkan sebagai ilmiah.
3.3. POSITIVISME DI DALAM ILMU PENGETAHUAN

Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.

Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.

Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai.
3.3.1. KRITIK TERHADAP POSITIVISME

Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).

Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!

Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan

manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).

Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia
BAB IV
KESIMPULAN

Kebenaran menurut pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Junjun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan
http//www.wikipedia.com 2008
http//www.google.co.id 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms