Senin, 02 Mei 2011

“PENGANTAR SISTEM POLITIK: MENGAPA SISTEM POLITIK INDONESIA SELALU BERUBAH? ”

 

Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam.  Walaupun ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini bukan berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah. Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu biologi, fisika, dan lainnya.

Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik, misalnya melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau lainnya.  Pada akhirnya sudut pandang yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik akan membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan tinjauan tersebut.  Munculnya pendekatan sistem merupakan upaya paling komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik yang ada secara interaktif.

Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang ada saja.  Akan tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan internal dan eksternal.  Akibatnya, sistem politik di suatu negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu pula sebaliknya. 

Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas.  Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia.   Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.

Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi nasional dan internasional.  Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan atau boundaries dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.

Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa Indonesia.  Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku.   Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.

Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik.  Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya. 

Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab pertama membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral.  Subbab kedua melanjutkan bahasan pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab terakhir akan memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.

Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik

Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl).   Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan konteks spesifik.  Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.

Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara umum.  Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.

Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah.  Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme).  Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis.  Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.

Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life” (1979). 

Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.  Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,

Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar.  Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.

Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.

Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses  konversi dalam sistem politik.  Setelah melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru. 

Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan).  Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:

Tahap 1: di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.

Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan “sistem politik stabil.”  Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.

Ilustrasi 1.  Model Analisa Sistem Politik Easton


Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem.  Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.  Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).[1]

Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari sistem politik dunia.  Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh: Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet di tahun 1991.

Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh Easton.

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik

Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics).  Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,  tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.

Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.  Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya.  Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output.  Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri. 

Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.

Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik.[2]

Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.  Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.

Agar lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.

Ilustrasi 2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik Almond

Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi.  Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.

Sumber: Almond, Strom (1999)[3]
Ilustrasi 3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia

Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi.  Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan.  Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi 4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia
Sumber: Almond, Strom (1999)[4]

Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja.  Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan.  Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan.  Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan. 

Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.  Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.[5]
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.  Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda,[6] sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem  politik.

Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada.  Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa.  Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.

Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari.  Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan[7] dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.

Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia

Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.

Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi lainnya.  Dengan demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham akar sejarahnya.  Karena yang akan kita dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan. 

Pendekatan historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun para ilmuwan politik.

Sebagai contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu. Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka dukung sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis institusi yang sangat berbeda.

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur  berpikir dan melacak transformasi dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik.  Oleh karena itu, pendekatan historical institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat. [8]

Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia.  Dalam mengaplikasikan sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
  1. masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
  2. masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat,  J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
  3. masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas.  Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
  4. Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”[9]
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia.  Kegagalan sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras, diindoktrinasikan, kepada sistem. 

Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input.  Singkat kata, input berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional, seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.




[1] Systems theory in political science. Diakses tanggal 19 Februari 2007, http://en.wikipedia.org/wiki/Systems_theory_in_political_science
[2]  Structural functionalism. Diakses pada 19 Februari 2007, http://en.wikipedia.org/wiki/Structural-functionalism
[3] Almond, Strom (1999)
[4] Ibid, Almond, Strom (1999).
[5] Almond, Strom, p. 40.
[6] Lihat Theda Scokpol, States and Social Revolutions (New York: Cambridge University Press, 1979), melanjutkan teori mengenai terjadinya revolusi Tocqueville yang membandingkan masa sebelum dan setelah revolusi di Perancis, dengan membandingkan sebab-sebab terjadinya revolusi pada old regime  di negara seperti Perancis, Russia, dan Cina.
[7] Gabriel Almond, Powell, Strom, and Dalton, 1999
[8] Historical Institutionalism In Contemporary Political Science
Paul Pierson And Theda Skocpol
Harvard University,
[9] Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan (Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980), hal. 4-5.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 02 Mei 2011

“PENGANTAR SISTEM POLITIK: MENGAPA SISTEM POLITIK INDONESIA SELALU BERUBAH? ”

 
Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam.  Walaupun ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini bukan berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah. Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu biologi, fisika, dan lainnya.

Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik, misalnya melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau lainnya.  Pada akhirnya sudut pandang yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik akan membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan tinjauan tersebut.  Munculnya pendekatan sistem merupakan upaya paling komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik yang ada secara interaktif.

Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang ada saja.  Akan tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan internal dan eksternal.  Akibatnya, sistem politik di suatu negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu pula sebaliknya. 

Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas.  Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia.   Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.

Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi nasional dan internasional.  Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan atau boundaries dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.

Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa Indonesia.  Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku.   Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.

Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik.  Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya. 

Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab pertama membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral.  Subbab kedua melanjutkan bahasan pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab terakhir akan memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.

Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik

Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an (lihat Harold Laswell dan Robert Dahl).   Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan konteks spesifik.  Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.

Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara umum.  Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.

Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah.  Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme).  Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis.  Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.

Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life” (1979). 

Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.  Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,

Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar.  Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.

Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.

Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses  konversi dalam sistem politik.  Setelah melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru. 

Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan).  Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:

Tahap 1: di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.

Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan “sistem politik stabil.”  Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.

Ilustrasi 1.  Model Analisa Sistem Politik Easton


Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem.  Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.  Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).[1]

Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari sistem politik dunia.  Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh: Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet di tahun 1991.

Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh Easton.

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik

Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics).  Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,  tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.

Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.  Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya.  Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output.  Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri. 

Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.

Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik.[2]

Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.  Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.

Agar lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.

Ilustrasi 2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik Almond

Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi.  Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.

Sumber: Almond, Strom (1999)[3]
Ilustrasi 3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia

Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi.  Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan.  Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi 4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia
Sumber: Almond, Strom (1999)[4]

Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja.  Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan.  Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan.  Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan. 

Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.  Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.[5]
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.  Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda,[6] sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem  politik.

Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada.  Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa.  Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.

Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari.  Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan[7] dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.

Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia

Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.

Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi lainnya.  Dengan demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham akar sejarahnya.  Karena yang akan kita dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan. 

Pendekatan historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun para ilmuwan politik.

Sebagai contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu. Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka dukung sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis institusi yang sangat berbeda.

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur  berpikir dan melacak transformasi dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik.  Oleh karena itu, pendekatan historical institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat. [8]

Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia.  Dalam mengaplikasikan sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
  1. masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
  2. masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat,  J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
  3. masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas.  Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
  4. Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”[9]
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia.  Kegagalan sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras, diindoktrinasikan, kepada sistem. 

Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input.  Singkat kata, input berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional, seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.




[1] Systems theory in political science. Diakses tanggal 19 Februari 2007, http://en.wikipedia.org/wiki/Systems_theory_in_political_science
[2]  Structural functionalism. Diakses pada 19 Februari 2007, http://en.wikipedia.org/wiki/Structural-functionalism
[3] Almond, Strom (1999)
[4] Ibid, Almond, Strom (1999).
[5] Almond, Strom, p. 40.
[6] Lihat Theda Scokpol, States and Social Revolutions (New York: Cambridge University Press, 1979), melanjutkan teori mengenai terjadinya revolusi Tocqueville yang membandingkan masa sebelum dan setelah revolusi di Perancis, dengan membandingkan sebab-sebab terjadinya revolusi pada old regime  di negara seperti Perancis, Russia, dan Cina.
[7] Gabriel Almond, Powell, Strom, and Dalton, 1999
[8] Historical Institutionalism In Contemporary Political Science
Paul Pierson And Theda Skocpol
Harvard University,
[9] Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan (Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980), hal. 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms