Jumat, 18 Maret 2011

demokrasi iku opo 3


Seingatku, ya ini kalau gak salah ya, kata Petruk, dampak dari sistem negara demokrasi dapat berimbas ke berbagai macam hal, seperti politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, dan lain sebagainya. Nah, sekarang kita coba bicara tentang demokrasi pembangunan ekonomi negara, ajak Petruk. Ekonomi suatu negara bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pihak pemerintah yang memimpin dan ideologi suatu negara.
Kalau itu aku cocok kang, sambut Semar. Kita ekonomi kerakyatan. Kita ekonomi kekeluargaan. Jangan salah tanggap, bukan ekonomi penguasaan oleh keluarga-keluarga. Ya, keluarga pejabat maksudku. Bukan itu, lanjut Semar menghindari salah faham yang bisa memicu perbincangan ngalor-ngidul (tak tentu arah) karena aroma pertengkaran yang memuncak.
Mari kubacakan satu tulisan di media massa, begini disebut, lanjut Semar.
”Telah menjadi perdebatan kalangan ilmuan politik dan ilmuan ekonomi mengenai pengaruh demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada ilmuan yang meyakini demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Tetapi  sebagian lagi menyatakan keduanya tidak ada hubungan kausalitas, namun ada juga yang berpendapat demokrasi bersifat indirect impact terhadap pertumbuhan ekonomi”.
Apa reaksi Petruk? ”Ah, bahasanya terlalu tinggi, kang. Gak mampu aku mencernanya. Ada bahasa Inggerisnya lagi. Aku hanya bisa menyimpulkan ada tiga corak pandang mengenai kaitan demokrasi dan ekonomi”. Gareng pun berusaha menimpali dan berkata:
”Negara demokratis lebih makmur dari negara yang tidak demokratis, katakanlah negara dengan sistem otokratis. Mobilnya lebih banyak. Makanannya gak sayur mayur lagi macam kita ini. Jajanannya bukan singkong goreng lagi macam kita ini. Rumahnya semua pakai AC, gak lantai tanah lagi macam kita ini. Semua keluarga punya pekerjaan yang baik dan punya tabungan. Tidak ada lagi pengiriman pembantu rumah tangga ke luar negeri yang selalu tak luput dari cerita sedih penyiksaan dan malah pengiriman mayat dalam peti mati. Anak-anak disekolahkan semua sampai Fakultas, sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana pertanian, dokter atau apa saja maunya anak itu. Soalnya uangnya ada, pendidikannya bagus-bagus dengan para guru yang pintar-pintar. Jika mau jadi polisi dan tentara atau pegawai negeri tak perlu sogok. Soalnya anak-anak yang mau masuk itu pintar semua, dan negaranya dipimpin oleh orang paling jujur dan baik hati yang tidak mau mencuri, tidak mau korupsi. Pegawai-pegawai itu tidak buat tarif jika menerima pegawai baru. Lagi pula kalau ada pegawai yang jahat seperti Gayus atau kalau ada polisi yang jahat seperti Susno Duaji, atau kalau ada jaksa yang jahat seperti Cyrus Sinaga atau kalau ada hakim yang jahat seperti…. siapa itu namanya kang? Ya semua yang jahat-jahat itu langsung ditangkap dan dikurung. Dikurung supaya tidak bisa korupsi lagi, seperti Walikota dan Wakil Walikota kita Abdillah-Ramli, atau Gubernur kita Syamsul Arifin. Gitu menurutku”.
Petruk segera memotong. Soal Syamsul Arifin kan baru tersangka, begitu juga Cyrus Sinaga dan Susno Duaji. Kakang jangan langsung tuduh mereka bersalah. Kita tunggu dulu vonis pengadilan. Asal saja mereka tak lari kemana-mana sebelum disidangkan. Soalnya Gayus kan pergi ke Bali dan kemana saja ia suka sebelum disidangkan, padahal ia berstatus sebagai tahanan. Tahanan itu ya tahanan. Tertahan di suatu tempat, di suatu ruang, di suatu kerankeng. Begitu kang ya, jelasnya kepada Gareng.
Ngomong-ngomong kita sudah terlalu jauh berbicara demokrasi dan ekonomi, kata Semar. Sekarang aja beras sudah krisis. Kita terpaksa mengimpor. Padahal negara Koes Plus dengan ”tongkat kayu dan batu” yang bisa tumbuh subur. Edan. Edan. Saking sulitnya dapat uang, rakyat mengasah mental baru dengan gandrung main judi. Polisi Cuma tangkap kurcaci-kurcaci. Itu yang aku dapat dari media massa hari ini. Dimana-mana marak judi, gak di Medan, Gak di karo, Gak di Tapsel, Gak di Jawa. Ini persoalan kita, bukan cuma persoalan Timur Pradopo yang berkumis lebat dan dengan catatan kenaikan pangkat paling istimewa di Indonesia itu.
Ketiga kawanan bertetangga itu (Petruk, Gareng dan Semar) tampak frustrasi membandingkan demokrasi teori dengan hidup masyarakat yang susah, terutama saat mereka bertiga berkaca pada keadaan diri sendiri yang melarat. (Bersambung).

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 18 Maret 2011

demokrasi iku opo 3


Seingatku, ya ini kalau gak salah ya, kata Petruk, dampak dari sistem negara demokrasi dapat berimbas ke berbagai macam hal, seperti politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, dan lain sebagainya. Nah, sekarang kita coba bicara tentang demokrasi pembangunan ekonomi negara, ajak Petruk. Ekonomi suatu negara bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pihak pemerintah yang memimpin dan ideologi suatu negara.
Kalau itu aku cocok kang, sambut Semar. Kita ekonomi kerakyatan. Kita ekonomi kekeluargaan. Jangan salah tanggap, bukan ekonomi penguasaan oleh keluarga-keluarga. Ya, keluarga pejabat maksudku. Bukan itu, lanjut Semar menghindari salah faham yang bisa memicu perbincangan ngalor-ngidul (tak tentu arah) karena aroma pertengkaran yang memuncak.
Mari kubacakan satu tulisan di media massa, begini disebut, lanjut Semar.
”Telah menjadi perdebatan kalangan ilmuan politik dan ilmuan ekonomi mengenai pengaruh demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada ilmuan yang meyakini demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Tetapi  sebagian lagi menyatakan keduanya tidak ada hubungan kausalitas, namun ada juga yang berpendapat demokrasi bersifat indirect impact terhadap pertumbuhan ekonomi”.
Apa reaksi Petruk? ”Ah, bahasanya terlalu tinggi, kang. Gak mampu aku mencernanya. Ada bahasa Inggerisnya lagi. Aku hanya bisa menyimpulkan ada tiga corak pandang mengenai kaitan demokrasi dan ekonomi”. Gareng pun berusaha menimpali dan berkata:
”Negara demokratis lebih makmur dari negara yang tidak demokratis, katakanlah negara dengan sistem otokratis. Mobilnya lebih banyak. Makanannya gak sayur mayur lagi macam kita ini. Jajanannya bukan singkong goreng lagi macam kita ini. Rumahnya semua pakai AC, gak lantai tanah lagi macam kita ini. Semua keluarga punya pekerjaan yang baik dan punya tabungan. Tidak ada lagi pengiriman pembantu rumah tangga ke luar negeri yang selalu tak luput dari cerita sedih penyiksaan dan malah pengiriman mayat dalam peti mati. Anak-anak disekolahkan semua sampai Fakultas, sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana pertanian, dokter atau apa saja maunya anak itu. Soalnya uangnya ada, pendidikannya bagus-bagus dengan para guru yang pintar-pintar. Jika mau jadi polisi dan tentara atau pegawai negeri tak perlu sogok. Soalnya anak-anak yang mau masuk itu pintar semua, dan negaranya dipimpin oleh orang paling jujur dan baik hati yang tidak mau mencuri, tidak mau korupsi. Pegawai-pegawai itu tidak buat tarif jika menerima pegawai baru. Lagi pula kalau ada pegawai yang jahat seperti Gayus atau kalau ada polisi yang jahat seperti Susno Duaji, atau kalau ada jaksa yang jahat seperti Cyrus Sinaga atau kalau ada hakim yang jahat seperti…. siapa itu namanya kang? Ya semua yang jahat-jahat itu langsung ditangkap dan dikurung. Dikurung supaya tidak bisa korupsi lagi, seperti Walikota dan Wakil Walikota kita Abdillah-Ramli, atau Gubernur kita Syamsul Arifin. Gitu menurutku”.
Petruk segera memotong. Soal Syamsul Arifin kan baru tersangka, begitu juga Cyrus Sinaga dan Susno Duaji. Kakang jangan langsung tuduh mereka bersalah. Kita tunggu dulu vonis pengadilan. Asal saja mereka tak lari kemana-mana sebelum disidangkan. Soalnya Gayus kan pergi ke Bali dan kemana saja ia suka sebelum disidangkan, padahal ia berstatus sebagai tahanan. Tahanan itu ya tahanan. Tertahan di suatu tempat, di suatu ruang, di suatu kerankeng. Begitu kang ya, jelasnya kepada Gareng.
Ngomong-ngomong kita sudah terlalu jauh berbicara demokrasi dan ekonomi, kata Semar. Sekarang aja beras sudah krisis. Kita terpaksa mengimpor. Padahal negara Koes Plus dengan ”tongkat kayu dan batu” yang bisa tumbuh subur. Edan. Edan. Saking sulitnya dapat uang, rakyat mengasah mental baru dengan gandrung main judi. Polisi Cuma tangkap kurcaci-kurcaci. Itu yang aku dapat dari media massa hari ini. Dimana-mana marak judi, gak di Medan, Gak di karo, Gak di Tapsel, Gak di Jawa. Ini persoalan kita, bukan cuma persoalan Timur Pradopo yang berkumis lebat dan dengan catatan kenaikan pangkat paling istimewa di Indonesia itu.
Ketiga kawanan bertetangga itu (Petruk, Gareng dan Semar) tampak frustrasi membandingkan demokrasi teori dengan hidup masyarakat yang susah, terutama saat mereka bertiga berkaca pada keadaan diri sendiri yang melarat. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms