Sabtu, 30 April 2011

Komunikasi Politik, Sebuah Neologisme?

Titik tekan dalam teori-teori ilmu sosial adalah kelompok-kelompok atau struktur-struktur yang ada di masyarakat. Individu-individu, pada sebagian besar aliran ilmu sosial, tidak dilihat sebagai inti masalah. Peran individu biasanya dilewatkan begitu saja sebagai alat penggerak roda struktural.
Dalam ilmu sosial, terutama dari aliran naturalistis-fungsionalis-mekanistis-behaviorisme, individu dianggap sebagai aktor yang melakukan tindakan hanya semata-mata sebagai akibat rangsangan sosial yang melembaga. Praktek penafsiran makna individu terhadap interaksi sosial bukanlah hal yang signifikan untuk mendapat tanggapan teoritis.
Namun demikian, dewasa ini tumbuh juga berbagai aliran yang lebih humanis, yang melihat justru individu-individu yang berinteraksilah yang membentuk struktur. Kelompok aliran ini biasanya disebut sebagai kelompok kualitatif, yang didalamnya terdapat banyak sayap-sayap kajian. Dan interaksi itu dilihat sebagai sebuah pertukaran sosial yang acak (chaos), konvergen, atau sirkular, dimana siapa yang mempengaruhi apa tak lagi bisa terurai.
Dalam perdebatan tersebut, muncullah apa yang disebut kajian Komunikasi. Banyak tafsir terhadap kajian yang baru muncul di pertengahan abad dua puluh ini. Selain terbelah diantara kedua kubu tersebut, Komunikasi juga pecah ketika sebagian orang menyebutnya sebagai ilmu yang berdiri sendiri (mazhab Jerman) dan sebagian lagi menyebutnya bagian dari Sosiologi.
Selain itu ada juga yang menyebutkan ia merupakan anak kandung dari Psikologi. Psikologi dan Komunikasi memang dekat. Keduanya sama-sama membahas tentang manusia. Namun, titik pecahnya terdapat pada kualitasnya, dimana ketika Psikologi berkutat pada internal diri, yakni kejiwaan, komunikasi bergulat pada interaksi manusia.
Pengertian komunikasi sebagai proses interaksi manusia kemudian membuatnya berfokus pada simbol-simbol, seperti berbagi simbol, memahami simbol, bahkan memanipulasinya. Interaksi simbolik ini kemudian saling bergandengan dengan studi media, cultural studies, fenomenologi, semiotika, posmodernisme, posstrukturalisme, etnografi, etnometodologi, dramaturgi, dekonstruksi, dan berbagai studi lainnya sebagai bagian yang erat dari tubuh komunikasi dalam memahami manusia dari titik pandang yang khas, meskipun tidak selamanya bisa ditemukan dengan jelas dimana batas antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain.
Komunikasi Politik
Pada perkembangannya, Komunikasi juga melahirkan apa yang disebut Komunikasi Politik. Jika dilihat dari pengertian komunikasi di atas, tak heran jika ia pun sanggup merangkul studi politik. Namun, kenapa ia berada di bawah studi Komunikasi dan tidak studi Politik? Kita harus melihat karakter ilmu politik itu terlebih dahulu.
Dalam ilmu politik, karakter terkecil dari kegiatan politik biasanya terdiri dari tiga orang yang berinteraksi. Kenapa tiga orang dan bukan dua? Dalam hubungan dua orang, interaksinya bersifat langsung: “aku” berinteraksi dengan “aku kedua”. Sedangkan pada hubungan tiga orang, ia memiliki semua karakteristik yang dimiliki dua orang; dan dengan ditambahkan “aktor ketiga”, suasana menjadi lebih kompleks. Ada lompatan jumlah nuansa ungkapan dan makna.
Pada tataran ini, ada kemungkinan dua aktor akan bersekongkol melawan aktor ketiga. Politik berkembang apabila seorang aktor diberikan kesempatan untuk mewasiti dua atau lebih aktor lain; sebuah situasi dimana dua aktor dapat mengurangi kekuasaan aktor lain. Ini memperlihatkan adanya suatu hubungan yang melibatkan peran “penguasa” dan “yang dikuasai”, sekalipun tingkat interaksi itu sangat informal.
Secara interaksional, ia memang berada pada domain Komunikasi. Namun, pada saat yang sama, Komunikasi Politik telah menjembatani dua disiplin dalam ilmu sosial: komunikasi dan politik. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi.
Namun, meskipun disebut sedang mengalami perkembangan pesat, sesungguhnya jarang sekali ada yang menulis sebuah buku utuh tentang apa itu Komunikasi Politik, selain tulisan-tulisan pendek di berbagai koran atau jurnal. Salah satu dari kejarangan itu mungkin adalah Gabriel Almond, yang banyak menyebut istilah Komunikasi Politik dalam bukunya yang berjudul The Politics of the Development Areas (1962).
Menyatunya kedua domain itu membuat media, yang perannya di masing-masing domain telah cukup sentral, menjadi amat signifikan. Kajian Komunikasi Politik kerap bersentuhan dengan media sebagai medium pengelolaan kesan. Komunikasi Politik memungkinkan adanya analisa tentang propaganda-proganda dan agitasi-agitasi akibat hubungan antara aktor-aktor politik dan aktor-aktor media; wilayah abu-abu antara politik dan media yang seharusnya memiliki garis demarkasi; atau pertukaran informasi antara pelaku dengan imbalan publisitas.
Komunikasi Politik juga berusaha memahami berbagai fenomena tentang, misalnya, apa alasan-alasan seorang pemilih untuk memilih partai politik tertentu dalam suatu pemilihan umum? Atau, apa alasan seorang pemilih untuk mengubah pilihannya dengan memilih partai politik lain?
Namun demikian, sebagai sebuah ilmu terapan, Komunikasi Politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Sebab, jika fenomena politik hanya hendak dilihat dari kacamata interaksi, sebenarnya ia sudah cukup bisa didekati dengan Komunikasi yang mengandung banyak varian di tubuhnya, seperti dramaturgi, cultural studies, interaksionisme simbolik, etnometodologi, semiotika, dekonstruksi, ataupun agains method-nya Paul Feyerabend.
Di zaman dimana ilmu saling silang bersilang, lintas batas, zamanlah yang menentukan apakah Komunikasi Politik sebagai bagian dari ilmu pengetahuan bisa bertahan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan dan pencarian kebenaran, bukan dalam sebuah jendela dari sekian banyak jendela untuk melihat suatu realitas fisik yang tunggal, tetapi dalam sebuah dunia yang egaliter dan pluralitas yang rendah hati.

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 30 April 2011

Komunikasi Politik, Sebuah Neologisme?

Titik tekan dalam teori-teori ilmu sosial adalah kelompok-kelompok atau struktur-struktur yang ada di masyarakat. Individu-individu, pada sebagian besar aliran ilmu sosial, tidak dilihat sebagai inti masalah. Peran individu biasanya dilewatkan begitu saja sebagai alat penggerak roda struktural.
Dalam ilmu sosial, terutama dari aliran naturalistis-fungsionalis-mekanistis-behaviorisme, individu dianggap sebagai aktor yang melakukan tindakan hanya semata-mata sebagai akibat rangsangan sosial yang melembaga. Praktek penafsiran makna individu terhadap interaksi sosial bukanlah hal yang signifikan untuk mendapat tanggapan teoritis.
Namun demikian, dewasa ini tumbuh juga berbagai aliran yang lebih humanis, yang melihat justru individu-individu yang berinteraksilah yang membentuk struktur. Kelompok aliran ini biasanya disebut sebagai kelompok kualitatif, yang didalamnya terdapat banyak sayap-sayap kajian. Dan interaksi itu dilihat sebagai sebuah pertukaran sosial yang acak (chaos), konvergen, atau sirkular, dimana siapa yang mempengaruhi apa tak lagi bisa terurai.
Dalam perdebatan tersebut, muncullah apa yang disebut kajian Komunikasi. Banyak tafsir terhadap kajian yang baru muncul di pertengahan abad dua puluh ini. Selain terbelah diantara kedua kubu tersebut, Komunikasi juga pecah ketika sebagian orang menyebutnya sebagai ilmu yang berdiri sendiri (mazhab Jerman) dan sebagian lagi menyebutnya bagian dari Sosiologi.
Selain itu ada juga yang menyebutkan ia merupakan anak kandung dari Psikologi. Psikologi dan Komunikasi memang dekat. Keduanya sama-sama membahas tentang manusia. Namun, titik pecahnya terdapat pada kualitasnya, dimana ketika Psikologi berkutat pada internal diri, yakni kejiwaan, komunikasi bergulat pada interaksi manusia.
Pengertian komunikasi sebagai proses interaksi manusia kemudian membuatnya berfokus pada simbol-simbol, seperti berbagi simbol, memahami simbol, bahkan memanipulasinya. Interaksi simbolik ini kemudian saling bergandengan dengan studi media, cultural studies, fenomenologi, semiotika, posmodernisme, posstrukturalisme, etnografi, etnometodologi, dramaturgi, dekonstruksi, dan berbagai studi lainnya sebagai bagian yang erat dari tubuh komunikasi dalam memahami manusia dari titik pandang yang khas, meskipun tidak selamanya bisa ditemukan dengan jelas dimana batas antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain.
Komunikasi Politik
Pada perkembangannya, Komunikasi juga melahirkan apa yang disebut Komunikasi Politik. Jika dilihat dari pengertian komunikasi di atas, tak heran jika ia pun sanggup merangkul studi politik. Namun, kenapa ia berada di bawah studi Komunikasi dan tidak studi Politik? Kita harus melihat karakter ilmu politik itu terlebih dahulu.
Dalam ilmu politik, karakter terkecil dari kegiatan politik biasanya terdiri dari tiga orang yang berinteraksi. Kenapa tiga orang dan bukan dua? Dalam hubungan dua orang, interaksinya bersifat langsung: “aku” berinteraksi dengan “aku kedua”. Sedangkan pada hubungan tiga orang, ia memiliki semua karakteristik yang dimiliki dua orang; dan dengan ditambahkan “aktor ketiga”, suasana menjadi lebih kompleks. Ada lompatan jumlah nuansa ungkapan dan makna.
Pada tataran ini, ada kemungkinan dua aktor akan bersekongkol melawan aktor ketiga. Politik berkembang apabila seorang aktor diberikan kesempatan untuk mewasiti dua atau lebih aktor lain; sebuah situasi dimana dua aktor dapat mengurangi kekuasaan aktor lain. Ini memperlihatkan adanya suatu hubungan yang melibatkan peran “penguasa” dan “yang dikuasai”, sekalipun tingkat interaksi itu sangat informal.
Secara interaksional, ia memang berada pada domain Komunikasi. Namun, pada saat yang sama, Komunikasi Politik telah menjembatani dua disiplin dalam ilmu sosial: komunikasi dan politik. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi.
Namun, meskipun disebut sedang mengalami perkembangan pesat, sesungguhnya jarang sekali ada yang menulis sebuah buku utuh tentang apa itu Komunikasi Politik, selain tulisan-tulisan pendek di berbagai koran atau jurnal. Salah satu dari kejarangan itu mungkin adalah Gabriel Almond, yang banyak menyebut istilah Komunikasi Politik dalam bukunya yang berjudul The Politics of the Development Areas (1962).
Menyatunya kedua domain itu membuat media, yang perannya di masing-masing domain telah cukup sentral, menjadi amat signifikan. Kajian Komunikasi Politik kerap bersentuhan dengan media sebagai medium pengelolaan kesan. Komunikasi Politik memungkinkan adanya analisa tentang propaganda-proganda dan agitasi-agitasi akibat hubungan antara aktor-aktor politik dan aktor-aktor media; wilayah abu-abu antara politik dan media yang seharusnya memiliki garis demarkasi; atau pertukaran informasi antara pelaku dengan imbalan publisitas.
Komunikasi Politik juga berusaha memahami berbagai fenomena tentang, misalnya, apa alasan-alasan seorang pemilih untuk memilih partai politik tertentu dalam suatu pemilihan umum? Atau, apa alasan seorang pemilih untuk mengubah pilihannya dengan memilih partai politik lain?
Namun demikian, sebagai sebuah ilmu terapan, Komunikasi Politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Sebab, jika fenomena politik hanya hendak dilihat dari kacamata interaksi, sebenarnya ia sudah cukup bisa didekati dengan Komunikasi yang mengandung banyak varian di tubuhnya, seperti dramaturgi, cultural studies, interaksionisme simbolik, etnometodologi, semiotika, dekonstruksi, ataupun agains method-nya Paul Feyerabend.
Di zaman dimana ilmu saling silang bersilang, lintas batas, zamanlah yang menentukan apakah Komunikasi Politik sebagai bagian dari ilmu pengetahuan bisa bertahan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan dan pencarian kebenaran, bukan dalam sebuah jendela dari sekian banyak jendela untuk melihat suatu realitas fisik yang tunggal, tetapi dalam sebuah dunia yang egaliter dan pluralitas yang rendah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms