Minggu, 13 Maret 2011

UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pendahuluan
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai banyak kalangan kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya, UU ini mampu menjawab berbagai masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya, memasukan komponen Pemilihan kepala daerah langsung ternyata membawa ketidakpuasan beberapa pihak sehingga sampai tulisan ini dibuat, permohonan uji materiil (judicial review) telah dikeluarkan hasilnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005) yang mengabulkan sebagian dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan sejumlah LSM dan 15 KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan daerah ini antara lain:

Implikasi positif UU No.32 tahun 2004
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.


Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Beberapa hal lain yang niscaya merupakan implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah “menyempurnakan” ini. Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme pengawasan kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktu-waktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).

Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan tidak.

Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acapkali aturan main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.

Problem Pemilihan Kepala Daerah dalam UU No.32 tahun 2004
Reaksi masyarakat terhadap sosialisasi UU No.32 tahun 2004 ternyata beragam. Tidak kurang dari lima belas (15) KPUD antara lain KPUD DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Gorontalo, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Timur, bersama organisasi non pemerintah seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) dan beberapa ornop lainnya mengajukan permohonan uji materril UU No. 32 ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon menganggap UU No 32 tahun 2004 ini bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pasal-pasal tentang penyelenggaraan pilkada langsung, antara lain pasal 1, pasal 57, pasal 65 pasal 89, pasal 94 dan pasal 114, harus dibatalkan.

Argumentasi yang dibangun dalam rangka ketidak setujuan beberapa kalangan terhadap UU ini adalah pemilihan kepala daerah langsung. Memang bukan substansi yang disesalkan, sebab semua elemen bangsa, intelektual, ormas dan organisasi-organisasi profesional beserta sebagian besar masyarakat daerah sepakat tentang urgensi pemilihan kepala daerah secara langsung demi demokrasi. Yang menjadi masalah, banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang ngotot memasukkan instrumen pilkadal kedalam UU tentang Pemerintahan Daerah, bukan UU Pemilu, ataupun UU tersendiri. Beberapa pakar seperti Ryaas Rasyid, J. Kristiadi, dan Ramlan Surbakti dalam pernyataannya melihat bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bagian dari Pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, sebagian pasal dalam UU No. 32/2004 bertentangan dengan UUD karena menyerahkan kewenangan penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD, bukannya kepada KPU. Konsekuensi dari UU ini ditambah lagi oleh dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2005 yang mengatur tentang teknis pelaksanaan Pilkada sebagai upaya operasionalisasi UU No 32/2004 tersebut oleh pemerintahan Presiden Soesilo B. Yudhoyono.

Gugatan uji materil terhadap UU Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons positif oleh Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya, meskipun masih ada ketidakpuasan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Adapun pasal-pasal yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat (1), pasal 66 ayat (3) huruf e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal 59 ayat (1) hanya menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut Smita Notosusanto dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha menyenangkan semua pihak, apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab kepada siapa setelah KPUD diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.

Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun kekecewaan beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun yang terjadi, kita akhirnya harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena pelaksanaan pilkada kini tinggal menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat bekerja keras dan penuh komitmen untuk menjamin pilkada secara adil, demokratis, meskipun peraturannya, seperti kata Sarundajang (2001) bahwa karena posisinya yang strategis, kepala daerah tidak pernah luput dari pengaruh politik. Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan begitu banyak kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi dengan pelaksanaan yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini. Demikian pula Riewanto (2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan menunjuk bahwa walaupun pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan tidak jelas bertanggung jawab kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah bertanggung jawab kepada “publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi tuntutan demokratisasi.

Menurut pernyataan resmi dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PP No.6 yang dikeluarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung mulai Juni 2005, dapat menimbulkan persepsi mengenai upaya pemerintah untuk mengintervensi proses pilkadal tersebut. Memang, hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam UU Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturan pemerintah (PP), tetapi setelah putusan final dari Mahkamah Konstitusi, maka hendaknya berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan juga menyiapkan diri untuk menyongsong era pemilihan kepala daerah model baru ini, terlepas dari kekecewaan maupun kelegaan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pesta demokrasi ini. Bagaimanapun, pemilhan kepala daerah –secara langsung- merupakan bagian dari demokratisasi di tingkat lokal, dan konsekuensi logis dari amanat amendemen UUD 1945.

Membangun Hukum dan Demokrasi Lokal
Menelaah UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, keterlibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan dengan diaturnya pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Namun disisi lain terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik; yang diwakili LSM, KPUD, dan tokoh-tokoh yang menolak ihwal pilkadal dimasukan dalam UU No.32 tahun 2004 ini karena dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Mengenai demokrasi lokal, dalam sebuah artikelnya Prihatmoko (2004) menyebutkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi lokal dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal. Prakondisi demokrasi tersebut mencakup: (1) kualitas DPRD yang baik; (2) sistem rekrutmen DPRD yang kompetitif, selektif dan akuntabel; (3) partai yang berfungsi; (4) pemilih yang kritis dan rasional; (5) kebebasan dan konsistensi pers; dan (6) LSM yang solid dan konsisten; dan (7) keberdayaan masyarakat madani (civil society). Walaupun dalam konteks pilkadal pada saat sekarang ini penulis sendiri tidak yakin –terutama poin (1)-akan tetapi kondisi diatas akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi lokal dimasa datang.

Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang melaksanakan proses Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD digugat. Akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung jawab kepada “publik”. Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap gubernur atau bupati/walikota. Bahkan dalam UU No.32 Tahun 2004 gubernur dan bupati/walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal 25). Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat melakukan “intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum terpilih, DPRD tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol yang dapat dilakukan terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian yang diharapkan para pemohon judicial review pada saat itu.

Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah Konstitusi. Kerelaan semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut merupakan suatu keharusan. Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh salah satu hakim Mahkamah Konsitusi, amar putusan tersebut tetap menunjukkan keputusan kolektif lembaga tinggi ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu menjadi sasaran kritik di era reformasi ini. Budiman (2000) mencatat bahwa selain kodifikasi yang buruk, sistem hukum itu juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan kerapkali menjadi subyek suap atau intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi negara hukum jika tidak konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Ditegaskan olehnya bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar dari setiap demokrasi.”

Penutup
Revisi terhadap UU No. 22/1999, dengan demikian jelas dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Memang, sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan good governance, paling tidak di tataran konseptual akan sangat berarti. Selain beberapa implikasi positif yang dapat diambil dari UU No. 32 tahun 2004 ini, perdebatan tentang pilkadal hanya bagian kecil dibanding usaha idealisasi kehidupan bernegara dalam konteks demokrasi dan otonomi daerah masa sekarang ini. Diskursus demikian tentunya (diharapkan) berakhir dengan keputusan final Mahkamah Konstitusi, dan pembangunan demokrasi akan terus berjalan di negeri ini.

Pemilihan kepala daerah secara langsung pada saat sekarang ini masih merupakan tahap awal, sebuah pilot project demokrasi lokal. Semoga sistem ketatanegaraan Indonesia yang carut marut ini segera dapat dibenahi, sehingga hukum; sebuah permasalahan utama yang menuntut solusi keadilan bagi negara yang demokratis dalam menjalankan pemerintahannya; akan menjadi panglima. [ ]

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 13 Maret 2011

UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pendahuluan
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai banyak kalangan kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya, UU ini mampu menjawab berbagai masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya, memasukan komponen Pemilihan kepala daerah langsung ternyata membawa ketidakpuasan beberapa pihak sehingga sampai tulisan ini dibuat, permohonan uji materiil (judicial review) telah dikeluarkan hasilnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005) yang mengabulkan sebagian dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan sejumlah LSM dan 15 KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan daerah ini antara lain:

Implikasi positif UU No.32 tahun 2004
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.


Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Beberapa hal lain yang niscaya merupakan implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah “menyempurnakan” ini. Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme pengawasan kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktu-waktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).

Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan tidak.

Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acapkali aturan main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.

Problem Pemilihan Kepala Daerah dalam UU No.32 tahun 2004
Reaksi masyarakat terhadap sosialisasi UU No.32 tahun 2004 ternyata beragam. Tidak kurang dari lima belas (15) KPUD antara lain KPUD DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Gorontalo, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Timur, bersama organisasi non pemerintah seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) dan beberapa ornop lainnya mengajukan permohonan uji materril UU No. 32 ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon menganggap UU No 32 tahun 2004 ini bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pasal-pasal tentang penyelenggaraan pilkada langsung, antara lain pasal 1, pasal 57, pasal 65 pasal 89, pasal 94 dan pasal 114, harus dibatalkan.

Argumentasi yang dibangun dalam rangka ketidak setujuan beberapa kalangan terhadap UU ini adalah pemilihan kepala daerah langsung. Memang bukan substansi yang disesalkan, sebab semua elemen bangsa, intelektual, ormas dan organisasi-organisasi profesional beserta sebagian besar masyarakat daerah sepakat tentang urgensi pemilihan kepala daerah secara langsung demi demokrasi. Yang menjadi masalah, banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang ngotot memasukkan instrumen pilkadal kedalam UU tentang Pemerintahan Daerah, bukan UU Pemilu, ataupun UU tersendiri. Beberapa pakar seperti Ryaas Rasyid, J. Kristiadi, dan Ramlan Surbakti dalam pernyataannya melihat bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bagian dari Pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, sebagian pasal dalam UU No. 32/2004 bertentangan dengan UUD karena menyerahkan kewenangan penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD, bukannya kepada KPU. Konsekuensi dari UU ini ditambah lagi oleh dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2005 yang mengatur tentang teknis pelaksanaan Pilkada sebagai upaya operasionalisasi UU No 32/2004 tersebut oleh pemerintahan Presiden Soesilo B. Yudhoyono.

Gugatan uji materil terhadap UU Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons positif oleh Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya, meskipun masih ada ketidakpuasan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Adapun pasal-pasal yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat (1), pasal 66 ayat (3) huruf e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal 59 ayat (1) hanya menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut Smita Notosusanto dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha menyenangkan semua pihak, apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab kepada siapa setelah KPUD diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.

Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun kekecewaan beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun yang terjadi, kita akhirnya harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena pelaksanaan pilkada kini tinggal menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat bekerja keras dan penuh komitmen untuk menjamin pilkada secara adil, demokratis, meskipun peraturannya, seperti kata Sarundajang (2001) bahwa karena posisinya yang strategis, kepala daerah tidak pernah luput dari pengaruh politik. Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan begitu banyak kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi dengan pelaksanaan yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini. Demikian pula Riewanto (2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan menunjuk bahwa walaupun pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan tidak jelas bertanggung jawab kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah bertanggung jawab kepada “publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi tuntutan demokratisasi.

Menurut pernyataan resmi dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PP No.6 yang dikeluarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung mulai Juni 2005, dapat menimbulkan persepsi mengenai upaya pemerintah untuk mengintervensi proses pilkadal tersebut. Memang, hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam UU Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturan pemerintah (PP), tetapi setelah putusan final dari Mahkamah Konstitusi, maka hendaknya berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan juga menyiapkan diri untuk menyongsong era pemilihan kepala daerah model baru ini, terlepas dari kekecewaan maupun kelegaan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pesta demokrasi ini. Bagaimanapun, pemilhan kepala daerah –secara langsung- merupakan bagian dari demokratisasi di tingkat lokal, dan konsekuensi logis dari amanat amendemen UUD 1945.

Membangun Hukum dan Demokrasi Lokal
Menelaah UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, keterlibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan dengan diaturnya pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Namun disisi lain terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik; yang diwakili LSM, KPUD, dan tokoh-tokoh yang menolak ihwal pilkadal dimasukan dalam UU No.32 tahun 2004 ini karena dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Mengenai demokrasi lokal, dalam sebuah artikelnya Prihatmoko (2004) menyebutkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi lokal dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal. Prakondisi demokrasi tersebut mencakup: (1) kualitas DPRD yang baik; (2) sistem rekrutmen DPRD yang kompetitif, selektif dan akuntabel; (3) partai yang berfungsi; (4) pemilih yang kritis dan rasional; (5) kebebasan dan konsistensi pers; dan (6) LSM yang solid dan konsisten; dan (7) keberdayaan masyarakat madani (civil society). Walaupun dalam konteks pilkadal pada saat sekarang ini penulis sendiri tidak yakin –terutama poin (1)-akan tetapi kondisi diatas akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi lokal dimasa datang.

Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang melaksanakan proses Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD digugat. Akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung jawab kepada “publik”. Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap gubernur atau bupati/walikota. Bahkan dalam UU No.32 Tahun 2004 gubernur dan bupati/walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal 25). Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat melakukan “intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum terpilih, DPRD tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol yang dapat dilakukan terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian yang diharapkan para pemohon judicial review pada saat itu.

Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah Konstitusi. Kerelaan semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut merupakan suatu keharusan. Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh salah satu hakim Mahkamah Konsitusi, amar putusan tersebut tetap menunjukkan keputusan kolektif lembaga tinggi ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu menjadi sasaran kritik di era reformasi ini. Budiman (2000) mencatat bahwa selain kodifikasi yang buruk, sistem hukum itu juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan kerapkali menjadi subyek suap atau intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi negara hukum jika tidak konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Ditegaskan olehnya bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar dari setiap demokrasi.”

Penutup
Revisi terhadap UU No. 22/1999, dengan demikian jelas dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Memang, sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan good governance, paling tidak di tataran konseptual akan sangat berarti. Selain beberapa implikasi positif yang dapat diambil dari UU No. 32 tahun 2004 ini, perdebatan tentang pilkadal hanya bagian kecil dibanding usaha idealisasi kehidupan bernegara dalam konteks demokrasi dan otonomi daerah masa sekarang ini. Diskursus demikian tentunya (diharapkan) berakhir dengan keputusan final Mahkamah Konstitusi, dan pembangunan demokrasi akan terus berjalan di negeri ini.

Pemilihan kepala daerah secara langsung pada saat sekarang ini masih merupakan tahap awal, sebuah pilot project demokrasi lokal. Semoga sistem ketatanegaraan Indonesia yang carut marut ini segera dapat dibenahi, sehingga hukum; sebuah permasalahan utama yang menuntut solusi keadilan bagi negara yang demokratis dalam menjalankan pemerintahannya; akan menjadi panglima. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms