ebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersukur dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna istimewa terhadap hasil yang telah diperoleh. Memanfaatkannya untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam dan kaya makna dalam ranah kehidupan social.
Kebudayaan Jawa yang sering kali kita dapat bedakan melalui dua kultur masyarakat yang berbeda, little tradision (kebudayaan tradisional petani) dan great tradition (peradaban masyarakat kota) ini dapat diafiliasikan maknanya dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional kita.
Upacara wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang lebih mendasarkan diri kepada akal budi.
Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin maju dalam dunia pertanian. Terutama Jawa yang memiliki dua kultur pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Di mana petani lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sedangkan petani lahan basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayur-sayuran atau tanaman palawija.
Dalam pertanian ini pula kita kenal dengan sistem subak (irigasi). Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekedar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani dan bahwa petani merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tetapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat.
Sistem irigasi ini membuat kita berfikir ulang, selama ini kita begitu mengagungkan pertanian modern karena kecepatan dan keberlimpahannya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dalam kecepatan itu kita memutus hubungan sakral kita dengan alam. Tanah hanya tanah, bibit ya cuma bibit, padi ya hanya padi, semuanya adalah alat yang melayani manusia, yang bisa dikendalikan dengan teknis dan mekanis.
Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menandai dimulainya waktu masa tanam padi atau panen.
Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris sesuai undangan yang datang.
Sebelum menyantap hidangan seorang kiai kampung akan membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan terkadang juga dilakukan di tengah sawah.
Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi seremonia sewaktu akan menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali persaudaraan antara warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar sesama manusia.
Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini merupakan aski solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur mendem jeru.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejon lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani.
Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol. Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang zaman.
Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya inteljensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara. Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa.
Rabu, 27 April 2011
Budaya Jawa
07.43
putut joko utomo
No comments
Rabu, 27 April 2011
Budaya Jawa
ebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersukur dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna istimewa terhadap hasil yang telah diperoleh. Memanfaatkannya untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam dan kaya makna dalam ranah kehidupan social.
Kebudayaan Jawa yang sering kali kita dapat bedakan melalui dua kultur masyarakat yang berbeda, little tradision (kebudayaan tradisional petani) dan great tradition (peradaban masyarakat kota) ini dapat diafiliasikan maknanya dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional kita.
Upacara wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang lebih mendasarkan diri kepada akal budi.
Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin maju dalam dunia pertanian. Terutama Jawa yang memiliki dua kultur pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Di mana petani lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sedangkan petani lahan basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayur-sayuran atau tanaman palawija.
Dalam pertanian ini pula kita kenal dengan sistem subak (irigasi). Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekedar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani dan bahwa petani merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tetapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat.
Sistem irigasi ini membuat kita berfikir ulang, selama ini kita begitu mengagungkan pertanian modern karena kecepatan dan keberlimpahannya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dalam kecepatan itu kita memutus hubungan sakral kita dengan alam. Tanah hanya tanah, bibit ya cuma bibit, padi ya hanya padi, semuanya adalah alat yang melayani manusia, yang bisa dikendalikan dengan teknis dan mekanis.
Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menandai dimulainya waktu masa tanam padi atau panen.
Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris sesuai undangan yang datang.
Sebelum menyantap hidangan seorang kiai kampung akan membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan terkadang juga dilakukan di tengah sawah.
Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi seremonia sewaktu akan menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali persaudaraan antara warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar sesama manusia.
Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini merupakan aski solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur mendem jeru.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejon lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani.
Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol. Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang zaman.
Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya inteljensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara. Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa.
Kebudayaan Jawa yang sering kali kita dapat bedakan melalui dua kultur masyarakat yang berbeda, little tradision (kebudayaan tradisional petani) dan great tradition (peradaban masyarakat kota) ini dapat diafiliasikan maknanya dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional kita.
Upacara wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang lebih mendasarkan diri kepada akal budi.
Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin maju dalam dunia pertanian. Terutama Jawa yang memiliki dua kultur pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Di mana petani lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sedangkan petani lahan basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayur-sayuran atau tanaman palawija.
Dalam pertanian ini pula kita kenal dengan sistem subak (irigasi). Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekedar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani dan bahwa petani merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tetapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat.
Sistem irigasi ini membuat kita berfikir ulang, selama ini kita begitu mengagungkan pertanian modern karena kecepatan dan keberlimpahannya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dalam kecepatan itu kita memutus hubungan sakral kita dengan alam. Tanah hanya tanah, bibit ya cuma bibit, padi ya hanya padi, semuanya adalah alat yang melayani manusia, yang bisa dikendalikan dengan teknis dan mekanis.
Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menandai dimulainya waktu masa tanam padi atau panen.
Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris sesuai undangan yang datang.
Sebelum menyantap hidangan seorang kiai kampung akan membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan terkadang juga dilakukan di tengah sawah.
Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi seremonia sewaktu akan menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali persaudaraan antara warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar sesama manusia.
Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini merupakan aski solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur mendem jeru.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejon lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani.
Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol. Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang zaman.
Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya inteljensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara. Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar