Senin, 18 April 2011

Filsafat : Empirisme dan Rasionalisme

Dalam pembahasan sebelumnya kita pernah membahas bahwa dalam garis besarnya filsafat terbagi dalam 3 cabang. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang cara memperoleh disebut dengan sistematika epistemologi, dan yang membicarakan tentang hakikat pengetahuan adalah sistematika ontologi, sedangkan yang membicarakan guna atau manfaat pengetahuan adalah sistematika axiologi.
Kali ini kita akan sedikit menyoroti pada ranah epistemologi. Sistematika ini membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa “epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, stucture, methods and validity of knowledge” itulah sebab kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854.
Pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai adat. Dengan ini para filosof banyak mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu diperoleh manusia. Dan pada zaman kemodernan filsafat muncullah beberapa aliran dalam hal ini. Dan ada dua kelompok besar yang saling berlatar belakang berbeda dan beradu argumentasi untuk eksistensi masing – masing, yaitu aliran Rasionalisme dan Empirisme.
RASIONALISME
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal manusia.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Kerjasama ini akan melahirkan metode sains (Scientific Methods) dan dari metode ini melahirkan pengetahuan sains (Scientific Knowledge) yagn dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pengetahuan Ilmiah.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya. Sejarah Rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini jelas kemudian dilajutkan oleh orang – orang sofis dan tokoh – tokoh penentangnya yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke 17 dan lebih lagi selama abad 18 antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad 18 disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Tokoh – tokoh Rasionalisme
  1. Rene Descartes (1596 -1650)
  2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
  3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
  4. G.W.Leibniz (1946-1716)
  5. Christian Wolff (1679 -1754)
  6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Rene Descartes
Dan yang paling menonjol diantara mereka adalah Rene Descartes, sebagai orang pertama dalam zaman modern yang meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Yaitu dengan jargon yang dibawanya “aku berpikir maka aku ada” yang dalam bahasa Latin kalimat ini adalah “Cogito Ergo Sum” sedangkan dalam bahasa Prancis adalah “Je Pense Donc Je Suis”. Sehingga iapun layak diberi gelar sebagai Bapak Filsafat Modern. Kata modern di sini hanya mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat abad pertengahan Kristen.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia editations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644; dan Les Passiones de L’ame (1650).
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Dalam aliran ini Descartes tersirat sebagai seorang yang subjektif dengan menilai sesuatu dengan ukuran dia sendiri, individualis dengan melakukannya seorang diri, dan humanis dengan mengedepankan kemanusiaanya.
Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar – dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri. Tahapan berpikir Descartes di atas dapat diringkaskan sebagai berikut :
Benda indrawi tidak ada

Gerak, jumlah, besaranTidak ada

Saya sedang ragu, ada

Saya ragu karena saya berpikir

Jadi, saya berpikir ada
Gotifried Wilhelm von Liebniz
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Leibniz. Nama lengkapnya Gotifried Wilhelm von Liebniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig, Jerman. Dan menempuh sekolahnya dalam waktu singkat hingga pada umur yang ke 15 ia sudah tercatat sebagai seorang mahasiswa di Universitas Leipzig. Dan belum cukup umurnya 21 tahun, ia menerima ijazah doktor dari Universitas Altdorf dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (On Complex Cases at Law). Setelah itu dia berpindah – pindah tempat dari Leipzig ke Nurenberg, kemudian ke London, terus ke Hannover kemudian ke Amsterdam dan disetiap kesempatannya bepergian ia bertemu dengan ilmuwan, salahsatunya adalah Spinoza ketika ia berada di Amsterdam.
Metafisika Liebniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Sementara Spinoza menyimpulkan bahwa substansi itu satu, tetapi menurut Liebniz substansi itu banyak. Ia menyebutkan substansi itu sebagai monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu.
Dengan membaca teks tentang monad kita kan menemukan bahwa apa yang dikemukakan oleh Liebniz banyak mengandung keraguan dan terasa ganjil. Sebagai contoh tentang pertanyaan “Apakah ruang dan waktu itu substansi?” menurut Liebniz bukan. Dalam masalah ini ia berbeda pendapat dengan Newton. Adakah “monad” di dalam ruang? Kata Liebniz : tidak. Ia juga memberikan jawaban yang cukup mengagetkan tatkala ia berkata bahwa monad tidak hanya tidak ada dalam ruang tetapi juga tidak ada dalam waktu. Bukan monad yang berada dalam waktu tetapi waktulah yang berada dalam monad .
Pada Newton, alam semesta adalah gerakan atom di dalam ruang kosong, bergerak satu sama lain menuruti hukum gerak dan grafitasi. Dalam kali ini Newton gagal dalam menyesuaikan teorinya dengan ajaran tentang Tuhan dan makhluk.
Perbedaan besar antara Newton dan Liebniz terletak pada soal ruang dan waktu. Pendapat keduanya tentang ada ruang kosong yang di sana objek – objek bertempat, sulit untuk diterima. Sama halnya dengan Newton tentang pendapatnya waktu yang absolut, yaitu waktu yang adanya terpisah dari sesuatu yang terjadi di “dalam” nya. Setelah menelaah kembali akhirnya Liebniz menyatakan bahwa tidak ada waktu absolut begitu juga ruang absolut. Menurutnya Space dan time adalah relatif tergantung persepsi masing-masing.
Di atas muncul dua metafisikawan terbesar Zaman Modern Spinoza dan Liebniz. Keduanya memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Keduanya memulai dari basis yang sama, metode yang sama tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan. Orang – orang akan bingung untuk menentukan yang benar di antara keduanya, sehingga terjadilah masa relativisme kebenaran. Keadaan ini sama persis dengan situasi umu filsafat sofisme Yunani. Kebenaran sains diragukan; ajaran agama digoyahkan. Itu digambarkan dengan sebuah kalimat pendek ; kebenaran itu relatif.
Analisis Kritis Rasionalisme
Kelebihan
Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah seba-akibat, akiba kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut.
EMPIRISME
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalamanmanusia. Dan merupakan salah satu konsep mendasar tentang filsafat sains. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alamai selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengamalan. Dan sebuah hipotesa ilmiah akan dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah itu dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangakan teori – teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. . Empirisme mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori tentang makna dan tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, sehingga muncul sebuah rumusan “ Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu” yang artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Ini merupakan bantahan keras yang dilontarkan Locke untuk melawan para ilmuwan rasionalis.
Akan tetapi Descartes tak bisa tinggal diam, dengan sanggahan yang ia siapkan ia membedakan dua fungsi akal: fungsi diskursif yang menajdikan kita mampu membuat konklusi dari premis, dan kedua fungsi intuitif yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap konsep secara langsung.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “sesuatu kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika yang sering dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh melalui intuisi rasional. Akan tetapi Empirisme menolaknya dengan alasan bahwa kemampuan intuisi rasional itu tidak ada. Semua kebenaran tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a poteriori.
Menurut empirisme lagi, bahwa manusia tidak mempunyai gagasan atau konsepsi bawaan mengenai dunia sebelum ia melihatnya. Jika kita benar-benar mempunyai konsepsi atau gagasan yang tidak dapat dikaitkan dengan fakta –fakta yang telah dialami, itu merupakan suatu knsepsi yang salah. Jika kita menggunakan kata – kata seperti “Tuhan”aran a poteriori. alui intuisi rasional.gsi intuit, “keabadian”, atau “ substansi”, itu berarti akal telah disalahgunakan, sebab tidak ada yang pernah mengalami Tuhan, keabadian, atau apa yang disebut oleh para filosof sebagai substansi.
Tokoh – tokoh Empirisme
  1. Francis Bacon (1210 -1292)
  2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
  3. John Locke ( 1632 -1704)
  4. George Berkeley ( 1665 -1753)
  5. David Hume ( 1711 -1776)
  6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
John Locke
John Locke adalah seorang filosof Inggris. Lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647 – 1652 ia belajar di Westminster. Pada tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford.
Filsafat Locke bisa dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diusung oleh Descartes. Tetapi ia tidak setuju dengan intuisi dan metode deduktif dan menggantikannya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau induksi.
Ia banyak mengkritisi pemikiran – pemikiran kaum rasionalis seperti Descartes dengan Clear and distinc idea, Adequate idea oleh Spinoza, Truth of reason oleh Leibniz. Karena menurutnya sesuatu yang innate (bawaan) tidak ada dengan berbagai argumen yang ia munculkan. Dan lebih jauh dalam teori tabula rasa ia mengatakan:
Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong, tidak berisi apa – apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan : dari pengalaman; didalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal”.
Di dalam teori ini Locke menggunakan tiga istilah: sensasi, ide-ide, sifat atau kualitas. Dan iapun membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Yang termasuk dalam kualitas primer adalah yang menyangkut luas, berat, gerakan, jumlah, dan lainnya. Sedangkan yang termasuk dalam kualitas sekunder warna, bau, rasa dan suara yang tidak meniru kualitas – kualitas sejati yang melekat pada sebuah benda. Dan penilaian kualitas sekunder banyak tergantung akan oleh indrawi seorang manusia.
David Hume
Tokoh lain pada aliran empirisme adalah David Hume. David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.
Sebagaimana Descartes, Hume juga meninggalkan banyak tulisan berikut: A Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality of the Soul, 1783.Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.
Hume mengajukan tiga argumen untuk menganalisis sesuatu, pertama, ada ide tentang sebab akibat (kausalitas). Kedua, karena kita percaya kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan masa lalu dan masa depan kejadian. Ketiga, dunia luar diri memang ada, yaitu dunia bebas dari pengalaman kita. Dari tiga dasar kepercayaan Hume tersebut, ia sebenarnya mengambil kausalitas sebagai pusat utama seluruh pemikirannya. Ia menolak prinsip kausalitas universal dan menolak prinsip induksi dengan memperlihatkan bahwa tidak ada yang dipertahankan, baik itu relations of ideas dan matter of fact.
Jadi, Hume menolak pengetahuan apriori, lalu ia juga menolak sebab-akibat, menolak pula induksi yang berdasarkan pengalaman. Segala macam cara memperoleh pengetahuan, semuanya ditolak. Inilah skeptis tingkat tinggi. Sehingga Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic. Dikarenakan sifat skeptisnya yang berlebihan Hume juga tidak mengakui adanya Tuhan.
Dari berbagai penjelasan yan disimpulkan oleh Hume sebenarnya merupakan bentuk dari penentangannya terhadap paham rasionalisme. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berpikir, tanpa informasi dari pengalaman indera, kita tidak mengetahui apa – apa tentang dunia. Tapi dengan bantuan pengalaman juga kita tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Ini jelas menunjukkan sikap skeptis yang ada pada Hume.
Karena ilmu pengetahuan dan filsafat sama sekali berdasarkan kausalitas, Hume harus menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu mencapai kepastian dan tidak pernah melebihi taraf probabilitas.
Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Analisis Kritis Empirisme
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt dan Suriasumantri terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dewey menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya terhadap sikap mental manusia. Beberapa bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara lain: sikap kemalasan dan konservatif yang salah. Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar memberi kesimpulan yang salah. Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan. Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat dibesar-besarkan.
Terhadap empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan yang kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.
ANALISIS ATAS METODE ILMIAH DESCARTES DAN HUME
Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode ilmiah. Kelemahan – kelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Pada Rasionalisme mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Kelemahan-kelemahan dari masing-masing pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi kelemahan – kelemahan tadi. Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan tadi adalah dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari aliran tersebut. Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan para ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan empiris. Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan sehingga terjadi perkawinan antara pandanganRasionalisme Descartes dengan Empirisme Hume.
Perkawinan inilah yang penulis maksudkan dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur – prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Menurut Kattsoff proses metode ilmiah dimulai dengan pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri dengan pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanya sebuah pembagian yang bersifat nisbi.
Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri, harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:
  1. Perumusan masalah; berisikan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan berbagai faktor yang terkait di dalamnya.
  2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
  3. Perumusan hipotesis; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
  4. Pengujian hipotesis; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
  5. Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian pengetahun ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya secara korespondensi.
Terlihat bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif yang ditandai dengan Rasionalisme dan Empirisme hidup secara berdampingan dengan sebuah mekanisme korektif.
PENUTUP
Sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan, baik Rasionalisme yang diusung oleh Descartes maupun Empirisme yang didukung oleh Hume masing - masing memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode lain yang lebih dapat dimunculkan sebagai sebuah metode yang handal untuk pencarian pengetahuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengawinkan Rasionalisme dengan Empirisme sehingga kelemahan – kelemahan masing-masing aliran sebagai sebuah metode dapat diatasi.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad., 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung; PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sholihin, Muhammad., 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik hingga Modern. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Al Munir, M. Ied., Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme.pdf. diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.
Revida, Erika., Sekilas Pandang Tentang Filsafat Modern.pdf. diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.
Randa, Sangle Yohannes., 2007. Keterbatasan Empirisme dalam Metode Ilmiah. Blog Robert Marbun, diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 18 April 2011

Filsafat : Empirisme dan Rasionalisme

Dalam pembahasan sebelumnya kita pernah membahas bahwa dalam garis besarnya filsafat terbagi dalam 3 cabang. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang cara memperoleh disebut dengan sistematika epistemologi, dan yang membicarakan tentang hakikat pengetahuan adalah sistematika ontologi, sedangkan yang membicarakan guna atau manfaat pengetahuan adalah sistematika axiologi.
Kali ini kita akan sedikit menyoroti pada ranah epistemologi. Sistematika ini membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa “epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, stucture, methods and validity of knowledge” itulah sebab kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854.
Pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai adat. Dengan ini para filosof banyak mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu diperoleh manusia. Dan pada zaman kemodernan filsafat muncullah beberapa aliran dalam hal ini. Dan ada dua kelompok besar yang saling berlatar belakang berbeda dan beradu argumentasi untuk eksistensi masing – masing, yaitu aliran Rasionalisme dan Empirisme.
RASIONALISME
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal manusia.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Kerjasama ini akan melahirkan metode sains (Scientific Methods) dan dari metode ini melahirkan pengetahuan sains (Scientific Knowledge) yagn dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pengetahuan Ilmiah.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya. Sejarah Rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini jelas kemudian dilajutkan oleh orang – orang sofis dan tokoh – tokoh penentangnya yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke 17 dan lebih lagi selama abad 18 antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad 18 disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Tokoh – tokoh Rasionalisme
  1. Rene Descartes (1596 -1650)
  2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
  3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
  4. G.W.Leibniz (1946-1716)
  5. Christian Wolff (1679 -1754)
  6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Rene Descartes
Dan yang paling menonjol diantara mereka adalah Rene Descartes, sebagai orang pertama dalam zaman modern yang meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Yaitu dengan jargon yang dibawanya “aku berpikir maka aku ada” yang dalam bahasa Latin kalimat ini adalah “Cogito Ergo Sum” sedangkan dalam bahasa Prancis adalah “Je Pense Donc Je Suis”. Sehingga iapun layak diberi gelar sebagai Bapak Filsafat Modern. Kata modern di sini hanya mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat abad pertengahan Kristen.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia editations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644; dan Les Passiones de L’ame (1650).
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Dalam aliran ini Descartes tersirat sebagai seorang yang subjektif dengan menilai sesuatu dengan ukuran dia sendiri, individualis dengan melakukannya seorang diri, dan humanis dengan mengedepankan kemanusiaanya.
Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar – dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri. Tahapan berpikir Descartes di atas dapat diringkaskan sebagai berikut :
Benda indrawi tidak ada

Gerak, jumlah, besaranTidak ada

Saya sedang ragu, ada

Saya ragu karena saya berpikir

Jadi, saya berpikir ada
Gotifried Wilhelm von Liebniz
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Leibniz. Nama lengkapnya Gotifried Wilhelm von Liebniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig, Jerman. Dan menempuh sekolahnya dalam waktu singkat hingga pada umur yang ke 15 ia sudah tercatat sebagai seorang mahasiswa di Universitas Leipzig. Dan belum cukup umurnya 21 tahun, ia menerima ijazah doktor dari Universitas Altdorf dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (On Complex Cases at Law). Setelah itu dia berpindah – pindah tempat dari Leipzig ke Nurenberg, kemudian ke London, terus ke Hannover kemudian ke Amsterdam dan disetiap kesempatannya bepergian ia bertemu dengan ilmuwan, salahsatunya adalah Spinoza ketika ia berada di Amsterdam.
Metafisika Liebniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Sementara Spinoza menyimpulkan bahwa substansi itu satu, tetapi menurut Liebniz substansi itu banyak. Ia menyebutkan substansi itu sebagai monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu.
Dengan membaca teks tentang monad kita kan menemukan bahwa apa yang dikemukakan oleh Liebniz banyak mengandung keraguan dan terasa ganjil. Sebagai contoh tentang pertanyaan “Apakah ruang dan waktu itu substansi?” menurut Liebniz bukan. Dalam masalah ini ia berbeda pendapat dengan Newton. Adakah “monad” di dalam ruang? Kata Liebniz : tidak. Ia juga memberikan jawaban yang cukup mengagetkan tatkala ia berkata bahwa monad tidak hanya tidak ada dalam ruang tetapi juga tidak ada dalam waktu. Bukan monad yang berada dalam waktu tetapi waktulah yang berada dalam monad .
Pada Newton, alam semesta adalah gerakan atom di dalam ruang kosong, bergerak satu sama lain menuruti hukum gerak dan grafitasi. Dalam kali ini Newton gagal dalam menyesuaikan teorinya dengan ajaran tentang Tuhan dan makhluk.
Perbedaan besar antara Newton dan Liebniz terletak pada soal ruang dan waktu. Pendapat keduanya tentang ada ruang kosong yang di sana objek – objek bertempat, sulit untuk diterima. Sama halnya dengan Newton tentang pendapatnya waktu yang absolut, yaitu waktu yang adanya terpisah dari sesuatu yang terjadi di “dalam” nya. Setelah menelaah kembali akhirnya Liebniz menyatakan bahwa tidak ada waktu absolut begitu juga ruang absolut. Menurutnya Space dan time adalah relatif tergantung persepsi masing-masing.
Di atas muncul dua metafisikawan terbesar Zaman Modern Spinoza dan Liebniz. Keduanya memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Keduanya memulai dari basis yang sama, metode yang sama tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan. Orang – orang akan bingung untuk menentukan yang benar di antara keduanya, sehingga terjadilah masa relativisme kebenaran. Keadaan ini sama persis dengan situasi umu filsafat sofisme Yunani. Kebenaran sains diragukan; ajaran agama digoyahkan. Itu digambarkan dengan sebuah kalimat pendek ; kebenaran itu relatif.
Analisis Kritis Rasionalisme
Kelebihan
Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah seba-akibat, akiba kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut.
EMPIRISME
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalamanmanusia. Dan merupakan salah satu konsep mendasar tentang filsafat sains. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alamai selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengamalan. Dan sebuah hipotesa ilmiah akan dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah itu dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangakan teori – teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. . Empirisme mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori tentang makna dan tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, sehingga muncul sebuah rumusan “ Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu” yang artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Ini merupakan bantahan keras yang dilontarkan Locke untuk melawan para ilmuwan rasionalis.
Akan tetapi Descartes tak bisa tinggal diam, dengan sanggahan yang ia siapkan ia membedakan dua fungsi akal: fungsi diskursif yang menajdikan kita mampu membuat konklusi dari premis, dan kedua fungsi intuitif yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap konsep secara langsung.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “sesuatu kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika yang sering dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh melalui intuisi rasional. Akan tetapi Empirisme menolaknya dengan alasan bahwa kemampuan intuisi rasional itu tidak ada. Semua kebenaran tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a poteriori.
Menurut empirisme lagi, bahwa manusia tidak mempunyai gagasan atau konsepsi bawaan mengenai dunia sebelum ia melihatnya. Jika kita benar-benar mempunyai konsepsi atau gagasan yang tidak dapat dikaitkan dengan fakta –fakta yang telah dialami, itu merupakan suatu knsepsi yang salah. Jika kita menggunakan kata – kata seperti “Tuhan”aran a poteriori. alui intuisi rasional.gsi intuit, “keabadian”, atau “ substansi”, itu berarti akal telah disalahgunakan, sebab tidak ada yang pernah mengalami Tuhan, keabadian, atau apa yang disebut oleh para filosof sebagai substansi.
Tokoh – tokoh Empirisme
  1. Francis Bacon (1210 -1292)
  2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
  3. John Locke ( 1632 -1704)
  4. George Berkeley ( 1665 -1753)
  5. David Hume ( 1711 -1776)
  6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
John Locke
John Locke adalah seorang filosof Inggris. Lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647 – 1652 ia belajar di Westminster. Pada tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford.
Filsafat Locke bisa dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diusung oleh Descartes. Tetapi ia tidak setuju dengan intuisi dan metode deduktif dan menggantikannya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau induksi.
Ia banyak mengkritisi pemikiran – pemikiran kaum rasionalis seperti Descartes dengan Clear and distinc idea, Adequate idea oleh Spinoza, Truth of reason oleh Leibniz. Karena menurutnya sesuatu yang innate (bawaan) tidak ada dengan berbagai argumen yang ia munculkan. Dan lebih jauh dalam teori tabula rasa ia mengatakan:
Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong, tidak berisi apa – apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan : dari pengalaman; didalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal”.
Di dalam teori ini Locke menggunakan tiga istilah: sensasi, ide-ide, sifat atau kualitas. Dan iapun membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Yang termasuk dalam kualitas primer adalah yang menyangkut luas, berat, gerakan, jumlah, dan lainnya. Sedangkan yang termasuk dalam kualitas sekunder warna, bau, rasa dan suara yang tidak meniru kualitas – kualitas sejati yang melekat pada sebuah benda. Dan penilaian kualitas sekunder banyak tergantung akan oleh indrawi seorang manusia.
David Hume
Tokoh lain pada aliran empirisme adalah David Hume. David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.
Sebagaimana Descartes, Hume juga meninggalkan banyak tulisan berikut: A Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality of the Soul, 1783.Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.
Hume mengajukan tiga argumen untuk menganalisis sesuatu, pertama, ada ide tentang sebab akibat (kausalitas). Kedua, karena kita percaya kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan masa lalu dan masa depan kejadian. Ketiga, dunia luar diri memang ada, yaitu dunia bebas dari pengalaman kita. Dari tiga dasar kepercayaan Hume tersebut, ia sebenarnya mengambil kausalitas sebagai pusat utama seluruh pemikirannya. Ia menolak prinsip kausalitas universal dan menolak prinsip induksi dengan memperlihatkan bahwa tidak ada yang dipertahankan, baik itu relations of ideas dan matter of fact.
Jadi, Hume menolak pengetahuan apriori, lalu ia juga menolak sebab-akibat, menolak pula induksi yang berdasarkan pengalaman. Segala macam cara memperoleh pengetahuan, semuanya ditolak. Inilah skeptis tingkat tinggi. Sehingga Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic. Dikarenakan sifat skeptisnya yang berlebihan Hume juga tidak mengakui adanya Tuhan.
Dari berbagai penjelasan yan disimpulkan oleh Hume sebenarnya merupakan bentuk dari penentangannya terhadap paham rasionalisme. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berpikir, tanpa informasi dari pengalaman indera, kita tidak mengetahui apa – apa tentang dunia. Tapi dengan bantuan pengalaman juga kita tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Ini jelas menunjukkan sikap skeptis yang ada pada Hume.
Karena ilmu pengetahuan dan filsafat sama sekali berdasarkan kausalitas, Hume harus menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu mencapai kepastian dan tidak pernah melebihi taraf probabilitas.
Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Analisis Kritis Empirisme
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt dan Suriasumantri terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dewey menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya terhadap sikap mental manusia. Beberapa bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara lain: sikap kemalasan dan konservatif yang salah. Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar memberi kesimpulan yang salah. Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan. Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat dibesar-besarkan.
Terhadap empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan yang kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.
ANALISIS ATAS METODE ILMIAH DESCARTES DAN HUME
Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode ilmiah. Kelemahan – kelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Pada Rasionalisme mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Kelemahan-kelemahan dari masing-masing pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi kelemahan – kelemahan tadi. Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan tadi adalah dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari aliran tersebut. Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan para ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan empiris. Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan sehingga terjadi perkawinan antara pandanganRasionalisme Descartes dengan Empirisme Hume.
Perkawinan inilah yang penulis maksudkan dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur – prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Menurut Kattsoff proses metode ilmiah dimulai dengan pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri dengan pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanya sebuah pembagian yang bersifat nisbi.
Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri, harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:
  1. Perumusan masalah; berisikan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan berbagai faktor yang terkait di dalamnya.
  2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
  3. Perumusan hipotesis; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
  4. Pengujian hipotesis; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
  5. Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian pengetahun ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya secara korespondensi.
Terlihat bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif yang ditandai dengan Rasionalisme dan Empirisme hidup secara berdampingan dengan sebuah mekanisme korektif.
PENUTUP
Sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan, baik Rasionalisme yang diusung oleh Descartes maupun Empirisme yang didukung oleh Hume masing - masing memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode lain yang lebih dapat dimunculkan sebagai sebuah metode yang handal untuk pencarian pengetahuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengawinkan Rasionalisme dengan Empirisme sehingga kelemahan – kelemahan masing-masing aliran sebagai sebuah metode dapat diatasi.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad., 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung; PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sholihin, Muhammad., 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik hingga Modern. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Al Munir, M. Ied., Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme.pdf. diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.
Revida, Erika., Sekilas Pandang Tentang Filsafat Modern.pdf. diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.
Randa, Sangle Yohannes., 2007. Keterbatasan Empirisme dalam Metode Ilmiah. Blog Robert Marbun, diakses pada hari Selasa, 25 Nopember 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms