Senin, 18 April 2011

Filsafat Politik: Buku-Buku Besar

Politik, adalah pembicaraan klasik, yang boleh disorot jauh ke belakang. Bahkan, dalam Zaman Yunani, politik sebenarnya sudah pun membuka tirai pembicaraan filsafat politik—tentang negara, tentang masyarakat, tentang hukum, dan komunikasi jejaringnya.

Lantas, di sini, kita akan membicarakan tentang filsafat politik itu, semenjak Yunani, sampai dewasa ini, lalu melewati abad petengahan, abad renainsans, abad pencerahan, abad moden, sehingga apa yang kini disebut, wacana pasca-moden. Kemudian, dalam seluruh abad ini, terselit karya-karya besar yang mewarnai zamannya. Setakat yang penting, barangkali sekurang-kurangnya tercatat 18 karya besar tentang filsafat politik. Mungkin ada yang menyatakan, bahawa di timur juga ada filsafat-nya, termasuk filsafat politik. Benar, tapi, dalam kenyataannya, filsafat timur tak pernah menjadi sesistematik seperti di barat; yang sanggah-menyanggah, singgung-menyinggung, serta sentiasa bersambut dan bersahutan sepanjang zaman.

Justeru, dengan mempelajari filsafat barat, khususnya di sini filsafat politik barat, itu menjadi istimewa untuk memahami jantung perjalanan tamadun barat itu sendiri. Di sana, banyak yang dapat kita belajar, dalam usaha mereka menyusun persoalan mengenai negara, rakyat, hukum, dll. Mudah-mudahan, dari waktu ke waktu kita berpeluang memamah “kata dan makna” dalam seluruh karya ini. Sebagai pengantar, elok kita sarikan terlebih dahulu warna-warni dari karya-karya besar ini.

Politeia, Plato

Plato (428 - 348 SM) di Athena, menulis karya Politeia (365 SM) sesuai dengan konteks zamannya; iaitu, mahu mengutarakan (juga melaksanakan) demokrasi Athena (polis). Namun, gagasannya ini mengundang kontroversinya dengan kalangan sofis/politikus. Tapi, apa idea pokok dari Politeia? Idea pokoknya adalah mengenai negara sebagai makro-antropos di mana memuatkan pembicaraan tentang konsep keadilan dan keutamaan serta konsep tatanan politik. Dari karya Plato ini, filsafat politik kemudiannya banyak beranjak.

Politica, Aristotles

Aristotles (348 – 322), lahir di Stagira dan meninggal di Chalkis, juga masing-masing di Athena. Dalam Politica, karya ini dikarang berdasarkan suasana lenyapnya Polis lewat kosmopolitanisme Hellenisme yang diprakasai oleh Alexender de Great. Dalam Politica ini juga ditegaskan tesisnya mengenai jarak antara ruang peribadi, dengan ruang awam, serta antara ruang politik dengan ruang bukan-politik. Lantaran itu, Aristotles memaparkan inti-inti seperti konsep warganegara, konsep hak-milik serta konsep komuniti politik. Menarik, konsep hak-milik ini sudah disentuh Aristotles, jauh-jauh sebelum John Locke lagi. Sebenarnya, Politica adalah dikarang untuk menanggapi langsung karya gurunya, Plato, Politea itu.

De Civitate Dei, Aurelius Agustinus

Aurelius Agustinus (354 – 430), adalah anak Souk Ahras di Algeria. Namun, kemudiannya menjadi nama besar di Romawi, dan akhirnya meninggal di Annaba juga di Algeria. Dalam hidupnya, Agustinus ini mengarang De Civitate Dei, sebuah karya yang dihimpit dengan awal abad pertengahan kristian (pasca-romawi), serta adanya perhijrahan antara bangsa-bangsa yang kemudiannya melahirkan kontroversi antara kristian dan bukan-kristian. Dalam karya ini, Agustinus membentangkan gagasannya tentang “keadilan sebagai kriteria legitimasi negara.” Di samping itu, Agustinus turut menekankan tentang negara tuhan dan negara dunia, di mana berbaurnya di dalam negara empirik. Tapi, persoalannya, apa kupasannya dalam gagasan ini? Di sini Agustinus akan menghuraikan tentang konsep legitimasi kekuasaan, serta agama sebagai kritik kekuasaan. Ini yang menarik, “agama sebagai kritik kekuasaan,” barangkali adalah pertama kali dalam sejarah agama digunakan sebagai sebuah kritik politik. Mudahnya, De Civitate Dei sarat diserikan tipologi sejarah dalam apoligia kristian.

De Regimine Principum, Thomas Aquinas

Thomas Aquinas, adalah nama besar dalam abad pertengahan eropah. Mereka yang mahu mengukuhkan agama dalam pandang filsafat-teologi-kristian, pasti akan merujuk padanya. Aquinas lahir di Roccasecca dekat Aquino, pada 1224, dan menghembuskan nafas terakhirnya di Fossanuova pada 1274. Karya agungnya, De Regimine Principum (1265), yang ditulis bersarkan suasana akhir abad pertengahan serta dibawah bayang feudalisme-nya. Inti dari karya ini adalah tentang “teori hukum tabii (Natural Law Theory) adalah telos komuniti politik” (mengembalikan kepada pembicaraan Aristotles) di mana turut disarikan pandangannya mengenai perlawanan terhadap tirani, serta memperkatakan tentang politik dan keadilan. Jadi, karya Aquinas ini sebenarnya turut melahirkan genre tersendiri, ekoran kupasannya soal antara pemberontakan rakyat dengan kekuasaan tirani.

II Principe, Niccolo Machiavelli

Salah satu filsuf yang paling disalah-fahami dalam sejarah, adalah Machiavelli. Lahir 1469 di Florence dan meninggal 1527 juga di Florence. Apa bukunya yang menyebabkan dirinya terpapar buruk? II Principe (1532)! Buku ini dihasilkan dalam suasana renainsans, serta dalam bayangan kekuasaan Medici dan pengaruh Girolamo Savonarola. Bahkan, diasak pula dengan konflik kekuasaan antara negara-negara kota ketika itu (negara feudal). Pokok dari buku ini adalah tentang “kecerdikan melampaui moral.” Pada Machiavelli, konsep kekuasaan dan moral dijelaskan dalam sebuah pandangan baru, yang berpatah-balek dari Aristotle: di mana kekuasaan lebih utama dari moral, tapi, dalam konteks-konteks tertentu sepertimana yang ditekankannya. Konteks-konteks ini yang jarang dibaca khalayak. Selain itu, magnum opus-nya ini turut membahaskan mengenai konsep Staatraeson (iaitu, alasan apakah boleh negara melarikan diri dari hukum di saat darurat). Malangnya, dari II Principe ini, idea totalitarian banyak mengalir darinya, meskipun dalam waktu yang sama melahirkan teori politik negara moden.

Six Livres de la Republique, Jean Bodin

Jean Bodin, mungkin jarang didengar jika bukan dari kalangan pengemar filsafat politik. Tapi, dalam filsafat politik, Bodin adalah nama mashyur, terutamanya mereka yang dekat dengan kediktatoran. Buku monumentalnya, Six Livres de la Republique (1583), yang tampil dari waktu reformasi eropah, juga muncul kerana rapuhnya monarki ekoran konflik agama (boleh dibaca pada malam Bartomeus, 1572). Tapi, apa adanya pada buku ini? Six Livres de la Republique adalah tentang kuasa mutlak-raja, namun dalam ketika yang sama dibatasi oleh hukum tuhan. Di sana, Bodin akan memanjangkan pandangannya mengenai konsep kedaulatan, serta kaitan antara tirani dengan hak perlawanan terhadap tirani itu sendiri.

Leviathan, Thomas Hobbes

Thomas Hobbes, 1588 – 1679, Malmesbury – Hardwick. Hobbes menulis Leviathan (1651) ekoran muhasabahnya terhadap perang 30 tahun di era emperisme, yang di sana lahirnya tokoh-tokoh perintis sains moden, seperti Newton, Galileo, Kepler, Kopernigk, dll. Leviathan itu, merupakan cerapannya terhadap dorongan survival para egois dalam penglibatannya pada negara. Justeru, ditemui dalam karya besar filsafat politik ini, konsep pemeliharaan diri dan menjaga kepentingan peribadi. Hobbes sendiri, tidak takut pada tirani, sebaleknya lebih gusarkan anarkisme. Dari satu sudut, Leviathan ada bau-bau machiavellian, namun tetap ada perbezaannya. Pada Leviathan, Hobbes menekankan sistem yang ampuh, serta kecerdasan para para/politikus. Sebab itu, dikatakan pemikiran Hobbes ini telah mengawali sistem pemikiran politik secara sistematik.

Second Trestise of Government, John Locke

John Locke, memang lebih dikenal di luar bidang filsafat, terutamanya ekonomi. Anak kelahiran Wrington pada 1632 ini menulis Second Trestise of Government (1690) tatkala kecamuk-nya Glorious Revolution di Inggeris (1688), juga sewaktu era empirisme yang begitu tebal di sana. Dalam kitab ini, Locke memuatkan pandangannya mengenai kontrak sebagai elemen kestabilan buat kebebasan serta menganggap kesamaan adalah sebuah keadaan tabii. Sebab itu, dalam kitab ini, Locke, menjelaskan mengenai konsep hak milik sebagai hak asasi, di samping teori pembahagian kekuasaan.

L esprit des Lois, Charles de Secondat Montesquieu

Charles de Secondat Montesquieu, atau Montesquieu saja, adalah filsuf politik yang bergelut pada zaman absolutisme Perancis (di bawah Luis XIV), juga memasuki awal-awal pencerahan Perancis (anti-agamawan). Lahir di Puri, 1698. Karya besarnya dalam filsafat politik adalah L esprit des Lois (1748), yang mengungkapkan mengenai “negara adalah untuk mengatasi kelemahan individu.” Selain itu, karya ini juga difokuskan untuk membezakan antara hakikat dan prinsip negara, serta mengupas iklim yang mempengaruhi forma (bentuk) dan materia hukum. Justeru, buku ini sepertinya mahu menzahirkan konsep hukum sebagai sebuah jejaringan, dan menegaskan prinsip-prinsip kenegaraan. Montesquieu meninggal di Bordeaux, juga di Perancis, pada 1755.

Du Contract Social, Jean-Jacques Rousseau

Jean-Jacques Rousseau terkenal kerana kontrak sosial, menerusi magnum opus-nya, Du Contract Social (1762). Buku ini terhasil dari Zaman Romantik, serta Zaman Absolutisme Luis XV, juga dibawah semangat Demokrasi Kanton. Bagi Rousseau, bukunya ini adalah untuk mengupas mengenai manusia yang baik secara tabii, manakala baginya peradaban-lah yang membuatkan manusia terpuruk. Sebab itu, kontrak sosial adalah usahanya untuk mematangkan kebebasan manusia, sementara hakikatnya kedaulatan berada di tangan para pelaku pada kontrak sosial tersebut. Jadi, bukunya ini penting dalam usaha untuk memahami konsep kehendak umum (demokrasi radikal), kedaulatan rakyat serta, agama awam (unsur-unsur tolak-ansur). Rousseau lahir pada 1712 di Genewa dan meninggal 1778 di Ermenonville.

Metaphysik der Sitten & Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant

Immanuel Kant hadhir-hidup dalam naungan Friedrich, kekuasaan Prussia. Ketikanya lahir pada 1724 di Koenigsberg, itu adalah zaman Pencerahan Jerman. Justeru, dua bukunya— Metaphysik der Sitten (1797) & Zum ewigen Frieden (1795)—ini sangat bermakna dalam memaparkan sebuah evolusi menuju masyarakat sivil (civil society) berdasarkan kepada "rencana rahsia alam." Jadi, Kant akan membicarakan mengenai konsep hukum, konsep hukum akal-budi, serta konsep kepublikan, dan semua konsep ini menuntutnya dalam menjelaskan mengenai kaitan antara moral dan politik. Ketikanya meninggal pada 1804, juga di koenigsberg, Pencerahan Jerman makin marak di bawah gagasan-gagasannya. Malah, buku Zum ewigen Frieden telah diangkat PBB sebagai kandungan intelektual besar buat masyarakat global, kerana menyentuh baik mengenai hak asasi manusia.

Grundlinien der Philosophie des Rechts, Georg William Freidrich Hegel

Hegel, lahir pada 1770, di Stuggart. Meninggal pada 1831, di Berlin. Kedua-duanya dalam wilayah Prussia (sekarang Jerman) ketika itu. Karya Grundlinien der Philosophie des Rechtss (1821) adalah antara salah sebuah karya pentingnya. Tapi, dalam filsafat politik, buku ini menjadi penting kerana mengutarakan konsep kebebasan serta konsep masyarakat sivil. Bagaimana boleh hadhirnya buku ini? Hegel menulis di tengah-tengah puncak Pencerahan Jerman, monarkisme Prussia, serta maraknya aliran historisme. Manakala, di sebelah barat Prussia, Perancis pula diledakkan dengan revolusi serta kekuasaan Napoleon. Justeru, dalam kekabutan ini, Grundlinien der Philosophie des Rechts terhasil dengan tesis utamanya adalah mengenai “dialektika dalam kesusilaan (Sittlichkeit), di mana terdapatnya elemen “keluarga”, “masyarakat sivil” dan “negara.” Maka, mahu atau tidak mahu, Hegel akan menyentuh juga konsep etika. Mungkin konsep Kant maseh bersifat abstrak, tapi pada Hegel, di sini telah menurunkanyan dalam pandangan praktis.

De la democratie en Amerique, Alexis de Tocqueville

Alexis de Tocqueville, merupakan pemikir besar Perancis, yang melakukan perjalanan-pencerapan politik di Amerika Syarikat. Mungkin hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Montesquieu yang berkunjung ke Inggeris. Jadi, sesampai di Amerika itu, Tocqueville itu banyak berfikir ulang tentang demokrasi, setelah melihat ‘keanehan’ demokrasi Amerika. Tocqueville lahir pada 1805 di Paris Pasca Revolusi Perancis, dan suasananya berkembangnya kapitalisme liberal. Dalam hidupnya, Tocqueville mengarang beberapa buku. Namun, De la democratie en Amerique (1835) adalah kitabnya yang paling dihargai. Mengapa? Kerana kitab ini memuatkan gagasannya mengenai kesamaan sosial dalam membendung kezaliman, juga membahaskan konsep kesamaan dan kebebasan. Jadi, ternyata, buku Tocqueville ini adalah sebuah bahan penting dalam menghimbau kezaliman majoriti, demokrasi deliberatif, malahan kesusasteraan sekalipun! Tocqueville meninggal pada 1859, di Cannes.

Der Begriff des Politischen & Politischen Theologie, Carl Smith

Carl Smith, hadhir ketika munculnya totalitarianisme, iaitu di hujung kekuasaan Republik Weimar, dan awalnya Zaman Nazi Jerman. Dalam pergolakan politik inilah, Smith menghasilkan dua buah buku filsafat politik, Der Begriff des Politischen (1932) & Politischen Theologie (1922). Buku ini membentangkan mengenai pemegang kedaulatan adalah juga mereka yang menentukan keputusan dalam keadaan darurat. Justeru, dalam dua buku ini ternyata sarat sekali konsep-konsep tentang apakah itu “yang politik” serta pandangannya mengenai “kedaulatan.” Pada buku Politischen Theologie juga, itu bolehlah diibaratkan sebagai sebuah metafizik politik, yang di sana terkandung juga ontologi politik. Jadi, filsafat politik, pada tangan Smith, mendorong politik itu tak menolak andaian-andaian teologi, atau agama. Buku menarik ini adalah peninggalan pentingnya, sebelum Smith pergi pada 1985, di Plenttenberg.

Vita Activa & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff, Hannah Arendt

Hannah Arendt, semua tahu, adalah dari Yahudi, dan pernah menjalinkan hubungan intim dengan Martin Heidegger, gurunya serta filsuf besar abad ke-20. Arendt lahir di Linden dekat Hannover pada 1906. Namanya mula mendapat perhatian setelah totalitarianisme Nazi di Jerman, yang memaksanya mengusir ke Amerika Syarikat. Dan, di Amerika Syarikat-lah, atau tepatnya di New York, Arendt meninggal pada 1975. Dua buah karyanya ini— Vita Activa (1960) & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff (1955)—adalah membicarakan mengenai krisis republik akibat perluasan ruang peribadi ke atas ruang awam. Jadi, dalam huraiannya, Arendt menegaskan mengenai konsep keganasan, konsep krisis republik serta konsep ruang peribadi dan ruang awam. Bukunya ini adalah penting, dalam kelasan pasca-modeniti. Malah, pernah pada waktu 1980-an, di Jerman dan wilayah sekitarnya begitu aktif membicarakan Arendt, sampai di pekan-pekan kecil di sana, seperti di Konstaz, menganjurkan seminar Arendt Renaisancce. Sebab? Kerana dalam banyak karyanya lebih awal menekankan mengenai globalisme, dan masyarakat kosmopolitanisme, sesuai dengan suasana berakhirnya Perang Dingin ketika itu. Walau bagaimanapun, warna filsafat politik Arendt tak dinafikan banyak dipinjam dari filsafat Yunani.

Faktizität und Geltung, Juergen Habermas

Juergen Habermas, lahir 1929 Duesseldorf, adalah filsuf dari Mazhab Frankfurt, yang meledakkan Teori Kritis pada pasca Perang Dunia ke-II. Buku Faktizität und Geltung (1992) adalah wakil buku filsafat politik dari ranah Mazhab Frankfurt itu. Sebelumnya, suatu kritikan besar terhadap Mazhab Frankfurt ialah sikapnya yang menampilkan kritikan semata, tidak alternatif. Namun, pada saat Habermas, sebagai generasi kedua Teori Kritis, telah memaparkan pandangannya mengenai politik secara praktis. Dalam buku ini, Habermas menampilkan tesis di mana menyambungkan sistem politik dengan masyarakat sivil. Jadi, terlampir juga, konsep demokrasi deliberatif, konsep proseduralis dan konsep wacana. Maka, bukunya ini terkenal dengan sistematiknya. Ini ditulisnya pasca perang dingin, New Left Movement serta kian hangatnya globalisasi, era demokrasi serta wacana pasca-moden. Dewasa ini, Habermas banyak memberi perhatian terhadap tema agama dan ruang awam.

Force de Ioi, Jacques Derrida

Lahir di El Biar Algeria pada 1930, meninggal pada 2005 di Perancis. Derrida terkenal sebagai filsuf pasca-moden. Manakala buku Force de Ioi (1990) adalah buku filsafat politik yang terhasil dari Pasca Perang Dingin. Bahkan, dalam semarak demokrasi, serta globalisasi, Deridda cuba mengungkapkan gagasan bahawa keadilan adalah dekonstruksi dan dekonstruksi adalah sesuatu yang tak dapat didekonstruksi lagi. Jadi, dalam wacana ini, Deridda menyingkap mengenai konsep keadilan dan tafsirannya ke atas keadilan tersebut. Berlawanan dengan Habermas, yang mengacukan rekonstruksi, manakala Derrida kental atas idea dekonstruksi.

Contigency Irony and Solidarity, Richard Rorty

Richard Rorty, 4 Oktober 1931 New York hingga 8 Jun 2007, juga di New York, adalah seorang filsuf Amerika yang terkenal dengan pragmatisme. Karya Contigency Irony and Solidarity (1989) adalah kupasannya mengenai persaudaraan (solidarity) yang berkaitan dengan perluasaan rasa-kekitaan. Lalu, di sana, Rorty menukik kepada konsep persaudaraan serta garis pemisahan antara awam dan peribadi. Asalnya, buku ini ditulis dalam suasana Pasca Perang Dingin, juga gencarnya idea demokrasi, globalisasi serta pasca-moden. Pandangan Rorty tak banyak beza dengan Habermas, melainkan pebezaan pendekatan/kaedah saja. Namun, kesimpulan mereka hampir persis, iaitu menekankan prosedur demokrasi.

Demikian 18 buah karya besar dalam sejarah filsafat politik, barat khususnya. Mungkin juga, adikarya John Rawls, A Theory of Justice turut mendekati filsafat politik, dan dapat dimuatkan sekali. Apapun, dalam menelusuri wacana filsafat politik ini, harus ada banyak pertanyaan untuk diselidiki. Persoalan-persoalan mengenai bentuk komuniti politik atau negara haruslah ditanggapi serius, sama ada wujudkah bentuk ideal atau sebaleknya. Malah, tema legitimasi bagi sesebuah kekuasaan politik tak dapat tidak mestilah dimamah habis-habisan. Manakala ruang lingkup mengenai tindakan politik; apa makna tindakan politik dalam model-model tertentu harusnya mendapat kesaksamaan dalam usaha meninjau keseluruhan bidang filsafat ini. Sebenarnya, maseh banyak lagi persoalan lain; kekerasan, kekuasaan, kebebasan, keadilan, kesamaan, kebahagian, kerasionalan, ini semua tak lekang dari filsafat politik, yang masing-masing menuntut perhatian yang mendalam. Maka, 18 buah karya ini menawarkan ragam sisi, yang menarik untuk dihadham, sekaligus yang seksa yang dihabiskan.

Satu saat, kita akan sama-sama, satu demi satu, cuba beranjak dari satu karya ke satu karya ini. Mudah-mudahan!

dimuatkan oleh Aqil Fithri tanggal 1:20 PM

bilek @ Falsafah

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 18 April 2011

Filsafat Politik: Buku-Buku Besar

Politik, adalah pembicaraan klasik, yang boleh disorot jauh ke belakang. Bahkan, dalam Zaman Yunani, politik sebenarnya sudah pun membuka tirai pembicaraan filsafat politik—tentang negara, tentang masyarakat, tentang hukum, dan komunikasi jejaringnya.

Lantas, di sini, kita akan membicarakan tentang filsafat politik itu, semenjak Yunani, sampai dewasa ini, lalu melewati abad petengahan, abad renainsans, abad pencerahan, abad moden, sehingga apa yang kini disebut, wacana pasca-moden. Kemudian, dalam seluruh abad ini, terselit karya-karya besar yang mewarnai zamannya. Setakat yang penting, barangkali sekurang-kurangnya tercatat 18 karya besar tentang filsafat politik. Mungkin ada yang menyatakan, bahawa di timur juga ada filsafat-nya, termasuk filsafat politik. Benar, tapi, dalam kenyataannya, filsafat timur tak pernah menjadi sesistematik seperti di barat; yang sanggah-menyanggah, singgung-menyinggung, serta sentiasa bersambut dan bersahutan sepanjang zaman.

Justeru, dengan mempelajari filsafat barat, khususnya di sini filsafat politik barat, itu menjadi istimewa untuk memahami jantung perjalanan tamadun barat itu sendiri. Di sana, banyak yang dapat kita belajar, dalam usaha mereka menyusun persoalan mengenai negara, rakyat, hukum, dll. Mudah-mudahan, dari waktu ke waktu kita berpeluang memamah “kata dan makna” dalam seluruh karya ini. Sebagai pengantar, elok kita sarikan terlebih dahulu warna-warni dari karya-karya besar ini.

Politeia, Plato

Plato (428 - 348 SM) di Athena, menulis karya Politeia (365 SM) sesuai dengan konteks zamannya; iaitu, mahu mengutarakan (juga melaksanakan) demokrasi Athena (polis). Namun, gagasannya ini mengundang kontroversinya dengan kalangan sofis/politikus. Tapi, apa idea pokok dari Politeia? Idea pokoknya adalah mengenai negara sebagai makro-antropos di mana memuatkan pembicaraan tentang konsep keadilan dan keutamaan serta konsep tatanan politik. Dari karya Plato ini, filsafat politik kemudiannya banyak beranjak.

Politica, Aristotles

Aristotles (348 – 322), lahir di Stagira dan meninggal di Chalkis, juga masing-masing di Athena. Dalam Politica, karya ini dikarang berdasarkan suasana lenyapnya Polis lewat kosmopolitanisme Hellenisme yang diprakasai oleh Alexender de Great. Dalam Politica ini juga ditegaskan tesisnya mengenai jarak antara ruang peribadi, dengan ruang awam, serta antara ruang politik dengan ruang bukan-politik. Lantaran itu, Aristotles memaparkan inti-inti seperti konsep warganegara, konsep hak-milik serta konsep komuniti politik. Menarik, konsep hak-milik ini sudah disentuh Aristotles, jauh-jauh sebelum John Locke lagi. Sebenarnya, Politica adalah dikarang untuk menanggapi langsung karya gurunya, Plato, Politea itu.

De Civitate Dei, Aurelius Agustinus

Aurelius Agustinus (354 – 430), adalah anak Souk Ahras di Algeria. Namun, kemudiannya menjadi nama besar di Romawi, dan akhirnya meninggal di Annaba juga di Algeria. Dalam hidupnya, Agustinus ini mengarang De Civitate Dei, sebuah karya yang dihimpit dengan awal abad pertengahan kristian (pasca-romawi), serta adanya perhijrahan antara bangsa-bangsa yang kemudiannya melahirkan kontroversi antara kristian dan bukan-kristian. Dalam karya ini, Agustinus membentangkan gagasannya tentang “keadilan sebagai kriteria legitimasi negara.” Di samping itu, Agustinus turut menekankan tentang negara tuhan dan negara dunia, di mana berbaurnya di dalam negara empirik. Tapi, persoalannya, apa kupasannya dalam gagasan ini? Di sini Agustinus akan menghuraikan tentang konsep legitimasi kekuasaan, serta agama sebagai kritik kekuasaan. Ini yang menarik, “agama sebagai kritik kekuasaan,” barangkali adalah pertama kali dalam sejarah agama digunakan sebagai sebuah kritik politik. Mudahnya, De Civitate Dei sarat diserikan tipologi sejarah dalam apoligia kristian.

De Regimine Principum, Thomas Aquinas

Thomas Aquinas, adalah nama besar dalam abad pertengahan eropah. Mereka yang mahu mengukuhkan agama dalam pandang filsafat-teologi-kristian, pasti akan merujuk padanya. Aquinas lahir di Roccasecca dekat Aquino, pada 1224, dan menghembuskan nafas terakhirnya di Fossanuova pada 1274. Karya agungnya, De Regimine Principum (1265), yang ditulis bersarkan suasana akhir abad pertengahan serta dibawah bayang feudalisme-nya. Inti dari karya ini adalah tentang “teori hukum tabii (Natural Law Theory) adalah telos komuniti politik” (mengembalikan kepada pembicaraan Aristotles) di mana turut disarikan pandangannya mengenai perlawanan terhadap tirani, serta memperkatakan tentang politik dan keadilan. Jadi, karya Aquinas ini sebenarnya turut melahirkan genre tersendiri, ekoran kupasannya soal antara pemberontakan rakyat dengan kekuasaan tirani.

II Principe, Niccolo Machiavelli

Salah satu filsuf yang paling disalah-fahami dalam sejarah, adalah Machiavelli. Lahir 1469 di Florence dan meninggal 1527 juga di Florence. Apa bukunya yang menyebabkan dirinya terpapar buruk? II Principe (1532)! Buku ini dihasilkan dalam suasana renainsans, serta dalam bayangan kekuasaan Medici dan pengaruh Girolamo Savonarola. Bahkan, diasak pula dengan konflik kekuasaan antara negara-negara kota ketika itu (negara feudal). Pokok dari buku ini adalah tentang “kecerdikan melampaui moral.” Pada Machiavelli, konsep kekuasaan dan moral dijelaskan dalam sebuah pandangan baru, yang berpatah-balek dari Aristotle: di mana kekuasaan lebih utama dari moral, tapi, dalam konteks-konteks tertentu sepertimana yang ditekankannya. Konteks-konteks ini yang jarang dibaca khalayak. Selain itu, magnum opus-nya ini turut membahaskan mengenai konsep Staatraeson (iaitu, alasan apakah boleh negara melarikan diri dari hukum di saat darurat). Malangnya, dari II Principe ini, idea totalitarian banyak mengalir darinya, meskipun dalam waktu yang sama melahirkan teori politik negara moden.

Six Livres de la Republique, Jean Bodin

Jean Bodin, mungkin jarang didengar jika bukan dari kalangan pengemar filsafat politik. Tapi, dalam filsafat politik, Bodin adalah nama mashyur, terutamanya mereka yang dekat dengan kediktatoran. Buku monumentalnya, Six Livres de la Republique (1583), yang tampil dari waktu reformasi eropah, juga muncul kerana rapuhnya monarki ekoran konflik agama (boleh dibaca pada malam Bartomeus, 1572). Tapi, apa adanya pada buku ini? Six Livres de la Republique adalah tentang kuasa mutlak-raja, namun dalam ketika yang sama dibatasi oleh hukum tuhan. Di sana, Bodin akan memanjangkan pandangannya mengenai konsep kedaulatan, serta kaitan antara tirani dengan hak perlawanan terhadap tirani itu sendiri.

Leviathan, Thomas Hobbes

Thomas Hobbes, 1588 – 1679, Malmesbury – Hardwick. Hobbes menulis Leviathan (1651) ekoran muhasabahnya terhadap perang 30 tahun di era emperisme, yang di sana lahirnya tokoh-tokoh perintis sains moden, seperti Newton, Galileo, Kepler, Kopernigk, dll. Leviathan itu, merupakan cerapannya terhadap dorongan survival para egois dalam penglibatannya pada negara. Justeru, ditemui dalam karya besar filsafat politik ini, konsep pemeliharaan diri dan menjaga kepentingan peribadi. Hobbes sendiri, tidak takut pada tirani, sebaleknya lebih gusarkan anarkisme. Dari satu sudut, Leviathan ada bau-bau machiavellian, namun tetap ada perbezaannya. Pada Leviathan, Hobbes menekankan sistem yang ampuh, serta kecerdasan para para/politikus. Sebab itu, dikatakan pemikiran Hobbes ini telah mengawali sistem pemikiran politik secara sistematik.

Second Trestise of Government, John Locke

John Locke, memang lebih dikenal di luar bidang filsafat, terutamanya ekonomi. Anak kelahiran Wrington pada 1632 ini menulis Second Trestise of Government (1690) tatkala kecamuk-nya Glorious Revolution di Inggeris (1688), juga sewaktu era empirisme yang begitu tebal di sana. Dalam kitab ini, Locke memuatkan pandangannya mengenai kontrak sebagai elemen kestabilan buat kebebasan serta menganggap kesamaan adalah sebuah keadaan tabii. Sebab itu, dalam kitab ini, Locke, menjelaskan mengenai konsep hak milik sebagai hak asasi, di samping teori pembahagian kekuasaan.

L esprit des Lois, Charles de Secondat Montesquieu

Charles de Secondat Montesquieu, atau Montesquieu saja, adalah filsuf politik yang bergelut pada zaman absolutisme Perancis (di bawah Luis XIV), juga memasuki awal-awal pencerahan Perancis (anti-agamawan). Lahir di Puri, 1698. Karya besarnya dalam filsafat politik adalah L esprit des Lois (1748), yang mengungkapkan mengenai “negara adalah untuk mengatasi kelemahan individu.” Selain itu, karya ini juga difokuskan untuk membezakan antara hakikat dan prinsip negara, serta mengupas iklim yang mempengaruhi forma (bentuk) dan materia hukum. Justeru, buku ini sepertinya mahu menzahirkan konsep hukum sebagai sebuah jejaringan, dan menegaskan prinsip-prinsip kenegaraan. Montesquieu meninggal di Bordeaux, juga di Perancis, pada 1755.

Du Contract Social, Jean-Jacques Rousseau

Jean-Jacques Rousseau terkenal kerana kontrak sosial, menerusi magnum opus-nya, Du Contract Social (1762). Buku ini terhasil dari Zaman Romantik, serta Zaman Absolutisme Luis XV, juga dibawah semangat Demokrasi Kanton. Bagi Rousseau, bukunya ini adalah untuk mengupas mengenai manusia yang baik secara tabii, manakala baginya peradaban-lah yang membuatkan manusia terpuruk. Sebab itu, kontrak sosial adalah usahanya untuk mematangkan kebebasan manusia, sementara hakikatnya kedaulatan berada di tangan para pelaku pada kontrak sosial tersebut. Jadi, bukunya ini penting dalam usaha untuk memahami konsep kehendak umum (demokrasi radikal), kedaulatan rakyat serta, agama awam (unsur-unsur tolak-ansur). Rousseau lahir pada 1712 di Genewa dan meninggal 1778 di Ermenonville.

Metaphysik der Sitten & Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant

Immanuel Kant hadhir-hidup dalam naungan Friedrich, kekuasaan Prussia. Ketikanya lahir pada 1724 di Koenigsberg, itu adalah zaman Pencerahan Jerman. Justeru, dua bukunya— Metaphysik der Sitten (1797) & Zum ewigen Frieden (1795)—ini sangat bermakna dalam memaparkan sebuah evolusi menuju masyarakat sivil (civil society) berdasarkan kepada "rencana rahsia alam." Jadi, Kant akan membicarakan mengenai konsep hukum, konsep hukum akal-budi, serta konsep kepublikan, dan semua konsep ini menuntutnya dalam menjelaskan mengenai kaitan antara moral dan politik. Ketikanya meninggal pada 1804, juga di koenigsberg, Pencerahan Jerman makin marak di bawah gagasan-gagasannya. Malah, buku Zum ewigen Frieden telah diangkat PBB sebagai kandungan intelektual besar buat masyarakat global, kerana menyentuh baik mengenai hak asasi manusia.

Grundlinien der Philosophie des Rechts, Georg William Freidrich Hegel

Hegel, lahir pada 1770, di Stuggart. Meninggal pada 1831, di Berlin. Kedua-duanya dalam wilayah Prussia (sekarang Jerman) ketika itu. Karya Grundlinien der Philosophie des Rechtss (1821) adalah antara salah sebuah karya pentingnya. Tapi, dalam filsafat politik, buku ini menjadi penting kerana mengutarakan konsep kebebasan serta konsep masyarakat sivil. Bagaimana boleh hadhirnya buku ini? Hegel menulis di tengah-tengah puncak Pencerahan Jerman, monarkisme Prussia, serta maraknya aliran historisme. Manakala, di sebelah barat Prussia, Perancis pula diledakkan dengan revolusi serta kekuasaan Napoleon. Justeru, dalam kekabutan ini, Grundlinien der Philosophie des Rechts terhasil dengan tesis utamanya adalah mengenai “dialektika dalam kesusilaan (Sittlichkeit), di mana terdapatnya elemen “keluarga”, “masyarakat sivil” dan “negara.” Maka, mahu atau tidak mahu, Hegel akan menyentuh juga konsep etika. Mungkin konsep Kant maseh bersifat abstrak, tapi pada Hegel, di sini telah menurunkanyan dalam pandangan praktis.

De la democratie en Amerique, Alexis de Tocqueville

Alexis de Tocqueville, merupakan pemikir besar Perancis, yang melakukan perjalanan-pencerapan politik di Amerika Syarikat. Mungkin hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Montesquieu yang berkunjung ke Inggeris. Jadi, sesampai di Amerika itu, Tocqueville itu banyak berfikir ulang tentang demokrasi, setelah melihat ‘keanehan’ demokrasi Amerika. Tocqueville lahir pada 1805 di Paris Pasca Revolusi Perancis, dan suasananya berkembangnya kapitalisme liberal. Dalam hidupnya, Tocqueville mengarang beberapa buku. Namun, De la democratie en Amerique (1835) adalah kitabnya yang paling dihargai. Mengapa? Kerana kitab ini memuatkan gagasannya mengenai kesamaan sosial dalam membendung kezaliman, juga membahaskan konsep kesamaan dan kebebasan. Jadi, ternyata, buku Tocqueville ini adalah sebuah bahan penting dalam menghimbau kezaliman majoriti, demokrasi deliberatif, malahan kesusasteraan sekalipun! Tocqueville meninggal pada 1859, di Cannes.

Der Begriff des Politischen & Politischen Theologie, Carl Smith

Carl Smith, hadhir ketika munculnya totalitarianisme, iaitu di hujung kekuasaan Republik Weimar, dan awalnya Zaman Nazi Jerman. Dalam pergolakan politik inilah, Smith menghasilkan dua buah buku filsafat politik, Der Begriff des Politischen (1932) & Politischen Theologie (1922). Buku ini membentangkan mengenai pemegang kedaulatan adalah juga mereka yang menentukan keputusan dalam keadaan darurat. Justeru, dalam dua buku ini ternyata sarat sekali konsep-konsep tentang apakah itu “yang politik” serta pandangannya mengenai “kedaulatan.” Pada buku Politischen Theologie juga, itu bolehlah diibaratkan sebagai sebuah metafizik politik, yang di sana terkandung juga ontologi politik. Jadi, filsafat politik, pada tangan Smith, mendorong politik itu tak menolak andaian-andaian teologi, atau agama. Buku menarik ini adalah peninggalan pentingnya, sebelum Smith pergi pada 1985, di Plenttenberg.

Vita Activa & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff, Hannah Arendt

Hannah Arendt, semua tahu, adalah dari Yahudi, dan pernah menjalinkan hubungan intim dengan Martin Heidegger, gurunya serta filsuf besar abad ke-20. Arendt lahir di Linden dekat Hannover pada 1906. Namanya mula mendapat perhatian setelah totalitarianisme Nazi di Jerman, yang memaksanya mengusir ke Amerika Syarikat. Dan, di Amerika Syarikat-lah, atau tepatnya di New York, Arendt meninggal pada 1975. Dua buah karyanya ini— Vita Activa (1960) & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff (1955)—adalah membicarakan mengenai krisis republik akibat perluasan ruang peribadi ke atas ruang awam. Jadi, dalam huraiannya, Arendt menegaskan mengenai konsep keganasan, konsep krisis republik serta konsep ruang peribadi dan ruang awam. Bukunya ini adalah penting, dalam kelasan pasca-modeniti. Malah, pernah pada waktu 1980-an, di Jerman dan wilayah sekitarnya begitu aktif membicarakan Arendt, sampai di pekan-pekan kecil di sana, seperti di Konstaz, menganjurkan seminar Arendt Renaisancce. Sebab? Kerana dalam banyak karyanya lebih awal menekankan mengenai globalisme, dan masyarakat kosmopolitanisme, sesuai dengan suasana berakhirnya Perang Dingin ketika itu. Walau bagaimanapun, warna filsafat politik Arendt tak dinafikan banyak dipinjam dari filsafat Yunani.

Faktizität und Geltung, Juergen Habermas

Juergen Habermas, lahir 1929 Duesseldorf, adalah filsuf dari Mazhab Frankfurt, yang meledakkan Teori Kritis pada pasca Perang Dunia ke-II. Buku Faktizität und Geltung (1992) adalah wakil buku filsafat politik dari ranah Mazhab Frankfurt itu. Sebelumnya, suatu kritikan besar terhadap Mazhab Frankfurt ialah sikapnya yang menampilkan kritikan semata, tidak alternatif. Namun, pada saat Habermas, sebagai generasi kedua Teori Kritis, telah memaparkan pandangannya mengenai politik secara praktis. Dalam buku ini, Habermas menampilkan tesis di mana menyambungkan sistem politik dengan masyarakat sivil. Jadi, terlampir juga, konsep demokrasi deliberatif, konsep proseduralis dan konsep wacana. Maka, bukunya ini terkenal dengan sistematiknya. Ini ditulisnya pasca perang dingin, New Left Movement serta kian hangatnya globalisasi, era demokrasi serta wacana pasca-moden. Dewasa ini, Habermas banyak memberi perhatian terhadap tema agama dan ruang awam.

Force de Ioi, Jacques Derrida

Lahir di El Biar Algeria pada 1930, meninggal pada 2005 di Perancis. Derrida terkenal sebagai filsuf pasca-moden. Manakala buku Force de Ioi (1990) adalah buku filsafat politik yang terhasil dari Pasca Perang Dingin. Bahkan, dalam semarak demokrasi, serta globalisasi, Deridda cuba mengungkapkan gagasan bahawa keadilan adalah dekonstruksi dan dekonstruksi adalah sesuatu yang tak dapat didekonstruksi lagi. Jadi, dalam wacana ini, Deridda menyingkap mengenai konsep keadilan dan tafsirannya ke atas keadilan tersebut. Berlawanan dengan Habermas, yang mengacukan rekonstruksi, manakala Derrida kental atas idea dekonstruksi.

Contigency Irony and Solidarity, Richard Rorty

Richard Rorty, 4 Oktober 1931 New York hingga 8 Jun 2007, juga di New York, adalah seorang filsuf Amerika yang terkenal dengan pragmatisme. Karya Contigency Irony and Solidarity (1989) adalah kupasannya mengenai persaudaraan (solidarity) yang berkaitan dengan perluasaan rasa-kekitaan. Lalu, di sana, Rorty menukik kepada konsep persaudaraan serta garis pemisahan antara awam dan peribadi. Asalnya, buku ini ditulis dalam suasana Pasca Perang Dingin, juga gencarnya idea demokrasi, globalisasi serta pasca-moden. Pandangan Rorty tak banyak beza dengan Habermas, melainkan pebezaan pendekatan/kaedah saja. Namun, kesimpulan mereka hampir persis, iaitu menekankan prosedur demokrasi.

Demikian 18 buah karya besar dalam sejarah filsafat politik, barat khususnya. Mungkin juga, adikarya John Rawls, A Theory of Justice turut mendekati filsafat politik, dan dapat dimuatkan sekali. Apapun, dalam menelusuri wacana filsafat politik ini, harus ada banyak pertanyaan untuk diselidiki. Persoalan-persoalan mengenai bentuk komuniti politik atau negara haruslah ditanggapi serius, sama ada wujudkah bentuk ideal atau sebaleknya. Malah, tema legitimasi bagi sesebuah kekuasaan politik tak dapat tidak mestilah dimamah habis-habisan. Manakala ruang lingkup mengenai tindakan politik; apa makna tindakan politik dalam model-model tertentu harusnya mendapat kesaksamaan dalam usaha meninjau keseluruhan bidang filsafat ini. Sebenarnya, maseh banyak lagi persoalan lain; kekerasan, kekuasaan, kebebasan, keadilan, kesamaan, kebahagian, kerasionalan, ini semua tak lekang dari filsafat politik, yang masing-masing menuntut perhatian yang mendalam. Maka, 18 buah karya ini menawarkan ragam sisi, yang menarik untuk dihadham, sekaligus yang seksa yang dihabiskan.

Satu saat, kita akan sama-sama, satu demi satu, cuba beranjak dari satu karya ke satu karya ini. Mudah-mudahan!

dimuatkan oleh Aqil Fithri tanggal 1:20 PM

bilek @ Falsafah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms