Sabtu, 19 Maret 2011

filsafat jawa

Filsafat Jawa yang hampir terlupakan



Dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak menentu ini, mungkin ada baiknya kalau kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu kita yang mungkin akan sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang ini. Ajaran yang bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bisa bermanfaat bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.

-ojo dumeh, ojo gumunan, ojo kagetan

jangan merasa paling, jangan mudah kagum, jangan gampang terkejut

- Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi

Nilai diri seseorang terletak pada apa yang diucapkan

- Ajining sarira dumunung ing busana Nilai badaniah seseorang terletak pada apa yang dipakai - Memayu hayuning bawana

Kewajiban melindungi bagi kehidupan didunia

- Sukeng tyas yen den hita

Bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran

- Jer basuki mawa beya

Keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan

- Amemangun karyenak tyasing sesama

Membuat enaknya perasaan orang lain

- Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi

Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian

- Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa

Sekuat usaha manusia tidak akan bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa

- Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti

Kemarahan dan kebencian akan hilang oleh sikap lemah lembut - Tan ngendhak gunaning janma

Tidak merendahkan kepandaian manusia

Meski demikian masih ada anggapan deri beberapa orang yang salah menafsirkan misalnya

- Mangan orang mangan waton kumpul

Menunjukkan yang penting itu kumpul, bukan sekadar kumpul, tetapi kerukunannya. Demi kerukunan kita harus melakukan apa pun. Kalau perlu sampai tidak makan. Jadi, bukannya pengertian makannya yang dikedepankan.

Sebenarnya filsafat Jawa tidak ada yang keliru. Yang salah adalah penafsirannya. Banyak sekali kasus yang menafsirkan secara keliru sehingga pandangan terhadap orang Jawa menjadi tidak tepat lagi. Kalau sudah begitu, siapa yang salah ? yang menafsirkan atau anjuran bijak itu ? Jadi mungkin, apabila kita selalu berpedoman atas pemikiran yang positif dalam menafsir suatu kalimat, diharapkan output yang kita dapatkan juga akan bisa berakibat positif buat kita.

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 19 Maret 2011

filsafat jawa

Filsafat Jawa yang hampir terlupakan



Dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak menentu ini, mungkin ada baiknya kalau kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu kita yang mungkin akan sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang ini. Ajaran yang bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bisa bermanfaat bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.

-ojo dumeh, ojo gumunan, ojo kagetan

jangan merasa paling, jangan mudah kagum, jangan gampang terkejut

- Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi

Nilai diri seseorang terletak pada apa yang diucapkan

- Ajining sarira dumunung ing busana Nilai badaniah seseorang terletak pada apa yang dipakai - Memayu hayuning bawana

Kewajiban melindungi bagi kehidupan didunia

- Sukeng tyas yen den hita

Bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran

- Jer basuki mawa beya

Keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan

- Amemangun karyenak tyasing sesama

Membuat enaknya perasaan orang lain

- Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi

Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian

- Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa

Sekuat usaha manusia tidak akan bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa

- Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti

Kemarahan dan kebencian akan hilang oleh sikap lemah lembut - Tan ngendhak gunaning janma

Tidak merendahkan kepandaian manusia

Meski demikian masih ada anggapan deri beberapa orang yang salah menafsirkan misalnya

- Mangan orang mangan waton kumpul

Menunjukkan yang penting itu kumpul, bukan sekadar kumpul, tetapi kerukunannya. Demi kerukunan kita harus melakukan apa pun. Kalau perlu sampai tidak makan. Jadi, bukannya pengertian makannya yang dikedepankan.

Sebenarnya filsafat Jawa tidak ada yang keliru. Yang salah adalah penafsirannya. Banyak sekali kasus yang menafsirkan secara keliru sehingga pandangan terhadap orang Jawa menjadi tidak tepat lagi. Kalau sudah begitu, siapa yang salah ? yang menafsirkan atau anjuran bijak itu ? Jadi mungkin, apabila kita selalu berpedoman atas pemikiran yang positif dalam menafsir suatu kalimat, diharapkan output yang kita dapatkan juga akan bisa berakibat positif buat kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms