Jumat, 18 Maret 2011

demokrasi iku opo

Anda kenal Petruk, Gareng dan Semar? Jika belum, kinilah saatnya bagi anda mengikuti perbincangan mereka tentang sebuah topik penting, yakni demokrasi.
Hari ini ada tulisan pada sebuah media, aku tertarik, kata Gareng memulai. Sini saya bacakan, kata Semar yang tiba-tiba mengurungkan niatnya karena menyadari lupa bawa kacamata.
Akhirnya Gareng yang membacakan, meski amat lambat:
”Robert Dahl menyatakan bahwa setidaknya ada lima standar yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu proses politik berlangsung secara demokratis atau tidak. Kelima kriteria tersebut adalah partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, pemahaman yang jernih dari warga negara atau kelompok asosiasi, pengawasan agenda dan,  mencakup orang dewasa”.
Semar menanggapi dengan sebuah keluhan. ”Kenapa ya kang semua ide yang bagus-bagus di negeri ini cuma bisanya diucapkan saja dalam pidato-pidato. Itu, ide-ide yang kang Gareng bacakan. Bagus kan?” Tegas Semar.
Gareng mencek memorinya dengan mengernyitkan kening sambil menekan pelipis dengan dua jari. Ia pun berkata nyerocos nyaris tak dapat diinterupsi, demikian:
”Di sudut mana di Indonesia kalian bisa menemukan itu? Partisipasi politik? Wong kita mau ikut milih gak dikasih. KPU bilang bukan salah dia, Dinas Kependudukan menolak disalahkan. Jadi siapa yang bangsat di antara keduanya? Partisipasi politik itu kan keikutan kita dalam banyak hal. Katakanlah musrembang. Musrembang itu kependekan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan, saya perlu jelaskan sebelum kang Semar bertanya, jelasnya. Aku ini ikut selalu, dan diundang di Balai desa. Tetapi semua yang kuusulkan cuma dianggap bagus dan perlu dicatat. Tak ada tindak lanjut. Contoh. Kampung kita ini banjir semua. Jika ada 5 orang balita kencing bersamaan, langsung banjir. Jangankan gerimis. Apa kita ini harus bergotong royong dan urunan dana untuk memperbaiki semua ini? Aku takut kemampuan kita hanya akan bisa menyelesaikan ini tak kurang dari 10 tahun. Aku malah takut nanti kita gotong royong dan urunan dana  malah disebut sebagai pembiayaan dari APBD. Artinya pejabat makan uang negara dengan mengklaim pekerjaan yang dibiayai rakyat sebagai uang pengeluaran negara”.
Tiba-tiba Petruk meneteskan air mata. Hening seketika. Ia menangis tanpa sebab yang diketahui oleh kedua lawan bicaranya. Apa sebab? Ia menuturkan pada pemilu 2009 lalu seorang caleg memberinya uang Rp 50.000. Katanya uang ingot-ingot (sejenis budaya yang sesungguhnya baik, namun akhirnya sering mengarah korup). Aku sendiri gak tahu apa uang ingot-ingot itu. Tetapi berbarengan dengan itu caleg memberi saya kartu bergambar dirinya. Pilih aku ya, katanya. Selengkapnya ia menceritakan pengalaman pahit itu demikian:
”Kalian tahu aku ini kembang-kempis dalam hal ekonomi. Saat disodori uang Rp 50.000 itu rasanya aku tak ada pilihan. Makan saja belum, di rumah tidak ada beras. Jadi saat itu aku merasa ketiban rezeki. Tetapi satu hari setelah pemilihan, caleg itu lewat di depan rumah dan berhenti persis di depan itu, katanya sambil menunjuk ke halaman. Ia marah, katanya saya gak milih dia dan meminta uangnya kembali. Aku memilihnya, sumpah. Tetapi kalau aku sendiri kan tidak mungkin memenangkannya? Betapa sedihnya hatiku dia minta uangnya kembali, hanya karena aku pun waktu itu tak punya uang sepeser pun. Aku tak berani menatap wajahnya yang bengis itu, dan isteriku buru-buru menarik aku ke dalam rumah sambil menutup pintu”.
Semar mendekat dan berusaha menyabarkan. Ia ambil segelas air putih dan menyodorkannya. ”Jangan diingat lagi yang lalu-lalu. Sudah nasib kita begini, kang. Aku yakin Gusti Alloh mbuten pernah sare (tak pernah tidur), dan ia maha adil. Aku tak perlu menceritakan dukaku sama kakang berdua. Kita sama-sama wong cilik.
Gareng mengajukan topik baru memecah keheningan. ”Ini, kang. KPU dipertengkarkan. Katanya mereka ingin masuk KPU semua”. Bangkit dari kesedihannya Petruk bertanya ”siapa yang kakang maksud?”.
Gareng menuturkan seputar pembicaraan kontroversial pengisian KPU apakah akan direkrut dari parpol atau meneruskan kebiasaan lama. Tahun 1999 kita mengikuti pemilu pertama seteklah Orde Baru, dan hasilnya lumayan jujur dan adil, sebanding dengan hasil pemilu pertama tahun 1955. Setelah tahun 1999 yang diselenggarakan oleh KPU parpol itu, seluruhnya diselenggarakan oleh KPU non parpol. Hasilnya kita semua sudah tahu, amburadul.
Aku mau KPU parpol saja, mereka bisa saling jaga dan saling mengawasi, hingga tak ada lagi ”drakula” suara, papar Gareng. (bersambung).

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 18 Maret 2011

demokrasi iku opo

Anda kenal Petruk, Gareng dan Semar? Jika belum, kinilah saatnya bagi anda mengikuti perbincangan mereka tentang sebuah topik penting, yakni demokrasi.
Hari ini ada tulisan pada sebuah media, aku tertarik, kata Gareng memulai. Sini saya bacakan, kata Semar yang tiba-tiba mengurungkan niatnya karena menyadari lupa bawa kacamata.
Akhirnya Gareng yang membacakan, meski amat lambat:
”Robert Dahl menyatakan bahwa setidaknya ada lima standar yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu proses politik berlangsung secara demokratis atau tidak. Kelima kriteria tersebut adalah partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, pemahaman yang jernih dari warga negara atau kelompok asosiasi, pengawasan agenda dan,  mencakup orang dewasa”.
Semar menanggapi dengan sebuah keluhan. ”Kenapa ya kang semua ide yang bagus-bagus di negeri ini cuma bisanya diucapkan saja dalam pidato-pidato. Itu, ide-ide yang kang Gareng bacakan. Bagus kan?” Tegas Semar.
Gareng mencek memorinya dengan mengernyitkan kening sambil menekan pelipis dengan dua jari. Ia pun berkata nyerocos nyaris tak dapat diinterupsi, demikian:
”Di sudut mana di Indonesia kalian bisa menemukan itu? Partisipasi politik? Wong kita mau ikut milih gak dikasih. KPU bilang bukan salah dia, Dinas Kependudukan menolak disalahkan. Jadi siapa yang bangsat di antara keduanya? Partisipasi politik itu kan keikutan kita dalam banyak hal. Katakanlah musrembang. Musrembang itu kependekan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan, saya perlu jelaskan sebelum kang Semar bertanya, jelasnya. Aku ini ikut selalu, dan diundang di Balai desa. Tetapi semua yang kuusulkan cuma dianggap bagus dan perlu dicatat. Tak ada tindak lanjut. Contoh. Kampung kita ini banjir semua. Jika ada 5 orang balita kencing bersamaan, langsung banjir. Jangankan gerimis. Apa kita ini harus bergotong royong dan urunan dana untuk memperbaiki semua ini? Aku takut kemampuan kita hanya akan bisa menyelesaikan ini tak kurang dari 10 tahun. Aku malah takut nanti kita gotong royong dan urunan dana  malah disebut sebagai pembiayaan dari APBD. Artinya pejabat makan uang negara dengan mengklaim pekerjaan yang dibiayai rakyat sebagai uang pengeluaran negara”.
Tiba-tiba Petruk meneteskan air mata. Hening seketika. Ia menangis tanpa sebab yang diketahui oleh kedua lawan bicaranya. Apa sebab? Ia menuturkan pada pemilu 2009 lalu seorang caleg memberinya uang Rp 50.000. Katanya uang ingot-ingot (sejenis budaya yang sesungguhnya baik, namun akhirnya sering mengarah korup). Aku sendiri gak tahu apa uang ingot-ingot itu. Tetapi berbarengan dengan itu caleg memberi saya kartu bergambar dirinya. Pilih aku ya, katanya. Selengkapnya ia menceritakan pengalaman pahit itu demikian:
”Kalian tahu aku ini kembang-kempis dalam hal ekonomi. Saat disodori uang Rp 50.000 itu rasanya aku tak ada pilihan. Makan saja belum, di rumah tidak ada beras. Jadi saat itu aku merasa ketiban rezeki. Tetapi satu hari setelah pemilihan, caleg itu lewat di depan rumah dan berhenti persis di depan itu, katanya sambil menunjuk ke halaman. Ia marah, katanya saya gak milih dia dan meminta uangnya kembali. Aku memilihnya, sumpah. Tetapi kalau aku sendiri kan tidak mungkin memenangkannya? Betapa sedihnya hatiku dia minta uangnya kembali, hanya karena aku pun waktu itu tak punya uang sepeser pun. Aku tak berani menatap wajahnya yang bengis itu, dan isteriku buru-buru menarik aku ke dalam rumah sambil menutup pintu”.
Semar mendekat dan berusaha menyabarkan. Ia ambil segelas air putih dan menyodorkannya. ”Jangan diingat lagi yang lalu-lalu. Sudah nasib kita begini, kang. Aku yakin Gusti Alloh mbuten pernah sare (tak pernah tidur), dan ia maha adil. Aku tak perlu menceritakan dukaku sama kakang berdua. Kita sama-sama wong cilik.
Gareng mengajukan topik baru memecah keheningan. ”Ini, kang. KPU dipertengkarkan. Katanya mereka ingin masuk KPU semua”. Bangkit dari kesedihannya Petruk bertanya ”siapa yang kakang maksud?”.
Gareng menuturkan seputar pembicaraan kontroversial pengisian KPU apakah akan direkrut dari parpol atau meneruskan kebiasaan lama. Tahun 1999 kita mengikuti pemilu pertama seteklah Orde Baru, dan hasilnya lumayan jujur dan adil, sebanding dengan hasil pemilu pertama tahun 1955. Setelah tahun 1999 yang diselenggarakan oleh KPU parpol itu, seluruhnya diselenggarakan oleh KPU non parpol. Hasilnya kita semua sudah tahu, amburadul.
Aku mau KPU parpol saja, mereka bisa saling jaga dan saling mengawasi, hingga tak ada lagi ”drakula” suara, papar Gareng. (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms