Senin, 02 Mei 2011

PENGARUH SISTEM MULTI PARTAI TERHADAP STABILITAS POLITIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LIBERAL

Pendahuluan

Rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi terbesar di negara ini pada tahun 2004 ini. Pemilu tahun ini sangat penting artinya bagi rakyat Indonesia. Pemilu 2004 ini merupakan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia karena rakyat memilih wakilnya  dan pemimpinnya secara langsung.
Dua kali pemilu selama zaman reformasi ini mempunyai karakteristik yang sama yaitu diikuti oleh banyak partai yang sudah siap bertarung untuk memperebutkan kursi. Pemilu yang diikuti oleh banyak partai sebelumnya pernah dialami oleh bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal.
Realitas politik Indonesia pada era Demokrasi Liberal, membawa dampak yang cenderung negatif terhadap stabilitas politik di Indonesia. Susunan kabinet pada saat itu selalu berganti-ganti dan tidak berumur panjang. Umur kabinet yang terlama adalah 2 (dua) tahun, sedangkan sebagian besar hanya berumur bulanan.
Namun, era demokrasi liberal menyumbangkan satu peristiwa penting dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Peristiwa tersebut adalah Pemilu 1955, di mana pemilu ini dikenal sebagai pemilu pertama yang paling demokratis dan sangat berbeda dengan pemilu pada zaman setelah Presiden RI pertama, Soekarno, memerintah, yaitu zaman Orde Baru. Sistem multi partai menjadi ciri khas dari Pemilu 1955 ini, berbeda dengan sistem yang berlaku pada setiap pemilu di era Orde Baru  di mana saat itu terdapat 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) golongan karya.
Sistem multi partai disamping mencerminkan adanya kehidupan demokrasi di   dunia politik Indonesia, juga memicu terjadinya konflik antarpartai pada saat itu. Pengaruh partai politik pada saat itu sangat besar terhadap kelangsungan hidup suatu kabinet pemerintahan. Sering dilakukannya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik antar partai yang sering terjadi, dan inilah realitas politik yang kami singgung pada paragraf pertama di atas, dan akan coba kami bahas dalam makalah ini.
Permasalahan yang Muncul  dalam Sistem Multi Partai.
Konflik-konflik yang terjadi antar partai di era Demokrasi Liberal seperti yang telah disinggung pada pendahuluan, menjadi permasalahan utama yang akan dibahas berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan berlakunya sistem parlementer pada saat itu.
Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing.
Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika politik selama masa Demokrasi  Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet yang satu ke kabinet yang lain. Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari 12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan[1].
Oleh karena itulah sistem multi partai dikatakan sebagai sumber konflik nasional pada saat itu, dikarenakan konsekuensi dari sistem tersebut yaitu terjadinya konflik horizontal antar partai yang membuat situasi politik yang tidak stabil.
Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda”[2].
Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut [3]: 1. Partai sebagai sarana komunikasi politik, 2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik, 3.   Partai politik sebagai saran rekruitmen politik, 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di era Demokrasi Liberal dengan sistem multi partainya dapat berperan sebaik mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.
Konflik Kepentingan di dalam Sistem Multi Partai
Di era Demokrasi Liberal, sistem multipartai sangat mendukung terciptanya kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak berperan penting dalam kelancaran proses demokratisasi. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sangat berperan penting dalam penyaluran kepentingan ini terhadap pemerintah.
Empat partai besar saat itu mencerminkan begitu besarnya niat dari setiap massa partai untuk disalurkan aspirasinya. Empat partai besar tersebut adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mencoba menyalurkan aspirasi kaum nasionalis;Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama) menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyalurkan kepentingannya; serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan wadah politik dari kaum Komunis yang saat itu juga menjadi bagian yang berpengaruh pada masyarakat Indonesia. (Lihat tabel pada akhir pembahasan yang menggambarkan peta kekuatan partai-partai politik dengan mengacu pada hasil Pemilu 1955).
Pada kenyataannya  peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing, dihadapkan kepada dua pilihan,yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan dari seluruh partai atau memperjuangkan kepentingan masing-masing dimana konsekuensinya adalah terjadinya banyak konflik antar partai. Ideologi dari masing-masing partai yang sangat mempengaruhi jenis kepentingan yang mereka perjuangkan terkadang menjadi alat untuk saling menjatuhkan.
Konflik antarpartai yang didasari oleh perbedaan ideology kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat besar potensi konflik yang ada  pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan partai untuk “negara berdasarkan Islam”itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”[4], mencoba mencari pengaruh dengan mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hak-hak rakyat. rakyat.
Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif dalam kegiatan politik partai. Kecendrungan ini berdampak kepada adanya suatu pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial didalam masyarakat. Contohnya PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan secara extrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang ada.
Fungsi Partai Politik yang Tidak Terlaksana
Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional, melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing.
Ke-empat fungsi partai yang diperankan oleh partai-partai politik pada sistem multi partai sungguh cenderung mengacu pada terjadinya konflik. Namun hal ini tidak membuat sistem multi partai menjadi tidak relevan di suatu negara demokrasi, karena bila merujuk kepada definisi partai politik yang di kemukakan oleh Sigmund Neumann, maka apapun sistem yang digunakan, tetap tidak akan dapat merubah sifat dari partai politik itu sendiri, yaitu berusaha untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan antar partai yang mempunyai  pandangan yang berbeda-beda.          Oleh karena itu, usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisasikan potensi konflik adalah dengan mengadakan perubahan yang menyangkut cara-cara merebut dan mempertahankan kekuasaan, mencari dukungan dengan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada anarkisme, seperti tuduhan-tuduhan, tudingan-tudingan, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan hendaknya bersifat lebih kompromistis melalui jalur-jalur dialogis, sehingga perbedaan yang memang suatu hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi tidak menjadi dasar dari timbulnya perpecahan, melainkan menjadi landasan terciptanya integrasi nasional yang mantap.
Penutup
Sistem multi partai memang menjadi ciri khas dari sistem pemerintahan parlementer di era Demokrasi Liberal. Saat itu, peran partai politik dalam mempengaruhi situasi politik nasional sangat menonjol. Baik tidaknya pengaruh yang diberikan oleh partai politik terhadap situasi nasional tergantung bagaimana partai politik tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah partai politik.
Namun pada kenyataannya setelah Pemilu 1955, konflik antar partai tidak mereda sehingga membuat Presiden Soekarno mempunyai niat untuk mengubur partai-partai sebagaimana dapat kita lihat pada pemikiran Soekarno yang berisi “marilah kita kubur partai-partai”(1956), seperti yang dikutip pada buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, karangan Herbert Feith & Lance Castles.Dan pemikiran ini diwujudkan Soekarno dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, dengan membubarkan Majelis Konstituante serta kembali pada UUD 1945.
Disini dapat kita lihat bahwa bila kita ingin mewujudkan harapan-harapan diatas maka setiap unsur-unsur negara harus menjalankan fungsinya masing-masing dengan cara-cara yang baik, dan tidak mengarah kepada perpecahan. Fenomena multi partai yang sama pada masa yang berbeda ini seharusnya bisa menjadi pelajaran sejarah bagi kita dalam memahami masalah yang akan timbul dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang seharusnya tidak terjadi lagi pada masa sekarang.



Kepustakaan

Budiarjo, Prof.Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ,Jakarta: PT.Gramedia  Jakarta,1977.
Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan  Populer Gramedia,1999.
Feith, Herbert dan Lance Castles, Editor, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 Jakarta: LP3S,1988.
Karim, Drs.M.Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: C.V. Rajawali Jakarta,1983.


[1] Drs. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut , Jakarta : CV. Rajawali, 1983, hlm. 48. [2] Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, , Jakarta : PT Gramedia Jakarta, 1977, hlm. 162.
[3] Ibid hlm. 163.
[4] Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, hlm. 22.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 02 Mei 2011

PENGARUH SISTEM MULTI PARTAI TERHADAP STABILITAS POLITIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LIBERAL

Pendahuluan

Rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi terbesar di negara ini pada tahun 2004 ini. Pemilu tahun ini sangat penting artinya bagi rakyat Indonesia. Pemilu 2004 ini merupakan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia karena rakyat memilih wakilnya  dan pemimpinnya secara langsung.
Dua kali pemilu selama zaman reformasi ini mempunyai karakteristik yang sama yaitu diikuti oleh banyak partai yang sudah siap bertarung untuk memperebutkan kursi. Pemilu yang diikuti oleh banyak partai sebelumnya pernah dialami oleh bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal.
Realitas politik Indonesia pada era Demokrasi Liberal, membawa dampak yang cenderung negatif terhadap stabilitas politik di Indonesia. Susunan kabinet pada saat itu selalu berganti-ganti dan tidak berumur panjang. Umur kabinet yang terlama adalah 2 (dua) tahun, sedangkan sebagian besar hanya berumur bulanan.
Namun, era demokrasi liberal menyumbangkan satu peristiwa penting dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Peristiwa tersebut adalah Pemilu 1955, di mana pemilu ini dikenal sebagai pemilu pertama yang paling demokratis dan sangat berbeda dengan pemilu pada zaman setelah Presiden RI pertama, Soekarno, memerintah, yaitu zaman Orde Baru. Sistem multi partai menjadi ciri khas dari Pemilu 1955 ini, berbeda dengan sistem yang berlaku pada setiap pemilu di era Orde Baru  di mana saat itu terdapat 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) golongan karya.
Sistem multi partai disamping mencerminkan adanya kehidupan demokrasi di   dunia politik Indonesia, juga memicu terjadinya konflik antarpartai pada saat itu. Pengaruh partai politik pada saat itu sangat besar terhadap kelangsungan hidup suatu kabinet pemerintahan. Sering dilakukannya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik antar partai yang sering terjadi, dan inilah realitas politik yang kami singgung pada paragraf pertama di atas, dan akan coba kami bahas dalam makalah ini.
Permasalahan yang Muncul  dalam Sistem Multi Partai.
Konflik-konflik yang terjadi antar partai di era Demokrasi Liberal seperti yang telah disinggung pada pendahuluan, menjadi permasalahan utama yang akan dibahas berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan berlakunya sistem parlementer pada saat itu.
Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing.
Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika politik selama masa Demokrasi  Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet yang satu ke kabinet yang lain. Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari 12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan[1].
Oleh karena itulah sistem multi partai dikatakan sebagai sumber konflik nasional pada saat itu, dikarenakan konsekuensi dari sistem tersebut yaitu terjadinya konflik horizontal antar partai yang membuat situasi politik yang tidak stabil.
Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda”[2].
Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut [3]: 1. Partai sebagai sarana komunikasi politik, 2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik, 3.   Partai politik sebagai saran rekruitmen politik, 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di era Demokrasi Liberal dengan sistem multi partainya dapat berperan sebaik mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.
Konflik Kepentingan di dalam Sistem Multi Partai
Di era Demokrasi Liberal, sistem multipartai sangat mendukung terciptanya kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak berperan penting dalam kelancaran proses demokratisasi. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sangat berperan penting dalam penyaluran kepentingan ini terhadap pemerintah.
Empat partai besar saat itu mencerminkan begitu besarnya niat dari setiap massa partai untuk disalurkan aspirasinya. Empat partai besar tersebut adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mencoba menyalurkan aspirasi kaum nasionalis;Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama) menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyalurkan kepentingannya; serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan wadah politik dari kaum Komunis yang saat itu juga menjadi bagian yang berpengaruh pada masyarakat Indonesia. (Lihat tabel pada akhir pembahasan yang menggambarkan peta kekuatan partai-partai politik dengan mengacu pada hasil Pemilu 1955).
Pada kenyataannya  peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing, dihadapkan kepada dua pilihan,yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan dari seluruh partai atau memperjuangkan kepentingan masing-masing dimana konsekuensinya adalah terjadinya banyak konflik antar partai. Ideologi dari masing-masing partai yang sangat mempengaruhi jenis kepentingan yang mereka perjuangkan terkadang menjadi alat untuk saling menjatuhkan.
Konflik antarpartai yang didasari oleh perbedaan ideology kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat besar potensi konflik yang ada  pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan partai untuk “negara berdasarkan Islam”itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”[4], mencoba mencari pengaruh dengan mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hak-hak rakyat. rakyat.
Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif dalam kegiatan politik partai. Kecendrungan ini berdampak kepada adanya suatu pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial didalam masyarakat. Contohnya PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan secara extrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang ada.
Fungsi Partai Politik yang Tidak Terlaksana
Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional, melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing.
Ke-empat fungsi partai yang diperankan oleh partai-partai politik pada sistem multi partai sungguh cenderung mengacu pada terjadinya konflik. Namun hal ini tidak membuat sistem multi partai menjadi tidak relevan di suatu negara demokrasi, karena bila merujuk kepada definisi partai politik yang di kemukakan oleh Sigmund Neumann, maka apapun sistem yang digunakan, tetap tidak akan dapat merubah sifat dari partai politik itu sendiri, yaitu berusaha untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan antar partai yang mempunyai  pandangan yang berbeda-beda.          Oleh karena itu, usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisasikan potensi konflik adalah dengan mengadakan perubahan yang menyangkut cara-cara merebut dan mempertahankan kekuasaan, mencari dukungan dengan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada anarkisme, seperti tuduhan-tuduhan, tudingan-tudingan, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan hendaknya bersifat lebih kompromistis melalui jalur-jalur dialogis, sehingga perbedaan yang memang suatu hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi tidak menjadi dasar dari timbulnya perpecahan, melainkan menjadi landasan terciptanya integrasi nasional yang mantap.
Penutup
Sistem multi partai memang menjadi ciri khas dari sistem pemerintahan parlementer di era Demokrasi Liberal. Saat itu, peran partai politik dalam mempengaruhi situasi politik nasional sangat menonjol. Baik tidaknya pengaruh yang diberikan oleh partai politik terhadap situasi nasional tergantung bagaimana partai politik tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah partai politik.
Namun pada kenyataannya setelah Pemilu 1955, konflik antar partai tidak mereda sehingga membuat Presiden Soekarno mempunyai niat untuk mengubur partai-partai sebagaimana dapat kita lihat pada pemikiran Soekarno yang berisi “marilah kita kubur partai-partai”(1956), seperti yang dikutip pada buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, karangan Herbert Feith & Lance Castles.Dan pemikiran ini diwujudkan Soekarno dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, dengan membubarkan Majelis Konstituante serta kembali pada UUD 1945.
Disini dapat kita lihat bahwa bila kita ingin mewujudkan harapan-harapan diatas maka setiap unsur-unsur negara harus menjalankan fungsinya masing-masing dengan cara-cara yang baik, dan tidak mengarah kepada perpecahan. Fenomena multi partai yang sama pada masa yang berbeda ini seharusnya bisa menjadi pelajaran sejarah bagi kita dalam memahami masalah yang akan timbul dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang seharusnya tidak terjadi lagi pada masa sekarang.



Kepustakaan

Budiarjo, Prof.Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ,Jakarta: PT.Gramedia  Jakarta,1977.
Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan  Populer Gramedia,1999.
Feith, Herbert dan Lance Castles, Editor, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 Jakarta: LP3S,1988.
Karim, Drs.M.Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: C.V. Rajawali Jakarta,1983.


[1] Drs. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut , Jakarta : CV. Rajawali, 1983, hlm. 48. [2] Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, , Jakarta : PT Gramedia Jakarta, 1977, hlm. 162.
[3] Ibid hlm. 163.
[4] Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, hlm. 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms