Kamis, 14 April 2011

Pengantar Ilmu Politik

Pengantar Ilmu Politik

ILMU POLITIK: RUANG LINGKUP DAN KONSEP
Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik dapat dikatakan sebagai ilmu sosial tertua, apabila dilihat sebagai suatu pembahasan tentang berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun baru sejak abad ke-19 ilmu ini memiliki dasar, kerangka, pusat perhatian dan ruang lingkup yang jelas dan terinci. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi perkembangan ilmu politik adalah perkembangan ilmu-ilmu sosial yang lain serta ketidakpuasan di kalangan ilmuwan politik sendiri.
Sebagai layaknya ilmu pengetahuan, ilmu politik juga mengenal beberapa pembidangan, sehingga dengan demikian seorang sarjana ilmu politik dapat lebih memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang lebih khusus. Beberapa bidang kajian yang paling penting ialah : teori politik, lembaga-lembaga politik, partai dan golongan, serta pembangunan politik dan hubungan internasional.
Perbedaan antara berbagai definisi ilmu politik disebabkan adanya kecenderungan setiap sarjana untuk menekankan pada aspek tertentu. Aspek yang dianggap paling penting itulah yang kemudian menjadi titik pijak untuk meneropong aspek-aspek yang lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu politik ialah ilmu pengetahuan sosial yang mempersoalkan negara, kekuasaan pengambilan keputusan, dan kebijakan pembagian atau alokasi.
Konsep-konsep Politik
Konsep merupakan unsur penelitian yang paling penting, oleh karena itu konsep merupakan inti pokok dari sejumlah gejala. Beberapa konsep penting dalam kajian ilmu politik, antara lain : masyarakat, negara, kekuasaan dan sistem politik. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan negara ialah salah satu bentuk masyarakat yang mempunyai sifat memaksa, memonopoli dan menyeluruh. Sifat-sifat seperti itu dimungkinkan karena negara mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan sendiri adalah sebuah konsep politik paling mendasar yang kompleks dengan berbagai wajah dari yang bersifat persuasif sampai yang koersif. Melalui wewenang dan keabsahan kekuasaan yang dimiliki itu, negara mengemban fungsi untuk menyelenggarakan penertiban, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mempertahankan kedaulatan, serta menegakkan keadilan. Hubungan negara dan masyarakat bukanlah semata-mata hubungan satu arah, tetapi dua arah; di mana masyarakat juga berhak menilai negara melalui pemberian stigma legitimasi yang didasarkan pada banyak kriteria.
Sistem Politik
Konsep sistem politik dipergunakan untuk keperluan analisis. Untuk maksud itu pula, maka suatu sistem politik dianggap terdiri dari masukan (input), proses dan keluaran (output). Mata rantai antara aspirasi dan dukungan masyarakat, kerja sama pemerintah dan parlemen untuk mengeluarkan undang-undang, dan undang-undang itu sendiri adalah merupakan sistem perilaku politik yang teratur (terstruktur).
Ciri utama yang mendasari sistem politik ialah adanya interdependensi (saling ketergantungan) antara komponen-komponen; dan kenyataan bahwa suatu sistem sebenarnya bekerja dalam lingkungan sistem yang lebih luas.
Pendekatan merupakan sebuah konsep teoretis yang menunjukkan alat dan cara yang sangat bermanfaat bagi upaya untuk menganalisis fenomena perpolitikan di dalam sebuah sistem politik. Dengan menggunakan satu pendekatan tertentu, maka kita melihat fenomena dengan cara tertentu dan mengumpulkan data serta informasi yang tertentu pula. Pendekatan, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan mendapatkan pengaruh dari bidang-bidang ilmu sosial dan ekonomi lainnya. Pendekatan-pendekatan yang berpengaruh di dalam ilmu politik hingga akhir dekade 1960-an dipetakan oleh David Apter dan Charles Adrain ke dalam tiga kelompok pendekatan, yaitu : pendekatan normatif, struktural, dan perilaku.
Pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik menjadi bervariasi dengan adanya pengaruh dari perkembangan yang terjadi dalam bidang ilmu sosial lainnya. Setiap pendekatan memberikan penekanan yang berbeda dalam fokus kajian masing-masing demikian juga unit-unit pengamatan dana analisisnya. Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan dan ini dapat dilihat dari kritik-kritik yang dilontarkan pada setiap pendekatan. Menariknya, setiap pendekatan biasanya muncul dan berkembang sebagai respons terhadap kelemahan dari pendekatan sebelumnya. Namun demikian, munculnya dan berkembangnya satu pendekatan tidak membuat pendekatan sebelumnya menjadi hilang atau tidak lagi digunakan. Begitu bervariasinya bidang minat kajian-kajian dalam ilmu politik ini, sehingga selalu ada ilmuwan-ilmuwan yang menggunakan salah satu dari pendekatan tersebut. Berbagai pendekatan yang ada ini semakin memperkaya dan menguatkan ilmu politik sebagai sebuah ilmu.
DEMOKRASI
Pengertian dan Sejarah Awal Perkembangan Demokrasi
Sebagai suatu konsep yang mendasari sistem politik suatu negara, demokrasi secara formal telah dijadikan dasar bagi kebanyakan negara di dunia sesudah PD II. Namun, ide demokrasi masih ambigu terutama mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide demokrasi serta keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah, ide, bahkan praktik demokrasi di kemudian hari. Walaupun terdapat beraneka ragam pemikiran dan konsep tentang demokrasi tetapi secara umum terbagi menjadi aliran demokrasi konstitusional dan aliran yang menamakan dirinya ‘demokrasi’ meskipun pada hakikatnya mendasarkan diri pada komunisme dan fasisme. kedua aliran ini bermula di Eropa, telah menyebarkan pengaruh dan mendapatkan pendukungnya dari negara-negara baru di Asia terutama setelah PD II. Ciri khas demokrasi konstitusional ini adalah adanya pembatasan kekuasaan dari pemerintah, serta tidak diperkenankannya tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara yang tercantum dalam konstitusi negara tersebut. Sebaliknya, demokrasi komunisme menghalalkan pemerintahan otoriter demi mencapai kesejahteraan bersama bagi masyarakat tanpa kelas.
Gagasan mengenai demokrasi bermula pada masa Yunani Kuno dengan menggunakan sistem demokrasi langsung yaitu bahwa hak untuk membuat keputusan politik dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat melalui prosedur mayoritas. Dalam Abad Pertengahan ini (600 – 1400), benua Eropa Barat mulai memasuki abad kegelapan di mana pengaruh Yunani dan praktik demokrasi surut. Penindasan terhadap rakyat terjadi akibat perebutan pengaruh dan kekuasaan raja dan Paus. Abad Pertengahan berganti dengan Abad Pencerahan, melalui serangkaian perubahan sosial dan kultural yang dibawa ole kelompok aliran Renaissance dan Reformasi. Dalam abad Pencerahan inilah selanjutnya muncul pemikiran kontrak sosial yang menjadi dasar bagi pendobrakan terhadap kekuasaan raja-raja absolut. Pemikiran-pemikiran dari John Locke, Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau mengenai demokrasi selanjutnya akan mewarnai perkembangan demokrasi pada abad ke-19 dan ke-20.
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Abad ke-19 dan Abad ke-20
Pada akhir abad ke-19 dan 20, gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan telah mendapatkan perumusan yuridis dari para ahli hukum. Perumusan-perumusan yang dibuat oleh para ahli hukum tersebut hanya menyangkut bidang-bidang hukum saja, dan dalam batas-batas yang agak sempit. Hal ini disebabkan perumusan tersebut sangat dipengaruhi oleh gagasan liberalisme bahwa makin sedikit campur tangan pemerintahan adalah yang paling baik. Oleh karena itu, peranan negara dalam abad ini sangat terbatas tidak hanya dalam bidang politik tetapi juga ekonomi. Karena itu negara dianggap sebagai “negara penjaga malam”.
Dampak yang muncul sebagai akibat praktik demokrasi abad ke-19 telah merubah pemikiran para ahli politik untuk memberikan peranan yang lebih besar lagi pada pemerintah yang menandai wajah baru dari demokrasi konstitusional abad ke-20. Pemerintah kini tidak hanya berperan sebagai penjaga malam saja, akan tetapi telah turut aktif mengatur kehidupan sosial dan ekonomi serta bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Perubahan ini mendorong International Commission of Jurists untuk merumuskan rumusan yuridis Rule of Law, yang menggambarkan perluasan peran pemerintah. Sumbangan pemikiran Henry B. Mayo juga sangat bernilai bagi perkembangan demokrasi abad ke-20.
Perkembangan praktik demokrasi di dunia menurut Huntington terjadi dalam beberapa gelombang yang saat ini sudah sampai pada gelombang ketiga setelah kejatuhan pemerintahan Uni Soviet pada tahun 1990. Demokrasi pada praktik dan teorinya juga bergeser dari fokus peran negara pada hubungan dan peran kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memunculkan banyak konsep demokrasi kontemporer di tahun 1980-an sampai saat ini seperti demokrasi radikal, demokrasi deliberatif dan demokrasi pluralis.
Demokrasi di Negara-negara Non-Demokrasi
Pemerintahan non-demokratis sering kali menggunakan jargon-jargon demokrasi berbasis kepentingan rakyat untuk menampilkan gambaran yang sejalan dengan trend politik dunia. Namun pada umumnya, pemerintahan non-demokratis kontemporer terjadi di bawah kendali pemerintahan militer, partai politik tertentu ataupun pemerintahan personal dengan kekuasaan yang setara dengan sebuah monarki absolut. Hannah Arendt dan Friedrich-Brzezinski mengemukakan peran ideologi yang kuat ditanamkan pada tingkat akar rumput dalam melestarikan pemerintahan non-demokratis kontemporer baik seperti ideologi NAZI Jerman maupun ideologi Komunis Uni Soviet.
Pemerintahan non-demokratis pada rezim komunis Uni Soviet sendiri menunjukkan perkembangan yang semakin menjauh dari tipe totaliterisme, perlahan-lahan menjadi sekadar pemerintahan otoriter yang kemudian ambruk pada tahun 1990 akibat erosi legitimasi politik pada saat krisis ekonomi melanda. Di Eropa Barat sendiri, ajaran Marxis-Leninis berkembang menyimpang di mana Eurokomunisme lebih percaya pada cara-cara parlementer daripada cara revolusi. Hal ini tidak hanya terjadi di Uni Soviet tetapi juga pada negara-negara satelitnya seperti negara-negara Eropa Timur, Cina, Vietnam dan Kuba. Perbedaannya adalah negara-negara Vietnam dan Cina kemudian mencampurkan sistem politik totaliternya dengan sistem perekonomian pasar terbuka yang sampai saat ini masih mampu meredam arus demokratisasi politik.
Demokrasi di Indonesia
Dalam pembahasan demokrasi di Indonesia, paling tidak kita dapat membaginya ke dalam: Demokrasi Parlementer (1945 – 1959), Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), demokrasi Pancasila (1966 – 1998), dan masa Reformasi (1998 – sekarang). Setiap demokrasi yang pernah berlangsung tersebut mempunyai ciri-ciri sendiri yang menonjol yang merupakan variasi dari sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam periode Demokrasi Parlementer ciri yang menonjol adalah besarnya peranan partai-partai politik yang memegang kekuasaan politik melalui parlemen. Partai-partai politik ini tampaknya belum berhasil menciptakan kestabilan politik yang sangat dibutuhkan bagi terselenggaranya pembangunan. Masalah-masalah perbedaan pendapat baik antara sesama parpol sendiri ataupun sesama anggota masyarakat berdasarkan sentimen primordial seperti suku bangsa, agama, adat istiadat dan sebagainya, telah menajam dan membuat seringnya terjadi pergantian kabinet.
Kestabilan politik menjadi perhatian utama yang dijadikan dasar bagi pencapaian pembangunan ekonomi yang diprioritaskan untuk menopang upaya tersebut diperkenalkan dua nilai dasar yang harus melandasi praktik demokrasi, yaitu nilai tidak mengenal oposisi dan nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Sering kali nilai ini kemudian dijadikan alasan untuk tidak mengakui keanekaragaman aspirasi demi kestabilan politik pada masa Demokrasi Pancasila, mensahkan keseragaman dalam pemilu, aktivitas media massa dan parlemen. Hal ini kemudian berubah memasuki masa Reformasi yang ingin menegakkan kembali demokrasi yang mengakui keberagaman aspirasi melalui pengakuan atas beragam partai politik yang bermunculan dan menghormati aspirasi rakyat untuk dapat memilih langsung wakil-wakilnya dalam parlemen pusat dan daerah serta pimpinan eksekutif di pusat dan daerah.
HAK ASASI MANUSIA
Sejarah Hak Asasi Manusia
Pada tahun 1948 Sidang Umum PBB secara aklamasi menerima Pernyataan Sedunia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia yang memuat beberapa hak yang memiliki manusia sejak kehadirannya di dunia. Dalam sejarah perkembangannya, hak asasi manusia dipengaruhi oleh gagasan Hukum Alam (Natural Law) yang berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak alami yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam perkembangan selanjutnya, lingkup hak asasi tidak terbatas pada hak politis tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Pada perkembangannya saat ini, lahir beberapa kesepakatan internasional antara bangsa-bangsa mengenai universalitas HAM dan muncul juga beberapa institusi penting berskala internasional yang mengurus masalah pelanggaran HAM sebagai usaha penegakan HAM di dunia.
Perjanjian hak-hak sipil dan politik pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan dari pihak penguasa. Salah satu untuk membatasi kekuasaan itu adalah dengan perangkat perundang-undangan. Tetapi kemudian disadari bahwa jaminan kebebasan politik saja tidak cukup berarti untuk mewujudkan kebahagiaan manusia, sehingga kemudian timbul hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Karena perjanjian senantiasa mempunyai kekuatan yang mengikat, maka PBB juga menciptakan beberapa lembaga untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut.
Sebagai bagian dari komunitas sosial, perempuan di seluruh dunia sering kali menjadi sasaran ketidakadilan struktural dalam perannya sebagai manusia. Ketidakadilan ini muncul dari interpretasi sempit atas tradisi dan ajaran agama yang perlu didekonstruksi. Untuk melindungi hak asasi perempuan, maka PBB menghasilkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Diawali di negara-negara Skandinavia, strategi affirmative action untuk mempercepat peningkatan peran perempuan mulai diberlakukan di banyak negara, antara lain dengan sistem kuota perempuan dalam parlemen. Perubahan dan penegakan hak perempuan dalam masyarakat akan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Hak asasi manusia di dalam ajar Islam diatur dalam Al-Quran. Al Quran banyak mengatur mengenai hubungan antarmanusia di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga perlindungan hak asasi merupakan bagian yang tidak lepas dari perhatian Al Quran. Di dalam beberapa ayat, tercermin semangat yang melambangkan komitmen Islam terhadap hak-hak asasi mulai dari hak-hak politik sampai dengan hak-hak yang lebih bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Banyak faktor yang menyebabkan hak asasi manusia kurang dirinci dalam UUD 1945, baik oleh karena UUD 1945 ini disusun dalam waktu mendesak, diundangkan sebelum Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia diterima oleh Sidang Umum PBB (1948) maupun segi pemikiran politik yang dominan pada waktu itu. Tetapi semua itu tidak berarti bahwa komitmen para penyusun UUD 1945 terhadap hak asasi manusia adalah kurang. UUD 1945 cukup memuat jaminan hak asasi manusia, seperti tercermin dalam pasal yang menjamin kedudukan yang sama di muka hukum dan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak (pasal 27), jaminan atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (pasal 28), jaminan untuk memeluk agama (pasal 29) dan jaminan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan (pasal 31).
Selain aturan perundang-undangan, telah berdiri juga Komnas HAM yang berfungsi menangani masalah-masalah pelanggaran HAM di Indonesia, dan Komnas Perempuan yang mengurusi masalah pelanggaran HAM khusus perempuan. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat membantu perbaikan kondisi HAM di Indonesia. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 juga telah mengalami amandemen sehingga banyak penambahan yang memperkaya jaminan hukum atas HAM di Indonesia.
BUDAYA POLITIK, SOSIALISASI POLITIK, DAN KOMUNIKASI POLITIK
Budaya Politik
Budaya politik tidak bisa dipelajari tersendiri terlepas dari sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ketiga bidang itu berkembang secara bersamaan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang ilmu sosial lainnya seperti antropologi, psikologi dan sosiologi. Karena bidang ini dikembangkan berdasarkan studi yang dilakukan dalam masyarakat dan sistem demokrasi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, maka kajian-kajian tentang budaya politik sering dikatakan mengandung bias demokrasi Barat.
Kewarganegaraan dan Penyelenggaraan Pemerintah yang Baik
Perhatian pada isu kewarganegaraan dan good governance meningkat pesat setelah terjadinya perubahan-perubahan perpolitikan di dunia. Perhatian pada kelompok-kelompok dan meningkatnya isu hak-hak kelompok telah mendorong sejumlah ilmuwan untuk mengangkat soal kewarganegaraan. Sementara itu isu good governance tidak dapat diabaikan dalam pemerintahan di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Jika isu kewarganegaraan melihat hubungan antara warganegara dengan negara, tapi dengan penekanan pada individu warganegara; maka isu good governance terkait dengan perilaku kelompok, organisasi, lembaga, yang dapat diterima di dalam sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Kedua bidang ini tidak dapat ditinggalkan jika kita mempelajari nilai, norma, atau sikap dan perilaku politik yang dapat diterima di dalam sistem yang demokratis.
Sosialisasi dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik dan komunikasi politik merupakan bagian tidak terpisah dari kajian budaya politik. Lewat sosialisasi politik maka kita mempelajari bagaimana budaya politik ditanamkan, dipertahankan atau diubah. Lewat komunikasi politik kita akan dapat mengetahui lewat sarana yang mana atau struktur komunikasi yang mana sosialisasi politik dilangsungkan secara efektif. Dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi maka perlu dipelajari ketiga hal tersebut jika budaya politik yang ada hendak dipertahankan, diubah atau dipertahankan.
PARTISIPASI POLITIK DAN PARTAI POLITIK
Partisipasi Politik
Partisipasi politik bersama dengan partai politik merupakan bidang kajian penting dan banyak dipelajari di dalam ilmu politik. Perkembangan kedua bidang tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan demokrasi dan proses demokratisasi di negara-negara non-Barat. Perkembangan dua abad terakhir ini, partai politik tidak menjadi satu-satunya aktor politik yang berpartisipasi di dalam politik, namun partai politik masih menempati tempat khusus di dalam studi ilmu politik. Perkembangan yang terjadi dalam perpolitikan riil telah mendorong terjadinya perkembangan kajian tentang partai politik, termasuk sistem kepartaian. Untuk memahami bagaimana partai politik bersikap di dalam sistem politik maka perlu dipahami sistem kepartaian di dalam sistem politik tersebut.
Selanjutnya, perpolitikan di berbagai negara di dunia dan beberapa fenomena politik pada tingkat global telah mempengaruhi perkembangan bidang kajian ini. Bidang kajian baru di antaranya yang berkaitan dengan politik kelompok dan hak-hak kelompok merupakan bidang kajian kontemporer di dalam ilmu politik. Selain isu hak-hak kelompok, berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat baik di tingkat nasional maupun global telah mendorong munculnya gerakan-gerakan yang membawakan isu-isu baru yang tidak sama dengan isu yang dibawakan oleh gerakan-gerakan sosial yang tradisional seperti gerakan buruh. Juga yang perlu diperhatikan sebagai fenomena baru dalam perpolitikan adalah aktor-aktor politik yang terlibat di dalam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat selama beberapa dekade terakhir ini. Dalam proses demokratisasi yang terjadi di negara-negara dengan pemerintahan yang otoriter maka kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai ‘masyarakat kewargaan’ atau civil society inilah yang berperan penting.
Latar Belakang Kaitan dengan Masalah Perwakilan dan Partisipasi Politik
Walaupun sebagai suatu kegiatan ilmiah partai politik relatif baru, namun merupakan konsep dasar yang sangat penting dalam ilmu politik. Dalam permulaan perkembangannya partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam pengertian mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja. Namun dalam perkembangannya kemudian meluas ke segenap lapisan masyarakat. Dua konsep pokok yang berhubungan erat dengan pembahasan partai politik adalah konsep perwakilan politik dan konsep partisipasi politik.
Pengertian, Definisi, dan Fungsi Partai Politik
Secara singkat dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu organisasi yang terdiri dari kelompok orang yang mempunyai nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang sedikit banyak sama. Mereka sepakat untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik mempunyai sifat, tujuan dan cara yang berbeda dengan organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti gerakan politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan. Dalam peranannya sebagai organisasi kemasyarakatan, partai politik mempunyai beberapa fungsi. Fungsi-fungsi partai politik tersebut adalah sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, dan sebagai alat penengah pertikaian. Di negara-negara komunis partai politik mempunyai fungsi yang berbeda dengan fungsi-fungsi di atas. Di negara-negara totaliter fungsi partai politik adalah sebagai alat untuk mencapai kesatuan dan keseragaman, sebagai satu-satunya mobilisator massa menuju tujuan ideologi partai.
Sistem dan Klasifikasi Partai Politik
Dalam kehidupan partai politik di berbagai Negara dewasa ini dikenal tiga macam sistem kepartaian, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem banyak partai. Ketiga sistem kepartaian tersebut masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahannya. Pelaksanaan sistem tersebut banyak ditentukan oleh kondisi dan latar belakang budaya masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Pada praktiknya pelaksanaan sistem tersebut di banyak Negara telah mengalami banyak mengalami variasi dan perubahan yang disesuaikan dengan kehidupan politik Negara yang bersangkutan. Dalam kaitan dengan klasifikasi partai politik kita kenal adanya partai massa dan partai kader. Perbedaannya adalah bahwa partai massa mementingkan jumlah anggota (kuantitas) sedangkan para kader lebih menekankan pada bobot atau kualitas anggota. Ada juga beberapa klasifikasi partai politik lain, misalnya berdasarkan ideology dan fungsi mereka.
Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia di mulai pada masa penjajahan Belanda. Lahirnya partai politik menandai bangkitnya kesadaran nasional. Dari kesadaran nasional inilah berpangkal tolak cita-cita dan harapan kemerdekaan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita dan harapan kemerdekaan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita tersebut dilakukan baik di dewan rakyat maupun di luar lembaga perwakilan tersebut. Pada masa Pendudukan Jepang perkembangan politik, yaitu masa Parlementer (1945-1959), masa Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru yang dimulai tahun 1966, dan masa Reformasi sampai sekarang
UNDANG-UNDANG DASAR DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Undang-Undang Dasar
UUD merupakan bagian tertulis dari suatu konstitusi yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tersebut tidak mengarah pada tindakan yang sewenang-wenang. UUD pada awalnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan Raja yang absolut. Sementara di masa abad ke 20, UUD juga telah memberi peranan besar pada pemerintah untuk mencapai negara kesejahteraan. Di samping UUD yang tertulis, terdapat konvensi yang merupakan aturan tidak tertulis yang dijadikan konstitusi. Kecenderungan digunakannya konvensi adalah karena para penyusun UUD tertulis hanya memusatkan perhatiannya pada garis-garis besar saja dengan tujuan agar UUD itu mudah menyesuaikan perkembangan zaman.
Pada prinsipnya, UUD selalu mengandung beberapa unsur berikut, pertama, pernyataan mengenai cita-cita dan asas ideologi negara yang merupakan kristalisasi semangat bangsa yang diabadikan di dalam pembukaan UUD. Kedua, organisasi kenegaraan serta kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara. Ketiga, jaminan atas hak-hak asasi manusia; dan keempat, prosedur perubahan UUD. UUD menempati kedudukan tertinggi dalam hukum nasional yang harus dibedakan dengan Undang-Undang biasa.
Pembagian Kekuasaan Menurut Tingkat (Otonomi) dan Fungsi (Checks and Balances)
Pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkat (vertikal) dan pembagian kekuasaan menurut fungsi (horisontal). Dalam pembagian kekuasaan menurut tingkat dikenal tiga bentuk negara yaitu negara kesatuan, konfederasi dan federasi. Ketiga bentuk negara ini memiliki perbedaan dalam hubungan antara pemerintah pusat/ federal dengan pemerintah di bawahnya/ negara bagian.
Sementara itu lahirnya pemikiran pemisahan kekuasaan pada awalnya ditujukan untuk
membatasi kekuasaan raja
yang absolut. Dalam pemikiran Montesquieu, kekuasaan perlu dipisahkan dalam beberapa fungsi kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga fungsi kekuasaan ini merupakan dasar dari hubungan (pola) organisasi negara dan dalam pelaksanaannya mengalami berbagai penyesuaian dengan keadaan politik suatu negara. Kedudukan ketiga fungsi kekuasaan ini dapat ditemui sedikit banyak berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Perkembangan zaman juga turut mempengaruhi peranan dari masing-masing lembaga ini
Undang-Undang Dasar di Indonesia
Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlaku empat konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar RIS 1949, UUDS 1950 serta Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen. Keempatnya memiliki perbedaan-perbedaan, baik menyangkut isi maupun praktik penyelenggaraan pemerintahan. Ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 memiliki latar belakang sejarah di mana para pendiri bangsa ingin membuat suatu konstitusi yang menyeluruh namun dalam waktu terbatas. Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Dasar 1945 tidak terlepas dari praktik penyimpangan kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh karena penyelenggara negara itu sendiri dan terdapatnya ruang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi berkembangnya penyimpangan kekuasaan. Atas dasar pemikiran itulah lahir amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mencoba mengatur kembali secara lebih jelas hubungan dan batas-batas kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan yang ada.
Pembagian Kekuasaan di Indonesia (Checks and Balances dan Otonomi Daerah)
Pelaksanaan pembagian kekuasaan di Indonesia dapat ditinjau dari dua sisi yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi yang berfokus pada pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Yang kedua adalah pembagian kekuasaan menurut tingkat yang menjelaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Dalam pelaksanaannya, pembagian kekuasaan tersebut mengalami pasang surut sesuai perkembangan sistem politik yang dianut di masing-masing era.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan diatur dalam konstitusi setiap negara. Negara kita telah berusaha menyesuaikan perkembangan zaman dengan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen tersebut, diperjelas hubungan serta batasan dari masing-masing cabang kekuasaan, serta kewenangan yang dimiliki pusat dan daerah. Dalam hal pembagian kekuasaan menurut fungsi masing-masing cabang kekuasaan telah memiliki kewenangan yang dijamin konstitusi untuk saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) di antara mereka. Demikian pula halnya, dalam hubungan antara pusat-daerah, telah ditentukan batas kewenangan dari pemerintah pusat maupun daerah. Perbaikan dalam hal hubungan kekuasaan ini dilakukan untuk lebih menciptakan suatu pola hubungan kekuasaan yang dapat menjamin terkontrolnya kekuasaan serta terjaminnya hak-hak warga negara Indonesia.
BADAN EKSEKUTIF DAN BENTUK-BENTIK PEMERINTAHAN
Badan Eksekutif dan Birokrasi
Eksekutif adalah badan pelaksana UU yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi karena sistem pemerintahan yang dianut oleh negara-negara tertentu berbeda-beda, maka hal ini telah menempatkan badan eksekutif ini pada posisi politik yang berbeda-beda pula. Pada saat ini fungsi kekuasaan eksekutif tidak lagi hanya sebagai pelaksana UU tetapi juga sebagai “stabilisator”, yaitu melakukan penertiban dalam wilayahnya, membentuk hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Badan eksekutif juga salah satu bagian dari sistem politik yang menghasilkan sejumlah keputusan-keputusan kebijaksanaan. Sementara itu, birokrasi merupakan lembaga pelaksana kebijakan yang sudah digariskan oleh badan eksekutif. Peranan birokrasi di setiap sistem politik berbeda-beda tergantung dari kondisi sistem politik, kehidupan sosial budaya masyarakatnya, serta perkembangan ekonomi masyarakatnya. Di negara-negara Barat, birokrasi berhasil menjelma menjadi lembaga yang profesional, rasional, efektif, dan impersonal, menjadi aparatur pelaksana kebijakan di bawah eksekutif. Namun di negara-negara berkembang, sering terjadi fenomena politisasi birokrasi atau birokrasi yang memiliki kekuasaan politik yang besa

0 komentar:

Posting Komentar

Kamis, 14 April 2011

Pengantar Ilmu Politik

Pengantar Ilmu Politik

ILMU POLITIK: RUANG LINGKUP DAN KONSEP
Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik dapat dikatakan sebagai ilmu sosial tertua, apabila dilihat sebagai suatu pembahasan tentang berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun baru sejak abad ke-19 ilmu ini memiliki dasar, kerangka, pusat perhatian dan ruang lingkup yang jelas dan terinci. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi perkembangan ilmu politik adalah perkembangan ilmu-ilmu sosial yang lain serta ketidakpuasan di kalangan ilmuwan politik sendiri.
Sebagai layaknya ilmu pengetahuan, ilmu politik juga mengenal beberapa pembidangan, sehingga dengan demikian seorang sarjana ilmu politik dapat lebih memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang lebih khusus. Beberapa bidang kajian yang paling penting ialah : teori politik, lembaga-lembaga politik, partai dan golongan, serta pembangunan politik dan hubungan internasional.
Perbedaan antara berbagai definisi ilmu politik disebabkan adanya kecenderungan setiap sarjana untuk menekankan pada aspek tertentu. Aspek yang dianggap paling penting itulah yang kemudian menjadi titik pijak untuk meneropong aspek-aspek yang lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu politik ialah ilmu pengetahuan sosial yang mempersoalkan negara, kekuasaan pengambilan keputusan, dan kebijakan pembagian atau alokasi.
Konsep-konsep Politik
Konsep merupakan unsur penelitian yang paling penting, oleh karena itu konsep merupakan inti pokok dari sejumlah gejala. Beberapa konsep penting dalam kajian ilmu politik, antara lain : masyarakat, negara, kekuasaan dan sistem politik. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan negara ialah salah satu bentuk masyarakat yang mempunyai sifat memaksa, memonopoli dan menyeluruh. Sifat-sifat seperti itu dimungkinkan karena negara mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan sendiri adalah sebuah konsep politik paling mendasar yang kompleks dengan berbagai wajah dari yang bersifat persuasif sampai yang koersif. Melalui wewenang dan keabsahan kekuasaan yang dimiliki itu, negara mengemban fungsi untuk menyelenggarakan penertiban, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mempertahankan kedaulatan, serta menegakkan keadilan. Hubungan negara dan masyarakat bukanlah semata-mata hubungan satu arah, tetapi dua arah; di mana masyarakat juga berhak menilai negara melalui pemberian stigma legitimasi yang didasarkan pada banyak kriteria.
Sistem Politik
Konsep sistem politik dipergunakan untuk keperluan analisis. Untuk maksud itu pula, maka suatu sistem politik dianggap terdiri dari masukan (input), proses dan keluaran (output). Mata rantai antara aspirasi dan dukungan masyarakat, kerja sama pemerintah dan parlemen untuk mengeluarkan undang-undang, dan undang-undang itu sendiri adalah merupakan sistem perilaku politik yang teratur (terstruktur).
Ciri utama yang mendasari sistem politik ialah adanya interdependensi (saling ketergantungan) antara komponen-komponen; dan kenyataan bahwa suatu sistem sebenarnya bekerja dalam lingkungan sistem yang lebih luas.
Pendekatan merupakan sebuah konsep teoretis yang menunjukkan alat dan cara yang sangat bermanfaat bagi upaya untuk menganalisis fenomena perpolitikan di dalam sebuah sistem politik. Dengan menggunakan satu pendekatan tertentu, maka kita melihat fenomena dengan cara tertentu dan mengumpulkan data serta informasi yang tertentu pula. Pendekatan, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan mendapatkan pengaruh dari bidang-bidang ilmu sosial dan ekonomi lainnya. Pendekatan-pendekatan yang berpengaruh di dalam ilmu politik hingga akhir dekade 1960-an dipetakan oleh David Apter dan Charles Adrain ke dalam tiga kelompok pendekatan, yaitu : pendekatan normatif, struktural, dan perilaku.
Pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik menjadi bervariasi dengan adanya pengaruh dari perkembangan yang terjadi dalam bidang ilmu sosial lainnya. Setiap pendekatan memberikan penekanan yang berbeda dalam fokus kajian masing-masing demikian juga unit-unit pengamatan dana analisisnya. Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan dan ini dapat dilihat dari kritik-kritik yang dilontarkan pada setiap pendekatan. Menariknya, setiap pendekatan biasanya muncul dan berkembang sebagai respons terhadap kelemahan dari pendekatan sebelumnya. Namun demikian, munculnya dan berkembangnya satu pendekatan tidak membuat pendekatan sebelumnya menjadi hilang atau tidak lagi digunakan. Begitu bervariasinya bidang minat kajian-kajian dalam ilmu politik ini, sehingga selalu ada ilmuwan-ilmuwan yang menggunakan salah satu dari pendekatan tersebut. Berbagai pendekatan yang ada ini semakin memperkaya dan menguatkan ilmu politik sebagai sebuah ilmu.
DEMOKRASI
Pengertian dan Sejarah Awal Perkembangan Demokrasi
Sebagai suatu konsep yang mendasari sistem politik suatu negara, demokrasi secara formal telah dijadikan dasar bagi kebanyakan negara di dunia sesudah PD II. Namun, ide demokrasi masih ambigu terutama mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide demokrasi serta keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah, ide, bahkan praktik demokrasi di kemudian hari. Walaupun terdapat beraneka ragam pemikiran dan konsep tentang demokrasi tetapi secara umum terbagi menjadi aliran demokrasi konstitusional dan aliran yang menamakan dirinya ‘demokrasi’ meskipun pada hakikatnya mendasarkan diri pada komunisme dan fasisme. kedua aliran ini bermula di Eropa, telah menyebarkan pengaruh dan mendapatkan pendukungnya dari negara-negara baru di Asia terutama setelah PD II. Ciri khas demokrasi konstitusional ini adalah adanya pembatasan kekuasaan dari pemerintah, serta tidak diperkenankannya tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara yang tercantum dalam konstitusi negara tersebut. Sebaliknya, demokrasi komunisme menghalalkan pemerintahan otoriter demi mencapai kesejahteraan bersama bagi masyarakat tanpa kelas.
Gagasan mengenai demokrasi bermula pada masa Yunani Kuno dengan menggunakan sistem demokrasi langsung yaitu bahwa hak untuk membuat keputusan politik dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat melalui prosedur mayoritas. Dalam Abad Pertengahan ini (600 – 1400), benua Eropa Barat mulai memasuki abad kegelapan di mana pengaruh Yunani dan praktik demokrasi surut. Penindasan terhadap rakyat terjadi akibat perebutan pengaruh dan kekuasaan raja dan Paus. Abad Pertengahan berganti dengan Abad Pencerahan, melalui serangkaian perubahan sosial dan kultural yang dibawa ole kelompok aliran Renaissance dan Reformasi. Dalam abad Pencerahan inilah selanjutnya muncul pemikiran kontrak sosial yang menjadi dasar bagi pendobrakan terhadap kekuasaan raja-raja absolut. Pemikiran-pemikiran dari John Locke, Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau mengenai demokrasi selanjutnya akan mewarnai perkembangan demokrasi pada abad ke-19 dan ke-20.
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Abad ke-19 dan Abad ke-20
Pada akhir abad ke-19 dan 20, gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan telah mendapatkan perumusan yuridis dari para ahli hukum. Perumusan-perumusan yang dibuat oleh para ahli hukum tersebut hanya menyangkut bidang-bidang hukum saja, dan dalam batas-batas yang agak sempit. Hal ini disebabkan perumusan tersebut sangat dipengaruhi oleh gagasan liberalisme bahwa makin sedikit campur tangan pemerintahan adalah yang paling baik. Oleh karena itu, peranan negara dalam abad ini sangat terbatas tidak hanya dalam bidang politik tetapi juga ekonomi. Karena itu negara dianggap sebagai “negara penjaga malam”.
Dampak yang muncul sebagai akibat praktik demokrasi abad ke-19 telah merubah pemikiran para ahli politik untuk memberikan peranan yang lebih besar lagi pada pemerintah yang menandai wajah baru dari demokrasi konstitusional abad ke-20. Pemerintah kini tidak hanya berperan sebagai penjaga malam saja, akan tetapi telah turut aktif mengatur kehidupan sosial dan ekonomi serta bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Perubahan ini mendorong International Commission of Jurists untuk merumuskan rumusan yuridis Rule of Law, yang menggambarkan perluasan peran pemerintah. Sumbangan pemikiran Henry B. Mayo juga sangat bernilai bagi perkembangan demokrasi abad ke-20.
Perkembangan praktik demokrasi di dunia menurut Huntington terjadi dalam beberapa gelombang yang saat ini sudah sampai pada gelombang ketiga setelah kejatuhan pemerintahan Uni Soviet pada tahun 1990. Demokrasi pada praktik dan teorinya juga bergeser dari fokus peran negara pada hubungan dan peran kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memunculkan banyak konsep demokrasi kontemporer di tahun 1980-an sampai saat ini seperti demokrasi radikal, demokrasi deliberatif dan demokrasi pluralis.
Demokrasi di Negara-negara Non-Demokrasi
Pemerintahan non-demokratis sering kali menggunakan jargon-jargon demokrasi berbasis kepentingan rakyat untuk menampilkan gambaran yang sejalan dengan trend politik dunia. Namun pada umumnya, pemerintahan non-demokratis kontemporer terjadi di bawah kendali pemerintahan militer, partai politik tertentu ataupun pemerintahan personal dengan kekuasaan yang setara dengan sebuah monarki absolut. Hannah Arendt dan Friedrich-Brzezinski mengemukakan peran ideologi yang kuat ditanamkan pada tingkat akar rumput dalam melestarikan pemerintahan non-demokratis kontemporer baik seperti ideologi NAZI Jerman maupun ideologi Komunis Uni Soviet.
Pemerintahan non-demokratis pada rezim komunis Uni Soviet sendiri menunjukkan perkembangan yang semakin menjauh dari tipe totaliterisme, perlahan-lahan menjadi sekadar pemerintahan otoriter yang kemudian ambruk pada tahun 1990 akibat erosi legitimasi politik pada saat krisis ekonomi melanda. Di Eropa Barat sendiri, ajaran Marxis-Leninis berkembang menyimpang di mana Eurokomunisme lebih percaya pada cara-cara parlementer daripada cara revolusi. Hal ini tidak hanya terjadi di Uni Soviet tetapi juga pada negara-negara satelitnya seperti negara-negara Eropa Timur, Cina, Vietnam dan Kuba. Perbedaannya adalah negara-negara Vietnam dan Cina kemudian mencampurkan sistem politik totaliternya dengan sistem perekonomian pasar terbuka yang sampai saat ini masih mampu meredam arus demokratisasi politik.
Demokrasi di Indonesia
Dalam pembahasan demokrasi di Indonesia, paling tidak kita dapat membaginya ke dalam: Demokrasi Parlementer (1945 – 1959), Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), demokrasi Pancasila (1966 – 1998), dan masa Reformasi (1998 – sekarang). Setiap demokrasi yang pernah berlangsung tersebut mempunyai ciri-ciri sendiri yang menonjol yang merupakan variasi dari sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam periode Demokrasi Parlementer ciri yang menonjol adalah besarnya peranan partai-partai politik yang memegang kekuasaan politik melalui parlemen. Partai-partai politik ini tampaknya belum berhasil menciptakan kestabilan politik yang sangat dibutuhkan bagi terselenggaranya pembangunan. Masalah-masalah perbedaan pendapat baik antara sesama parpol sendiri ataupun sesama anggota masyarakat berdasarkan sentimen primordial seperti suku bangsa, agama, adat istiadat dan sebagainya, telah menajam dan membuat seringnya terjadi pergantian kabinet.
Kestabilan politik menjadi perhatian utama yang dijadikan dasar bagi pencapaian pembangunan ekonomi yang diprioritaskan untuk menopang upaya tersebut diperkenalkan dua nilai dasar yang harus melandasi praktik demokrasi, yaitu nilai tidak mengenal oposisi dan nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Sering kali nilai ini kemudian dijadikan alasan untuk tidak mengakui keanekaragaman aspirasi demi kestabilan politik pada masa Demokrasi Pancasila, mensahkan keseragaman dalam pemilu, aktivitas media massa dan parlemen. Hal ini kemudian berubah memasuki masa Reformasi yang ingin menegakkan kembali demokrasi yang mengakui keberagaman aspirasi melalui pengakuan atas beragam partai politik yang bermunculan dan menghormati aspirasi rakyat untuk dapat memilih langsung wakil-wakilnya dalam parlemen pusat dan daerah serta pimpinan eksekutif di pusat dan daerah.
HAK ASASI MANUSIA
Sejarah Hak Asasi Manusia
Pada tahun 1948 Sidang Umum PBB secara aklamasi menerima Pernyataan Sedunia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia yang memuat beberapa hak yang memiliki manusia sejak kehadirannya di dunia. Dalam sejarah perkembangannya, hak asasi manusia dipengaruhi oleh gagasan Hukum Alam (Natural Law) yang berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak alami yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam perkembangan selanjutnya, lingkup hak asasi tidak terbatas pada hak politis tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Pada perkembangannya saat ini, lahir beberapa kesepakatan internasional antara bangsa-bangsa mengenai universalitas HAM dan muncul juga beberapa institusi penting berskala internasional yang mengurus masalah pelanggaran HAM sebagai usaha penegakan HAM di dunia.
Perjanjian hak-hak sipil dan politik pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan dari pihak penguasa. Salah satu untuk membatasi kekuasaan itu adalah dengan perangkat perundang-undangan. Tetapi kemudian disadari bahwa jaminan kebebasan politik saja tidak cukup berarti untuk mewujudkan kebahagiaan manusia, sehingga kemudian timbul hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Karena perjanjian senantiasa mempunyai kekuatan yang mengikat, maka PBB juga menciptakan beberapa lembaga untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut.
Sebagai bagian dari komunitas sosial, perempuan di seluruh dunia sering kali menjadi sasaran ketidakadilan struktural dalam perannya sebagai manusia. Ketidakadilan ini muncul dari interpretasi sempit atas tradisi dan ajaran agama yang perlu didekonstruksi. Untuk melindungi hak asasi perempuan, maka PBB menghasilkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Diawali di negara-negara Skandinavia, strategi affirmative action untuk mempercepat peningkatan peran perempuan mulai diberlakukan di banyak negara, antara lain dengan sistem kuota perempuan dalam parlemen. Perubahan dan penegakan hak perempuan dalam masyarakat akan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Hak asasi manusia di dalam ajar Islam diatur dalam Al-Quran. Al Quran banyak mengatur mengenai hubungan antarmanusia di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga perlindungan hak asasi merupakan bagian yang tidak lepas dari perhatian Al Quran. Di dalam beberapa ayat, tercermin semangat yang melambangkan komitmen Islam terhadap hak-hak asasi mulai dari hak-hak politik sampai dengan hak-hak yang lebih bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Banyak faktor yang menyebabkan hak asasi manusia kurang dirinci dalam UUD 1945, baik oleh karena UUD 1945 ini disusun dalam waktu mendesak, diundangkan sebelum Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia diterima oleh Sidang Umum PBB (1948) maupun segi pemikiran politik yang dominan pada waktu itu. Tetapi semua itu tidak berarti bahwa komitmen para penyusun UUD 1945 terhadap hak asasi manusia adalah kurang. UUD 1945 cukup memuat jaminan hak asasi manusia, seperti tercermin dalam pasal yang menjamin kedudukan yang sama di muka hukum dan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak (pasal 27), jaminan atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (pasal 28), jaminan untuk memeluk agama (pasal 29) dan jaminan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan (pasal 31).
Selain aturan perundang-undangan, telah berdiri juga Komnas HAM yang berfungsi menangani masalah-masalah pelanggaran HAM di Indonesia, dan Komnas Perempuan yang mengurusi masalah pelanggaran HAM khusus perempuan. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat membantu perbaikan kondisi HAM di Indonesia. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 juga telah mengalami amandemen sehingga banyak penambahan yang memperkaya jaminan hukum atas HAM di Indonesia.
BUDAYA POLITIK, SOSIALISASI POLITIK, DAN KOMUNIKASI POLITIK
Budaya Politik
Budaya politik tidak bisa dipelajari tersendiri terlepas dari sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ketiga bidang itu berkembang secara bersamaan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang ilmu sosial lainnya seperti antropologi, psikologi dan sosiologi. Karena bidang ini dikembangkan berdasarkan studi yang dilakukan dalam masyarakat dan sistem demokrasi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, maka kajian-kajian tentang budaya politik sering dikatakan mengandung bias demokrasi Barat.
Kewarganegaraan dan Penyelenggaraan Pemerintah yang Baik
Perhatian pada isu kewarganegaraan dan good governance meningkat pesat setelah terjadinya perubahan-perubahan perpolitikan di dunia. Perhatian pada kelompok-kelompok dan meningkatnya isu hak-hak kelompok telah mendorong sejumlah ilmuwan untuk mengangkat soal kewarganegaraan. Sementara itu isu good governance tidak dapat diabaikan dalam pemerintahan di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Jika isu kewarganegaraan melihat hubungan antara warganegara dengan negara, tapi dengan penekanan pada individu warganegara; maka isu good governance terkait dengan perilaku kelompok, organisasi, lembaga, yang dapat diterima di dalam sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Kedua bidang ini tidak dapat ditinggalkan jika kita mempelajari nilai, norma, atau sikap dan perilaku politik yang dapat diterima di dalam sistem yang demokratis.
Sosialisasi dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik dan komunikasi politik merupakan bagian tidak terpisah dari kajian budaya politik. Lewat sosialisasi politik maka kita mempelajari bagaimana budaya politik ditanamkan, dipertahankan atau diubah. Lewat komunikasi politik kita akan dapat mengetahui lewat sarana yang mana atau struktur komunikasi yang mana sosialisasi politik dilangsungkan secara efektif. Dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi maka perlu dipelajari ketiga hal tersebut jika budaya politik yang ada hendak dipertahankan, diubah atau dipertahankan.
PARTISIPASI POLITIK DAN PARTAI POLITIK
Partisipasi Politik
Partisipasi politik bersama dengan partai politik merupakan bidang kajian penting dan banyak dipelajari di dalam ilmu politik. Perkembangan kedua bidang tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan demokrasi dan proses demokratisasi di negara-negara non-Barat. Perkembangan dua abad terakhir ini, partai politik tidak menjadi satu-satunya aktor politik yang berpartisipasi di dalam politik, namun partai politik masih menempati tempat khusus di dalam studi ilmu politik. Perkembangan yang terjadi dalam perpolitikan riil telah mendorong terjadinya perkembangan kajian tentang partai politik, termasuk sistem kepartaian. Untuk memahami bagaimana partai politik bersikap di dalam sistem politik maka perlu dipahami sistem kepartaian di dalam sistem politik tersebut.
Selanjutnya, perpolitikan di berbagai negara di dunia dan beberapa fenomena politik pada tingkat global telah mempengaruhi perkembangan bidang kajian ini. Bidang kajian baru di antaranya yang berkaitan dengan politik kelompok dan hak-hak kelompok merupakan bidang kajian kontemporer di dalam ilmu politik. Selain isu hak-hak kelompok, berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat baik di tingkat nasional maupun global telah mendorong munculnya gerakan-gerakan yang membawakan isu-isu baru yang tidak sama dengan isu yang dibawakan oleh gerakan-gerakan sosial yang tradisional seperti gerakan buruh. Juga yang perlu diperhatikan sebagai fenomena baru dalam perpolitikan adalah aktor-aktor politik yang terlibat di dalam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat selama beberapa dekade terakhir ini. Dalam proses demokratisasi yang terjadi di negara-negara dengan pemerintahan yang otoriter maka kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai ‘masyarakat kewargaan’ atau civil society inilah yang berperan penting.
Latar Belakang Kaitan dengan Masalah Perwakilan dan Partisipasi Politik
Walaupun sebagai suatu kegiatan ilmiah partai politik relatif baru, namun merupakan konsep dasar yang sangat penting dalam ilmu politik. Dalam permulaan perkembangannya partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam pengertian mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja. Namun dalam perkembangannya kemudian meluas ke segenap lapisan masyarakat. Dua konsep pokok yang berhubungan erat dengan pembahasan partai politik adalah konsep perwakilan politik dan konsep partisipasi politik.
Pengertian, Definisi, dan Fungsi Partai Politik
Secara singkat dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu organisasi yang terdiri dari kelompok orang yang mempunyai nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang sedikit banyak sama. Mereka sepakat untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik mempunyai sifat, tujuan dan cara yang berbeda dengan organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti gerakan politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan. Dalam peranannya sebagai organisasi kemasyarakatan, partai politik mempunyai beberapa fungsi. Fungsi-fungsi partai politik tersebut adalah sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, dan sebagai alat penengah pertikaian. Di negara-negara komunis partai politik mempunyai fungsi yang berbeda dengan fungsi-fungsi di atas. Di negara-negara totaliter fungsi partai politik adalah sebagai alat untuk mencapai kesatuan dan keseragaman, sebagai satu-satunya mobilisator massa menuju tujuan ideologi partai.
Sistem dan Klasifikasi Partai Politik
Dalam kehidupan partai politik di berbagai Negara dewasa ini dikenal tiga macam sistem kepartaian, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem banyak partai. Ketiga sistem kepartaian tersebut masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahannya. Pelaksanaan sistem tersebut banyak ditentukan oleh kondisi dan latar belakang budaya masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Pada praktiknya pelaksanaan sistem tersebut di banyak Negara telah mengalami banyak mengalami variasi dan perubahan yang disesuaikan dengan kehidupan politik Negara yang bersangkutan. Dalam kaitan dengan klasifikasi partai politik kita kenal adanya partai massa dan partai kader. Perbedaannya adalah bahwa partai massa mementingkan jumlah anggota (kuantitas) sedangkan para kader lebih menekankan pada bobot atau kualitas anggota. Ada juga beberapa klasifikasi partai politik lain, misalnya berdasarkan ideology dan fungsi mereka.
Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia di mulai pada masa penjajahan Belanda. Lahirnya partai politik menandai bangkitnya kesadaran nasional. Dari kesadaran nasional inilah berpangkal tolak cita-cita dan harapan kemerdekaan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita dan harapan kemerdekaan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita tersebut dilakukan baik di dewan rakyat maupun di luar lembaga perwakilan tersebut. Pada masa Pendudukan Jepang perkembangan politik, yaitu masa Parlementer (1945-1959), masa Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru yang dimulai tahun 1966, dan masa Reformasi sampai sekarang
UNDANG-UNDANG DASAR DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Undang-Undang Dasar
UUD merupakan bagian tertulis dari suatu konstitusi yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tersebut tidak mengarah pada tindakan yang sewenang-wenang. UUD pada awalnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan Raja yang absolut. Sementara di masa abad ke 20, UUD juga telah memberi peranan besar pada pemerintah untuk mencapai negara kesejahteraan. Di samping UUD yang tertulis, terdapat konvensi yang merupakan aturan tidak tertulis yang dijadikan konstitusi. Kecenderungan digunakannya konvensi adalah karena para penyusun UUD tertulis hanya memusatkan perhatiannya pada garis-garis besar saja dengan tujuan agar UUD itu mudah menyesuaikan perkembangan zaman.
Pada prinsipnya, UUD selalu mengandung beberapa unsur berikut, pertama, pernyataan mengenai cita-cita dan asas ideologi negara yang merupakan kristalisasi semangat bangsa yang diabadikan di dalam pembukaan UUD. Kedua, organisasi kenegaraan serta kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara. Ketiga, jaminan atas hak-hak asasi manusia; dan keempat, prosedur perubahan UUD. UUD menempati kedudukan tertinggi dalam hukum nasional yang harus dibedakan dengan Undang-Undang biasa.
Pembagian Kekuasaan Menurut Tingkat (Otonomi) dan Fungsi (Checks and Balances)
Pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkat (vertikal) dan pembagian kekuasaan menurut fungsi (horisontal). Dalam pembagian kekuasaan menurut tingkat dikenal tiga bentuk negara yaitu negara kesatuan, konfederasi dan federasi. Ketiga bentuk negara ini memiliki perbedaan dalam hubungan antara pemerintah pusat/ federal dengan pemerintah di bawahnya/ negara bagian.
Sementara itu lahirnya pemikiran pemisahan kekuasaan pada awalnya ditujukan untuk
membatasi kekuasaan raja
yang absolut. Dalam pemikiran Montesquieu, kekuasaan perlu dipisahkan dalam beberapa fungsi kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga fungsi kekuasaan ini merupakan dasar dari hubungan (pola) organisasi negara dan dalam pelaksanaannya mengalami berbagai penyesuaian dengan keadaan politik suatu negara. Kedudukan ketiga fungsi kekuasaan ini dapat ditemui sedikit banyak berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Perkembangan zaman juga turut mempengaruhi peranan dari masing-masing lembaga ini
Undang-Undang Dasar di Indonesia
Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlaku empat konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar RIS 1949, UUDS 1950 serta Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen. Keempatnya memiliki perbedaan-perbedaan, baik menyangkut isi maupun praktik penyelenggaraan pemerintahan. Ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 memiliki latar belakang sejarah di mana para pendiri bangsa ingin membuat suatu konstitusi yang menyeluruh namun dalam waktu terbatas. Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Dasar 1945 tidak terlepas dari praktik penyimpangan kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh karena penyelenggara negara itu sendiri dan terdapatnya ruang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi berkembangnya penyimpangan kekuasaan. Atas dasar pemikiran itulah lahir amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mencoba mengatur kembali secara lebih jelas hubungan dan batas-batas kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan yang ada.
Pembagian Kekuasaan di Indonesia (Checks and Balances dan Otonomi Daerah)
Pelaksanaan pembagian kekuasaan di Indonesia dapat ditinjau dari dua sisi yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi yang berfokus pada pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Yang kedua adalah pembagian kekuasaan menurut tingkat yang menjelaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Dalam pelaksanaannya, pembagian kekuasaan tersebut mengalami pasang surut sesuai perkembangan sistem politik yang dianut di masing-masing era.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan diatur dalam konstitusi setiap negara. Negara kita telah berusaha menyesuaikan perkembangan zaman dengan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen tersebut, diperjelas hubungan serta batasan dari masing-masing cabang kekuasaan, serta kewenangan yang dimiliki pusat dan daerah. Dalam hal pembagian kekuasaan menurut fungsi masing-masing cabang kekuasaan telah memiliki kewenangan yang dijamin konstitusi untuk saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) di antara mereka. Demikian pula halnya, dalam hubungan antara pusat-daerah, telah ditentukan batas kewenangan dari pemerintah pusat maupun daerah. Perbaikan dalam hal hubungan kekuasaan ini dilakukan untuk lebih menciptakan suatu pola hubungan kekuasaan yang dapat menjamin terkontrolnya kekuasaan serta terjaminnya hak-hak warga negara Indonesia.
BADAN EKSEKUTIF DAN BENTUK-BENTIK PEMERINTAHAN
Badan Eksekutif dan Birokrasi
Eksekutif adalah badan pelaksana UU yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi karena sistem pemerintahan yang dianut oleh negara-negara tertentu berbeda-beda, maka hal ini telah menempatkan badan eksekutif ini pada posisi politik yang berbeda-beda pula. Pada saat ini fungsi kekuasaan eksekutif tidak lagi hanya sebagai pelaksana UU tetapi juga sebagai “stabilisator”, yaitu melakukan penertiban dalam wilayahnya, membentuk hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Badan eksekutif juga salah satu bagian dari sistem politik yang menghasilkan sejumlah keputusan-keputusan kebijaksanaan. Sementara itu, birokrasi merupakan lembaga pelaksana kebijakan yang sudah digariskan oleh badan eksekutif. Peranan birokrasi di setiap sistem politik berbeda-beda tergantung dari kondisi sistem politik, kehidupan sosial budaya masyarakatnya, serta perkembangan ekonomi masyarakatnya. Di negara-negara Barat, birokrasi berhasil menjelma menjadi lembaga yang profesional, rasional, efektif, dan impersonal, menjadi aparatur pelaksana kebijakan di bawah eksekutif. Namun di negara-negara berkembang, sering terjadi fenomena politisasi birokrasi atau birokrasi yang memiliki kekuasaan politik yang besa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms