Rabu, 27 April 2011

Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik


Abstract
There are issues concerning the decrease of political role of DPD (Regional Representative
Council). As people’s council representing regional political interests, DPD has an authority to
propose legal drafts before the DPR (House of Representative). This is a consequence of
bicameral system adopted from 2004 election. In political reality, the i mplementation of
constitutional rights of DPD tends to be minimized into adviser in the decision making process.
At the same time, DPR has become more powerful and tends to alienate DPD from law making
processes. Due to the marginalized power, most of DPD members proposed the initiative to
change the amendment of 1945 constitution.
Keyword: bicameral system, constitution, political processes
Berkembangnya usulan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendesak MPR
segera melakukan inisiatif amandemen UUD 1945 hasil amandemen ke empat, khususnya
menyangkut pasal 22 C dan 22 D mengenai eksistensi DPD menarik untuk dikaji lebih
mendalam. Beberapa anggota DPR mereaksi usulan amandemen UUD yang digagas DPD akan menciptakan
gelombang tuntutan perubahan pada pasal-pasal lain. Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita bertemu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicara -kan gagasan amandemen UUD terkait status
konstitusional DPD yang dinilai lemah. Substansi amandemen tersebut terkait dengan realitas
politik pasca-amandemen UUD 1945 yang menempatkan DPD pada posisi yang dianggap lemah
dibandingkan dengan posisi politik DPR. Oleh anggota DPD, pasal tentang DPD kurang memberi
kewenangan politik DPD untuk terlibat dalam proses legislasi dengan DPR dalam konteks
pembahasan dan pengesahan RUU. Anggota DPD merasa termarginali -sasi politik dalam
berhadapan dengan DPR, karena kewenangan politik DPD terbatas pada persoalanan otonomi
daerah, pemekaran daerah, SDA daerah dan hubungan anara pusat dengan daerah.
Begitu pula dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, khususnya pasal 42, 43, dan 44, kewenangan DPD dinilai para anggotanya
cenderung terbatas sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan serta
pertimbangan kepada DPR dalam pengusulan RUU. Dengan kata lain, eksistensi politik DPD
secara konstitusional setara dengan DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun secara politik riil, proses -proses legislasi lebih
didominasi DPR. Keadaan demikian memunculkan wacana dari kalangan anggota DPD untuk
mengajukan usulan kepada MPR agar melakukan amandemen pasal 22 UUD 1945, guna
memperkuat peran politik DPD sebagai perwakilan politik yang memperjuangkan permasa lahan
daerah.
Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana peran DPD dalam
konstelasi perwakilan politik di Indonesia pasca -pemilu 2004? Apakah kewenangan politik DPD
saat ini lebih rendah dibanding DPR? Bagaimana peng -aruh dinamika politik di luar DPD mempengaruhi
perkembangan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah?
Pendekatan Kelembagaan
Pembahasan tentang DPD tak dapat dilepaskan dari struktur ketatanegaraan di Indonesia pasca -
amandemen UUD 1945 (amandemen keempat). Sedangk an ketata-negaraan itu sendiri
merupakan kon-sekuensi hubungan dan kedudukan antar - lembaga tinggi dan tertinggi yang
diatur da-lam konstitusional suatu negara. Hubung -an dan kedudukan lembaga tinggi dan
tertinggi inilah yang mendinamisasi proses penyel enggaraan kehidupan kenegaraan suatu bangsa.
Legitimasi konstitusional keberadaan DPD tertuang pada pasal 2 ayat 1 UUD 1945, yang
menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut melalui un dang-undang. Dengan demikian legitimasi atas
keberada-an DPD sangat kuat, sebab keanggotaan -nya dipilih melalui pemilihan umum.
Selanjutnya, dalam pasal 22 D dinyatakan, DPD memilih hak untuk mengajukan RUU kepada
DPR yang berkaitan dengan implementasi o tonomi daerah, pemekaran daerah, penggabungan
daerah, sumber alam daerah dan keuangan daerah. Dengan demikian, legitimasi konstitusional
DPD sebagai lembaga politik yang mewakali kepentingan daerah berada dalam posisi yang setara
dengan DPR dalam proses-proses legislasi perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan RI.
Dengan demikian, dalam sistem ketata -negaraan di Indonesia berlaku dua sistem lembaga
perwakilan sekaligus, yaitu DPR yang mewakili konstituensi secara nasional dan DPD yang
mewakili kepentingan daerah dan lokal. Dua sistem perwakilan kepentingan demikian dinamakan
bicameralism (Rodee, 1967:214) --dalam perkembangan bicameralism berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lain; di Inggris terdapat Majelis Tinggi ( House of Lords) dan Majelis
Rendah (House of Commons), Prancis dikenal Upper Chambers dan Popular Chambers.
Dalam sistem bikameral, DPD dan DPR memiliki kewenangan untuk meng -usulkan dan
menetapkan produk per-undang-undangan. Hanya saja dalam realitas politik di Indonesia pasca -
pemilu 2004, peran DPD membahas dan mene -tapkan RUU menjadi UU bersama DPR belum
maksimal. Menurut perkembangan -nya, bikameral cocok untuk model sistem federal, mencegah
kemungkinan adanya excessive legislative yang dominan dikuasai oleh kelompok oligark i
tertentu serta menghasilkan prinsip check and balance dalam proses legislasi (Rodee, 1967: 214).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bikameral adalah demokrasi perwakilan yang
membutuhkan kematang-an dalam berdemokrasi dan kestabilan sistem po litik yang didukung
demokrasi prosedural yang melembaga. Masing -masing chamber yang mewakili konstituen
tertentu (nasional atau daerah/regional) harus didukung oleh adanya konstitusi yang memberi
kejelasan wilayah kerja masing-masing agar tidak terjadi deadlock dalam pengesahan suatu
kebijakan.
Wilayah konstitusioal antara DPR dan DPD menjadi isu politik yang makin memanas, karena
adanya keinginan dari sejumlah anggota DPD untuk mengajukan inisiatif amandemen UUD 1945
pasal 22 D yang hanya memberi sedikit kewenang-an DPD untuk terlibat dalam proses legislasi
dibandingkan dengan kewenangan DPR yang hampir menguasai semua proses pengesahan RUU
menjadi UU. Dalam praksis politik, legitimasi kons -titusional pasal 22 D belum menjamin
kesetaraan peran antara DPD dengan DPR. Dengan wilayah konstitusional yang terbatas ada
aspek implementasi otonomi daerah, maka ruang gerak dan posisi tawar DPD dengan DPR
relatif terbatas. Dalam konteks kelahiran DPD sebagai represen -tasi kepentingan daerah dirasa
sangat tepat dilihat dari alasan strategis DPD sebagai fungsi penyeimbang kepentingan antara
kepentingan legislasi nasional yang lebih makro dengan kepentingan daerah yang secara sosio
cultural sangat majemuk. Sebab apa yang diperjuangkan DPR belum tentu sesuai atau coco k
dengan apa yang menjadi perhatian dan perjuangan DPD. Karena itu, untuk menghasilkan proses
check and balance yang efektif dalam proses penyelenggaraan sistem perwakilan kepentingan,
dibutuhkan kehadiran DPD yang kuat secara kelembagaan dan men -gakar dalam masyarakat
yang diwakilinya.
Keterkaitan antara fungsi konstitusional DPR dan DPD terletak pada keduanya sebagai
lembaga yang mewakili kepenting -an rakyat. Keduanya menjadi wujud representative
democracy hasil dari penggunaan hak partisipasi politi k warga yang memilih para wakil rakyat
(Janda, 1992:39). Model demokrasi perwakilan menjadi model universal yang menjadi pilihan
sistem demokrasi modern pasca -perang dunia II. Dari negara industri maju yang menjadi cikal -
bakal pertumbuhan demokrasi moder n sampai negara demo-krasi baru di kawasan negara
berkembang di Asia dan Afrika, istilah demokrasi digunakan sedemikian luas yang membe -
dakannya dengan sistem non demokrasi yang lain ( autocracy, totaliter). Kelebihan demokrasi
dari sistem-sistem lain adalah luasnya pengakuan yang ditujukan pada -nya sebagai sistem dan
prosedur yang me-mungkinan terselenggaranya partisipasi universal, persamaan politik,
mayoritas yang memerintah dan ketanggapan pemerintah terhadap kehendak umum (Janda,
1992:40).
Dalam konteks yang lebih empiris, keberadaan DPR dan DPD tidak jauh dari konsep ideal
di atas. Di era reformasi saat ini, partisipasi dan persamaan politik berkembang sedemikian pesat
dan sudah menjadi semacam social rights yang dimiliki warga negara. Eksplosi parti sipasi
politik melalui pemilu 1999 dan 2004 menghasilkan perubahan model demo -krasi perwakilan
yang elitis menjadi pluralis yang terfragmentasi ke dalam wakil partai -partai politik dalam
parlemen. DPR yang berisi para wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang dipilih melalui
pemilu mengemban fungsi arti -kulator politik yang sama dengan DPD. Karena itu, penguatan
fungsi-fungsi kedua lembaga tersebut akan memberi nilai strategik bagi penguatan negara
kebangsa-an yang majemuk. Kokohnya fungsi DPR dan DPD tersebut akan memperkuat proses
integrasi sebagaimana semangat bab I pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Semangat pasal ini adalah adanya bentuk
pemerintahan yang kokoh di tengah kebera gaman etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan
serta wilayah Republik Indonesia. Bentuk pemerintahan yang sesuai kondisi masya -rakat yang
beragam tersebut adalah penge -lolaan sistem perwakilan kepentingan yang mampu menjadi
perekat keberagaman.
Deliberation Theory
Kerangka konseptual lain yang diajukan guna membingkai peran dan fungsi DPD adalah
Deliberation Theory. Teori terse-but diangkat dari pendapat Jane J. Mansbridge yang
mengajukan gagasan bahwa arena politik merupakan kompleksi -tas dari lalu lintas pengaruhmempengaruhi
dan atau konflik antar aktor politik yang mengusung beragam isu, kepentingan,
strategi, nilai dan simbol-simbol prag-matisme politik (Mansbridge, 1992). Dalam pengertian
Mansbridge (1992:35-42) dijelaskan sebagai berikut. Conflicting issues merupakan langkah awal
menuju proses deliberasi (process of deliberation) yaitu upaya elite dan wakil rakyat untuk
memahami keinginan-keinginan, emosi, kehendak dan kepentingan individu dan kelompok yang
dianggap baik (their own good) bagi masyarakat politik. Karena itu, para wakil rakyat yang
memperoleh man-dat harus memahami dan menyamakan persepsi politik mereka dengan
preferensi-preferensi politik yang berkembang dalam masyarakat. Proses deliberasi ini tumbuh
dalam sistem demokrasi yang mengem-bangan altruisme dan memiliki tiga model empiris
deliberasi, yaitu competitive deliberation, corporatist deliberation, collaborative deliberation.
Melalui competitive deliberation, masyarakat dipandang sebagai arena kompetisi kepentingan dan
kehendak publik (opini) yang secara bebas berkompetisi untuk mempengaruhi proses politik
nasional. Kompetisi politik berkembang di antara aktor politik kelompok kepentingan dan para
wakil rakyat di satu pihak dan warga negara di sisi yang lain, untuk salin g mempersuasi
menyangkut interes masing-masing guna mempengaruhi kebijakan publik.
Dalam konteks collaborative deliberation, sebagaimana dinyatakan Heclo (Mansbridge,
1992:40) arena politik direduksikan sebagai issue networks yaitu kesepahaman bersama yang
berkembang dalam kelompok yang berkaitan dengan masalah -masalah kebijakan publik.
Dinamika politik diinterpretasikan sebagai dinamika kepentingan kelompok dengan obsesi untuk
saling mempengaruhi menyangkut isu -isu politik tertentu. Arena politik diibara tkan sebagai
network dari pengaruh (influence) dari pada kekuasaan (power). Pengaruhi ini muncul dari aktor
kelompok kepentingan dan penekan, lobi, aktor parlemen (konggres, USA), media yang
meewakili kepentingan publik. Sedangkan corporatist deliberation, lebih menekankan pada
aspek pengelolaan konflik kepentingan ( conflicting interests) melalui media negosiasi yang
bersumber pada aspek kekuasaan ( power) dan persuasi (influence) antar-kelompok. Organisasiorganisasi
sosial dan kelompok kepentingan yang mu ncul menyumbang-kan dinamika politik
domestik berupa konflik, negosiasi, pengaruh dan penge -lolaan jaringan kepentingan dalam
masyarakat.
Penggunaan konsep corporatist dalam telaah teoritik tersebut berbeda dengan konsep
corporatist sebagaimana digagas Schmitter. Ide corporatist model Schmitter mengkontruksikan
arena politik sebagai arena kompetisi kepentingan kelompok yang terkendali oleh hegemoni
negara serta adanya penyisihan-penyisishan terhadap kepentingan kelom-pok lain yang tak
sejalan dengan kebijakan negara. Dengan kata lain, dalam konteks Schmitter, negara
mengintervensi kepen-tingan masyarakat dalam kerangka untuk menghasilkan stabilitas politik.
Sedangkan dalam konteks deliberation theory, dinamika politik masyarakat terletak pada basis
isu-isu kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya yang berkembang dalam masyarakat yang
lantas ditangkap oleh kelompok-kelompok kepentingan dan politik partai sebagai instrumen
negosiasi politik di tingkat proses politik. Dinamika politik yang dibayangkan da lam deliberasi
adalah proses kompetisi terbuka yang menyangkut kepentingan dan isu -isu politik antar jejaring
networks politik, persuasi (influence) antar kelompok dalam pentas politik nasional mau pun
lokal.
Sebagai sistem politik yang berdiri pada basi s sosiologis masyarakat majemuk, tentu model
deliberasi politik sebagai alternatif model lembaga perwakilan politik sangatlah relevan.
Luasnya wilayah Indonesia ditambah dengan karakteristik keunikan wilayah tentulah membawa
konsekuensi pada semakin lua s dan kompleksitasnya agenda politik yang berbasis pada
kepentingan daerah. Agenda politik daerah yang beragam dan kompleks tentulah membutuhkan
kehadir-an sebuah lembaga perwakilan politik yang berdaya jangkau mengakar di daerah dan
yang mampu menyuarakan kepentingan daerah. Kehadiran lembaga perwakilan politik yang kuat
dan kokoh sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi harapan akan politik akomodasi kepentingan
publik. Kesetaraan posisi DPD dan DPR dapat memenuhi harapan politik akomodasi dengan
kondisi (syarat) sistem perwakilan kepentingan politik demikian mampu berperan aktual sebagai
kekuatan mediasi antara kepentingan daerah (yang diwakili masing -masing anggota DPD)
dengan pemerintah pusat. Implementasi konsep -tual fungsi deliberasi DPR dan DPD dalam arena
politik riil adalah peran keduanya sebagai aktor politik dari sekian banyak aktor politik yang lain
dengan kepentingan utama untuk menguasai isu dan agenda politik sesuai basis kepentingannya
melalui negosiasi, tekanan dan pengaruh.
Transisi Demokrasi
Konsep yang diajukan guna membingkai dinamika DPD adalah transisi demokrasi. Bagi O’
Donnel (1993:6-10), proses transisi demokrasi politik diartikan sebagai selang waktu antara
peralihan regim yang satu ke regime yang lain. Biasanya, model transisi demokrasi dilawankan
dengan tumbangnya rejim otoritarian yang digantikan rejim yang berorientasi pada demokrasi.
Seiring dengan proses transisi, muncul sejumlah lembaga -lembaga politik representasi sipil,
seperti partai politik baru, kelompok kepentingan dan sejumlah asosiasional sukarela yang
dibentuk atas dasar semengat perubahan. Dalam era transisi, sebaran kekuasaan politik lebih
fragmentatif, pluralistik dan kompetitif, bahkan tak tertutup kemungkinan muncul gejolak politik
baru sebagai konsekuensi ketidaksiapan regime transisi menciptakan tertib politik. O’Donnel
mencatat, dalam prinsip transisi tema pokok demokrasi mengerucut pada bangkitnya politik
kewarganegaran (citizenship). Prinsip ter-sebut mengacu pada pengakuan hak yang sama
disamping kewajiban untuk mentaati prosedur politik yang disepakati bersama.
Proses transisi demokrasi menghasilkan sistem politik dengan model distribusi kekuasaan
politik sipil yang lebih kom-petitif dan terbuka. Mengutip Markoff (2005:387 -389),
perkembangan transisi demokrasi yang terjadi dalam sistem-sistem politik pasca-PD II ditandai
mengalirnya peralihan dari politik otoritarian ke demo -krasi delegatif (delegative democracy)
dimana kekuasaan politik terdelegasikan pada lembaga perwakilan politik demokrasi terutama
partai politik. Indikasi sistem po-litik demikian ditandai dengan dilaksana -kannya pemilihan
umum (pemilu) guna menggantikan sistem hegemoni otoritarian masa lalu dan munculnya koalisi
antar elite reformis guna menggagas format rejim transisi. Kecenderun gan sistem politik yang
sedang mengalami transisi menuju demo -krasi adalah bangkitnya kekuatan politik dan sosial
baru, lembaga perwakilan yang dipilih secara langsung dengan mandate rakyat, munculnya kelas
menengah kritis, dan terbentuknya gerakan -gerakan sosial aras masyarakat dengan segala
legitimasi simbolik primor-dialnya. Pada saat yang sama, secara ke -lembagaan, format sistem
politik yang ada masih belum menemukan jati dirinya sebagai sistim politik demokratik yang
stabil baik secara konstitusional (normative) dan institusional (functional). Dengan kata lain,
pencarian sistim politik demokratik masih berproses ( in making) bahkan cenderung mengalami
anomali-anomali normative yang mengarah pada munculnya konflik -konflik politik pada aras
kelembagaan (functional).
Walaupun demikian, harapan dan pengakuan masyarakat terhadap lembaga -lembaga politik
baru di atas cenderung meningkat. Masyarakat cenderung antusias bahwa partai politik mampu
menawarkan janji-janji perubahan yang lebih baik. Bahkan ber kembang akumulasi politik
menuju penguatan politik identitas yang direpresentasikan oleh partai -partai politik yang bercorak
agama dan sistem nilai ideologi politik tertentu. Politik identitas tersebut menandai suatu proses
fragmentasi politik dalam masyar akat yang dalam bahasa Geertz disebut sebagai feno -mena
politik aliran. Dalam konteks politik Indonesia kontemporer, fenomena politik aliran tersebut
menjadi sarana untuk mem-perkuat legitimasi simbolik partai dan elite politik dalam meraih
simpati politik publik. Di era transisi politik, kombinasi antara simbolisasi politik aliran yang
merupakan political values system based on cultural cleavages memiliki peran yang efektif
sebagai penggerak politik identitas. Partai -partai politik umumnya memanfaat -kan isu-isu dan
simbol agama, ketokohan dan ikatan kultur keagamaan dalam konteks manifestasi politicoreligious
dalam rangka menarik dukungan publik. Demi -kian pula, para elite politik partai pun
cen-derung memanfaatkan isu dan simbol politico-religious sebagai dayatarik untuk
membangkitkan semangat politik identitas. Dalam konteks kompetisi politik di Indonesia pasca
Soeharto, kuatnya manifestasi politik identitas mengarah pada terciptanya konflik -konflik
horizontal antar simpatisan partai politik, bahkan menghasilkan konflik komunal dalam
masyarakat.
Realitas Politik DPD
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang muncul sebagai produk amandemen ke tiga UUD 1945
(pasal 22C dan 22D) merupa-kan lembaga perwakilan politik daerah propinsi yang dipilih
melalui suatu pe-milihan secara langsung. Proporsi untuk keanggotaan DPD tiap propinsi
jumlahnya sama yaitu empat orang tiap propinsi yang sifatnya non partisan. Jumlah seluruh
anggota DPD adalah 128 anggota. Dilema DPD sebagai lembaga wakil rakyat daerah yang dipil ih
secara nasional, pamor politik-nya makin tidak merakyat dan tidak jelas basis legitimasinya.
Tidak seperti para wakil rakyat yang mewakili suara partai politik, maka basis politis DPD serba
tidak jelas. DPD tidak memiliki basis massa po -litik yang jelas dan tidak ditunjang adanya relasi
emosional- ideologis dengan para pemilihnya sebagaimana dimiliki partai politik. Artinya,
kehadiran DPD se-bagai bagian dari delegative democracy, bukan mewakili fragmentasi
partisipasi ideologi politik kepartaian di ti ngkat riil massa politik namun lebih mengarah sebagai
lembaga kuasi perwakilan politik daerah.
Dalam ranah konstitusional, posisi DPD tidak sebanding dengan besarnya kewe -nangan
politik yang dimiliki DPR. Hal ini semakin menguatkan posisi DPD justru s ebagai sebagai
lembaga kuasi perwakilan politik yang hanya berperan sebagai dewan konsultatif dalam setiap
proses legislasi. Karena itu, DPD kalah pamor dibanding -kan dengan DPR yang memiliki
kewenang-an lebih luas, jelas dan powerfull. Walau-pun sama-sama dipilih melalui mekanisme
demokrasi yaitu pemilu 2004, kehadiran DPD dalam pentas politik nasional seakan hanya sebagai
bumbu penyedap mengingat sentrum tarik -menarik dalam peta politik nasional pasca orde baru
lebih berat antara DPR dan pemerintah ( presiden). Kewe-nangan DPR sebagaimana dalam
konstitusi sederajat dengan eksekutif. Bahkan posisi powerfull DPR terlihat dari kewenangan
yang dimilikinya untuk membentuk, me -netapkan dan mengesahkan UU bersama pemerintah.
Dengan kata lain, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPD pasal 25, DPR memiliki fungsi legis -lasi, anggaran dan pengawasan secara lang -
sung atas jalannya pemerintahan namun dalam realitas politik, implementasi hak normatif DPD
belum maksimal.
Posisi DPD terkesan marginal, meng -ingat pasal-pasal yang melegitimasikan tugas dan
kewenangan DPD hanya sebatas memberi usul, saran dan masukan kepada DPR baik
menyangkut fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Pasal 41 UU No 22 tahun 2003
menunjukkan posisi politis DPD yang lemah karena kewenangan politiknya sebatas usul dan
saran/pertimbangan yang tentunya dituju -kan kepada DPR. Sedangkan DPR dapat menerima atau
tidak menerima usul atau masukan dari DPD tersebut. Demikian pula pasal 42, 43, 44 dan 45
adalah kum-pulan pasal-pasal yang memenjara DPD sebagai hanya lembaga perwakilan rakyat
yang marginal, bukan pemain kunci dalam setiap pembuatan keputusan politik bersama -sama
DPR. Dengan demikian, adanya sistem dua kamar dalam lembaga perwakilan poli tik kita, DPR
dan DPD (merupakan anggota MPR) merupakan realitas politik dalam sistem perwakilan
kepentingan kita yang plural namun dalam aspek legalitas berbeda peran dan fungsi.
Anggota DPD yang terdiri dari empat orang mewakili tiap -tiap propinsi, tidak peduli apakah
propinsi padat penduduk atau tidak, menghadapi dua masalah serius. Pertama, menyangkut
keringnya relasi emosional politis antara elite dan massa. Padahal, relasi emosional -idelogis
merupakan faktor pengikat yang sangat dibutuhkan sebagai modal melakukan tawar -menawar
politik dalam pasar politik dengan kekuatan politik lainnya. Kedua, ketiadaan relasi emosional -
ideologi antara elite DPD dengan pemilih dapat me -nimbulkan krisis keterwakilan politik yang
berujung pada ketidakpedulian rakyat pada kinerja politik DPD. Lebih jauh, hu -bungan anggota
DPD dengan massa dalam sistem rekrutmen anggota DPD yang tak jelas kriteria politiknya,
hanya akan menghasilkan elite DPD yang tidak meng -akar. Masyarakat sendiri belum tentu me -
mahami program kerja anggota DPD. Begitu pula ikatan emosional politis dan ideologis anggota
DPD dengan massa tidak terbentuk mengingat anggota DPD tidak dibangun dalam institusi partai
yang memiliki jaringan, identitas politik, ideologi dan pengakaran yang mendalam dalam
masyarakat.
Masalah kepercayaan politik massa terhadap anggota DPD juga tidak jelas sebagai
konsekuensi ketiadaan basis riil politik anggota DPD. Ditambah kecende -rungan model budaya
politik kita yang dominan pada aspek pola kepengikutan ( partronase), maka kecenderungan yang
muncul adalah anggota DPD hanya dikenal di daerah tertentu saja. Hal ini menguntungkan calon
anggota DPD yang memiliki basis pengaruh tradisional seperti tokoh agama atau ulama. Peluang
untuk tampilnya intelektual sebagai anggota DPD p un sulit jika tidak diimbangi dengan
pendekatan-pendekatan kultur dan sim-bolisme agama. Dengan demikian, sangat sulit
membangun struktur legitimasi dan menumbuhkan kepercayaan politik riil pemilih terhadap
anggota DPD. Untuk mengembangkan legitimasi dan kepercaya-an politik yang meluas,
diperlukan sistem rekruitmen calon -calon anggota DPD yang terbuka dan waktu yang cukup
untuk sosialisasi program-program politik yang ditawarkan.
Maksimalisasi
Fungsi DPD
Menurut pasal 22D UUD 1945 hasil amandemen ke tiga, fungsi dan kedudukan DPD di
antaranya mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
pemekaran daerah dan masalah yang berkaitan dengan sumber alam daerah.
Selanjutnya juga dinormakan bahwa DPD memiliki peran untuk mem bahas bersama-sama
DPR rancangan undang-undang. Peluang-peluang konstitusional tersebut merupakan peran
strategis yang dapat dilakukan DPD dalam proses politik nasional sebagai wujud intermediate
power yang mengemban amanat suara pemilih. Namun dalam imple mentasinya, muncul sejumlah
kekecewaan dari kalangan anggota DPD mengingat peran konstitusional yang strategis di atas
belum dapat diwujudkan sebagai bentuk kekuatan politik nyata DPD. Anggota DPD menilai
kedudukan DPD secara politik riil di bawah DPR. D PR merasa lebih dominan dan superior
dibanding dengan posisi DPD.
Dalam proses politik riil, seperti pembahasan RUU di DPR, dirasakan peran DPD kurang
maksimal atau acapkali tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU bersama DPR. Terdapat situasi
politik, DPR tak harus wajib mengundang atau mengajak DPD untuk melakukan pem -bahasan
suatu rancangan undang-undang. Peran-peran konstitusional DPD dilihat hanya pada aspek
konsultatif dengan DPR namun tidak harus mengikat secara politik. Dalam Undang -Undang No
22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 44 dan 45,
fungsi dan tugas DPD nampak lebih sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan sekedar
pertimbangan dan pengusulan kepada DPR. Posisi demikian hanya memberi suatu legitimasi
bahwa peran politik DPD memang tidak sejajar dengan DPR. Perdebatan politik lantas berlanjut
menuju perdebatan konstitusio-nal bahwa terdapat kesalahan substansi da -lam amandemen
undang-undang dasar sehingga mendesak diadakan amandemen UUD 1945 kelima guna
mengembalikan naskah UUD 1945 ke naskah sebelum diadakan amandemen pertama sampai ke
empat. Termasuk di dalam konteks perde -batan tersebut adalah keinginan sejumlah anggota DPD
untuk mengajukan usul amandemen pasal 22C UUD 1945 hasil amandemen keempat ya ng
menyangkut fungsi dan kedudukan DPD yang dianggap telah mengeliminasi peran strategic DPD
sebagai mitra politik sejajar dengan DPR. UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD juga diusulkan untuk diadakan aman -demen karena UU tersebut
dinilai juga membelenggu hak-hak politik DPD.
Sebetulnya, peluang untuk memaksi -malkan fungsi dan peran politik DPD terletak pada
pengembangan pasal 46 yaitu kerangka kerja DPD dalam memfasilitasi aspek -aspek pelaksanaan
undang-undang otonomi daerah yang mampu membawa perbaikkan kondisi daerah. Misalnya,
memperjuangkan masalah anggaran, DAU daerah, pemekaran daerah dan maksimali -sasi
hubungan pusat dan daerah. Namun dengan realitas politik bahwa anggota DPD bukanlah orang
partai dan tidak memiliki ikatan/basis konstituen yang jelas sebagaimana anggota DPR yang
mewakili daerah pemilihannya, anggota DPD menghadapi kendala dalam membentuk
kepercayaan politik dengan daerah yang menjadi wilayah yang diwakilinya. DPRD dan kalangan
politisi partai belum tentu mau menerima ide-ide anggota DPD yang mewakili daerah tertentu.
Dalam realitas politiknya, yang bermain adalah kepen -tingan partai atau elite yang memiliki
jalinan dengan partai politik. Investasi politik jangka panjang akan lebih menjanjikan jika
seseorang berkawan baik dengan partai dari pada dengan anggota DPD yang basis politiknya
tidak mengakar.
UU DPD
Marginalisasi peran politik DPD memunculkan wacana tentang amandemen UUD 1945 pasal 22
D yang menyakut DPD dan amandemen UU No 22 tahun 2003 te ntang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD yang di -anggap membatasi peran politik DPD. Amandemen
tersebut didasari perlunya perluasan hak dan fungsi DPD yang diper -luas bahkan digagas UU
tersendiri yang mengatur DPD. Dengan dibuatnya UU DPD yang t erpisah dari UU No. 22 tahun
2003, tidak dengan sendirinya membuat posisi politik DPD akan lebih powerfull. UU tentang
DPD tetap akan diajukan dan dibahas DPR (pasal 26) dimana DPR dapat menerima atau menolak
rancangan UU yang diajukan DPD. Jadi perlu ada amandemen terlebih dulu atas UU No. 22
tahun 2003 khususnya pasal -pasal yang menyangkut posisi DPD dalam sidang -sidang DPR. Jika
realitas politiknya adalah draf UU tentang DPD dianggap meng -gerogoti dan mempersempit
kewenangan dan superioritas DPR, belum tentu DPR akan meloloskan draf UU DPR.
Kesimpulan
Posisi DPD sebagai lembaga perwakilan politik yang mewakili kepentingan daerah (propinsi)
cenderung terpuruk. Di satu sisi, jaminan legitimasi politik dan moral yang mengesahkannya
melalui pemilu tidak dengan sendirinya akan menguatkan posisi politiknya. Dengan kondisi
pasar politik yang makin terbuka dan kompetitif, posisi DPD hanyalah salah satu aktor dari
sekian banyak aktor politik lainnya. Munculnya kelompok -kelompok kepentingan yang menandai
pluralisme politik di era transisi demokrasi, membuat DPD harus bersaing ketat dengan kekuatan
partai politik di tingkat DPR.
Tampaknya solusi yang dapat ditawarkan untuk memperkuat legitimasi DPD adalah dengan
memper-jelas isu-isu politik strategik yang repre-sentatif sesuai dengan kepentingan dan kondisi
daerah yang diwakilinya. Isu-isu strategik yang relevan di antaranya: (1) mengembangkan tema
dan isu yang me-miliki nilai aspiratif politik daerah, (2) menjadi inisiator hubungan pusat dengan
daerah, (3) memetakan potensi dan ka-rakteristik kepentingan daerah, (4) mela -kukan kerjasama
dengan partai politik di dearah untuk memecahkan solusi di era otonomi daerah.
Daftar Pustaka
Janda, Berry Goldman, The Challenge of Democracy, Government in America (Boston:
Houghton Miffin, 1992).
Mansbridge, Jane J., “A Deliberative Theory of Interest Representation,” dalam Petraca (ed.), The
Politics of Interest (Oxford: Westview, 1992).
Markoff, John, “Transitions to Democracy,” dalam Janoski, Thomas (ed.), The Handbook of
Political Sociology (London: Cambridge University Press, 2005).
O’Donnel, Gilermo, Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian
(Jakarta: LP3ES, 1993).
Rodee, Anderson Christol, Introduction to Political Science (McGraw-Hill, 1967).

0 komentar:

Posting Komentar

Rabu, 27 April 2011

Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik


Abstract
There are issues concerning the decrease of political role of DPD (Regional Representative
Council). As people’s council representing regional political interests, DPD has an authority to
propose legal drafts before the DPR (House of Representative). This is a consequence of
bicameral system adopted from 2004 election. In political reality, the i mplementation of
constitutional rights of DPD tends to be minimized into adviser in the decision making process.
At the same time, DPR has become more powerful and tends to alienate DPD from law making
processes. Due to the marginalized power, most of DPD members proposed the initiative to
change the amendment of 1945 constitution.
Keyword: bicameral system, constitution, political processes
Berkembangnya usulan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendesak MPR
segera melakukan inisiatif amandemen UUD 1945 hasil amandemen ke empat, khususnya
menyangkut pasal 22 C dan 22 D mengenai eksistensi DPD menarik untuk dikaji lebih
mendalam. Beberapa anggota DPR mereaksi usulan amandemen UUD yang digagas DPD akan menciptakan
gelombang tuntutan perubahan pada pasal-pasal lain. Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita bertemu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicara -kan gagasan amandemen UUD terkait status
konstitusional DPD yang dinilai lemah. Substansi amandemen tersebut terkait dengan realitas
politik pasca-amandemen UUD 1945 yang menempatkan DPD pada posisi yang dianggap lemah
dibandingkan dengan posisi politik DPR. Oleh anggota DPD, pasal tentang DPD kurang memberi
kewenangan politik DPD untuk terlibat dalam proses legislasi dengan DPR dalam konteks
pembahasan dan pengesahan RUU. Anggota DPD merasa termarginali -sasi politik dalam
berhadapan dengan DPR, karena kewenangan politik DPD terbatas pada persoalanan otonomi
daerah, pemekaran daerah, SDA daerah dan hubungan anara pusat dengan daerah.
Begitu pula dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, khususnya pasal 42, 43, dan 44, kewenangan DPD dinilai para anggotanya
cenderung terbatas sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan serta
pertimbangan kepada DPR dalam pengusulan RUU. Dengan kata lain, eksistensi politik DPD
secara konstitusional setara dengan DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun secara politik riil, proses -proses legislasi lebih
didominasi DPR. Keadaan demikian memunculkan wacana dari kalangan anggota DPD untuk
mengajukan usulan kepada MPR agar melakukan amandemen pasal 22 UUD 1945, guna
memperkuat peran politik DPD sebagai perwakilan politik yang memperjuangkan permasa lahan
daerah.
Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana peran DPD dalam
konstelasi perwakilan politik di Indonesia pasca -pemilu 2004? Apakah kewenangan politik DPD
saat ini lebih rendah dibanding DPR? Bagaimana peng -aruh dinamika politik di luar DPD mempengaruhi
perkembangan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah?
Pendekatan Kelembagaan
Pembahasan tentang DPD tak dapat dilepaskan dari struktur ketatanegaraan di Indonesia pasca -
amandemen UUD 1945 (amandemen keempat). Sedangk an ketata-negaraan itu sendiri
merupakan kon-sekuensi hubungan dan kedudukan antar - lembaga tinggi dan tertinggi yang
diatur da-lam konstitusional suatu negara. Hubung -an dan kedudukan lembaga tinggi dan
tertinggi inilah yang mendinamisasi proses penyel enggaraan kehidupan kenegaraan suatu bangsa.
Legitimasi konstitusional keberadaan DPD tertuang pada pasal 2 ayat 1 UUD 1945, yang
menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut melalui un dang-undang. Dengan demikian legitimasi atas
keberada-an DPD sangat kuat, sebab keanggotaan -nya dipilih melalui pemilihan umum.
Selanjutnya, dalam pasal 22 D dinyatakan, DPD memilih hak untuk mengajukan RUU kepada
DPR yang berkaitan dengan implementasi o tonomi daerah, pemekaran daerah, penggabungan
daerah, sumber alam daerah dan keuangan daerah. Dengan demikian, legitimasi konstitusional
DPD sebagai lembaga politik yang mewakali kepentingan daerah berada dalam posisi yang setara
dengan DPR dalam proses-proses legislasi perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan RI.
Dengan demikian, dalam sistem ketata -negaraan di Indonesia berlaku dua sistem lembaga
perwakilan sekaligus, yaitu DPR yang mewakili konstituensi secara nasional dan DPD yang
mewakili kepentingan daerah dan lokal. Dua sistem perwakilan kepentingan demikian dinamakan
bicameralism (Rodee, 1967:214) --dalam perkembangan bicameralism berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lain; di Inggris terdapat Majelis Tinggi ( House of Lords) dan Majelis
Rendah (House of Commons), Prancis dikenal Upper Chambers dan Popular Chambers.
Dalam sistem bikameral, DPD dan DPR memiliki kewenangan untuk meng -usulkan dan
menetapkan produk per-undang-undangan. Hanya saja dalam realitas politik di Indonesia pasca -
pemilu 2004, peran DPD membahas dan mene -tapkan RUU menjadi UU bersama DPR belum
maksimal. Menurut perkembangan -nya, bikameral cocok untuk model sistem federal, mencegah
kemungkinan adanya excessive legislative yang dominan dikuasai oleh kelompok oligark i
tertentu serta menghasilkan prinsip check and balance dalam proses legislasi (Rodee, 1967: 214).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bikameral adalah demokrasi perwakilan yang
membutuhkan kematang-an dalam berdemokrasi dan kestabilan sistem po litik yang didukung
demokrasi prosedural yang melembaga. Masing -masing chamber yang mewakili konstituen
tertentu (nasional atau daerah/regional) harus didukung oleh adanya konstitusi yang memberi
kejelasan wilayah kerja masing-masing agar tidak terjadi deadlock dalam pengesahan suatu
kebijakan.
Wilayah konstitusioal antara DPR dan DPD menjadi isu politik yang makin memanas, karena
adanya keinginan dari sejumlah anggota DPD untuk mengajukan inisiatif amandemen UUD 1945
pasal 22 D yang hanya memberi sedikit kewenang-an DPD untuk terlibat dalam proses legislasi
dibandingkan dengan kewenangan DPR yang hampir menguasai semua proses pengesahan RUU
menjadi UU. Dalam praksis politik, legitimasi kons -titusional pasal 22 D belum menjamin
kesetaraan peran antara DPD dengan DPR. Dengan wilayah konstitusional yang terbatas ada
aspek implementasi otonomi daerah, maka ruang gerak dan posisi tawar DPD dengan DPR
relatif terbatas. Dalam konteks kelahiran DPD sebagai represen -tasi kepentingan daerah dirasa
sangat tepat dilihat dari alasan strategis DPD sebagai fungsi penyeimbang kepentingan antara
kepentingan legislasi nasional yang lebih makro dengan kepentingan daerah yang secara sosio
cultural sangat majemuk. Sebab apa yang diperjuangkan DPR belum tentu sesuai atau coco k
dengan apa yang menjadi perhatian dan perjuangan DPD. Karena itu, untuk menghasilkan proses
check and balance yang efektif dalam proses penyelenggaraan sistem perwakilan kepentingan,
dibutuhkan kehadiran DPD yang kuat secara kelembagaan dan men -gakar dalam masyarakat
yang diwakilinya.
Keterkaitan antara fungsi konstitusional DPR dan DPD terletak pada keduanya sebagai
lembaga yang mewakili kepenting -an rakyat. Keduanya menjadi wujud representative
democracy hasil dari penggunaan hak partisipasi politi k warga yang memilih para wakil rakyat
(Janda, 1992:39). Model demokrasi perwakilan menjadi model universal yang menjadi pilihan
sistem demokrasi modern pasca -perang dunia II. Dari negara industri maju yang menjadi cikal -
bakal pertumbuhan demokrasi moder n sampai negara demo-krasi baru di kawasan negara
berkembang di Asia dan Afrika, istilah demokrasi digunakan sedemikian luas yang membe -
dakannya dengan sistem non demokrasi yang lain ( autocracy, totaliter). Kelebihan demokrasi
dari sistem-sistem lain adalah luasnya pengakuan yang ditujukan pada -nya sebagai sistem dan
prosedur yang me-mungkinan terselenggaranya partisipasi universal, persamaan politik,
mayoritas yang memerintah dan ketanggapan pemerintah terhadap kehendak umum (Janda,
1992:40).
Dalam konteks yang lebih empiris, keberadaan DPR dan DPD tidak jauh dari konsep ideal
di atas. Di era reformasi saat ini, partisipasi dan persamaan politik berkembang sedemikian pesat
dan sudah menjadi semacam social rights yang dimiliki warga negara. Eksplosi parti sipasi
politik melalui pemilu 1999 dan 2004 menghasilkan perubahan model demo -krasi perwakilan
yang elitis menjadi pluralis yang terfragmentasi ke dalam wakil partai -partai politik dalam
parlemen. DPR yang berisi para wakil rakyat yang berasal dari partai politik yang dipilih melalui
pemilu mengemban fungsi arti -kulator politik yang sama dengan DPD. Karena itu, penguatan
fungsi-fungsi kedua lembaga tersebut akan memberi nilai strategik bagi penguatan negara
kebangsa-an yang majemuk. Kokohnya fungsi DPR dan DPD tersebut akan memperkuat proses
integrasi sebagaimana semangat bab I pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Semangat pasal ini adalah adanya bentuk
pemerintahan yang kokoh di tengah kebera gaman etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan
serta wilayah Republik Indonesia. Bentuk pemerintahan yang sesuai kondisi masya -rakat yang
beragam tersebut adalah penge -lolaan sistem perwakilan kepentingan yang mampu menjadi
perekat keberagaman.
Deliberation Theory
Kerangka konseptual lain yang diajukan guna membingkai peran dan fungsi DPD adalah
Deliberation Theory. Teori terse-but diangkat dari pendapat Jane J. Mansbridge yang
mengajukan gagasan bahwa arena politik merupakan kompleksi -tas dari lalu lintas pengaruhmempengaruhi
dan atau konflik antar aktor politik yang mengusung beragam isu, kepentingan,
strategi, nilai dan simbol-simbol prag-matisme politik (Mansbridge, 1992). Dalam pengertian
Mansbridge (1992:35-42) dijelaskan sebagai berikut. Conflicting issues merupakan langkah awal
menuju proses deliberasi (process of deliberation) yaitu upaya elite dan wakil rakyat untuk
memahami keinginan-keinginan, emosi, kehendak dan kepentingan individu dan kelompok yang
dianggap baik (their own good) bagi masyarakat politik. Karena itu, para wakil rakyat yang
memperoleh man-dat harus memahami dan menyamakan persepsi politik mereka dengan
preferensi-preferensi politik yang berkembang dalam masyarakat. Proses deliberasi ini tumbuh
dalam sistem demokrasi yang mengem-bangan altruisme dan memiliki tiga model empiris
deliberasi, yaitu competitive deliberation, corporatist deliberation, collaborative deliberation.
Melalui competitive deliberation, masyarakat dipandang sebagai arena kompetisi kepentingan dan
kehendak publik (opini) yang secara bebas berkompetisi untuk mempengaruhi proses politik
nasional. Kompetisi politik berkembang di antara aktor politik kelompok kepentingan dan para
wakil rakyat di satu pihak dan warga negara di sisi yang lain, untuk salin g mempersuasi
menyangkut interes masing-masing guna mempengaruhi kebijakan publik.
Dalam konteks collaborative deliberation, sebagaimana dinyatakan Heclo (Mansbridge,
1992:40) arena politik direduksikan sebagai issue networks yaitu kesepahaman bersama yang
berkembang dalam kelompok yang berkaitan dengan masalah -masalah kebijakan publik.
Dinamika politik diinterpretasikan sebagai dinamika kepentingan kelompok dengan obsesi untuk
saling mempengaruhi menyangkut isu -isu politik tertentu. Arena politik diibara tkan sebagai
network dari pengaruh (influence) dari pada kekuasaan (power). Pengaruhi ini muncul dari aktor
kelompok kepentingan dan penekan, lobi, aktor parlemen (konggres, USA), media yang
meewakili kepentingan publik. Sedangkan corporatist deliberation, lebih menekankan pada
aspek pengelolaan konflik kepentingan ( conflicting interests) melalui media negosiasi yang
bersumber pada aspek kekuasaan ( power) dan persuasi (influence) antar-kelompok. Organisasiorganisasi
sosial dan kelompok kepentingan yang mu ncul menyumbang-kan dinamika politik
domestik berupa konflik, negosiasi, pengaruh dan penge -lolaan jaringan kepentingan dalam
masyarakat.
Penggunaan konsep corporatist dalam telaah teoritik tersebut berbeda dengan konsep
corporatist sebagaimana digagas Schmitter. Ide corporatist model Schmitter mengkontruksikan
arena politik sebagai arena kompetisi kepentingan kelompok yang terkendali oleh hegemoni
negara serta adanya penyisihan-penyisishan terhadap kepentingan kelom-pok lain yang tak
sejalan dengan kebijakan negara. Dengan kata lain, dalam konteks Schmitter, negara
mengintervensi kepen-tingan masyarakat dalam kerangka untuk menghasilkan stabilitas politik.
Sedangkan dalam konteks deliberation theory, dinamika politik masyarakat terletak pada basis
isu-isu kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya yang berkembang dalam masyarakat yang
lantas ditangkap oleh kelompok-kelompok kepentingan dan politik partai sebagai instrumen
negosiasi politik di tingkat proses politik. Dinamika politik yang dibayangkan da lam deliberasi
adalah proses kompetisi terbuka yang menyangkut kepentingan dan isu -isu politik antar jejaring
networks politik, persuasi (influence) antar kelompok dalam pentas politik nasional mau pun
lokal.
Sebagai sistem politik yang berdiri pada basi s sosiologis masyarakat majemuk, tentu model
deliberasi politik sebagai alternatif model lembaga perwakilan politik sangatlah relevan.
Luasnya wilayah Indonesia ditambah dengan karakteristik keunikan wilayah tentulah membawa
konsekuensi pada semakin lua s dan kompleksitasnya agenda politik yang berbasis pada
kepentingan daerah. Agenda politik daerah yang beragam dan kompleks tentulah membutuhkan
kehadir-an sebuah lembaga perwakilan politik yang berdaya jangkau mengakar di daerah dan
yang mampu menyuarakan kepentingan daerah. Kehadiran lembaga perwakilan politik yang kuat
dan kokoh sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi harapan akan politik akomodasi kepentingan
publik. Kesetaraan posisi DPD dan DPR dapat memenuhi harapan politik akomodasi dengan
kondisi (syarat) sistem perwakilan kepentingan politik demikian mampu berperan aktual sebagai
kekuatan mediasi antara kepentingan daerah (yang diwakili masing -masing anggota DPD)
dengan pemerintah pusat. Implementasi konsep -tual fungsi deliberasi DPR dan DPD dalam arena
politik riil adalah peran keduanya sebagai aktor politik dari sekian banyak aktor politik yang lain
dengan kepentingan utama untuk menguasai isu dan agenda politik sesuai basis kepentingannya
melalui negosiasi, tekanan dan pengaruh.
Transisi Demokrasi
Konsep yang diajukan guna membingkai dinamika DPD adalah transisi demokrasi. Bagi O’
Donnel (1993:6-10), proses transisi demokrasi politik diartikan sebagai selang waktu antara
peralihan regim yang satu ke regime yang lain. Biasanya, model transisi demokrasi dilawankan
dengan tumbangnya rejim otoritarian yang digantikan rejim yang berorientasi pada demokrasi.
Seiring dengan proses transisi, muncul sejumlah lembaga -lembaga politik representasi sipil,
seperti partai politik baru, kelompok kepentingan dan sejumlah asosiasional sukarela yang
dibentuk atas dasar semengat perubahan. Dalam era transisi, sebaran kekuasaan politik lebih
fragmentatif, pluralistik dan kompetitif, bahkan tak tertutup kemungkinan muncul gejolak politik
baru sebagai konsekuensi ketidaksiapan regime transisi menciptakan tertib politik. O’Donnel
mencatat, dalam prinsip transisi tema pokok demokrasi mengerucut pada bangkitnya politik
kewarganegaran (citizenship). Prinsip ter-sebut mengacu pada pengakuan hak yang sama
disamping kewajiban untuk mentaati prosedur politik yang disepakati bersama.
Proses transisi demokrasi menghasilkan sistem politik dengan model distribusi kekuasaan
politik sipil yang lebih kom-petitif dan terbuka. Mengutip Markoff (2005:387 -389),
perkembangan transisi demokrasi yang terjadi dalam sistem-sistem politik pasca-PD II ditandai
mengalirnya peralihan dari politik otoritarian ke demo -krasi delegatif (delegative democracy)
dimana kekuasaan politik terdelegasikan pada lembaga perwakilan politik demokrasi terutama
partai politik. Indikasi sistem po-litik demikian ditandai dengan dilaksana -kannya pemilihan
umum (pemilu) guna menggantikan sistem hegemoni otoritarian masa lalu dan munculnya koalisi
antar elite reformis guna menggagas format rejim transisi. Kecenderun gan sistem politik yang
sedang mengalami transisi menuju demo -krasi adalah bangkitnya kekuatan politik dan sosial
baru, lembaga perwakilan yang dipilih secara langsung dengan mandate rakyat, munculnya kelas
menengah kritis, dan terbentuknya gerakan -gerakan sosial aras masyarakat dengan segala
legitimasi simbolik primor-dialnya. Pada saat yang sama, secara ke -lembagaan, format sistem
politik yang ada masih belum menemukan jati dirinya sebagai sistim politik demokratik yang
stabil baik secara konstitusional (normative) dan institusional (functional). Dengan kata lain,
pencarian sistim politik demokratik masih berproses ( in making) bahkan cenderung mengalami
anomali-anomali normative yang mengarah pada munculnya konflik -konflik politik pada aras
kelembagaan (functional).
Walaupun demikian, harapan dan pengakuan masyarakat terhadap lembaga -lembaga politik
baru di atas cenderung meningkat. Masyarakat cenderung antusias bahwa partai politik mampu
menawarkan janji-janji perubahan yang lebih baik. Bahkan ber kembang akumulasi politik
menuju penguatan politik identitas yang direpresentasikan oleh partai -partai politik yang bercorak
agama dan sistem nilai ideologi politik tertentu. Politik identitas tersebut menandai suatu proses
fragmentasi politik dalam masyar akat yang dalam bahasa Geertz disebut sebagai feno -mena
politik aliran. Dalam konteks politik Indonesia kontemporer, fenomena politik aliran tersebut
menjadi sarana untuk mem-perkuat legitimasi simbolik partai dan elite politik dalam meraih
simpati politik publik. Di era transisi politik, kombinasi antara simbolisasi politik aliran yang
merupakan political values system based on cultural cleavages memiliki peran yang efektif
sebagai penggerak politik identitas. Partai -partai politik umumnya memanfaat -kan isu-isu dan
simbol agama, ketokohan dan ikatan kultur keagamaan dalam konteks manifestasi politicoreligious
dalam rangka menarik dukungan publik. Demi -kian pula, para elite politik partai pun
cen-derung memanfaatkan isu dan simbol politico-religious sebagai dayatarik untuk
membangkitkan semangat politik identitas. Dalam konteks kompetisi politik di Indonesia pasca
Soeharto, kuatnya manifestasi politik identitas mengarah pada terciptanya konflik -konflik
horizontal antar simpatisan partai politik, bahkan menghasilkan konflik komunal dalam
masyarakat.
Realitas Politik DPD
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang muncul sebagai produk amandemen ke tiga UUD 1945
(pasal 22C dan 22D) merupa-kan lembaga perwakilan politik daerah propinsi yang dipilih
melalui suatu pe-milihan secara langsung. Proporsi untuk keanggotaan DPD tiap propinsi
jumlahnya sama yaitu empat orang tiap propinsi yang sifatnya non partisan. Jumlah seluruh
anggota DPD adalah 128 anggota. Dilema DPD sebagai lembaga wakil rakyat daerah yang dipil ih
secara nasional, pamor politik-nya makin tidak merakyat dan tidak jelas basis legitimasinya.
Tidak seperti para wakil rakyat yang mewakili suara partai politik, maka basis politis DPD serba
tidak jelas. DPD tidak memiliki basis massa po -litik yang jelas dan tidak ditunjang adanya relasi
emosional- ideologis dengan para pemilihnya sebagaimana dimiliki partai politik. Artinya,
kehadiran DPD se-bagai bagian dari delegative democracy, bukan mewakili fragmentasi
partisipasi ideologi politik kepartaian di ti ngkat riil massa politik namun lebih mengarah sebagai
lembaga kuasi perwakilan politik daerah.
Dalam ranah konstitusional, posisi DPD tidak sebanding dengan besarnya kewe -nangan
politik yang dimiliki DPR. Hal ini semakin menguatkan posisi DPD justru s ebagai sebagai
lembaga kuasi perwakilan politik yang hanya berperan sebagai dewan konsultatif dalam setiap
proses legislasi. Karena itu, DPD kalah pamor dibanding -kan dengan DPR yang memiliki
kewenang-an lebih luas, jelas dan powerfull. Walau-pun sama-sama dipilih melalui mekanisme
demokrasi yaitu pemilu 2004, kehadiran DPD dalam pentas politik nasional seakan hanya sebagai
bumbu penyedap mengingat sentrum tarik -menarik dalam peta politik nasional pasca orde baru
lebih berat antara DPR dan pemerintah ( presiden). Kewe-nangan DPR sebagaimana dalam
konstitusi sederajat dengan eksekutif. Bahkan posisi powerfull DPR terlihat dari kewenangan
yang dimilikinya untuk membentuk, me -netapkan dan mengesahkan UU bersama pemerintah.
Dengan kata lain, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPD pasal 25, DPR memiliki fungsi legis -lasi, anggaran dan pengawasan secara lang -
sung atas jalannya pemerintahan namun dalam realitas politik, implementasi hak normatif DPD
belum maksimal.
Posisi DPD terkesan marginal, meng -ingat pasal-pasal yang melegitimasikan tugas dan
kewenangan DPD hanya sebatas memberi usul, saran dan masukan kepada DPR baik
menyangkut fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Pasal 41 UU No 22 tahun 2003
menunjukkan posisi politis DPD yang lemah karena kewenangan politiknya sebatas usul dan
saran/pertimbangan yang tentunya dituju -kan kepada DPR. Sedangkan DPR dapat menerima atau
tidak menerima usul atau masukan dari DPD tersebut. Demikian pula pasal 42, 43, 44 dan 45
adalah kum-pulan pasal-pasal yang memenjara DPD sebagai hanya lembaga perwakilan rakyat
yang marginal, bukan pemain kunci dalam setiap pembuatan keputusan politik bersama -sama
DPR. Dengan demikian, adanya sistem dua kamar dalam lembaga perwakilan poli tik kita, DPR
dan DPD (merupakan anggota MPR) merupakan realitas politik dalam sistem perwakilan
kepentingan kita yang plural namun dalam aspek legalitas berbeda peran dan fungsi.
Anggota DPD yang terdiri dari empat orang mewakili tiap -tiap propinsi, tidak peduli apakah
propinsi padat penduduk atau tidak, menghadapi dua masalah serius. Pertama, menyangkut
keringnya relasi emosional politis antara elite dan massa. Padahal, relasi emosional -idelogis
merupakan faktor pengikat yang sangat dibutuhkan sebagai modal melakukan tawar -menawar
politik dalam pasar politik dengan kekuatan politik lainnya. Kedua, ketiadaan relasi emosional -
ideologi antara elite DPD dengan pemilih dapat me -nimbulkan krisis keterwakilan politik yang
berujung pada ketidakpedulian rakyat pada kinerja politik DPD. Lebih jauh, hu -bungan anggota
DPD dengan massa dalam sistem rekrutmen anggota DPD yang tak jelas kriteria politiknya,
hanya akan menghasilkan elite DPD yang tidak meng -akar. Masyarakat sendiri belum tentu me -
mahami program kerja anggota DPD. Begitu pula ikatan emosional politis dan ideologis anggota
DPD dengan massa tidak terbentuk mengingat anggota DPD tidak dibangun dalam institusi partai
yang memiliki jaringan, identitas politik, ideologi dan pengakaran yang mendalam dalam
masyarakat.
Masalah kepercayaan politik massa terhadap anggota DPD juga tidak jelas sebagai
konsekuensi ketiadaan basis riil politik anggota DPD. Ditambah kecende -rungan model budaya
politik kita yang dominan pada aspek pola kepengikutan ( partronase), maka kecenderungan yang
muncul adalah anggota DPD hanya dikenal di daerah tertentu saja. Hal ini menguntungkan calon
anggota DPD yang memiliki basis pengaruh tradisional seperti tokoh agama atau ulama. Peluang
untuk tampilnya intelektual sebagai anggota DPD p un sulit jika tidak diimbangi dengan
pendekatan-pendekatan kultur dan sim-bolisme agama. Dengan demikian, sangat sulit
membangun struktur legitimasi dan menumbuhkan kepercayaan politik riil pemilih terhadap
anggota DPD. Untuk mengembangkan legitimasi dan kepercaya-an politik yang meluas,
diperlukan sistem rekruitmen calon -calon anggota DPD yang terbuka dan waktu yang cukup
untuk sosialisasi program-program politik yang ditawarkan.
Maksimalisasi
Fungsi DPD
Menurut pasal 22D UUD 1945 hasil amandemen ke tiga, fungsi dan kedudukan DPD di
antaranya mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
pemekaran daerah dan masalah yang berkaitan dengan sumber alam daerah.
Selanjutnya juga dinormakan bahwa DPD memiliki peran untuk mem bahas bersama-sama
DPR rancangan undang-undang. Peluang-peluang konstitusional tersebut merupakan peran
strategis yang dapat dilakukan DPD dalam proses politik nasional sebagai wujud intermediate
power yang mengemban amanat suara pemilih. Namun dalam imple mentasinya, muncul sejumlah
kekecewaan dari kalangan anggota DPD mengingat peran konstitusional yang strategis di atas
belum dapat diwujudkan sebagai bentuk kekuatan politik nyata DPD. Anggota DPD menilai
kedudukan DPD secara politik riil di bawah DPR. D PR merasa lebih dominan dan superior
dibanding dengan posisi DPD.
Dalam proses politik riil, seperti pembahasan RUU di DPR, dirasakan peran DPD kurang
maksimal atau acapkali tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU bersama DPR. Terdapat situasi
politik, DPR tak harus wajib mengundang atau mengajak DPD untuk melakukan pem -bahasan
suatu rancangan undang-undang. Peran-peran konstitusional DPD dilihat hanya pada aspek
konsultatif dengan DPR namun tidak harus mengikat secara politik. Dalam Undang -Undang No
22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 44 dan 45,
fungsi dan tugas DPD nampak lebih sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan sekedar
pertimbangan dan pengusulan kepada DPR. Posisi demikian hanya memberi suatu legitimasi
bahwa peran politik DPD memang tidak sejajar dengan DPR. Perdebatan politik lantas berlanjut
menuju perdebatan konstitusio-nal bahwa terdapat kesalahan substansi da -lam amandemen
undang-undang dasar sehingga mendesak diadakan amandemen UUD 1945 kelima guna
mengembalikan naskah UUD 1945 ke naskah sebelum diadakan amandemen pertama sampai ke
empat. Termasuk di dalam konteks perde -batan tersebut adalah keinginan sejumlah anggota DPD
untuk mengajukan usul amandemen pasal 22C UUD 1945 hasil amandemen keempat ya ng
menyangkut fungsi dan kedudukan DPD yang dianggap telah mengeliminasi peran strategic DPD
sebagai mitra politik sejajar dengan DPR. UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD juga diusulkan untuk diadakan aman -demen karena UU tersebut
dinilai juga membelenggu hak-hak politik DPD.
Sebetulnya, peluang untuk memaksi -malkan fungsi dan peran politik DPD terletak pada
pengembangan pasal 46 yaitu kerangka kerja DPD dalam memfasilitasi aspek -aspek pelaksanaan
undang-undang otonomi daerah yang mampu membawa perbaikkan kondisi daerah. Misalnya,
memperjuangkan masalah anggaran, DAU daerah, pemekaran daerah dan maksimali -sasi
hubungan pusat dan daerah. Namun dengan realitas politik bahwa anggota DPD bukanlah orang
partai dan tidak memiliki ikatan/basis konstituen yang jelas sebagaimana anggota DPR yang
mewakili daerah pemilihannya, anggota DPD menghadapi kendala dalam membentuk
kepercayaan politik dengan daerah yang menjadi wilayah yang diwakilinya. DPRD dan kalangan
politisi partai belum tentu mau menerima ide-ide anggota DPD yang mewakili daerah tertentu.
Dalam realitas politiknya, yang bermain adalah kepen -tingan partai atau elite yang memiliki
jalinan dengan partai politik. Investasi politik jangka panjang akan lebih menjanjikan jika
seseorang berkawan baik dengan partai dari pada dengan anggota DPD yang basis politiknya
tidak mengakar.
UU DPD
Marginalisasi peran politik DPD memunculkan wacana tentang amandemen UUD 1945 pasal 22
D yang menyakut DPD dan amandemen UU No 22 tahun 2003 te ntang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD yang di -anggap membatasi peran politik DPD. Amandemen
tersebut didasari perlunya perluasan hak dan fungsi DPD yang diper -luas bahkan digagas UU
tersendiri yang mengatur DPD. Dengan dibuatnya UU DPD yang t erpisah dari UU No. 22 tahun
2003, tidak dengan sendirinya membuat posisi politik DPD akan lebih powerfull. UU tentang
DPD tetap akan diajukan dan dibahas DPR (pasal 26) dimana DPR dapat menerima atau menolak
rancangan UU yang diajukan DPD. Jadi perlu ada amandemen terlebih dulu atas UU No. 22
tahun 2003 khususnya pasal -pasal yang menyangkut posisi DPD dalam sidang -sidang DPR. Jika
realitas politiknya adalah draf UU tentang DPD dianggap meng -gerogoti dan mempersempit
kewenangan dan superioritas DPR, belum tentu DPR akan meloloskan draf UU DPR.
Kesimpulan
Posisi DPD sebagai lembaga perwakilan politik yang mewakili kepentingan daerah (propinsi)
cenderung terpuruk. Di satu sisi, jaminan legitimasi politik dan moral yang mengesahkannya
melalui pemilu tidak dengan sendirinya akan menguatkan posisi politiknya. Dengan kondisi
pasar politik yang makin terbuka dan kompetitif, posisi DPD hanyalah salah satu aktor dari
sekian banyak aktor politik lainnya. Munculnya kelompok -kelompok kepentingan yang menandai
pluralisme politik di era transisi demokrasi, membuat DPD harus bersaing ketat dengan kekuatan
partai politik di tingkat DPR.
Tampaknya solusi yang dapat ditawarkan untuk memperkuat legitimasi DPD adalah dengan
memper-jelas isu-isu politik strategik yang repre-sentatif sesuai dengan kepentingan dan kondisi
daerah yang diwakilinya. Isu-isu strategik yang relevan di antaranya: (1) mengembangkan tema
dan isu yang me-miliki nilai aspiratif politik daerah, (2) menjadi inisiator hubungan pusat dengan
daerah, (3) memetakan potensi dan ka-rakteristik kepentingan daerah, (4) mela -kukan kerjasama
dengan partai politik di dearah untuk memecahkan solusi di era otonomi daerah.
Daftar Pustaka
Janda, Berry Goldman, The Challenge of Democracy, Government in America (Boston:
Houghton Miffin, 1992).
Mansbridge, Jane J., “A Deliberative Theory of Interest Representation,” dalam Petraca (ed.), The
Politics of Interest (Oxford: Westview, 1992).
Markoff, John, “Transitions to Democracy,” dalam Janoski, Thomas (ed.), The Handbook of
Political Sociology (London: Cambridge University Press, 2005).
O’Donnel, Gilermo, Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian
(Jakarta: LP3ES, 1993).
Rodee, Anderson Christol, Introduction to Political Science (McGraw-Hill, 1967).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms