Istilah governance dan government cenderung digunakan secara bergantian untuk menggambarkan proses pemerintahan. Tatkala government digunakan untuk merujuk pada pelaku (pemerintah), maka governance biasanya digunakan untuk merujuk pada prosesnya (pemerintahan). Dalam hal ini, governance diartikan sebagai ‘the act of government’, yaitu praktek bekerjanya aktor yang bernama government. Sebagaimana ditulis dalam New Webster’s International Dictionary, governance diartikan sebagai ‘act, manner, office, or power of governing’, atau ‘methods of government or regulation’.
Dengan merujuk pada kasus Afrika, argumen di seluruh laporan ini menekankan pemerintah adalah sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk membangun kepemerintahan yang baik, maka pemerintah harus dikurangi (less government). Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber dari kepemerintahan yang buruk (bad governance). Kepemerintahan yang buruk ini, dalam operasionalisasi Bank Dunia (Weiss 2000: 801) adalah pemerintahan yang tidak representatif serta sistem non-pasar yang tidak efisien, yang dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan pembangunan di Afrika. Laporan ini merupakan tonggak perubahan orientasi Bank Dunia dari penjelasan teknokratis terhadap pembangunan menjadi penjelasan politik.
Negara-negara besar yang tergabung dalam OECD mendefinisikan governance sebagai “the use of political authority and exercise of control in a society in relation to the management of its resources for social and economic developmen”t. Lebih spesifik, pemerintah Inggris, dalam hal ini ODA, menjelaskan karakteristik good government mencakup legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia. World Bank mengemukakan karakteristik good governance sebagai: masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi; eksekutif yang bertanggungjawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum yang jelas. Sementara itu, The Commission on Global Governance mengartikan governance sebagai “the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs”. Dalam bahasa komisi ini, governance merupakan proses yang berkelanjutan melalui mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan diwujudkan dalam praktek (Weiss 2000).
Good Governance Sebagai Sound Development Management
Di antara lembaga-lembaga internasional yang terlibat dalam pengembangan wacana good governance ini, Bank Dunia dan UNDP merupakan lembaga yang paling berpengaruh. Hal ini mudah dipahami karena dua lembaga ini mempunyai jangkauan pengaruh yang meluas ke seluruh negara dunia ketiga. Namun, dalam pemetaan yang dilakukan oleh Thomas G Weiss (2000: 801-805), good governance versi Bank Dunia mempunyai penekanan yang berbeda dengan yang dilakukan oleh UNDP. Good governance yang dimaknai oleh Bank Dunia sebagai ‘sound development management’ (1989) tersebut dilanjutkan oleh rumusan yang kemudian terkenal dengan sebutan Washington Consensus. Dalam pertemuan di Wahington, D.C. yang diikuti oleh tiga lembaga keuangan raksasa yang berkantor di ibukota AS ini (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS), butir-butir rumusan good governance dalam Washington Consensus (Hayami, 2003) adalah:
1. Disiplin fiskal;
2. Konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik, termasuk
sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur;
3. Reformasi perpajakan dengan memperluas basis pajak dengan tarif
pajak yang moderat;
4. Bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar;
5. Nilai mata uang yang kompetitif;
6. Liberalisasi perdagangan;
7. Keterbukaan terhadap investasi asing;
8. Privatisasi perusahaan negara dan daerah;
9. Deregulasi atau penghapusan regulasi yang menghambat pasar
asing atau membatasi kompetisi, kecuali yang bisa dibenarkan
untuk kepentingan keamanan, lingkungan, perlindungan
konsumen, dan keperluan pengawasan finansial;
10. Jaminan hukum untuk kepemilikan (property rights).
Dalam bahasa Zhang (2003: 127), Washington Consensus ini merupakan “US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalisation”. Hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di Indonesia di akhir 1990an. Sejakb terjadinya krisis ekonomi dan politik di Indonesia pada tahun 1998, gagasan pro-pasar ini menjadi acuan utama dalam reformasi pemerintahan di Indonesia. Dengan kata lain, good governance sematamata diartikan sebagai ‘sound development management’. Dalam pengertian ini, good governance dibatasi pada isu administrative yang mencakup aturan dan institusi yang mendorong administrasi publik yang terbuka, transparan, efisien dan akuntabel (Leftwich 1996:15-16).
Pada tataran low-middle rank theory tentang administrasi publik, gagasan good governance versi ini dikembangkan oleh beberapa gagasan seperti New Public Management, Market-based Public Administration, Entrepreneurial Government, dan sejenisnya (Hughes 1994). Gagasan New Public Management merupakan gagasan yang
mencoba mensuntikkan logika pasar dalam mekanisme kerja birokrasi pemerintah. Gagasan ini bergayutan dengan gagasan governance sebagai minimal state yang telah dikemukakan di muka. New Public Management ini mempunyai dua makna utama, yaitu
managerialisme dan ‘the new institutional economics’ (Rhodes 1996:655). Managerialisme merujuk pada pengenalan metode pengelolaan sektor swasta ke dalam pengelolaan sektor publik. Pemikiran ini menekankan pada aplikasi manajemen profesional, standar dan pengukuran kinerja yang eksplisit, berorientasi pada hasil, value for money, dan berorientasi pada kepuasan pelanggan (Hughes 1994).
Sedangkan the new institutional economics merujuk pada pengenalan struktur insentif (seperti kompetisi pasar) ke dalam proses penyediaan pelayanan publik. Pemikiran ini menekankan pada pembatasan peran birokrasi dalam pelayanan publik secara langsung, dan memberikan masyarakat pilihan pelayanan yang lebih besar melalui contracting-out ataupun pelayanan oleh pasar dan quasipasar (Bartlet & Grand 1993: 13-34). Penekanan pada mekanisme pasar ini sejalan dengan semangat untuk mengembangkan ‘minimal state’ sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Melalui gagasan new institutional economics ini, peran steering menjadi sentral dalam bekerjanya pemerintahan. Gagasan entrepreneurial government ini kemudian dijabarkan lebih empirik dan disebarluaskan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992) dalam bukunya yang berjudul Reiventing Government, yang pada prinsipnya mengenalkan kewirausahaan dalam pemerintahan. Buku ini telah digunakan sebagai modul training yang diikuti oleh puluhan ribu birokrat di Indonesia. Sepuluh prinsip Reinventing Government dihapalkan dan dijadikan rujukan bertindak oleh para birokrat. Sebagian besar dari sepuluh prinsip tersebut pada dasarnya mengkampanyekan mekanisme pasar di sektor publik, yaitu:
1. mengembangan kompetisi antar penyedia pelayanan
2. memberdayakan masyarakat dalam mengontrol birokrasi
3. berorientasi pada outcomes (bukan input) dalam mengukur kinerja
4. dikendalikan oleh misi, bukan oleh regulasi dan kewenangan
5. mendefinisikan klien sebagai pelanggan dan memberikan pilihan
kepada mereka
6. mencegah masalah
7. memperoleh uang/pendapatan, bukan semata membelanjakan
8. mendesentralisasikan otoritas dan mengembangan manajemen
partisipatif
9. memprioritaskan mekanisme pasar
10. mengkatalisasi semua sektor, bukan semata menyediakan
pelayanan.
Dari sepuluh butir ini, sangat jelas bahwa pemerintahan yang berkewirausahaan sangat dekat dengan mekanisme kompetisi, pasar, pelanggan (customer) dan outcomes. Governance diartikan sebagai steering, more governance is more steering, yang berarti pula lessgovernment atau less-rowing (Rhodes 1996: 655). Gagasan ini pada umumnya disambut baik oleh pemerintah (khususnya politisi) dunia ketiga pada saat dihadapkan kepada krisis anggaran dan pada saat yang sama ditawari oleh pinjaman luar negeri dan investasi asing yang akan membeli perusahaan negara. Kebutuhan untuk mendanaai politik yang rentan mendorong pemerintah untuk menyambut baik 240logika governance sebagai entrepreneurial government ini yang kemudian mengalihkan tanggung jawab negara untuk pembangunan ekonomi, jaminan aksesabilitas masyarakat terhadap pekerjaan dan sumberdaya ekonomi lain, dan jaminan aksesabilitas masyarakat terhadap pelayanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar.
Dalam bahasa Guy Peters (2001: 21), good governance versi ‘sound development management’ ini bisa dikategorikan sebagai pemerintahan model pasar (market government) dan pemerintahan model deregulatif (deregulated government). Posisi rakyat sebagai citizen yang memegang kedaulatan dan mengendalikan proses kepemerintahan dan pelayanan, mejadi posisi sebagai customer. Dalam posisi sebagai customer, kapasitas rakyat sangat ditentukan oleh kemampuannya membeli dalam mekanisme pasar bebas.
Good Governance dan Marjinalisasi Negara
Good Governance sebagai democratic politics ini ditandai oleh beberapa karakter, seperti transparansi, partisipasi, representasi, akuntabilitas dan penegakkan hak asasi manusia. Hampir semua rumusan tentang good governance mencantumkan ciri-ciri sejenis itu. Oleh karena itu, jabaran pengembangan good governance meliputi program-program seperti mendukung pelaksanaan pemilu yangdemokratis, penguatan civil society, kebebasan pers, kesetaraan gender, perlidungan kebebasan individu, dan lain-lain. Programprogram semacam ini bisa mudah ditemukan di Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini, yang disponsori oleh lembaga-lembaga donor.
Baik sebagai sound development management maupun sebagai democratic politics, reformasi ke arah good governance menekankan pada perlunya pengecilan peran pemerintah. Sebagaimana didefinisikan oleh Rhodes (1996), good governance dimaknai sebagai negara yang minimal (minimal state). Pengurangan peran pemerintah ini menuntut peran aktor di luar pemerintah yang lebih besar, antara lain Civil Society Organization, dan terutama pelaku pasar (market).
Civil Society Organization, dan terutama pelaku pasar (market). Dalam arena politik internasional, pengecilan peran dan porsi negara ini mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedaulatan negara bangsa yang diwakili oleh institusi negara (state) menempati posisi yang semakin memudar yang diikuti oleh meluasnya peran institusi di luar negara dalam interaksi global governance. Institusi negara dipaksa untuk melepaskan otoritas konservatifnya dalam hubungan internasional dan memberikannya kepada civil society dan bisnis yang tidak mempunyai batasan ketat secara teritorial administratif. Walaupun gagasan ini masih sangat diperdebatkan pada level wacana, namun praktek marjinalisasi institusi negara ini bekerja sangat efektif pada negara-negara yang memasuki era transisi menuju demokrasi dan yang sekaligus menghadapi kesulitan fiskal.
Dalam arena politik domestik, implikasi pelaksanaan good governance juga sangat jelas. Di satu sisi, good governance telah terbukti mendobrak keangkuhan negara yang selama ini menghegemoni masyarakat. Personifikasi kekuasaan negara pada sekelompok kecil elit, kebuntuan akses masyarakat terhadap kebijakan publik, dan lemahnya penegakkan hak asasi manusia telah bisa didobrak oleh gelombang good governance. Namun, kekuasaan hegemonik yang menindas rakyat tidak secara otomatis lumpuh. Kekuasaan hegemonik hanya beralih dari kontrol negara ke kontrol swasta (kapital), yang dalam kasus Indonesia pasca krisis 1998-2002 adalah perusahaan multi-nasional (Korten 2001).
Dengan Human Development Index yang dikembangkannya, UNDP berusaha mengukur praktek good governance dengan melihat perkembangan kemanusiaaan (human progress). Economic well-being tidaklah sama dengan human progress. Demikian pula halnya dengan UNICEF yang menekankan pada derajad anak-anak dan ibu-ibu yang rentan terhadap penyakit. Pesan utama dari pengukuran ini adalah pentingnya substansi kebijakan dari masing-masing negara. Kedua, institusi dalam PBB mendorong agar pengembangan‘sound development management’ dan ‘democratic politics’ harus digabungkan dalam satu paket program yang utuh sehingga tidak menimbulkan kontradiksi logika dalam pengembangan good governance. Pandangan ini pada level empirik didukung oleh temua Anne Marie Goetz & David O’Brien (1995) ketika menganalisis program Bank Dunia tentang pengembangan governance dan pengentasan kemiskinan di Afrika yang tidak menyatu dan kontradiktif antara satu dengan lainnya. Ketiga, institusi PBB secara umum menekankan pada pentingnya membangun keseimbangan antara sektor publik dengan sektor prifat. Pandangan ini menegaskan kembali bahwa simbol-simbol demokrasi saja tidaklah cukup. Peran pemerintah untuk mengelola mekanisme supply and demand adalah sangat dibutuhkan. Pendikotomian antara negara dan ekonomi dianggap tidak realistis dan menyesatkan. Ekonomi pasar yang efisien dan civil society yang disiplin membutuhkan sebuah pemerintahan yang kuat dan efektif (Weiss 2000: 803).
Penutup
Tidak semua persoalan yang digambarkan di atas diakibatkan oleh kampanye good governance yang ditekankan pada ‘sound development management’. Namun, permasalahan tersebut berkembang sebagai akibat dari gagasan reformasi pemerintahan yang tidak mengalami kontekstualisasi secara memadai, gagasan reformasi yang terfragmentasi, dan gagasan reformasi yang tidak tumbuh dari pelaku-pelaku di lapis bawah. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tekanan eksternal tidak penting dalam agenda reformasi pemerintahan di Indonesia. Namun, agenda reformasi yang yang terjebak pada perubahan teknikalitas pemerintahan dan pada birokrasi proyek akan mengakibatkan agenda reformasi tersebut kehilangan roh dan tujuan akhir yang lebih bermakna bagi masyarakat. Argumen yang menyatakan bahwa penjaminan hak-hak politik individu dan proses demokratisasi akan mendukung pengembangan kepemerintahan yang baik tidaklah salah. Namun, paket ini harus dipadukan dengan hak-hak sosial dan ekonomi individu sebagai paket integratif yang tidak terpisahkan. Penjaminan hak sosial dan ekonomi ini tidak bisa diberlakukan sebagai produk dari good governance semata, tetapi harus menjadi bagian dari proses pengembangan kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, sebagaimana digagas oleh Mahbub ul Haq (Weiss 2000: 805), pengembangan kepemerintahan yang baik perlu dipadukan dengan konsep humane governance yang “mencakup good political, economic
and civic governance”.
adalah sangat penting untuk menjamin kepentingan masyarakat marjinal dan negara-bangsa dalam tata ekonomi dan politik dunia yang sangat anarkis di era liberalisasi dan globalisasi ini. Mengikuti kategori yang dibuat oleh Hadenius (2001: 246-253), negara yang kuat tapi predator (predatory state) harus ditinggalkan. Tetapi, tetapi negara yang lemah (marginal state) juga membahayakan. Oleh karena itu, model yang ditawarkan oleh Hadenius sebagai interactive state (2001: 253-264) menjadi menarik untuk dipertimbangkan. Dalam model ini, negara mempunyai posisi yang penting, berinteraksi secara intensif dengan masyarakat melalui mekanisme konstitusional, administratif dan kewargaan (civic), menjamin pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Gagasan ini perlu ditelusuri lebih jauh, dan perlu dikontekstualisasikan dengan potensi dan problema Indonesia kontemporer. Pada saat yang sama, gagasan ini perlu dijabarkan pada level yang lebih mikro dan instrumentatif. Teori-teori lapis menengah bahwa seperti New Public Management, Entrepreneurial Government dan beberapa teori lain perlu untuk segera dikaji dan dipertanyakan. Teori-teori yang sangat percaya pada kemujaraban mekanisme pasar, dan menempatkan masyarakat sebagai customer yang harus membeli pelayanan ini perlu dicarikan alternatif. Tawaran Janet Denhart dan Robert Denhardt (2003) tentang The New Public Service perlu untuk diperhitungkan sebagai inisiatif awal. Pada intinya, mempertahankan posisi individu sebagai citizen dan meminta pemerintah untuk lebih bertanggung jawab menjamin hak-hak sosial dan ekonomi adalah vital, selain hak-hak politik.
0 komentar:
Posting Komentar