M e tode A lte r nat if P e me nangan P e mi lu
Tulisan Saudara Bestian Nainggolan dari Litbang Kompas dalam harian tersebut tanggal 17 November berjudul Masih Layakkah Survei Dipercaya sungguh menarik untuk dicermati. Polling politik atau jajak pendapat sedang mendapat sorotan karena ketidakakuratannya, khususnya dalam memprediksi beberapa pilkada, belakangan ini. Metodologi serta mekanisme polling politik menuai kritikan dan suara sumbang dari beberapa pengamat, politisi, bahkan ahli-ahli politik. Hingga saat ini, aktivitas ini tetap mendapat sorotan tersendiri dari media massa dan masyarakat.
Apabila kita teliti lebih lanjut, ketidakakuratan polling adalah satu hal biasa. Satu contoh legendaris adalah Thomas Dewey, yang berdasarkan polling akan mengalahkan Harry Truman pada Pemilu AS tahun 1948, yang terbukti salah. Sebuah penelitian di California, pada 2003, menunjukkan bahwa hanya satu dari 20 polling mendapatkan hasil yang tepat. Ini berarti 95 persen polling tidak akurat.
Sebenarnya, polling adalah perangkat yang sangat tepat untuk mengukur persepsi, seperti pendapat mengenai suatu partai politik, seorang calon presiden, atau terhadap sebuah isu. Akan tetapi, sering orang menggunakan polling untuk mengukur behavior atau perilaku, seperti tendensi untuk memilih partai atau seorang calon presiden.
Penggunaan sampel yang sangat kecil - biasanya 2.000 sampai 3.000 responden - untuk mengeneralisir seluruh populasi pemilih di Indonesia juga menyebabkan hasil yang bias. Media massa yang kurang memahami sifat dari metodologi survei akhirnya menelan mentah-mentah hasil survei hingga informasi yang disampaikan kepada masyarakat menjadi tidak tepat.
Agar polling tepat, populasi yang diukur persepsinya harus stabil. Stabil dalam artian opini dan persepsi. Penduduk Indonesia bukanlah populasi yang stabil. Keanekaragaman dan berbagai dinamika perubahan dalam masyarakat menyebabkan survei semakin tidak akurat. Ditambah, polling juga tidak dapat menangkap informasi secara mikro, melainkan hanya secara random, dalam skala nasional. Lebih dari 71.000 kelurahan di Indonesia, metode jajak pendapat tidak dapat melihat lebih dalam perbedaan pada populasi di tingkatan demografis yang lebih rendah ini.
Perbedaan yang sangat bervariasi antarberbagi penyelenggara jajak pendapat ini menimbulkan pertanyaan, penyelenggara survei mana yang layak dipercaya? Ini lebih penting lagi bagi partai politik, capres, dan caleg yang sedang berkampanye memperebutkan kursi parlemen.
Pemikiran yang kritis serta kecermatan dalam membaca hasil polling mungkin merupakan kunci utama. Argumen mengenai metodologi yang dipergunakan dalam jajak pendapat menjadi sorotan utama. Kembali lagi, sampel yang digunakan dalam jajak pendapat - khususnya di Indonesia - jumlahnya sangat kecil dalam sebuah populasi yang tidak stabil. Penggunaan pelanggan telepon sebagai population sample, yang kerap digunakan, menjadi salah satu penyebab hasil yang bias. Berbeda dengan negara-negara barat di mana pelanggan telepon sudah di atas 95 persen, penggunaan metode sampling cara ini kurang pas diterapkan di Indonesia.
Norman Bradburn dari University of Chicago memberikan istilah self-selected listener oriented public (SLOP) pada penggunaan metode yang tampak seperti mencerminkan pendapat publik, padahal sesungguhnya tidak demikian.
Apa artinya semua ini bagi partai politik, caleg, dan capres menjelang Pemilu 2009? Apakah mereka dapat memperkirakan jumlah suara yang akan didapatkan menggunakan polling? Apakah mereka mengetahui indikasi ke mana swing voters akan memberikan suara mereka? Secara sosial politik, akan sangat sulit mengatakan bahwa metodologi jajak pendapat bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
"Microtargeting"
Lantas metodologi apalagi yang dapat dipergunakan?
Selama satu dasawarsa ini, tim-tim kampanye di Amerika Serikat, baik itu untuk Bush (Senior dan Junior), Obama, Clinton, dan McCain, menggunakan metode microtargeting untuk mengidentifikasi, mencari, dan mendapatkan tendensi voter behavior.
Microtargeting, yang pada awalnya adalah sebuah perangkat CRM (customer relationship management), menggunakan informasi relevan yang tersedia seperti data demografis, geografis, psikografis, dan data lainnya dikaitkan dengan perilaku konsumen yang kemudian dianalisis dan diolah secara algoritmis sistematis. Dalam konteks politik, microtargeting berkembang menjadi sebuah perangkat constituent relationship management.
Budiarto Shambazy (Kompas 19/04/08) mengatakan bahwa pilkada di Aceh, Jabar, dan Sumut wajib diantisipasi melalui microtargeting pemilih yang berubah. Pilpres 2009 bukan lagi ajang jualan citra, tetapi jualan substansi. pada era digital, saat ini, begitu banyak metode yang tersedia untuk menyampaikan pesan. Taktik mictotargeting bertujuan menyampaikan pesan yang "dijahit" berdasarkan riset terhadap kelompok-kelompok masyarakat.
Dalam Pemilu AS November lalu, baik tim kampanye McCain maupun Obama menggunakan teknik microtargeting untuk memonitor popularitas capres berdasarkan berbagai jenis cluster pemilih yang dihasilkan oleh metode ini.
Penggunaan teknik microtargeting juga memberikan kesempatan bagi parpol dan capres untuk mengidentifikasi para pemilih berdasarkan cluster demografis, pattern historis pemilih, dan predictive segmentation. Obama menggunakan microtargeting dengan pendekatan teknologi informasi yang lebih canggih. Dengan informasi yang dimiliki, ia mampu menyampaikan pesan-pesan politik yang lebih mengena bagi tiap cluster.
Bagi negara yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kampanye politik dengan menggunakan microtargeting sangat membantu upaya-upaya constituent outreach untuk mengoptimalkan perolehan suara di mana terdapat rasio swing dan undecided voters tampak tinggi.
Microtargeting juga memberikan prediksi atas perilaku pemilih yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan polling. Menariknya, ini tidak berarti bahwa kampanye dengan microtargeting melupakan kampanye konvensional. Malah, akan sangat membantu dengan mengarahkan tim-tim kampanye ke sasaran yang tepat, baik itu dalam pemasangan atribut kampanye, pembagian sembako, dan kegiatan-kegiatan kampanye lainnya.
Paradigma kampanye politik konvensional sudah waktunya berkembang. Masyarakat semakin pandai dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu, sudah waktunya partai politik dan capres untuk lebih cerdik dalam menggapai para pemilihnya.
Oleh Affan Alamudi Penulis adalah Partner pada firma Roys ton Advisory Indonesia dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sumber : suarapembaruan.com
0 komentar:
Posting Komentar