Sabtu, 19 Maret 2011

tentang rasa dalam filsafat jawa

Benarkah sejarah Jawa itu sejarahnya orang-orang yang kalah?
Dan  benarkah  bahwa  karena  itu  filsafat Jawa juga cermin
sikap hidup orang yang kalah?
 
Bahwa filsafat Jawa mengagungkan ide dan merendahkan materi,
memang tampak jelas. Dalam berbagai hal pandangan hidup Jawa
bahkan bersifat  anti-materi.  Orang  Jawa  lebih  cenderung
mencanggih-canggihkan  tata  krama dan kehalusan. Kepriayian
dan kebudayaan adiluhung menjadi semacam kebanggaan, mungkin
tujuan.
 
Maka,  orang  Jawa  menyebut sesama Jawa yang bersikap kasar
dengan ora njawani (tidak bersikap Jawa) atau bahkan  durung
Jowo  (belum  menjadi  Jawa)  karena  cuma  yang  halus  dan
luhurlah  yang  diakui  sebagai  wis  Jowo   (sudah   Jawa).
Diam-diam, orang Jawa yang pandai membungkuk itu suka merasa
paling unggul.
 
Adanya dikotomi tanah Jawa-tanah  sabrang  (seberang)  dalam
hidup  orang  Jawa  juga  berangkat dari rasa unggul (secara
kultural) semacam itu. Tapi orang  "seberang"  bahkan  orang
bule  sekalipun,  kalau  ia  halus,  oleh orang Jawa disebut
sebagai "Jawa". Seolah-olah  hanya  orang  Jawa  yang  punya
kehalusan.   Seorang   teman  saya  bahkan  tidak  malu-malu
menyebut bule yang sarungan saja sebagai bule yang njawani.
 
Cultural  determinism,  dalam  antropologi,  dulu   dianggap
produk  Eropa dan gambaran keangkuhan bule Eropa. Orang lupa
bahwa determinisme kultural ada juga di Jawa. Tapi, benarkah
bahwa   rasa  unggul  pada  orang  Jawa  itu  pada  dasarnya
merupakan  ungkapan  kegetiran   mereka   akibat   kekalahan
terus-menerus  secara  politik,  ekonomi,  dan militer dalam
menghadapi agresi Barat?  Benarkah  orang  Jawa  menggunakan
kebudayaan  sebagai  selubung  yang menyembunyikan muka dari
rasa malu menjadi pihak yang kalah melulu?
 
Dalam hidup sehari-hari terasa  bahwa  orang  yang  mengejar
materi  dianggap  ngoyo  uripe  (memaksa  diri dalam hidup),
sesuatu yang bukan  Jawa.  Hidup  Jawa  ialah  tenteram  dan
harmoni  dalam konotasi batin, karena di sana tersirat bahwa
materi tak bisa membawa ketenteraman. Tak mengherankan  bila
orang  lebih  memilih  ora mangan waton ngumpul (tidak makan
asal kumpul).
 
Ungkapan numpak Mercy mbrebes  mili,  mikul  dhawet  uro-uro
(orang  kaya  naik  Mercy  berurai  air  mata, tukang cendol
nyanyi bahagia) merupakan simbol pemujaan ide dan  penolakan
materi tadi.
 
Dalam  dunia  Islam,  gambaran  orang  tentang  sufi  selalu
merujuk pada kesederhanaan dan penolakan terhadap dunia. Max
Weber  bahkan  menganggap agama-agama Timur, termasuk Islam,
tidak memiliki "asketisme duniawi"  seperti  Protestan  yang
melahirkan   kapitalisme   modern   itu,   karena  asketisme
agama-agama Timur bersifat mistis,  "lari"  dari  dunia  dan
mengejar hidup akhirat semata
 
Ironisnya,  seperti  pernah ditulis Goenawan Mohamad, mereka
yang "emoh" dunia ini ternyata selalu hidup dari  dana  yang
dihimpun untuk mereka. Dus, hidup dari sumbangan umat.
 
Di berbagai daerah ada kiai yang dikenal sebagai sufi tetapi
hidup keduniaannya  mentereng.  Rumahnya  mewah,  pakaiannya
necis, mobilnya bukan Kijang, melainkan Mercy: gambaran sufi
yang tidak lazim, yang melawan "stigma" yang sah itu.
 
Seorang teman dari LIPI,  Bisri  Effendy,  pernah  bercerita
tentang kiai di Jawa Timur yang marah pada santri-santrinya.
Suatu hari, para santri hendak ke  pasar.  Mereka  sarungan,
memakai  teklek, berkaus ala kadarnya, dan berpeci butut. Di
pintu gerbang  pesantren  mereka  bertemu  sang  kiai,  yang
segera  mendamprat  mereka dari dalam Mercy yang licin mulus
itu.
 
"Kamu kira kalau sudah menggembel begitu mesti masuk  surga?
Hidupmu  itu  belum tentu, tahu? Kalau mau hebat, hidup yang
mentereng di dunia dan mati masuk surga. Jangan  kamu  balik
duniamu  sudah pating slawir (kocar-kacir), status akhiratmu
masih ngambang."
 
Pikiran romo kiai ini  jelas  subversif;  menjungkirbalikkan
pandangan Jawa tadi. Ia tidak mau "naik Mercy mbrebes mili".
Edan, po?, ia pun menolak mikul  dhawet,  meskipun  uro-uro.
Mana  ada  kiai  mikul dhawet? Ia memilih yang terbaik, yang
musykil dalam pandangan Jawa: yakni numpak (naik) Mercy  tur
(dan, lagi pula) uro-uro.
 
Sikapnya  memilih  hidup  mulia  di  dunia dan mati berharap
masuk surga, tidak berangkat dari  "hedonisme"  kawula  muda
yang  bicara tentang "mumpung muda foya-foya, tua harus kaya
raya, dan mati masuk surga". Pilihan sikap  hidup  Pak  Kiai
ini serius. Ia bertolak dari dasar-dasar ajaran mulia.
 
Sufi  yang  mewah  ini,  dengan  kata  lain,  tidak  terkena
"najis". Kesufiannya tidak "batal". Kementerengannya  dengan
harta  dunia  dan  Mercy itu, sepanjang tak membuat dia lupa
pada yang paling esensial, Tuhan, tak mengapa.  Duit,  rumah
mewah,  dan  Mercy semuanya dipahami hanya sebagai alat. Dan
bukankah sufi dihalalkan juga menggunakan alat semacam itu?
 
Sufi seperti ini kalibernya  menyumbang,  bukan  hidup  dari
sumbangan.  Ia  mereguk  kemewahan dunia tapi tak terpenjara
olehnya. Ia hidup dengan asketisme duniawi, bukan  asketisme
mistis,  yang lari dari dunia itu, ia tidak mempertentangkan
ide dan materi.
 
Sebaliknya, keduanya didamaikan, dibuat "manunggal"  sebagai
sarana  menuju takwa dan penyerahan diri yang lebih komplet,
lebih total. Baginya,  perjalanan  menuju  Tuhan  memerlukan
juga duit agar lebih khusyuk.
 
Umumnya,  orang  dekat  pada  Tuhan  ketika dalam kesulitan.
Dalam keadaan senang, Tuhan sering ditinggalkan.  Kiai  kita
ini   lain.   Maka,  barangkali,  di  sini  jawaban  mengapa
pandangan hidup Jawa mengutamakan  ide  dan  menolak  materi
ditemukan: orang Jawa memilih mikul dhawet uro-uro dan takut
numpak Mercy mbrebes mili karena  naik  Mercy  memang  lebih
besar  godaannya.  Jadi,  hanya  kiai besar dengan "kantong"
iman yang tebal yang bisa naik Mercy sambil uro-uro.

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 19 Maret 2011

tentang rasa dalam filsafat jawa

Benarkah sejarah Jawa itu sejarahnya orang-orang yang kalah?
Dan  benarkah  bahwa  karena  itu  filsafat Jawa juga cermin
sikap hidup orang yang kalah?
 
Bahwa filsafat Jawa mengagungkan ide dan merendahkan materi,
memang tampak jelas. Dalam berbagai hal pandangan hidup Jawa
bahkan bersifat  anti-materi.  Orang  Jawa  lebih  cenderung
mencanggih-canggihkan  tata  krama dan kehalusan. Kepriayian
dan kebudayaan adiluhung menjadi semacam kebanggaan, mungkin
tujuan.
 
Maka,  orang  Jawa  menyebut sesama Jawa yang bersikap kasar
dengan ora njawani (tidak bersikap Jawa) atau bahkan  durung
Jowo  (belum  menjadi  Jawa)  karena  cuma  yang  halus  dan
luhurlah  yang  diakui  sebagai  wis  Jowo   (sudah   Jawa).
Diam-diam, orang Jawa yang pandai membungkuk itu suka merasa
paling unggul.
 
Adanya dikotomi tanah Jawa-tanah  sabrang  (seberang)  dalam
hidup  orang  Jawa  juga  berangkat dari rasa unggul (secara
kultural) semacam itu. Tapi orang  "seberang"  bahkan  orang
bule  sekalipun,  kalau  ia  halus,  oleh orang Jawa disebut
sebagai "Jawa". Seolah-olah  hanya  orang  Jawa  yang  punya
kehalusan.   Seorang   teman  saya  bahkan  tidak  malu-malu
menyebut bule yang sarungan saja sebagai bule yang njawani.
 
Cultural  determinism,  dalam  antropologi,  dulu   dianggap
produk  Eropa dan gambaran keangkuhan bule Eropa. Orang lupa
bahwa determinisme kultural ada juga di Jawa. Tapi, benarkah
bahwa   rasa  unggul  pada  orang  Jawa  itu  pada  dasarnya
merupakan  ungkapan  kegetiran   mereka   akibat   kekalahan
terus-menerus  secara  politik,  ekonomi,  dan militer dalam
menghadapi agresi Barat?  Benarkah  orang  Jawa  menggunakan
kebudayaan  sebagai  selubung  yang menyembunyikan muka dari
rasa malu menjadi pihak yang kalah melulu?
 
Dalam hidup sehari-hari terasa  bahwa  orang  yang  mengejar
materi  dianggap  ngoyo  uripe  (memaksa  diri dalam hidup),
sesuatu yang bukan  Jawa.  Hidup  Jawa  ialah  tenteram  dan
harmoni  dalam konotasi batin, karena di sana tersirat bahwa
materi tak bisa membawa ketenteraman. Tak mengherankan  bila
orang  lebih  memilih  ora mangan waton ngumpul (tidak makan
asal kumpul).
 
Ungkapan numpak Mercy mbrebes  mili,  mikul  dhawet  uro-uro
(orang  kaya  naik  Mercy  berurai  air  mata, tukang cendol
nyanyi bahagia) merupakan simbol pemujaan ide dan  penolakan
materi tadi.
 
Dalam  dunia  Islam,  gambaran  orang  tentang  sufi  selalu
merujuk pada kesederhanaan dan penolakan terhadap dunia. Max
Weber  bahkan  menganggap agama-agama Timur, termasuk Islam,
tidak memiliki "asketisme duniawi"  seperti  Protestan  yang
melahirkan   kapitalisme   modern   itu,   karena  asketisme
agama-agama Timur bersifat mistis,  "lari"  dari  dunia  dan
mengejar hidup akhirat semata
 
Ironisnya,  seperti  pernah ditulis Goenawan Mohamad, mereka
yang "emoh" dunia ini ternyata selalu hidup dari  dana  yang
dihimpun untuk mereka. Dus, hidup dari sumbangan umat.
 
Di berbagai daerah ada kiai yang dikenal sebagai sufi tetapi
hidup keduniaannya  mentereng.  Rumahnya  mewah,  pakaiannya
necis, mobilnya bukan Kijang, melainkan Mercy: gambaran sufi
yang tidak lazim, yang melawan "stigma" yang sah itu.
 
Seorang teman dari LIPI,  Bisri  Effendy,  pernah  bercerita
tentang kiai di Jawa Timur yang marah pada santri-santrinya.
Suatu hari, para santri hendak ke  pasar.  Mereka  sarungan,
memakai  teklek, berkaus ala kadarnya, dan berpeci butut. Di
pintu gerbang  pesantren  mereka  bertemu  sang  kiai,  yang
segera  mendamprat  mereka dari dalam Mercy yang licin mulus
itu.
 
"Kamu kira kalau sudah menggembel begitu mesti masuk  surga?
Hidupmu  itu  belum tentu, tahu? Kalau mau hebat, hidup yang
mentereng di dunia dan mati masuk surga. Jangan  kamu  balik
duniamu  sudah pating slawir (kocar-kacir), status akhiratmu
masih ngambang."
 
Pikiran romo kiai ini  jelas  subversif;  menjungkirbalikkan
pandangan Jawa tadi. Ia tidak mau "naik Mercy mbrebes mili".
Edan, po?, ia pun menolak mikul  dhawet,  meskipun  uro-uro.
Mana  ada  kiai  mikul dhawet? Ia memilih yang terbaik, yang
musykil dalam pandangan Jawa: yakni numpak (naik) Mercy  tur
(dan, lagi pula) uro-uro.
 
Sikapnya  memilih  hidup  mulia  di  dunia dan mati berharap
masuk surga, tidak berangkat dari  "hedonisme"  kawula  muda
yang  bicara tentang "mumpung muda foya-foya, tua harus kaya
raya, dan mati masuk surga". Pilihan sikap  hidup  Pak  Kiai
ini serius. Ia bertolak dari dasar-dasar ajaran mulia.
 
Sufi  yang  mewah  ini,  dengan  kata  lain,  tidak  terkena
"najis". Kesufiannya tidak "batal". Kementerengannya  dengan
harta  dunia  dan  Mercy itu, sepanjang tak membuat dia lupa
pada yang paling esensial, Tuhan, tak mengapa.  Duit,  rumah
mewah,  dan  Mercy semuanya dipahami hanya sebagai alat. Dan
bukankah sufi dihalalkan juga menggunakan alat semacam itu?
 
Sufi seperti ini kalibernya  menyumbang,  bukan  hidup  dari
sumbangan.  Ia  mereguk  kemewahan dunia tapi tak terpenjara
olehnya. Ia hidup dengan asketisme duniawi, bukan  asketisme
mistis,  yang lari dari dunia itu, ia tidak mempertentangkan
ide dan materi.
 
Sebaliknya, keduanya didamaikan, dibuat "manunggal"  sebagai
sarana  menuju takwa dan penyerahan diri yang lebih komplet,
lebih total. Baginya,  perjalanan  menuju  Tuhan  memerlukan
juga duit agar lebih khusyuk.
 
Umumnya,  orang  dekat  pada  Tuhan  ketika dalam kesulitan.
Dalam keadaan senang, Tuhan sering ditinggalkan.  Kiai  kita
ini   lain.   Maka,  barangkali,  di  sini  jawaban  mengapa
pandangan hidup Jawa mengutamakan  ide  dan  menolak  materi
ditemukan: orang Jawa memilih mikul dhawet uro-uro dan takut
numpak Mercy mbrebes mili karena  naik  Mercy  memang  lebih
besar  godaannya.  Jadi,  hanya  kiai besar dengan "kantong"
iman yang tebal yang bisa naik Mercy sambil uro-uro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms