Sabtu, 23 April 2011

Filsafat, Antara Thales dan Konfusius

"Alam semesta ini terbuat dari air." -Thales (624 SM - 546 SM)

"Jangan lakukan apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepadamu." - Konfusius (551 SM - 479 SM)



Meski keduanya hidup sejaman, tidak ada cerita bahwa Thales dan Konfusius pernah berjumpa dan berkenalan. Keduanya sibuk mengurusi negerinya sendiri, tak ada cerita bahwa keduanya sempat pelesiran menyeberangi pulau apalagi benua. Thales berasal dari Yunani, meskipun beberapa pendapat tak sepakat ia persis lahir di Yunani. Karena tempatnya berpijak dinamakan Miletos, atau wilayah yang menjadi bagian dari Asia Kecil, atau malah disebut-sebut sebagai cikal bakal Turki. Dalam sudut pandang geografis hari ini, berarti jelas Thales lebih dekat ke "Timur".

Namun geografis barangkali tak penting-penting amat bagi dunia filsafat Barat dari dulu hingga sekarang. Yang terpenting adalah klaimnya: bahwa Thales adalah bagian dari peradaban Yunani. Yakni peradaban yang dikatakan sebagai "cikal bakal lahirnya filsafat". Kelahiran itu, katanya cuma mungkin terjadi di Yunani, oleh sebab beberapa hal, misalnya: Yunani menganut sistem polis atau negara kota, dimana masing-masing polis telah melahirkan demokrasi sendiri-sendiri. Dari situ tradisi berpikir bebas dimulai, karena setiap orang bebas bicara.

Banyak pekerjaan kasar di Yunani dijalankan rutin oleh para budak. Sehingga banyak warga (terutama kalangan menengah ke atas) yang "kurang kerjaan". Ini menyebabkan mereka punya cukup waktu luang untuk merenungkan hakekat kehidupan serta kebijaksanaan.

Di Yunani lahir mitos-mitos yang ditulis oleh Hesiod dan Homer sejak 800 SM. Mitos tersebut menunjukkan tradisi penulisan yang kuat, karena sumbernya masih berupa kitab-kitab utuh dan jelas. Dengan tradisi dokumentasi yang mantap, Yunani percaya bahwa setiap karya buah pikir akan senantiasa lestari.

Poin terakhir soal mitos itulah yang didobrak oleh Thales. Ketika masyarakat Yunani hidup dalam alam mitos, maka ia mencoba jalan lain untuk menjelaskan alam semesta, yakni lewat logos atau akal budi. Mitos bisa menjelaskan bahwa alam semesta ini dimulai dari perkawinan Uranus dan Gaia, tapi Thales tidak cukup puas. Ia melihat bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan tidak bisa hidup tanpa air, lalu di ujung daratan seringkali berbatasan dengan air, maka ia menyuarakan temuan beraninya tanpa khawatir kemurkaan Dewa Zeus: bahwa alam semesta ini, jangan-jangan, terbuat dari
Thales, atas pernyataannya yang nampak sederhana itu, diklaim oleh dunia filsafat Barat sebagai filsuf pertama. Ketika ditanya darimana filsafat dimulai? Sepakat Barat menjawab: ketika Thales mengatakan bahwa alam semesta ini dari air. Lalu bagaimana dengan Konfusius, seseorang yang sejaman, meskipun berjauhan? Mari kita bahas.
Konfusius lahir di Negara Lu, atau masuk ke wilayah Cina sekarang. Ia lahir di tengah pergolakan politik dan degradasi moral yang dahsyat. Cina berada dalam krisis, dan di periode yang sama bermunculan banyak aliran filsafat. Konfusius adalah salah seorang pembawanya, dimana Lao Tse, di sisi lain, adalah persis sosok yang berseberangan dengannya. Lao Tse, mengajarkan keseimbangan kosmos sebagai antitesis kondisi kehidupan yang serba khaos. Dialah cikal bakal Taoisme yang berbasis Yin-Yang itu. Sedangkan Konfusius tak mau manusia hanya menantikan keseimbangan dan cenderung pasif, ia ingin manusia aktif berbuat, bertindak, dan bereksistensi dalam aktivitas-aktivitas etik keseharian.

Konfusius seperti ogah membahas filsafat sebagai ontologi (hakekat) seperti layaknya Thales. Ia langsung membicarakan aksiologi, yakni bagaimana filsafat ini bisa berguna bagi keseharian. Konfusius langsung pada logika praktis tentang bagaimana seharusnya anak bersikap, bapak bersikap, raja bersikap, menteri bersikap, hingga pemusik bersikap. Barangkali jika Konfusius bertemu Thales, ia akan mengganggap apa yang dilakukan Thales adalah buang waktu dan sia-sia, seperti halnya Sang Guru mengritik lawannya, Lao Tse dengan segala argumen kosmisnya.

Meski demikian, filsafat Barat tetap berpijak kuat pada klaim bahwa Thales adalah anak sahnya, dan peradaban Yunani sebagai tempat yang membesarkannya. Konfusius mungkin disebut-sebut, tapi tidak cukup sering untuk disebut sebagai filsafat. Kadang ia dituduh sebagai agama yang mengada-ngada, atau bentuk kebudayaan, atau paling bentar gerakan spiritual.

Pertanyaan kritis untuk didiskusikan:
Jika Konfusius yang berpijak pada etika ternyata tak cukup kuat untuk disebut filsafat, bagaimana dengan Socrates, yang oleh Barat dianggap sebagai manusia etik sejati, yang justru lahir jauh ratusan tahun pasca Konfusius?
Apakah yang menyebabkan dunia filsafat Barat lebih mengakui peradaban Yunani sebagai awal berkembangnya tradisi ketimbang peradaban Cina dengan Konfusius-nya?
Bagaimana dengan tradisi berpikir Mesir, Arab, atau India yang secara timeline sejarah punya peradaban yang lebih tua ketimbang Yunani?
Bagaimana cara agar kita tetap jernih melihat beberapa peradaban "non-Yunani" sebagai bagian dari sejarah kelahiran filsafat?

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 23 April 2011

Filsafat, Antara Thales dan Konfusius

"Alam semesta ini terbuat dari air." -Thales (624 SM - 546 SM)

"Jangan lakukan apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepadamu." - Konfusius (551 SM - 479 SM)



Meski keduanya hidup sejaman, tidak ada cerita bahwa Thales dan Konfusius pernah berjumpa dan berkenalan. Keduanya sibuk mengurusi negerinya sendiri, tak ada cerita bahwa keduanya sempat pelesiran menyeberangi pulau apalagi benua. Thales berasal dari Yunani, meskipun beberapa pendapat tak sepakat ia persis lahir di Yunani. Karena tempatnya berpijak dinamakan Miletos, atau wilayah yang menjadi bagian dari Asia Kecil, atau malah disebut-sebut sebagai cikal bakal Turki. Dalam sudut pandang geografis hari ini, berarti jelas Thales lebih dekat ke "Timur".

Namun geografis barangkali tak penting-penting amat bagi dunia filsafat Barat dari dulu hingga sekarang. Yang terpenting adalah klaimnya: bahwa Thales adalah bagian dari peradaban Yunani. Yakni peradaban yang dikatakan sebagai "cikal bakal lahirnya filsafat". Kelahiran itu, katanya cuma mungkin terjadi di Yunani, oleh sebab beberapa hal, misalnya: Yunani menganut sistem polis atau negara kota, dimana masing-masing polis telah melahirkan demokrasi sendiri-sendiri. Dari situ tradisi berpikir bebas dimulai, karena setiap orang bebas bicara.

Banyak pekerjaan kasar di Yunani dijalankan rutin oleh para budak. Sehingga banyak warga (terutama kalangan menengah ke atas) yang "kurang kerjaan". Ini menyebabkan mereka punya cukup waktu luang untuk merenungkan hakekat kehidupan serta kebijaksanaan.

Di Yunani lahir mitos-mitos yang ditulis oleh Hesiod dan Homer sejak 800 SM. Mitos tersebut menunjukkan tradisi penulisan yang kuat, karena sumbernya masih berupa kitab-kitab utuh dan jelas. Dengan tradisi dokumentasi yang mantap, Yunani percaya bahwa setiap karya buah pikir akan senantiasa lestari.

Poin terakhir soal mitos itulah yang didobrak oleh Thales. Ketika masyarakat Yunani hidup dalam alam mitos, maka ia mencoba jalan lain untuk menjelaskan alam semesta, yakni lewat logos atau akal budi. Mitos bisa menjelaskan bahwa alam semesta ini dimulai dari perkawinan Uranus dan Gaia, tapi Thales tidak cukup puas. Ia melihat bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan tidak bisa hidup tanpa air, lalu di ujung daratan seringkali berbatasan dengan air, maka ia menyuarakan temuan beraninya tanpa khawatir kemurkaan Dewa Zeus: bahwa alam semesta ini, jangan-jangan, terbuat dari
Thales, atas pernyataannya yang nampak sederhana itu, diklaim oleh dunia filsafat Barat sebagai filsuf pertama. Ketika ditanya darimana filsafat dimulai? Sepakat Barat menjawab: ketika Thales mengatakan bahwa alam semesta ini dari air. Lalu bagaimana dengan Konfusius, seseorang yang sejaman, meskipun berjauhan? Mari kita bahas.
Konfusius lahir di Negara Lu, atau masuk ke wilayah Cina sekarang. Ia lahir di tengah pergolakan politik dan degradasi moral yang dahsyat. Cina berada dalam krisis, dan di periode yang sama bermunculan banyak aliran filsafat. Konfusius adalah salah seorang pembawanya, dimana Lao Tse, di sisi lain, adalah persis sosok yang berseberangan dengannya. Lao Tse, mengajarkan keseimbangan kosmos sebagai antitesis kondisi kehidupan yang serba khaos. Dialah cikal bakal Taoisme yang berbasis Yin-Yang itu. Sedangkan Konfusius tak mau manusia hanya menantikan keseimbangan dan cenderung pasif, ia ingin manusia aktif berbuat, bertindak, dan bereksistensi dalam aktivitas-aktivitas etik keseharian.

Konfusius seperti ogah membahas filsafat sebagai ontologi (hakekat) seperti layaknya Thales. Ia langsung membicarakan aksiologi, yakni bagaimana filsafat ini bisa berguna bagi keseharian. Konfusius langsung pada logika praktis tentang bagaimana seharusnya anak bersikap, bapak bersikap, raja bersikap, menteri bersikap, hingga pemusik bersikap. Barangkali jika Konfusius bertemu Thales, ia akan mengganggap apa yang dilakukan Thales adalah buang waktu dan sia-sia, seperti halnya Sang Guru mengritik lawannya, Lao Tse dengan segala argumen kosmisnya.

Meski demikian, filsafat Barat tetap berpijak kuat pada klaim bahwa Thales adalah anak sahnya, dan peradaban Yunani sebagai tempat yang membesarkannya. Konfusius mungkin disebut-sebut, tapi tidak cukup sering untuk disebut sebagai filsafat. Kadang ia dituduh sebagai agama yang mengada-ngada, atau bentuk kebudayaan, atau paling bentar gerakan spiritual.

Pertanyaan kritis untuk didiskusikan:
Jika Konfusius yang berpijak pada etika ternyata tak cukup kuat untuk disebut filsafat, bagaimana dengan Socrates, yang oleh Barat dianggap sebagai manusia etik sejati, yang justru lahir jauh ratusan tahun pasca Konfusius?
Apakah yang menyebabkan dunia filsafat Barat lebih mengakui peradaban Yunani sebagai awal berkembangnya tradisi ketimbang peradaban Cina dengan Konfusius-nya?
Bagaimana dengan tradisi berpikir Mesir, Arab, atau India yang secara timeline sejarah punya peradaban yang lebih tua ketimbang Yunani?
Bagaimana cara agar kita tetap jernih melihat beberapa peradaban "non-Yunani" sebagai bagian dari sejarah kelahiran filsafat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms