Senin, 18 April 2011

Merentang Nalar Pragmatisme

Dalam keseharian kita, mungkin tidak asing dengan istilah pragmatisme. Namun dalam pengertian filosofinya, mungkin kita jarang tahu. Maka dari itu, saya mencoba melacak akar dari pragmatisme dalam pandangan filosofi. Pada awalnya filsafat pragmatisme ini dibangun bukan untuk memberikan penjelasan tentang pendidikan. filsafat ini murni menanggapi permasalahan pengetahuan. Akar dari pragmatisme tidak lain adalah filsafat Empirisme yang pertama kali di deklrasikan oleh Aristoteles. Kemudian diteruskan oleh David Hume dan teman-temannya. Sehingga sampailah pada pemikir-pemikir pragmatis ini.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[1]
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.[2]
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.[3] Lanskap Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini.[4] Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.[5]
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin.[6]
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.
Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide).
Kemudian denganآ  mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Pragmatisme adalah salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
Pencetus dan Tokoh-tokoh Pragmatisme
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh lainnya. Menurut Copleston, pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).[7]
Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya. 
Pragmatisme Peirce
Seperti kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Pragmatisme Peirce lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth).
Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut Pertama, transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things “. Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan.
Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis di lain pihak. Kebenaran etis adalah seluruhnya pernyataan dengan siapa yang diimani oleh sipembicara. Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya suatu proposisi itu benar bila pengalaman membuktikan kebenarannya. Proposisi itu keliru apabila bertentangan dengan realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Di sini kreteria kebenaran matematika murni letaknya dalam hal “Ketidakmungkinannya lagi”, untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proposisi serba kuat. Proposisi matematika murni samasekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada hal real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak.
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Tahun akademis 1864-1865 dan tahun 1869-1879 digunakan Peirce untuk menekuni sejarah ilmu pengetahuan modern. Ia belajar logika secara sungguh-sungguh pada tahun 1870-1871. Pada tahun 1879-1884 ia menjadi rektor pada universitas John Hopkins. Pada tahun 1905, Peirce mengubah teori pragmatisme. Pada tahun ini juga, ia berkenalan dan kemudian bersahabat erat dengan William James. Jameslah yang mengolah, mengerjakan, dan menyempurnakan karya-karya yang terbengkalai. Pada tahun 1914, kanker merenggut kehidupan Peirce.[8]
Empirisme Radikal Wiliam James
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif.
Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis sikap filsafatnya sebagai empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang “contented to regard its most assured conclusions concerning matters of future experience”.Segi radikalnya terletak dalam perlakuannya terhadap ajaran monisme. Seperti kita ketahui, monisme adalah teori yang mengatakan bahwa dunia ini merupakan suatu entitas saja yang unik. Kebanyakan orang terutama kaum filosof abad lalu memperlakukan tidak demikian.
Keradikalannya, justru karena ajaran monisme sendiri ia perlakukan sebagai hipotesis. Pahamnya mengenai monisme adalah keanekaragaman hal yang membentuk suatu kesatuan yang dapat dimengerti. Dengan sikap filsafat empirisme radikal, ia menegaskan bahwa kesatuan dari kemacam-ragaman hal-hal yang memberi pengertian itu sendiri merupakan hipotesis. Dia masih harus diversifikasi benar-tidaknya berdasarkan pengalaman dan bukan begitu saja di terima sebagai dogma. Dalam buku Some Problems of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme.
Menurut James, para rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang filosof rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju kebagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya filosof empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju kemenyeluruh. Ia lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memastikan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filosof empiris. Pendapatnya ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran. Pendapat ini terdapat dalam bukunya, The Meaning Of Truth (1909).
Di sana ia mengartikan kebenaran pertama-tama kebenaran itu merupakan suatu postulat, yaitu semua hal yang disatu pihak bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Dilain pihak siap untuk diuji denga diskusi. Kedua, arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya segala hal yang ada sangkut-pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah digeneralisasikan dari pernyataan fakta. perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode.
Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung obyek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekwensi praktisnya, kita melihat garis penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum diantara para ilmuwan dan filosof bahwa James berhutang budi banyak pada Peirce. Malahan hal ini terang-terangan ia ungkapkan “nilai prinsip Peirce yang adalah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907), ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James menerapkannya dalam bidang agama.[9]
 Naturalisme Dewey
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.
Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis.
Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :a.        Merasakan adanya masalah. b.        Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin. c.        Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah. d.        Memilih dan menganalisis hipotesis. e.        Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
Kesimpulan
Dalam memberi patokan tentang kebenaran, Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus di tafsir dalam konteks Dewey yaitu proses transformasi situasi problematis seperti telah diterangkan di atas.[10]
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, tentang gagasan atau ajaran Peirce terhadap pragmatisme. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut :
Pertama bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. kedua,      Bahwa apa yang kita namakan “universal” adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers”. Ketiga, Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas). Walaupun penggunaan istilah “universal” memperlihatkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan “Pre-existing truths” dimana semua opini manusia harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktip oleh kumpulan akal memberikan William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme.[11]
Di samping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a.      Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi tetapi dunia benar adanya.
b.      Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
c.      Bahwa manusia betas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d.      Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketententuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang duinia dimana kita tinggal di dalamnya.[12]
James telah berhasil membuat satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakekatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagad raya ini sebagai agen yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui penggunaan intelegensia praktisnya.
Semua pengalaman adalah hal yang nyata, James berpendapat bahwa “manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin”. Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu adalah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan tidak boleh melebihinya.
Wallahu’alam Bisshowab
DAFTAR PUSTAKA 
Bukhard, Frederick 1979. The Works of William James: Some Pro blems of Philosophy. London: Harvard University Press. Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd.
Horton, Rd W., and Herbert W. Edwards 1974. Background of American Literary Thought. London: Prentice Hall International, Inc.
James, William 1968. Pragmatism. New York: The World Publishing Company. Kucklick, Eruce 1979. The Rice of American Philosophy. New York: Yale University Press.
Stroh, W. Guy 1968. American Philosophy. Princenton: Duven Nostrand Company, Inc.
______________1967. The Encyclopedia of Philosophy Vol. 5 and 6 MacMillan Publishing Co., Inc., and The Free Press.
Sutrisno, F.X. Mudji 1977. Pragmatisme. Jakarta: PT Gramedia. 
——————————————————————————–
 Makalah ini disampaikan pada saat sekolah filsafaf pendidikan yang dilaksanakan oleh PMII Rayon Condrodimuko Komisariat Sunan Ampel Malang. Aula Komisariat SA 15-17 Februari 2008.
© Edi Purwanto adalah Pegiat kajian Filsafat dan peneliti di Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes Malang.
[1] Shiddiq, Muhammad, 2007. Dekonstruksi Pragmatisme, http://www.gaulislam.com
[2] Abdullah, Muhammad, 2005 Makalah Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika.
[3] Stroh, W. Guy 1968. American Philosophy. Princenton: Duven Nostrand Company, Inc h. 264.
[4] Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd. (Vol. VIII, London, 1966, hal. 342)
[5] Bukhard, Frederick 1979. The Works of William James: Some Pro blems of Philosophy.London: Harvard University Press. (1978 h. xiii).
[6] Kucklick, Eruce 1979. The Rice of American Philosophy. New York: Yale University Press. (1979 hal.  xix)
[7] Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd. (Vol. VIII, London, 1966, Part IV)
[8] Sutrisno, F.X. Mudji 1977. Pragmatisme. Jakarta: PT Gramedia h. 92
[9] hal ini nyata kelihatan dalam buku the Will to Believe maupun Varieties of Religious experience (1902, hal. 98)
[10] Sutrisno, 1977. Hal. 99.
[11] Ibid, hal. 168.
[12] Horton, Rd W., and Herbert W. Edwards 1974. Background of American Literary Thought. London: Prentice Hall International, Inc. hal. 172

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 18 April 2011

Merentang Nalar Pragmatisme

Dalam keseharian kita, mungkin tidak asing dengan istilah pragmatisme. Namun dalam pengertian filosofinya, mungkin kita jarang tahu. Maka dari itu, saya mencoba melacak akar dari pragmatisme dalam pandangan filosofi. Pada awalnya filsafat pragmatisme ini dibangun bukan untuk memberikan penjelasan tentang pendidikan. filsafat ini murni menanggapi permasalahan pengetahuan. Akar dari pragmatisme tidak lain adalah filsafat Empirisme yang pertama kali di deklrasikan oleh Aristoteles. Kemudian diteruskan oleh David Hume dan teman-temannya. Sehingga sampailah pada pemikir-pemikir pragmatis ini.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[1]
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.[2]
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.[3] Lanskap Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini.[4] Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.[5]
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin.[6]
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.
Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide).
Kemudian denganآ  mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Pragmatisme adalah salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
Pencetus dan Tokoh-tokoh Pragmatisme
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh lainnya. Menurut Copleston, pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).[7]
Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya. 
Pragmatisme Peirce
Seperti kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Pragmatisme Peirce lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth).
Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut Pertama, transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things “. Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan.
Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis di lain pihak. Kebenaran etis adalah seluruhnya pernyataan dengan siapa yang diimani oleh sipembicara. Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya suatu proposisi itu benar bila pengalaman membuktikan kebenarannya. Proposisi itu keliru apabila bertentangan dengan realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Di sini kreteria kebenaran matematika murni letaknya dalam hal “Ketidakmungkinannya lagi”, untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proposisi serba kuat. Proposisi matematika murni samasekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada hal real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak.
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Tahun akademis 1864-1865 dan tahun 1869-1879 digunakan Peirce untuk menekuni sejarah ilmu pengetahuan modern. Ia belajar logika secara sungguh-sungguh pada tahun 1870-1871. Pada tahun 1879-1884 ia menjadi rektor pada universitas John Hopkins. Pada tahun 1905, Peirce mengubah teori pragmatisme. Pada tahun ini juga, ia berkenalan dan kemudian bersahabat erat dengan William James. Jameslah yang mengolah, mengerjakan, dan menyempurnakan karya-karya yang terbengkalai. Pada tahun 1914, kanker merenggut kehidupan Peirce.[8]
Empirisme Radikal Wiliam James
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif.
Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis sikap filsafatnya sebagai empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang “contented to regard its most assured conclusions concerning matters of future experience”.Segi radikalnya terletak dalam perlakuannya terhadap ajaran monisme. Seperti kita ketahui, monisme adalah teori yang mengatakan bahwa dunia ini merupakan suatu entitas saja yang unik. Kebanyakan orang terutama kaum filosof abad lalu memperlakukan tidak demikian.
Keradikalannya, justru karena ajaran monisme sendiri ia perlakukan sebagai hipotesis. Pahamnya mengenai monisme adalah keanekaragaman hal yang membentuk suatu kesatuan yang dapat dimengerti. Dengan sikap filsafat empirisme radikal, ia menegaskan bahwa kesatuan dari kemacam-ragaman hal-hal yang memberi pengertian itu sendiri merupakan hipotesis. Dia masih harus diversifikasi benar-tidaknya berdasarkan pengalaman dan bukan begitu saja di terima sebagai dogma. Dalam buku Some Problems of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme.
Menurut James, para rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang filosof rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju kebagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya filosof empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju kemenyeluruh. Ia lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memastikan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filosof empiris. Pendapatnya ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran. Pendapat ini terdapat dalam bukunya, The Meaning Of Truth (1909).
Di sana ia mengartikan kebenaran pertama-tama kebenaran itu merupakan suatu postulat, yaitu semua hal yang disatu pihak bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Dilain pihak siap untuk diuji denga diskusi. Kedua, arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya segala hal yang ada sangkut-pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah digeneralisasikan dari pernyataan fakta. perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode.
Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung obyek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekwensi praktisnya, kita melihat garis penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum diantara para ilmuwan dan filosof bahwa James berhutang budi banyak pada Peirce. Malahan hal ini terang-terangan ia ungkapkan “nilai prinsip Peirce yang adalah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907), ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James menerapkannya dalam bidang agama.[9]
 Naturalisme Dewey
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.
Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis.
Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :a.        Merasakan adanya masalah. b.        Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin. c.        Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah. d.        Memilih dan menganalisis hipotesis. e.        Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
Kesimpulan
Dalam memberi patokan tentang kebenaran, Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus di tafsir dalam konteks Dewey yaitu proses transformasi situasi problematis seperti telah diterangkan di atas.[10]
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, tentang gagasan atau ajaran Peirce terhadap pragmatisme. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut :
Pertama bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. kedua,      Bahwa apa yang kita namakan “universal” adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers”. Ketiga, Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas). Walaupun penggunaan istilah “universal” memperlihatkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan “Pre-existing truths” dimana semua opini manusia harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktip oleh kumpulan akal memberikan William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme.[11]
Di samping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a.      Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi tetapi dunia benar adanya.
b.      Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
c.      Bahwa manusia betas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d.      Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketententuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang duinia dimana kita tinggal di dalamnya.[12]
James telah berhasil membuat satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakekatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagad raya ini sebagai agen yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui penggunaan intelegensia praktisnya.
Semua pengalaman adalah hal yang nyata, James berpendapat bahwa “manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin”. Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu adalah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan tidak boleh melebihinya.
Wallahu’alam Bisshowab
DAFTAR PUSTAKA 
Bukhard, Frederick 1979. The Works of William James: Some Pro blems of Philosophy. London: Harvard University Press. Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd.
Horton, Rd W., and Herbert W. Edwards 1974. Background of American Literary Thought. London: Prentice Hall International, Inc.
James, William 1968. Pragmatism. New York: The World Publishing Company. Kucklick, Eruce 1979. The Rice of American Philosophy. New York: Yale University Press.
Stroh, W. Guy 1968. American Philosophy. Princenton: Duven Nostrand Company, Inc.
______________1967. The Encyclopedia of Philosophy Vol. 5 and 6 MacMillan Publishing Co., Inc., and The Free Press.
Sutrisno, F.X. Mudji 1977. Pragmatisme. Jakarta: PT Gramedia. 
——————————————————————————–
 Makalah ini disampaikan pada saat sekolah filsafaf pendidikan yang dilaksanakan oleh PMII Rayon Condrodimuko Komisariat Sunan Ampel Malang. Aula Komisariat SA 15-17 Februari 2008.
© Edi Purwanto adalah Pegiat kajian Filsafat dan peneliti di Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes Malang.
[1] Shiddiq, Muhammad, 2007. Dekonstruksi Pragmatisme, http://www.gaulislam.com
[2] Abdullah, Muhammad, 2005 Makalah Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika.
[3] Stroh, W. Guy 1968. American Philosophy. Princenton: Duven Nostrand Company, Inc h. 264.
[4] Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd. (Vol. VIII, London, 1966, hal. 342)
[5] Bukhard, Frederick 1979. The Works of William James: Some Pro blems of Philosophy.London: Harvard University Press. (1978 h. xiii).
[6] Kucklick, Eruce 1979. The Rice of American Philosophy. New York: Yale University Press. (1979 hal.  xix)
[7] Copleston, Frederick 1966. A History Philosophy. London: Burns and Dates Ltd. (Vol. VIII, London, 1966, Part IV)
[8] Sutrisno, F.X. Mudji 1977. Pragmatisme. Jakarta: PT Gramedia h. 92
[9] hal ini nyata kelihatan dalam buku the Will to Believe maupun Varieties of Religious experience (1902, hal. 98)
[10] Sutrisno, 1977. Hal. 99.
[11] Ibid, hal. 168.
[12] Horton, Rd W., and Herbert W. Edwards 1974. Background of American Literary Thought. London: Prentice Hall International, Inc. hal. 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms