Senin, 02 Mei 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepad masyarakat; 
  3. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian-kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
  4. bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Mengingat :
  1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
  2. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  4. Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  8. Desentralisasi adalah Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  9. Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  10. Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  11. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanan Desentralisasi;
  15. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan;
  16. Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
  17. Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
  18. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
  19. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu kebutuhan tertentu;
  20. Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.
BAB II
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN DAERAH
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 2
  1. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
  2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
  3. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
  4. Penyerahan dan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya
BAB III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN
PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah :
  1. Pendapatan Asli Daerah;
  2. Dana Perimbangan;
  3. Pinjaman Daerah;
  4. Lain-lain Penerimaan yang sah;
Bagian Kedua
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari :
  1. Hasil pajak Daerah;
  2. Hasil Retribusi Daerah;
  3. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
  4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pasal 5
  1. Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
  2. Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Pasal 6
  1. Dana Perimbangan terdiri dari :
    1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
    2. Dana Alokasi Umum;
    3. Dana Alokasi Khusus;
  2. Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
  3. Penerimaan Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
  4. 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
  5. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. 
  6. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
    1. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
    2. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
  1. Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
  2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).
  3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
  4. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
  5. Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.
  6. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
  7. Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
  8. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :
    1. kebutuhan wilayah otonomi Daerah ;
    2. potensi ekonomi Daerah;
  9. Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 
Pasal 8
  1. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
  2. Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah: 
    1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau
    2. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional;
  3. Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
  4. Dana reboisasi dibagi dengan imbangan :
    1. 40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus;
    2. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat;
  5. Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8), serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pinjaman Daerah
Pasal 11
  1. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
  2. Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat.
  3. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
  4. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Pasal 12
  1. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan persetujuan DPRD.
  2. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya.
  3. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 13
  1. Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan.
  2. Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan Daerah. 
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
  1. Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD.
  2. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada Daerah.
Pasal 15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Dana Darurat
Pasal 16
  1. Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang berasal dari APBN.
  2. Prosedur dan tata cara penyaluran Dana Darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
BAB IV
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DEKONSENTRASI
Pasal 17
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanan Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi diadministrasikan dalam Anggaran Dekonsentrasi.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Dekonsentrasi, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 18
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Tugas Pembantuan diadministrasikan dalam Anggaran Tugas Pembantuan.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas Pembantuan, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DESENTRALISASI 
Pasal 19
  1. Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
  2. Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
  3. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD merupakan Dokumen Daerah.
Pasal 20
  1. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan.
  2. Perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhir tahun anggaran.
  3. Perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 21
Anggaran Pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan.
Pasal 22
  1. Daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu.
  2. Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicadangkan dari sumber penerimaan Daerah.
  3. Setiap pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. Semua sumber penerimaan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran atas beban dana cadangan diadministrasikan dalam APBD.
Pasal 23
  1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
  2. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal 24
  1. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai
    1. pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22;
    2. kinerja keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi.
  2. DPRD dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak dengan meminta untuk menyempurnakan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah merupakan Dokumen Daerah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal 25
Pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dan Pasal 24 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 27
  1. Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.
  2. Informasi yang dimuat dalam sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 28
  1. Daerah wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat termasuk Pinjaman Daerah.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN
KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Pasal 29
  1. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bertugas mempersiapkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengenai perimbangan keuangan Pusat dan Daerah serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Daerah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
  1. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan dan belum disesuaikan dengan Undang-undang ini masih tetap berlaku.
  2. Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diberlakukan.
Pasal 31
  1. Dalam APBN dapat dialokasikan dana untuk langsung membiayai urusan Desentralisasi selain dari sumber penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
  2. Ketentuan pada ayat (1) hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya Undang-undang ini.
  3. Pembiayaan langsung dari APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan Pasal 19 ayat (1).
  4. Setiap tahun anggaran, menteri-menteri teknis terkait menyusun laporan semua proyek dan kegiatan yang diperinci menurut :
    1. sektor dan subsektor untuk belanja pembangunan.
    2. unit organisasi departemen/lembaga pemerintahan non departemen untuk pengeluaran rutin.
    3. Proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua belanja.
  5. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada DPR.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah-daerah, Yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 02 Mei 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepad masyarakat; 
  3. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian-kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
  4. bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Mengingat :
  1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
  2. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  4. Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  8. Desentralisasi adalah Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  9. Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  10. Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  11. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanan Desentralisasi;
  15. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan;
  16. Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
  17. Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
  18. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
  19. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu kebutuhan tertentu;
  20. Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.
BAB II
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN DAERAH
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 2
  1. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
  2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
  3. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
  4. Penyerahan dan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya
BAB III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN
PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah :
  1. Pendapatan Asli Daerah;
  2. Dana Perimbangan;
  3. Pinjaman Daerah;
  4. Lain-lain Penerimaan yang sah;
Bagian Kedua
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari :
  1. Hasil pajak Daerah;
  2. Hasil Retribusi Daerah;
  3. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
  4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pasal 5
  1. Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
  2. Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Pasal 6
  1. Dana Perimbangan terdiri dari :
    1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
    2. Dana Alokasi Umum;
    3. Dana Alokasi Khusus;
  2. Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
  3. Penerimaan Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
  4. 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
  5. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. 
  6. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
    1. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
    2. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
  1. Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
  2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).
  3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
  4. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
  5. Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.
  6. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
  7. Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
  8. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :
    1. kebutuhan wilayah otonomi Daerah ;
    2. potensi ekonomi Daerah;
  9. Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 
Pasal 8
  1. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
  2. Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah: 
    1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau
    2. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional;
  3. Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
  4. Dana reboisasi dibagi dengan imbangan :
    1. 40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus;
    2. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat;
  5. Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8), serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pinjaman Daerah
Pasal 11
  1. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
  2. Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat.
  3. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
  4. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Pasal 12
  1. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan persetujuan DPRD.
  2. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya.
  3. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 13
  1. Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan.
  2. Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan Daerah. 
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
  1. Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD.
  2. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada Daerah.
Pasal 15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Dana Darurat
Pasal 16
  1. Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang berasal dari APBN.
  2. Prosedur dan tata cara penyaluran Dana Darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
BAB IV
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DEKONSENTRASI
Pasal 17
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanan Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi diadministrasikan dalam Anggaran Dekonsentrasi.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Dekonsentrasi, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 18
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Tugas Pembantuan diadministrasikan dalam Anggaran Tugas Pembantuan.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas Pembantuan, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DESENTRALISASI 
Pasal 19
  1. Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
  2. Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
  3. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD merupakan Dokumen Daerah.
Pasal 20
  1. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan.
  2. Perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhir tahun anggaran.
  3. Perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 21
Anggaran Pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan.
Pasal 22
  1. Daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu.
  2. Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicadangkan dari sumber penerimaan Daerah.
  3. Setiap pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. Semua sumber penerimaan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran atas beban dana cadangan diadministrasikan dalam APBD.
Pasal 23
  1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
  2. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal 24
  1. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai
    1. pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22;
    2. kinerja keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi.
  2. DPRD dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak dengan meminta untuk menyempurnakan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah merupakan Dokumen Daerah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal 25
Pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dan Pasal 24 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 27
  1. Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.
  2. Informasi yang dimuat dalam sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 28
  1. Daerah wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat termasuk Pinjaman Daerah.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN
KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Pasal 29
  1. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bertugas mempersiapkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengenai perimbangan keuangan Pusat dan Daerah serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Daerah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
  1. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan dan belum disesuaikan dengan Undang-undang ini masih tetap berlaku.
  2. Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diberlakukan.
Pasal 31
  1. Dalam APBN dapat dialokasikan dana untuk langsung membiayai urusan Desentralisasi selain dari sumber penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
  2. Ketentuan pada ayat (1) hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya Undang-undang ini.
  3. Pembiayaan langsung dari APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan Pasal 19 ayat (1).
  4. Setiap tahun anggaran, menteri-menteri teknis terkait menyusun laporan semua proyek dan kegiatan yang diperinci menurut :
    1. sektor dan subsektor untuk belanja pembangunan.
    2. unit organisasi departemen/lembaga pemerintahan non departemen untuk pengeluaran rutin.
    3. Proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua belanja.
  5. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada DPR.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah-daerah, Yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms