Jumat, 11 Maret 2011

OTONOMI DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945

OTONOMI DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
1. Otonomi Daerah Menurut UUD 1945 dan UUDS 1950

Gagasan untuk menerapkan sistem otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibicarakan oleh PPKI disetujui antara lain oleh Supomo bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai desentralisasi akan di atur di dalam undang-undang. Gagasan-gagasan ini yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memuat :
Seluruh daerah Indonesia akan dibagi atas daerah besar dan kecil yang akan diatur dengan undang-undang.
Pengaturan tersebut harus :
Memperhatikan dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
Memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa

Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ditambahkan empat hal pokok lagi, yaitu :
daerah besar dan kecil bukanlah A negara bagian karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangkan negara kesatuan (eenheidsstaat).
Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratif
Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adakah Swapraja dan desa atau nama lain semacam itu yang disebut Volksgemeenschappen.
Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yg mempunyai hak asal-usul yg bersifat istimewa itu.

UUDS 1950 mengatur otonomi daerah di dalam Pasal 131, 132, dan 133. Pasal 131 memuat empat hal sebagai berikut :
Pembagian daerah Indonesia aras daerah besar dan kecil akan merupakan daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom).
Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan undang-undang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan.
Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur rumah tangganya.
Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya

Jika dibandingkan pengaturan otonomi di dalam UUD 1945 dan UUDS 1950, tampak bahwa pengaturan di dalam UUDS 1950 lebih jelas dan tegas daripada di dalam UUD 1945. UUD 1945 tidak jelas menegaskan bentuk susunan pemerintahan di daerah, demikian juga sifat otonom. Penjelasan UUD 1945 menjelaskan bahwa di daerah akan dikenal susunan pemerintahan administratif disamping yang bersifat otonom hal ini merupakan ketidakjelasan. Susunan pemerintahan administrartif merupakan ciri susunan pemerintahan menurut sendi konstentrasi dan dekonsentrasi, sedangkan peemrintahan yang bersifat otonom merupakan ciri susunan pemerintahan menurut sendi sentralisasi dan desentralisasi.
1. Otonomi Daerah Menurut UU No.1 Tahun 1945

UU No.1 Tahun 1945 yang ditetapkan pada 23 November 1945, tiga bulan setelah proklamasi adalah undang-undang tentang Kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). KNID merupakan mata rantai dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada saat UUD 1945 disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, PPKI juga menetapkan bahwa pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional, tanpa dibatasi pada tingkat nasional saja atau tingkat daerah. Dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah Indonesia, bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur, dibagi dalam Karedidenan yang dikenpalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan bahwa sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dalam sidangnya pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah Indonesia, antara lain bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur, dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Tentang KNIP diatur pula mengenai KNID, antara lain bahwa KNID dibentuk di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Usaha Komite Nasional adalah membantu pemimpin dalam membantu Pemerintah Daerah untuk kesejahteraan umum.

Adapun beberapa alasan yang menjadi latar belakang pembentukan UU No.1 Tahun 1945 adalah :
Secara umum untuk menertibkan KNID
Untuk memberikan jalan kepada Pemerintah Pusat mengawasi KNID
Untuk menjamin keserasian (keharmonisan) kegiatan KNID dengan Pemerintah Pusat.
Untuk mengurangi unsur-unsur kekuatan KNID yang menentang Pemerintah Pusat


1.1.Tata Susunan Teritorial Pemerintah Daerah

Pada 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian wilayah pemerintahan Republik Indonesia di daerah dalam susunan teritorial : Provinsi, Keresidenan, Kooti (Swapraja) dan Kota (Gemeente). Pembagian daerah-daerah tersebut belum dilakukan dalam rangka desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemerintah daerah dibentuk dengan tujuan mengisi kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan pendudukan tentara Jepang, artinya pemerintahan tentara Jepang sudah tidak dipatuhi lagi oleh Rakyat Indonesia yang merdeka dan berdaulat, selain itu juga bertujuan untuk sesegera mungkin melengkapi susunan pemerintahan RI sampai ke daerah-daerah, sehingga kehadiran Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi tampak nyata sampai ke daerah-daerah.

Kenyataannya pemerintahan tingkat daerah tidak terbatas pada Provinsi, Karesidenan, Kota dan Kooti (Swapraja) saja yang ada, melainkan juga Kawedanaan, Kecamatan, dan Desa. Susunan baru ini diatur kembali di dalam UU No.1 Tahun 1945. Akibat perubahan kedudukan KNID, maka dihidupkan kembali pemerintahan daerah otonom yang terhapus selama pendudukan tentara Jepang. Provinsi, Kawedanaan, dan Kecamatan tidak dilengkapi dengan KNID, karena itu tetap semata-mata sebagai unsur dekonsetrasi yang menjalankan pemerintahan umum atau kepamongprajaan di daerah, sebagai wakil pemerintah pusat atau aparat pemerintah daerah atasannya.

1.2.Tata Susunan Kekuasaan Pemerintahan di Daerah

Ada tiga alat kelengkapan pemerintahan daerah yang dapat disimak dari UU No.1 Tahun 1945, yaitu :
KNID sebagai DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara) yang bersama-sama di bawah pimpinan Kepala Daerah menjalankan funsgi legislatif.
Badan (maksimal terdiri atas 5 orang) yang dipilih dari dan oleh KNID sebagai badan eksekutif bersama-sama di bawah pimpinan Kepala Daerah menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari termasuk dalam bidang otonomi dan tugas pembantuan
Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan Pemerintah Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh Kantor-kantor Departemen di daerah.

Akibat dari dualisme kekuasaan pemerintahan daerah tersebut, maka UU No.1 Tahun 1945 diganti dengan UU No.22 Tahun 1948.

Otonomi Daerah Menurut UU No. 22 Tahun 1948

Sejak semula Badan pekerja KNIP dan Pemerintah Pusat menyadari bahwa UU No.1 tahun 1945 belum memadai sebagai dasar pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu hasrat untuk menetapkan undang-undang baru guna memperbaiki kekurangan-kekurangan itu kemudian dituangkan dalam UU No.22 tahun 1948. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan umum UU N0.22 Tahun 1948 sebagai berikut: “Baik pemerintah, maupun badan pekerja komite nasional indonesia pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintahan daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah Pemerintahan Daerah yang kolegial berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaanya”





Hasrat Pemberian Otonomi yang luas

Dasar kebijakan baru yang diatur di dalam UU No.22 Tahun 1948 adalah hasrat Pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Undang-undang ini tidak menggunakan istilah “Luas” atau “Seluas-luasnya” melainkan istilah “Sebanyak-banyaknya”.

Adapun tiga cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan Otonomi daerah yang sebanyak-banyaknya berdasarkan UU No.22 Tahun1948 adalah:
Melalui Pasal 23 ayat (2) yang menentukan bahwa urusan rumah tangga ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Ketentuan ini berartti UU No.22 Tahun 1948 mengatur segala wewenang otonomi daerah berdasarkan prinsip zakelik taakafbakening.
Melalui Pasal 28 yang memberikan peluang kepada daerah untuk mengambil inisiatif sendiri dalam mengatur dan mengurus urusan Pemerintah sebagai urusan rumah tangga daerah, dengan ketentuan: (a) tidak mengatur dan mengurus segala sesuatu yang telah diatur dalam UU, Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Daerah (Perda) yang lebih tinggi tingkatannya; (b) tidak mengatur dan mengurus hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah yang lebih rendah tingkatannya; (c) tidak bertentangan dengan UU, PP, Perda yang lebih tingkatannya; (d) hak mengatur dan mengurus tersebut menjadi tidak berlaku jika dikemudian hari ha;-hal tersebut diatur dan diurus dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Melalui tugas pembantuan (medebewind) yang meskipun tidak sepenuh prinsip otonomi yang luas, tetapi di dalam tugas pembantuan terdapat otonomi untuk menerjemahkan kebijakan Pusat/Pemda yang lebih tinggi tingkatannya di dalam daerah otonom yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasan UU No.22 Tahun 1948, tidak dibedakan secara tegas antara otonomi dan tugas pembantuan, bahkan tugas pembantuan dipandang sebagai dati otonomi.

Titik Berat Otonomi

Suatu daerah otonom dapat terselenggara dengan baik, membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu antara lain:
Sumber daya alam seperti luas wilayah yang memadai untuk mendukung berbagai kegiatan perekonomian dan kegiatan lain yang dapat menunjang pertumbuhan daerah dan masyarakatnya.
Sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitas yang mampu berpartisipasi untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang berkedaulatan rakyat dan modern.
Sumber keuangan untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

Susunan Pemerintahan Daerah

Hal lain yang menunjukan perbedaan antara UU No.22 Tahun 1948 dengan UU No.1 Tahun 1945 adalah mengenai susunan pemerintahan daerah. UU No.1 Tahun1945 membedakan dua macam satuan pemerintahan tingkat daerah, yaitu satuan pemerintahan otonom dan satuan pemerintahan administratif. Sementara UU No.22 Tahun 1948 hanya mengatur satu macam satuan pemerintahan tingkat daerah, yaitu otonom.

Otonomi Daerah Menurut UU NIT No. 44 Tahun 1950

UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 Tahun 1950 tentang pemerintah daerah timur ditetapkan pada 15 Mei 1950, yaitu pada masa susunan Negara Republik Indonesia sebagai negara federal dibawah konstitusi RIS sejak 27 Desember 1949. Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda dan Indonesia di Den Haag tanggal 23 Agustus – 2 November 1949, Kerajaan Belanda terpaksa memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 14 Desember 1949 wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Wakil Pemerintah Daerah Bagian dalam Bijeenkomst Federal Overleg menandatangani persetujuan Undang-undang Dasar Sementara, yang kemudian dinamakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada 27 Desember 1949. Dengan berlakunya konstitusi RIS maka Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat, yang terdiri atas 16 negara bagian yang disebut “Daerah Bagian”. Semua “Daerah Bagian” dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang disebut “Negara” dan kelompok yang disebut “satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri”.

Berdasarkan Pasal 127 Konstitusi RIS, pembuatab Undang-undang diserahkan kepada:
Pemerintaha bersama-sama dengan DPR dan Senat, dalam hal peraturan-peraturan mengenai satu atau lebih daerah-daerah bagian, atau mengenai hubungan Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut pada Pasal .
Pemerintah bersama-sama DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya.

UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Indonesia Timur ditetapkan pada 15 Mei 1950. Secara sengaja UU NIT No. 44 Tahun 1950 ditetapkan dalam rangka menyongsong pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan maksud menyesuaikan susunan ketatatnegaraan pemerintahan daerah dalam lingkungan wilayah Indonesia Timur dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan latar belakang tujuan tersebut, pwmbwntukN UU NIT NO. 44 Tahun 1950 dengan segala materi muatannya hanya mengambil oper dari UU. No 22 tahun 1948 dengan segala penyesuainnya. Praktis bahwa isi UU NIT tersebut sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, kecuali hal-hal seperti:
susunan dan penamaan daerah. UU NIT No. 44 Tahun 1950 memungkinkan susunan terdiri atas 2 atau 3 tingkatan (tidak harus 3 tingkatan) dengan nama-nama: Daerah, Daerah Bagian, dan Daerah Anak Bagian.
Sebutan resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintahan dan keanggotaanya diambil dari bukan anggota DPRD, demi memperoleh tenaga-tenaga ahli.
Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk (UU No. 22 Tahun 1948), tetapi juga mempertimbangkan luasnya otonomi kekuatan keuangan, dan suasana politik. Masa jabatan anggota DPRD 3 Tahun (UU No. 22 Tahun 1948 menetapkan 5 Tahun).

Memperhatikan prinsip-prinsp yang terkandung di dalam UU No. 22 Tahun 1948, yang diambil oper ke dalam UU NIT No. 44 Tahun 1950, beberapa prinsip dapat dicatat sebagai berikut:
upaya menghilangkan sifat dualistik di dalam UU No. 1 Tahun 1945
hanya ada satu pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom
titik berat otonomi pada desa
keinginan menghaouskan lembaga dan fungsi pamongpraja
penyerahan urusan pemerintahan sebanyak-banyaknya kepada daerah


Otonomi Daerah Menurut UU No. 1 Tahun 1957

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 131-133 UUDS 1950, pada hakikatnya UU No. 1 Tahun 1957 memuat hal pokok, yaitu:
di daerah-daerah (besar dan kecil) hanya akan ada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu yang berhak mengatur dan megurus rumah tangga daerah sendiri sebagai daerah otonom
kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

UUDS 1950 sebagamana juga UUD 1945, telah meletakan suatu prinp bahwa Pemerintah Daerah harus disusun dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. Pemerintah Daerah harus harus disusun dengan memperhatikan demokrasi, artinya membuka kemungkinan seluas mungkin bagi partisipasi rakyat daerah dalam membangun daerahnya.

Mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya adalah tetap dalam kerangka kesatuan republik Indonesia, maka walaupun seluas-luasnya tetap dalam pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pusat demi keutuhan Negara Kesatuan. Dari sudut pandang hukum, pembatasan otonomi seluas-luasnya akan menjelma dalam rumusan peraturab yang:
Memberikan wewenang kepada Pusat untuk setiao saat menentukan urusan-urusan Pemerintah yang menjadi wewenangnya.
Memberikan wewenang kepada Pusat untuk menarik kembali atau mengalihkan urusan rumah tangga daerah menjadi urusan Pusat.
Memberikan wewenang untuk menolak hasrat suatu Pemerintah Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan tertentu
Memberikan wewenang kepada pusat untuk melakukan pengawasan terhadap jalnnya pemerintahan daerah baik preventif, represif, maupun dalam bentuk-bentuk pengawasan lainnya.

Keempat hal itu adalah pembatasan eksterb yang datang dari pemerinath pusat, sedangkan pembatasan intern yang datang dari Pemerintah Otonom itu sendiri (self restraint) sekurang-kurangnya ada dua macam, yaitu:
Kemampuan ekonomi daerah, khusunya keuangan daerah.
Kemampuan sumber daya manusia (tenaga) baik Pemerintah Daerah maupun rakyat di daerah yang bersangkutan.

Semua pembatasan otonomi seluas-luasnya itu tentu saja mempunyai nilai spiritual dibaliknya sebagai makna pemberian otonomi seluas-luasnya. Sekurang-kurangnya ada tiga nilai spiritual (makna) yang terkandung di balik pemberian otonomi seluas-luasnya adalah:
Dari aspek historis pemerintahan Indonesia, dasar dan kebijakan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah dipandang sebagai reaksi terhadap otonomi yang sangat sempit pada masa penjajahan.
Dari aspek paham kerakyatan, otonomi seluas-luasnya adalah cara untuk memberi kesempatan seluang mungkin bagi rakyat setampat mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya, yang sudah dapat diduga bahwa kepentingan yang bercorak lokal cukup luas, sehingga harus diberi otonomi yang luas, atau bahkan seluas-luasnya.
Dari aspek kebhinekaan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat pluralistik dalam berbagai segi (keyakinan, budaya, kemasyarakatan) yang menampilkan perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan cara pemuasannya. Perbedaan-perbedaan itu hanya dapat dilayani melalui otonomi yang luas atau seluas-luasnya.

Sistem Rumah Tangga Daerah

UU No. 1 Tahun 1945 menggunakan sistem rumah tangga formal, UU No. 22 Tahun 1948 menggunakan sistem rumah tangga materiil, maka UU No. 1 Tahun 1957 menggunakan sistem rumah tangga nyata. Sistem ini dipandang lebih sesuai untuk mewujudan ketentua-ketentuan UUDS 1950. Dalam hal ini pembentukan Undang-undang meberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Sebagai perbaikan terhadap sistem rumah tangga yang pernah dipergunakan oleh Undang-undang yang lalu.
Sistem rumah tangga nyata meberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk Negara Indonesia yang majemuk karena isi otonomi daerah didasarkan pad kenyataan yang ada.
Sistem rumah tangga nyata mengandung di dalamnya “kelenturan terkendali”. Daerah-daerah dapat mengembangkan otonomi seluas-luasnya tanpa mengurangi pengendalian baik dalam rangka bimbingan maupun untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan.

Otonomi Daerah Menurut Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960

Akibat dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, maka diadakan pula penyesuain susunan pemerintahan daerah dengan susunan menrut UUD 1945. Dalam rangka itu, sekaligus dilakukan pula penyempurnaan terhadap UU No. 1 Tahun 1957, melaluia Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tamggal 7 November 1959 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Penpres tersebut, penyempurnaan dilakukan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu:
Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi serta aparatur dan fungsi kepamongprajaan.
Memperbesar pengendalian Pusat terhadap Daerah

Mengenai pengendalian, atau campur tangan pusat terhadap Daerah, dilakukan melalui hal-hal berikut:
Melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan Daerah.
Kepala Daerah sebagai alat pusat diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD jika dipandang bertentangan dengan GBHN, kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatbya.
Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Tingkat II. Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas persetujuan Presiden dapat juga mengangkat Kepala Daerah diluar calon-calon yang diajukan oleh DPRD.

Otonomi Daerah Menurut UU No. 18 Tahun 1965


UU No. 18 Tahun 1965 hampir seluruhnya meneruskan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Penpres No. ^ Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960. Kepala Daerah menurut UU No. 18 Tahun 1965 tidak lagi karena jabatannya adalah ketua DPRD. Sebgai gantinya ditentukan bahwa “Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas mempertanggung jawabkannya kepada Kepala Negara” (Pasal 8). Kepala Daerah dalam hal ini adalah sebagai alat pusat. Dengan demikian Pusat sepenuhnya mengendalikan Daerah.

Selain itu, terdapat juga persamaan antara UU No. 1 Tahun 1957 dengan UU No. 18 Tahun 1965, antara lain:
Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah
Sistem rumah tangga nyata. UU No. 18 Tahun 1965 tetap menghendaki otonomi Daerah dilaksankan dengan sistem rumah tangga nyata, oleh karena itu hampir seluruh penjelasan UU No. 1 Tahun1957 tentang otonomi nyata dipindahkan menjadi penjelasan UU No. 18 Tahun 1965.
Hanya ada satu macam susunan pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom. Bahkan ditegaskan pula bahwa sebutan provinsi, kabupaten, kecamatan, kotapraja, kotaraja, kotamdya bukan merupakan perwujudan suatu wilayah administratif. Ini berart UU No. 18 Tahun 1965 hanya menghendaki satu susunan pemerintah daerah, yaitu hanya daerah otonom, tidak ada wilayah adminitratif,

Otonomi Daerah Menuru UU No. 5 Tahun 1974

Gagasan Melaksankan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen

UU No. 5 Tahun 1974 adalah undang-undang tentang pemerintahan Daerah yang pertama lahir setelah ada konsensus nasional untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang bertalian dengan Pemerintahan daerah adalah pelaksanaan Pasal 18 Uud 1945. Dari rumusan Pasal 18 UUD 1945 mengandung tiga prinsip dasar, yaitu:
Prinsip desentralisai teritorial, yaitu wilayah Negara Republik Indonesia akan dibagi-bagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil (grondgebied). Dengan demikian UUD 1945 tidak mengatur mengenai desentralisai fungsional.
Perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk mengatur desentralisasi teritorial tersebut dalam bentuk undang-undang (undang-undang organik)
Perintah kepad pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi teritorial tersebut, harus:
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Ruang Lingkup UU No. 5 Tahun 1974

Secara resmi UU No. 5 Tahun 1974 bernama “Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah”. Penambahan kata penghubung “di” pada nama undang-undang ini mempunyai makna terhadap ruang lingkupnya, yaitu mencakup semua Pemerintahan di Daerah. Ada dua Pemerintahan di daerah, yaitu Pemerintahan Daerah itu sendiri dan Pemerintahan Pusat yang ada di daerah yang bersangkutan. Pemerintahan dilaksanakan menurut asa desentralisasi yang disebut daerah “otonom”, sedangkan pemerintahan Pusat di Daerah dilaksankan menurut asa dekonsentrasi yang disebut “Wilayah Administratif”. Pemerintahan wilayah administratif, tidak mempunyai dasar konstitusional, melainkan dasar extra-konstitusional.

Sistem Rumah Tangga Daerah

Berdasarkan penjelasan umum butir 1.e UU No. 5 Tahun 1974, sistem rumah tangga daerah yang digunakan adalah “otonomi yang nyata” tentu sama saja dengan sistem “otonomi riil” yaang dipergunakan pada UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965. Ada pertimbangan utama utama untuk meninggalkan prinsip otonomi seluas-luasnya, yaitu:
pertimbangan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
pertimbangan “otonomi seluas-luasnya tidak sesuai dengan tujuan pemberian otonomi dan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam GBHN.

Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999

Pengaruh Perkembangan Keadaan Globalisasi

UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang hanya mengatur mengenai Daerah Otonom dan Wilayah Administratif dipandang tidak dapat menampung perkembangan keadaan. Oleh karena itu, di dalam menghapadi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun diluar negeri serta tantangan persaingan Global yang semakin ketat, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, danbertanggung jawab kepada Daerah.

Ruang Lingkup UU No. 22 Tahun 1999

Di dalam penjelsan umum 1.c UU No. 22 Tahun1999 diterangkan bahwa Undang-undang ini disebut “Udang-undang tentang Pemerintahan Daerah” karena Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas Desentralisai. Penjelasan ini berarti bahwa pembagian kewenangan secara vertikal yang bertalian dengan sendi negara sentralisasi dan desentralisasi, khususnya desentralisasi.

Sistem Rumah Tangga Daerah

Pada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan hanya pada asa desentralisasi, dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab:
Otonomi yang luas maksudnya adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik.
2. Otonomi yang nyata maksudnya adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
3. Otonomi yang bertanggung jawab maksudnya adalah perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan wewenang kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 11 Maret 2011

OTONOMI DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945

OTONOMI DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
1. Otonomi Daerah Menurut UUD 1945 dan UUDS 1950

Gagasan untuk menerapkan sistem otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibicarakan oleh PPKI disetujui antara lain oleh Supomo bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai desentralisasi akan di atur di dalam undang-undang. Gagasan-gagasan ini yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memuat :
Seluruh daerah Indonesia akan dibagi atas daerah besar dan kecil yang akan diatur dengan undang-undang.
Pengaturan tersebut harus :
Memperhatikan dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
Memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa

Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ditambahkan empat hal pokok lagi, yaitu :
daerah besar dan kecil bukanlah A negara bagian karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangkan negara kesatuan (eenheidsstaat).
Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratif
Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adakah Swapraja dan desa atau nama lain semacam itu yang disebut Volksgemeenschappen.
Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yg mempunyai hak asal-usul yg bersifat istimewa itu.

UUDS 1950 mengatur otonomi daerah di dalam Pasal 131, 132, dan 133. Pasal 131 memuat empat hal sebagai berikut :
Pembagian daerah Indonesia aras daerah besar dan kecil akan merupakan daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom).
Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan undang-undang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan.
Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur rumah tangganya.
Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya

Jika dibandingkan pengaturan otonomi di dalam UUD 1945 dan UUDS 1950, tampak bahwa pengaturan di dalam UUDS 1950 lebih jelas dan tegas daripada di dalam UUD 1945. UUD 1945 tidak jelas menegaskan bentuk susunan pemerintahan di daerah, demikian juga sifat otonom. Penjelasan UUD 1945 menjelaskan bahwa di daerah akan dikenal susunan pemerintahan administratif disamping yang bersifat otonom hal ini merupakan ketidakjelasan. Susunan pemerintahan administrartif merupakan ciri susunan pemerintahan menurut sendi konstentrasi dan dekonsentrasi, sedangkan peemrintahan yang bersifat otonom merupakan ciri susunan pemerintahan menurut sendi sentralisasi dan desentralisasi.
1. Otonomi Daerah Menurut UU No.1 Tahun 1945

UU No.1 Tahun 1945 yang ditetapkan pada 23 November 1945, tiga bulan setelah proklamasi adalah undang-undang tentang Kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). KNID merupakan mata rantai dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada saat UUD 1945 disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, PPKI juga menetapkan bahwa pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional, tanpa dibatasi pada tingkat nasional saja atau tingkat daerah. Dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah Indonesia, bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur, dibagi dalam Karedidenan yang dikenpalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan bahwa sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dalam sidangnya pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah Indonesia, antara lain bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur, dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Tentang KNIP diatur pula mengenai KNID, antara lain bahwa KNID dibentuk di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Usaha Komite Nasional adalah membantu pemimpin dalam membantu Pemerintah Daerah untuk kesejahteraan umum.

Adapun beberapa alasan yang menjadi latar belakang pembentukan UU No.1 Tahun 1945 adalah :
Secara umum untuk menertibkan KNID
Untuk memberikan jalan kepada Pemerintah Pusat mengawasi KNID
Untuk menjamin keserasian (keharmonisan) kegiatan KNID dengan Pemerintah Pusat.
Untuk mengurangi unsur-unsur kekuatan KNID yang menentang Pemerintah Pusat


1.1.Tata Susunan Teritorial Pemerintah Daerah

Pada 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian wilayah pemerintahan Republik Indonesia di daerah dalam susunan teritorial : Provinsi, Keresidenan, Kooti (Swapraja) dan Kota (Gemeente). Pembagian daerah-daerah tersebut belum dilakukan dalam rangka desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemerintah daerah dibentuk dengan tujuan mengisi kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan pendudukan tentara Jepang, artinya pemerintahan tentara Jepang sudah tidak dipatuhi lagi oleh Rakyat Indonesia yang merdeka dan berdaulat, selain itu juga bertujuan untuk sesegera mungkin melengkapi susunan pemerintahan RI sampai ke daerah-daerah, sehingga kehadiran Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi tampak nyata sampai ke daerah-daerah.

Kenyataannya pemerintahan tingkat daerah tidak terbatas pada Provinsi, Karesidenan, Kota dan Kooti (Swapraja) saja yang ada, melainkan juga Kawedanaan, Kecamatan, dan Desa. Susunan baru ini diatur kembali di dalam UU No.1 Tahun 1945. Akibat perubahan kedudukan KNID, maka dihidupkan kembali pemerintahan daerah otonom yang terhapus selama pendudukan tentara Jepang. Provinsi, Kawedanaan, dan Kecamatan tidak dilengkapi dengan KNID, karena itu tetap semata-mata sebagai unsur dekonsetrasi yang menjalankan pemerintahan umum atau kepamongprajaan di daerah, sebagai wakil pemerintah pusat atau aparat pemerintah daerah atasannya.

1.2.Tata Susunan Kekuasaan Pemerintahan di Daerah

Ada tiga alat kelengkapan pemerintahan daerah yang dapat disimak dari UU No.1 Tahun 1945, yaitu :
KNID sebagai DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara) yang bersama-sama di bawah pimpinan Kepala Daerah menjalankan funsgi legislatif.
Badan (maksimal terdiri atas 5 orang) yang dipilih dari dan oleh KNID sebagai badan eksekutif bersama-sama di bawah pimpinan Kepala Daerah menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari termasuk dalam bidang otonomi dan tugas pembantuan
Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan Pemerintah Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh Kantor-kantor Departemen di daerah.

Akibat dari dualisme kekuasaan pemerintahan daerah tersebut, maka UU No.1 Tahun 1945 diganti dengan UU No.22 Tahun 1948.

Otonomi Daerah Menurut UU No. 22 Tahun 1948

Sejak semula Badan pekerja KNIP dan Pemerintah Pusat menyadari bahwa UU No.1 tahun 1945 belum memadai sebagai dasar pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu hasrat untuk menetapkan undang-undang baru guna memperbaiki kekurangan-kekurangan itu kemudian dituangkan dalam UU No.22 tahun 1948. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan umum UU N0.22 Tahun 1948 sebagai berikut: “Baik pemerintah, maupun badan pekerja komite nasional indonesia pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintahan daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah Pemerintahan Daerah yang kolegial berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaanya”





Hasrat Pemberian Otonomi yang luas

Dasar kebijakan baru yang diatur di dalam UU No.22 Tahun 1948 adalah hasrat Pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Undang-undang ini tidak menggunakan istilah “Luas” atau “Seluas-luasnya” melainkan istilah “Sebanyak-banyaknya”.

Adapun tiga cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan Otonomi daerah yang sebanyak-banyaknya berdasarkan UU No.22 Tahun1948 adalah:
Melalui Pasal 23 ayat (2) yang menentukan bahwa urusan rumah tangga ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Ketentuan ini berartti UU No.22 Tahun 1948 mengatur segala wewenang otonomi daerah berdasarkan prinsip zakelik taakafbakening.
Melalui Pasal 28 yang memberikan peluang kepada daerah untuk mengambil inisiatif sendiri dalam mengatur dan mengurus urusan Pemerintah sebagai urusan rumah tangga daerah, dengan ketentuan: (a) tidak mengatur dan mengurus segala sesuatu yang telah diatur dalam UU, Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Daerah (Perda) yang lebih tinggi tingkatannya; (b) tidak mengatur dan mengurus hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah yang lebih rendah tingkatannya; (c) tidak bertentangan dengan UU, PP, Perda yang lebih tingkatannya; (d) hak mengatur dan mengurus tersebut menjadi tidak berlaku jika dikemudian hari ha;-hal tersebut diatur dan diurus dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Melalui tugas pembantuan (medebewind) yang meskipun tidak sepenuh prinsip otonomi yang luas, tetapi di dalam tugas pembantuan terdapat otonomi untuk menerjemahkan kebijakan Pusat/Pemda yang lebih tinggi tingkatannya di dalam daerah otonom yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasan UU No.22 Tahun 1948, tidak dibedakan secara tegas antara otonomi dan tugas pembantuan, bahkan tugas pembantuan dipandang sebagai dati otonomi.

Titik Berat Otonomi

Suatu daerah otonom dapat terselenggara dengan baik, membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu antara lain:
Sumber daya alam seperti luas wilayah yang memadai untuk mendukung berbagai kegiatan perekonomian dan kegiatan lain yang dapat menunjang pertumbuhan daerah dan masyarakatnya.
Sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitas yang mampu berpartisipasi untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang berkedaulatan rakyat dan modern.
Sumber keuangan untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

Susunan Pemerintahan Daerah

Hal lain yang menunjukan perbedaan antara UU No.22 Tahun 1948 dengan UU No.1 Tahun 1945 adalah mengenai susunan pemerintahan daerah. UU No.1 Tahun1945 membedakan dua macam satuan pemerintahan tingkat daerah, yaitu satuan pemerintahan otonom dan satuan pemerintahan administratif. Sementara UU No.22 Tahun 1948 hanya mengatur satu macam satuan pemerintahan tingkat daerah, yaitu otonom.

Otonomi Daerah Menurut UU NIT No. 44 Tahun 1950

UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 Tahun 1950 tentang pemerintah daerah timur ditetapkan pada 15 Mei 1950, yaitu pada masa susunan Negara Republik Indonesia sebagai negara federal dibawah konstitusi RIS sejak 27 Desember 1949. Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda dan Indonesia di Den Haag tanggal 23 Agustus – 2 November 1949, Kerajaan Belanda terpaksa memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 14 Desember 1949 wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Wakil Pemerintah Daerah Bagian dalam Bijeenkomst Federal Overleg menandatangani persetujuan Undang-undang Dasar Sementara, yang kemudian dinamakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada 27 Desember 1949. Dengan berlakunya konstitusi RIS maka Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat, yang terdiri atas 16 negara bagian yang disebut “Daerah Bagian”. Semua “Daerah Bagian” dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang disebut “Negara” dan kelompok yang disebut “satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri”.

Berdasarkan Pasal 127 Konstitusi RIS, pembuatab Undang-undang diserahkan kepada:
Pemerintaha bersama-sama dengan DPR dan Senat, dalam hal peraturan-peraturan mengenai satu atau lebih daerah-daerah bagian, atau mengenai hubungan Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut pada Pasal .
Pemerintah bersama-sama DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya.

UU NIT (Undang-undang Negara Indonesia Timur) No.44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Indonesia Timur ditetapkan pada 15 Mei 1950. Secara sengaja UU NIT No. 44 Tahun 1950 ditetapkan dalam rangka menyongsong pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan maksud menyesuaikan susunan ketatatnegaraan pemerintahan daerah dalam lingkungan wilayah Indonesia Timur dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan latar belakang tujuan tersebut, pwmbwntukN UU NIT NO. 44 Tahun 1950 dengan segala materi muatannya hanya mengambil oper dari UU. No 22 tahun 1948 dengan segala penyesuainnya. Praktis bahwa isi UU NIT tersebut sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, kecuali hal-hal seperti:
susunan dan penamaan daerah. UU NIT No. 44 Tahun 1950 memungkinkan susunan terdiri atas 2 atau 3 tingkatan (tidak harus 3 tingkatan) dengan nama-nama: Daerah, Daerah Bagian, dan Daerah Anak Bagian.
Sebutan resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintahan dan keanggotaanya diambil dari bukan anggota DPRD, demi memperoleh tenaga-tenaga ahli.
Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk (UU No. 22 Tahun 1948), tetapi juga mempertimbangkan luasnya otonomi kekuatan keuangan, dan suasana politik. Masa jabatan anggota DPRD 3 Tahun (UU No. 22 Tahun 1948 menetapkan 5 Tahun).

Memperhatikan prinsip-prinsp yang terkandung di dalam UU No. 22 Tahun 1948, yang diambil oper ke dalam UU NIT No. 44 Tahun 1950, beberapa prinsip dapat dicatat sebagai berikut:
upaya menghilangkan sifat dualistik di dalam UU No. 1 Tahun 1945
hanya ada satu pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom
titik berat otonomi pada desa
keinginan menghaouskan lembaga dan fungsi pamongpraja
penyerahan urusan pemerintahan sebanyak-banyaknya kepada daerah


Otonomi Daerah Menurut UU No. 1 Tahun 1957

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 131-133 UUDS 1950, pada hakikatnya UU No. 1 Tahun 1957 memuat hal pokok, yaitu:
di daerah-daerah (besar dan kecil) hanya akan ada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu yang berhak mengatur dan megurus rumah tangga daerah sendiri sebagai daerah otonom
kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

UUDS 1950 sebagamana juga UUD 1945, telah meletakan suatu prinp bahwa Pemerintah Daerah harus disusun dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. Pemerintah Daerah harus harus disusun dengan memperhatikan demokrasi, artinya membuka kemungkinan seluas mungkin bagi partisipasi rakyat daerah dalam membangun daerahnya.

Mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya adalah tetap dalam kerangka kesatuan republik Indonesia, maka walaupun seluas-luasnya tetap dalam pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pusat demi keutuhan Negara Kesatuan. Dari sudut pandang hukum, pembatasan otonomi seluas-luasnya akan menjelma dalam rumusan peraturab yang:
Memberikan wewenang kepada Pusat untuk setiao saat menentukan urusan-urusan Pemerintah yang menjadi wewenangnya.
Memberikan wewenang kepada Pusat untuk menarik kembali atau mengalihkan urusan rumah tangga daerah menjadi urusan Pusat.
Memberikan wewenang untuk menolak hasrat suatu Pemerintah Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan tertentu
Memberikan wewenang kepada pusat untuk melakukan pengawasan terhadap jalnnya pemerintahan daerah baik preventif, represif, maupun dalam bentuk-bentuk pengawasan lainnya.

Keempat hal itu adalah pembatasan eksterb yang datang dari pemerinath pusat, sedangkan pembatasan intern yang datang dari Pemerintah Otonom itu sendiri (self restraint) sekurang-kurangnya ada dua macam, yaitu:
Kemampuan ekonomi daerah, khusunya keuangan daerah.
Kemampuan sumber daya manusia (tenaga) baik Pemerintah Daerah maupun rakyat di daerah yang bersangkutan.

Semua pembatasan otonomi seluas-luasnya itu tentu saja mempunyai nilai spiritual dibaliknya sebagai makna pemberian otonomi seluas-luasnya. Sekurang-kurangnya ada tiga nilai spiritual (makna) yang terkandung di balik pemberian otonomi seluas-luasnya adalah:
Dari aspek historis pemerintahan Indonesia, dasar dan kebijakan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah dipandang sebagai reaksi terhadap otonomi yang sangat sempit pada masa penjajahan.
Dari aspek paham kerakyatan, otonomi seluas-luasnya adalah cara untuk memberi kesempatan seluang mungkin bagi rakyat setampat mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya, yang sudah dapat diduga bahwa kepentingan yang bercorak lokal cukup luas, sehingga harus diberi otonomi yang luas, atau bahkan seluas-luasnya.
Dari aspek kebhinekaan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat pluralistik dalam berbagai segi (keyakinan, budaya, kemasyarakatan) yang menampilkan perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan cara pemuasannya. Perbedaan-perbedaan itu hanya dapat dilayani melalui otonomi yang luas atau seluas-luasnya.

Sistem Rumah Tangga Daerah

UU No. 1 Tahun 1945 menggunakan sistem rumah tangga formal, UU No. 22 Tahun 1948 menggunakan sistem rumah tangga materiil, maka UU No. 1 Tahun 1957 menggunakan sistem rumah tangga nyata. Sistem ini dipandang lebih sesuai untuk mewujudan ketentua-ketentuan UUDS 1950. Dalam hal ini pembentukan Undang-undang meberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Sebagai perbaikan terhadap sistem rumah tangga yang pernah dipergunakan oleh Undang-undang yang lalu.
Sistem rumah tangga nyata meberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk Negara Indonesia yang majemuk karena isi otonomi daerah didasarkan pad kenyataan yang ada.
Sistem rumah tangga nyata mengandung di dalamnya “kelenturan terkendali”. Daerah-daerah dapat mengembangkan otonomi seluas-luasnya tanpa mengurangi pengendalian baik dalam rangka bimbingan maupun untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan.

Otonomi Daerah Menurut Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960

Akibat dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, maka diadakan pula penyesuain susunan pemerintahan daerah dengan susunan menrut UUD 1945. Dalam rangka itu, sekaligus dilakukan pula penyempurnaan terhadap UU No. 1 Tahun 1957, melaluia Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tamggal 7 November 1959 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Penpres tersebut, penyempurnaan dilakukan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu:
Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi serta aparatur dan fungsi kepamongprajaan.
Memperbesar pengendalian Pusat terhadap Daerah

Mengenai pengendalian, atau campur tangan pusat terhadap Daerah, dilakukan melalui hal-hal berikut:
Melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan Daerah.
Kepala Daerah sebagai alat pusat diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD jika dipandang bertentangan dengan GBHN, kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatbya.
Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Tingkat II. Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas persetujuan Presiden dapat juga mengangkat Kepala Daerah diluar calon-calon yang diajukan oleh DPRD.

Otonomi Daerah Menurut UU No. 18 Tahun 1965


UU No. 18 Tahun 1965 hampir seluruhnya meneruskan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Penpres No. ^ Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960. Kepala Daerah menurut UU No. 18 Tahun 1965 tidak lagi karena jabatannya adalah ketua DPRD. Sebgai gantinya ditentukan bahwa “Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas mempertanggung jawabkannya kepada Kepala Negara” (Pasal 8). Kepala Daerah dalam hal ini adalah sebagai alat pusat. Dengan demikian Pusat sepenuhnya mengendalikan Daerah.

Selain itu, terdapat juga persamaan antara UU No. 1 Tahun 1957 dengan UU No. 18 Tahun 1965, antara lain:
Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah
Sistem rumah tangga nyata. UU No. 18 Tahun 1965 tetap menghendaki otonomi Daerah dilaksankan dengan sistem rumah tangga nyata, oleh karena itu hampir seluruh penjelasan UU No. 1 Tahun1957 tentang otonomi nyata dipindahkan menjadi penjelasan UU No. 18 Tahun 1965.
Hanya ada satu macam susunan pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom. Bahkan ditegaskan pula bahwa sebutan provinsi, kabupaten, kecamatan, kotapraja, kotaraja, kotamdya bukan merupakan perwujudan suatu wilayah administratif. Ini berart UU No. 18 Tahun 1965 hanya menghendaki satu susunan pemerintah daerah, yaitu hanya daerah otonom, tidak ada wilayah adminitratif,

Otonomi Daerah Menuru UU No. 5 Tahun 1974

Gagasan Melaksankan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen

UU No. 5 Tahun 1974 adalah undang-undang tentang pemerintahan Daerah yang pertama lahir setelah ada konsensus nasional untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang bertalian dengan Pemerintahan daerah adalah pelaksanaan Pasal 18 Uud 1945. Dari rumusan Pasal 18 UUD 1945 mengandung tiga prinsip dasar, yaitu:
Prinsip desentralisai teritorial, yaitu wilayah Negara Republik Indonesia akan dibagi-bagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil (grondgebied). Dengan demikian UUD 1945 tidak mengatur mengenai desentralisai fungsional.
Perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk mengatur desentralisasi teritorial tersebut dalam bentuk undang-undang (undang-undang organik)
Perintah kepad pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi teritorial tersebut, harus:
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Ruang Lingkup UU No. 5 Tahun 1974

Secara resmi UU No. 5 Tahun 1974 bernama “Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah”. Penambahan kata penghubung “di” pada nama undang-undang ini mempunyai makna terhadap ruang lingkupnya, yaitu mencakup semua Pemerintahan di Daerah. Ada dua Pemerintahan di daerah, yaitu Pemerintahan Daerah itu sendiri dan Pemerintahan Pusat yang ada di daerah yang bersangkutan. Pemerintahan dilaksanakan menurut asa desentralisasi yang disebut daerah “otonom”, sedangkan pemerintahan Pusat di Daerah dilaksankan menurut asa dekonsentrasi yang disebut “Wilayah Administratif”. Pemerintahan wilayah administratif, tidak mempunyai dasar konstitusional, melainkan dasar extra-konstitusional.

Sistem Rumah Tangga Daerah

Berdasarkan penjelasan umum butir 1.e UU No. 5 Tahun 1974, sistem rumah tangga daerah yang digunakan adalah “otonomi yang nyata” tentu sama saja dengan sistem “otonomi riil” yaang dipergunakan pada UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965. Ada pertimbangan utama utama untuk meninggalkan prinsip otonomi seluas-luasnya, yaitu:
pertimbangan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
pertimbangan “otonomi seluas-luasnya tidak sesuai dengan tujuan pemberian otonomi dan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam GBHN.

Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999

Pengaruh Perkembangan Keadaan Globalisasi

UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang hanya mengatur mengenai Daerah Otonom dan Wilayah Administratif dipandang tidak dapat menampung perkembangan keadaan. Oleh karena itu, di dalam menghapadi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun diluar negeri serta tantangan persaingan Global yang semakin ketat, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, danbertanggung jawab kepada Daerah.

Ruang Lingkup UU No. 22 Tahun 1999

Di dalam penjelsan umum 1.c UU No. 22 Tahun1999 diterangkan bahwa Undang-undang ini disebut “Udang-undang tentang Pemerintahan Daerah” karena Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas Desentralisai. Penjelasan ini berarti bahwa pembagian kewenangan secara vertikal yang bertalian dengan sendi negara sentralisasi dan desentralisasi, khususnya desentralisasi.

Sistem Rumah Tangga Daerah

Pada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan hanya pada asa desentralisasi, dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab:
Otonomi yang luas maksudnya adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik.
2. Otonomi yang nyata maksudnya adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
3. Otonomi yang bertanggung jawab maksudnya adalah perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan wewenang kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms