Senin, 25 April 2011

POLLING DAN MEDIA


POLLING DAN MEDIA   
Wartawan dan pemikir besar Amerika, Walter Lippman, pernah membuat marah Presiden Lyndon Johnson. Lippman adalah teman baik Johnson dan sering diundang makan maupun pertemuan empat mata di Gedung Putih. Kekecawaan Johnson pada Lippman karena ia selalu menulis di Koran mengenai ketidaksetujuannya terhadap Perang Vietnam padahal disaat itu Amerika tengah menggelorakan semangat rakyatnya untuk terus berperang. “Kenapa anda mesti menulis di koran bahwa anda tidak setuju Perang Vietnam secara tajam?Anda kan bisa ngobrol dengan saya dan mengemukakan itu langsung kepada saya” begitu kata Lyndon Johnson, kesal dan keki. Jawab Walter Lippman, “Kita memang berteman secara pribadi. Tetapi dalam profesi saya, saya harus tetap berpegang teguh pada panggilan profesi, yaitu memberitakan kebenaran dan menyampaikan pesan hati nurani bila menghadapi tantangan situasi untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani masyarakat banyak”. Sejak saat itu Lippman tidak dipanggil lagi ke Gedung Putih. 
Perdebatan Johnson dan Lippman ini menarik. Karena Lippman harus menulis ketidaksetujuannya di media massa. Bukankah kritik Lippman ditujukan kepada Johnson, lalu kenapa kritik itu tidak dibicarakan langsung saja kepada Johnson? Jawabannya, karena dengan menulis di media massa terjadi diskusi publik yang luas. Informasi mengenai Perang Vietnam tidak hanya dapat diakses oleh elit politik, masyarakat mempunyai kesempatan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah. Tulisan wartawan hanyalah penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak disenangi oleh penguasa yang menginginkan kekuasaannya bebas kritik. Pola pikir Johnson hampir mirip dengan Napoleon Bonaparte, diktator Prancis yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa pada awal abad ke – 18. Ia pernah menyatakan bersedia menerima kritik asal kritik itu hanya diberikan secara rahasia, empat mata untuk dibaca ia sendiri secara pribadi dan tidak perlu diungkapkan di depan publik. 
1. Publik Media  
Dibandingkan dengan teknik penelitian ilmiah lainnya, polling mempunyai perbedaan yang didasarkan pada ciri khas polling, yaitu: ia mensyaratkan publik harus tahu mengenai peristiwa/isu yang akan ditanyakan dalam polling. Hal ini karena polling menanyakan apa yang dipikirkan publik terhadap isu-isu sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Ketika kita membuat polling bagaimana pendapat masyarakat mengenai kasus kematian Wartawan Bers, Udin (Muhammad Syafrudin), kita berasumsi bahwa politik yang akan kita tanyai tahu, tertarik dan mengikuti terus menerus kasus ini. Kasus ini memang menyimpan banyak kontroversi. Pihak polisi dengan yakin menyatakan bahwa Udin dibunuh oleh Iwik (Dwi Sumaji) yang cemburu karena Udin berhubungan dengan istri Iwik. Sementara masyarakat yakin bahwa Udin dibunuh karena berita-berita yang ditulisnya. Karena ada kontroversi itu, polling menjadi relevan dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan masyarakat mengenai kasus ini. Apakah masyarakat percaya dengan skenario yang dibuat oleh polisi? Tetapi sebelum polling dilakukan kita berasumsi bahwa masyarakat mengikuti kasus ini secara seksama. Tetapi bagaimana kalau asumsi ini salah, karena ternyata misalnya banyak yang menganggap kasus ini tidak penting sehingga tidak perlu diikuti? Hal ini merupakan persoalan yang bukan saja teknis tetapi juga metodologis yang akan dibicarakan dalam bab lain. Di sini cukup untuk dikatakan bahwa polling membutuhkan publik yang mempunyai intensitas yang tinggi untuk mengikuti berbagai isu. Mendia memainkan peranan penting karena lewat media publik mengikuti isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Polling mengukur apa yang publik pikirikan, dan dalam banyak hal bergantung pada apakah seseorang mengikuti pemberitaan di media. Kalau digambarkan


hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 
 SUMBER : Sheldon R. Fawiser and G. Evans Witt, A Journalist Guide to Public Opinion Polls, Westport, Connecticut, Praeger, 1995, hlm. 3 
Publik dalam pengertian pendapat umum berbeda dengan pengertian masyarakat dalam realitas sosial. Sebab publik di sini adalah orang yang mempunyai kepentingan dengan suatu persoalan. Publik adalah suatu abstraksi, bukan seperti yang kita sebut sebagai penduduk. Karenanya anggota publik itu tidak tetap. Anggota publik berubah sesuai dengan isu atau peristiwa. Setiap isu pada dasarnya menciptakan masyarakatnya sendiri, dan setiap masyarakat biasanya terdiri dari individu-individu yang sama dengan yang membentuk masyarakat tertentu lainnya, sekalipun setiap individu pada waktu tertentu merupakan anggota dari banyak masyarakat yang berlainan. Tetapi bila timbul persoalan berupa kasus terbunuhnya wartawan Udin mereka semua akan berkumpul dan bergabung dengan anggota wartawan dan membentuk satu kelompok yang dihubungkan dengan isu kasus Udin. Pendapat orang-orang inilah yang akan kita tanyakan lewat polling.  Kasus kematian Udin memang peristiwa besar, tetapi kasus ini akan membentuk masyarakat seperti dimaksud di atas kalau orang mengikuti kasus Udin. Masyarakat petani di Bantul – meskipun warga Yogyakarta – bila tidak membaca koran, tidak akan mengetahui kasus ini, dan karenanya tidak termasuk dalam publik isu kasus Udin. Di Amerika pun yang tingkat bacanya tinggi, tidak semua anggota masyarakat mengikuti semua isu/kasus, orang yang hanya mengikuti kasus yang menarik perhatiannya. Sebagai misal ketika pada 1978 ada proyek SALT, ternyata hanya 42% publik yang mengetahui isu ini. Proyek ini bukan berati tidak penting. Tidak dapat disangsikan semua warga Amerika adalah bagian dari masyarakat isu SALT (pengawasan senjata AS – Soviet). Karena semua orang terpengaruh oleh biaya dan bahaya yang terkandung di dalamnya. Mereka yang tidak tahu, bukanlah merupakan bagian dari pendapat umum yang dipersoalkan. Sekarang mari kita kira-kira, dari 108 juta penduduk Indonesia – berusia di atas 17 tahun – berapa banyak yang tahu kasus Udin? Berapa banyak yang mengetahui dan paham kasus krisis moneter? Tahu adalah konsep yang sentral dari polling. Kalau kita tidak tahu – yang jumlahnya barangkali lebih banyak – tidak berarti. Kita tidak mungkin menanyakan sesuatu kepada orang yang tidak mengerti apa yang kita tanyakan. 
2. Keterbukaan Informasi  Pendapat umum merupakan simbol legitimasi rakyat terhadap pemerintahnya. Hal itu bisa saja diperoleh dengan cara paksaan. Dengan demikian gejala ini eksis dalam sistem yang manapun juga, tetapi adanya berbagai sistem jelas akan mengakibatkan perbedaan peran pendapat umum dalam masing-masing pemerintahannya. Dalam sistem demokrasi, pemerintahan dibangun di atas dasar opini publik diperlakukan sebagai ketaatan rakyat yang tidak dapat


ditawar-twar lagi terhadap pemerintahannya.  Polling membutuhkan suatu keterbukaan untuk membicarakan masalah atau isu-isu sosial.
Masyarakat bebas untuk menyuarakan pendapatnya sementara pemerintah dapat menerima apa yang dikritik oleh rakyat. Keterbukaan itu menyangkut dua hal. Pertama, keterbukaan untuk bebas menyuarakan pendapat, rakyat tidak sembunyi-sembunyi dalam mengekspresikan pendapatnya. Di negara fasis, proses keterbukaan semacam ini tidak ada. Masyarakat secara sembunyisembunyi mengkritik pemerintah, sementara pemerintah menyadap secara rahasia apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Jika pikiran rakyat itu berbahaya, akan cepat-cepat ditumpas sebelum membesar. Dalam suasana keterbukaan, baik rakyat atau pemerintah membicarakan masalah secara bersama-sama, tidak ada yang ditutupi. Kedua, keterbukaan untuk membicarakan semua masalah penting termasuk masalah yang sensitif, tidak ada previlese untuk membicarakan masalah tertentu. Di Indonesia, untuk jangka waktu lama kita tabu berbicara masalah lembaga kepresidenan – betapapun pentingnya isu tersebut. Masalah kepresidenan hanya dianggap sebagai masalah MPR sehingga hanya mereka yang berhak membicarakannya. 
Polling pendapat umum dapat memperkuat demokrasi. Fungsi ini dapat dibentuk jika hasil polling secara mendalam tersebar dan tidak menjadi informasi di antara elit politik yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut. Dalam hal ini media mempunyai peranan penting yakni membuka saluran debat publik di mana semua orang dapat berbicara secara terbuka. Mantan Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan yang meminta agar laporan kekayaan pribadi pejabat yang disampaikan kepada presiden dan atasannya untuk eselon di bawah menteri. Laporan kekayaan pribadi yang disimpan dalam laci presiden itu mirip dengan pola pikir Napoleon Bonaparte abad ke-18. Dalam sistem modern, yang diperlukan adalah transparansi dan keterbukaan, bukan sekadar arsip yang dirahasiakan. Ia harus menjadi bagian dari informasi yang terbuka untuk masyarakat luas agar secara proaktif mereka dapat menilai kinerja dan integritas pejabat yang bersangkutan dengan data dan informasi objektif, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Polling pendapat umum terhadap suatu isu hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap isu tersebut. Polling tidak dapat dilakukan jika ada informasi yang ditutupi mengenai isu itu. Misalnya, usaha pemerintah atau kelompok tertentu untuk mengontrol informasi, larangan terhadap media untuk meliputi kasus itu, atau penyebaran informasi palsu kepada masyarakat. Akibatnya, khalayak tidak mendapat kejelasan dan informasi yang sesungguhnya mengenai isu itu. Jikalau tetap saja dilakukan polling, yang kita ukur bukan lagi pendapat masyarakat tetapi kebingungan masyarakat. Mengenai hal ini, Dedy N. Hidayat mengajukan pendapat menarik yang dikutip agak panjang dibawah ini: 
“Apa signifikansi sebuah pendapat umum bagi sebuah sistem demokrasi bila proses pembentukannya berlangsung dalam suatu konteks struktual yang tidak memberi keleluasaan bagi tiap individu anggota masyarakat untuk mengemukakan dan mempertaruhkan pendapat mereka? Pendapat umum emang seringkali lebih tepat diamati sebagai ujud dinamis, suatu film (moving picture) – bukan potret – yang tidak bisa dilepaskan dari gambaran proses serta konteks pembentukan realitas pendapat umum itu sendiri. Pendapat umum harus dilihat sebagai suatu proses yang berjalan paralel dengan atau ditentukan oleh proses-proses politik yang berkaitan dengan hal-hal seperti derajat kebebasan media massa dalam memberitakan peristiwa tersebut, derajat persamaan akses ke media yang dimiliki berbagai kelompok politik dalam upaya mereka mengetengahkan versi definisi mereka masing-masing tentang peristiwa tersebut, serta konteks sosial, politik, budaya atau kesejarahan di mana peristiwa itu terjadi.  Khususnya untuk suatu sistem demokrasi, validitas pendapat umum sebagai sumber


legitimasi suatu realitas sosial, ataupun sebagai input dan feedback bagi kebijakan umum ditentukan oleh faktor sejauhmana pendapat umum itu bisa dinilai sebagai pendapat dari wellinformed citizen, yakni yang proses pembentukannya berlangsung dalam suatu ruang hampa di mana tersedia cukup keleluasaan dan kesetaraan akses bagi kelompok-kelompok terlibat untuk menyajikan pendapat mereka masing-masing.  Dalam kondisi di mana tidak terdapat kebebasan yang mencukupi bagi warga negara untuk bertukar pendapat, atau di mana forum-forum pertukaran pendapat umum seperti media massa, telah didominasi oleh usaha-usaha penguasa untuk memobilisasi pendapat umum, melakukan disinformasi, propaganda sepihak, dan sebagainya, maka jelas Poll pendapat umum sebenarnya tak lebih hanyalah mengukur efektifitas segala disinformasi dan propaganda sepihak itu sendiri.  Kita misalnya tidak dapat membuat polling mengenai masalah Timor – timur. Hal ini karena tidak ada kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan pers dalam membahas masalah tersebut. Pers lebih banyak didominasi penjelasan dari versi pemerintah atau militer dan tidak menyedikan tempat versi penjelasan masyarakat Timor-timur atau tokoh anti-integrasi. Adanya iformasi yang ditutupi dapat membuat pandangan yang keliru mengenai suatu isu. Karena itu sebelum polling dikerjakan, peneliti perlu melihat sejauhmana pendapat umum itu merupakan pendapat dari well informed citizen (yang hanya bisa dihasilkan oleh adanya keleluasaan dan kesetaraan akses bagi semua pihak).  3. Media sebagai Penekan  George Gallup pernah mengatakan bahwa polling hanya berguna jika ia didengar. Polling adalah alat yang baik untuk mengekspresikan pendapat, dan itu hanya terjadi jikalau hasilnya diperhatikan dan didengar. polling bisa meningkatkan kualitas demokrasi, sebab menjamin informasi mengalir dari bawah ke atas. Agar hasil polling efektif, diperlukan kondisi sistem politik yang mampu memaksa para elit politik mendengar suara khalayak. Agar polling mempunyai daya pemaksa itulah, polling mempunyai keharusan dimuat dalam media massa. Jika ia tidak dimuat di media massa, nasibnya mungkin hampir sama dengan ilustrasi Johnson di atas. Jutstru karena banyak ditulis di media massa, timbul diskusi publik yang akhirnya berwujud tuntutan agar Amerika secepatnya menghentikan Perang Vietnam.  Dengan diberitakan, pemerintah dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan dimuat di media massa hasil polling mempunyai kekutatan dalam mengontrol pemerintah – memaksa pemerintah untuk memperhatikan hasil polling. Apabila hasil polling tidak dipublikasikan nasibnya akan sama dengan hasil penelitian akademis yang tidak mempunyai pengaruh selain menambah pengetahuan terhadap suatu masalah. Di Amerika, hasilhasil polling dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan temuan polling mempunyai akibat langsung dalam politik, tidak semata-mata karena hasil polling itu sendiri, tetapi lebih disebabkan karena polling itu dipublikasikan oleh media. Artinya posisi media yang otonom terhadap kekuasan bahkan mengontrol kekuasaan, menyebabkan polling mau tidak mau harus diperhatikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah polling di Amerika mengenai skandal Iran Contra. Hasil polling ini cukup memaksa pemerintahan Reagan untuk memperhatikan tuntutan masyarakat. Tetapi harus diingat, hasil polling berbarengan dengan liputan dan desakan media yang kuat agar pemerintahan Reagan membuka skandal ini. Pemberitaan pers Amerika pada saat itu mencapai puncak yang tinggi, dengan pemberitaan tidak kurang 300 baris tiap harinya, menempati posisi utama dan menjadi headline di hampir semua koran.  
Tetapi logika ini dengan kata lain ingin mengatakan, kalau polling ingin efektif dan didengarkan media harus mempunyai posisi otonom. Posisi media yang otonom penting untuk


dua hal. Pertama, media mempunyai kebebasan untuk menyelenggarakan berbagai polling, termasuk polling mengenai tema-tema yang sensitif yang berhubungan dengan politik. Media otonom dalam menentukan tema apa yang akan dipollingkan, siapa yang menjadi sasaran polling dan sebagainya. Kedua, media yang otonom penting agar hasil polling mempunyai pengaruh terhadap pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Polling di Amerika dan negaranegara Barat lainnya maupun mempengaruhi jalannya pemerintahan karena media mempunyai posisi sentral sebagai pilar keempat dari demokrasi. Media mempunyai kekuatan dalam mengontrol jalannya kehidupan bernegara seperti mempunyai otonomi, mengawasi pemerintah (watchdog), menyingkap penyelewengan, menggerakkan dan mewakili masyarakat, melayani masyarakat untuk mengetahui, mengkritik pemerintah dan menjadi komentator masyarakat terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Media massa menjalankan fungsinya dengan membuka setiap kenyataan yang berlangsung di dalam sistem politik. Polling adalah salah satu kontrol yang dilakukan oleh media, Karena dalam polling hasil kerja dan kebijakan pemerintah dinilai secara langsung oleh masyarakat. 
Polling dapat dikatakan sebagai tradisi media massa. Kalau dilihat sejarahnya polling dipelopori oleh media massa meski dalam perkembangan selanjutnya menyertakan berbagai lembaga penelitian. Kenapa media massa amat getol dengan polling? Polling hanyalah salah satu cara untuk memaksimalkan peran media sebagai pengontrol pemerintah selain penyelidikan perhadap pejabat pemerintah, penyingkapan berbagai skandal politik dan sebagainya. Bagaimana kalau polling dilakukan dalam suatu negara dengan posisi media lemah di depan kekuasaan? Melakukan polling menjadi hal sulit – terutama kalau tema polling berhubungan dengan persoalan politik. Yang lebih penting hasil polling yang dihasilkan tidak berarti secara politik. Sebaik apapun polling itu dikerjakan, seberapapun banyaknya hasil polling itu dibaca oleh masyarakat, pemakaian polling itu amat tergantung kepada itikad baik pemerintah. Pemerintah sama sekali tidak terpengaruh hasil polling, karena berbagai kebijakan yang diambil pun tidak perlu menyesuaikan atau memperhatikan suara masyarakat sebagaimana ditunjukkan lewat angka-angka polling.  Tetapi media yang otonom ini bukan tanpa kelemahan. Pada akhirnya agenda penting tidak ditentukan oleh masyarkat tetapi oleh media. Suatu masalah yang dianggap penting – dan karena itu perlu dibuat polling – akhirnya tergantung kepada penilaian media mengenai isu tersebut. Media massa berfungsi menentukan agenda terhadap masalah dan kegiatan umum yang menjadi bahan perhatian khalayak. Media yang menentukan apa yang diberikan, diliput dan diabaikan. Dengan cara ini media akan mempengaruhi apa atau siapa yang hendak dijadikan bahan diskusi publik. 
Media mempengaruhi persepsi publik tentang peristiwa yang dianggap penting. Di sini kita bersinggungan dengan konsep yang disebut sebagai agenda setting. Polling selalu dibuat dengan asumsi bahwa masalah yang akan dipollingkan adalah masalah yang penting. Tetapi suatu masalah itu menjadi penting pada banyak hal bergantung kepada bagaimana perlakuan media terhadap masalah tersebut. Di sini adanya kecenderungan serta kemampuan media massa mempengaruhi persepsi publik mengenai isu-isu yang penting melalui pengendalian porsi liputannya. Dengan menjalankan fungsi tersebut, media lalu sadar memberikan bobot kemenonjolan atau arti penting topik atau isu yang diliputnya. Oleh karena itu, publik lalu mengadopsi penilaian media atas menonjol tidaknya suatu isu. Dengan perkataan lain, apa yang ditonjolkan oleh media massa melalui liputannya, maka dirasakan pula menonjol oleh publik.  Media massa dalam menurunkan polling senantiasa menyajikan suatu tema yang dianggap
penting diketahui pembacanya. Kalau dinilai sangat penting, akan diliput dalam porsi yang besar


atau ditempatkan pada posisi yang dipandang menonjol atau dengan teknik penonjolan lainnya. Pada akhirnya media ikut mengontrol agenda publik, apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting pula oleh masyarakat. Masalah apa yang akan diangkat dalam polling disesuaikan dengan isu-isu yang lagi hangat yang disajikan oleh media. Media yang mengontrol informasi dan menentukan apa yang layak dan harus dianggap penting sebagai dasar diadakannya polling. Publik boleh jadi mengartikan bahwa masalah tertentu adalah masalah penting. Ia boleh jadi tertarik dengan masalah pembatasan jabatan presiden. Tetapi apabila liputan media menghilangkan topik ini, maka hal itu tidak menjadi agenda publik.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 25 April 2011

POLLING DAN MEDIA


POLLING DAN MEDIA   
Wartawan dan pemikir besar Amerika, Walter Lippman, pernah membuat marah Presiden Lyndon Johnson. Lippman adalah teman baik Johnson dan sering diundang makan maupun pertemuan empat mata di Gedung Putih. Kekecawaan Johnson pada Lippman karena ia selalu menulis di Koran mengenai ketidaksetujuannya terhadap Perang Vietnam padahal disaat itu Amerika tengah menggelorakan semangat rakyatnya untuk terus berperang. “Kenapa anda mesti menulis di koran bahwa anda tidak setuju Perang Vietnam secara tajam?Anda kan bisa ngobrol dengan saya dan mengemukakan itu langsung kepada saya” begitu kata Lyndon Johnson, kesal dan keki. Jawab Walter Lippman, “Kita memang berteman secara pribadi. Tetapi dalam profesi saya, saya harus tetap berpegang teguh pada panggilan profesi, yaitu memberitakan kebenaran dan menyampaikan pesan hati nurani bila menghadapi tantangan situasi untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani masyarakat banyak”. Sejak saat itu Lippman tidak dipanggil lagi ke Gedung Putih. 
Perdebatan Johnson dan Lippman ini menarik. Karena Lippman harus menulis ketidaksetujuannya di media massa. Bukankah kritik Lippman ditujukan kepada Johnson, lalu kenapa kritik itu tidak dibicarakan langsung saja kepada Johnson? Jawabannya, karena dengan menulis di media massa terjadi diskusi publik yang luas. Informasi mengenai Perang Vietnam tidak hanya dapat diakses oleh elit politik, masyarakat mempunyai kesempatan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah. Tulisan wartawan hanyalah penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak disenangi oleh penguasa yang menginginkan kekuasaannya bebas kritik. Pola pikir Johnson hampir mirip dengan Napoleon Bonaparte, diktator Prancis yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa pada awal abad ke – 18. Ia pernah menyatakan bersedia menerima kritik asal kritik itu hanya diberikan secara rahasia, empat mata untuk dibaca ia sendiri secara pribadi dan tidak perlu diungkapkan di depan publik. 
1. Publik Media  
Dibandingkan dengan teknik penelitian ilmiah lainnya, polling mempunyai perbedaan yang didasarkan pada ciri khas polling, yaitu: ia mensyaratkan publik harus tahu mengenai peristiwa/isu yang akan ditanyakan dalam polling. Hal ini karena polling menanyakan apa yang dipikirkan publik terhadap isu-isu sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Ketika kita membuat polling bagaimana pendapat masyarakat mengenai kasus kematian Wartawan Bers, Udin (Muhammad Syafrudin), kita berasumsi bahwa politik yang akan kita tanyai tahu, tertarik dan mengikuti terus menerus kasus ini. Kasus ini memang menyimpan banyak kontroversi. Pihak polisi dengan yakin menyatakan bahwa Udin dibunuh oleh Iwik (Dwi Sumaji) yang cemburu karena Udin berhubungan dengan istri Iwik. Sementara masyarakat yakin bahwa Udin dibunuh karena berita-berita yang ditulisnya. Karena ada kontroversi itu, polling menjadi relevan dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan masyarakat mengenai kasus ini. Apakah masyarakat percaya dengan skenario yang dibuat oleh polisi? Tetapi sebelum polling dilakukan kita berasumsi bahwa masyarakat mengikuti kasus ini secara seksama. Tetapi bagaimana kalau asumsi ini salah, karena ternyata misalnya banyak yang menganggap kasus ini tidak penting sehingga tidak perlu diikuti? Hal ini merupakan persoalan yang bukan saja teknis tetapi juga metodologis yang akan dibicarakan dalam bab lain. Di sini cukup untuk dikatakan bahwa polling membutuhkan publik yang mempunyai intensitas yang tinggi untuk mengikuti berbagai isu. Mendia memainkan peranan penting karena lewat media publik mengikuti isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Polling mengukur apa yang publik pikirikan, dan dalam banyak hal bergantung pada apakah seseorang mengikuti pemberitaan di media. Kalau digambarkan


hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 
 SUMBER : Sheldon R. Fawiser and G. Evans Witt, A Journalist Guide to Public Opinion Polls, Westport, Connecticut, Praeger, 1995, hlm. 3 
Publik dalam pengertian pendapat umum berbeda dengan pengertian masyarakat dalam realitas sosial. Sebab publik di sini adalah orang yang mempunyai kepentingan dengan suatu persoalan. Publik adalah suatu abstraksi, bukan seperti yang kita sebut sebagai penduduk. Karenanya anggota publik itu tidak tetap. Anggota publik berubah sesuai dengan isu atau peristiwa. Setiap isu pada dasarnya menciptakan masyarakatnya sendiri, dan setiap masyarakat biasanya terdiri dari individu-individu yang sama dengan yang membentuk masyarakat tertentu lainnya, sekalipun setiap individu pada waktu tertentu merupakan anggota dari banyak masyarakat yang berlainan. Tetapi bila timbul persoalan berupa kasus terbunuhnya wartawan Udin mereka semua akan berkumpul dan bergabung dengan anggota wartawan dan membentuk satu kelompok yang dihubungkan dengan isu kasus Udin. Pendapat orang-orang inilah yang akan kita tanyakan lewat polling.  Kasus kematian Udin memang peristiwa besar, tetapi kasus ini akan membentuk masyarakat seperti dimaksud di atas kalau orang mengikuti kasus Udin. Masyarakat petani di Bantul – meskipun warga Yogyakarta – bila tidak membaca koran, tidak akan mengetahui kasus ini, dan karenanya tidak termasuk dalam publik isu kasus Udin. Di Amerika pun yang tingkat bacanya tinggi, tidak semua anggota masyarakat mengikuti semua isu/kasus, orang yang hanya mengikuti kasus yang menarik perhatiannya. Sebagai misal ketika pada 1978 ada proyek SALT, ternyata hanya 42% publik yang mengetahui isu ini. Proyek ini bukan berati tidak penting. Tidak dapat disangsikan semua warga Amerika adalah bagian dari masyarakat isu SALT (pengawasan senjata AS – Soviet). Karena semua orang terpengaruh oleh biaya dan bahaya yang terkandung di dalamnya. Mereka yang tidak tahu, bukanlah merupakan bagian dari pendapat umum yang dipersoalkan. Sekarang mari kita kira-kira, dari 108 juta penduduk Indonesia – berusia di atas 17 tahun – berapa banyak yang tahu kasus Udin? Berapa banyak yang mengetahui dan paham kasus krisis moneter? Tahu adalah konsep yang sentral dari polling. Kalau kita tidak tahu – yang jumlahnya barangkali lebih banyak – tidak berarti. Kita tidak mungkin menanyakan sesuatu kepada orang yang tidak mengerti apa yang kita tanyakan. 
2. Keterbukaan Informasi  Pendapat umum merupakan simbol legitimasi rakyat terhadap pemerintahnya. Hal itu bisa saja diperoleh dengan cara paksaan. Dengan demikian gejala ini eksis dalam sistem yang manapun juga, tetapi adanya berbagai sistem jelas akan mengakibatkan perbedaan peran pendapat umum dalam masing-masing pemerintahannya. Dalam sistem demokrasi, pemerintahan dibangun di atas dasar opini publik diperlakukan sebagai ketaatan rakyat yang tidak dapat


ditawar-twar lagi terhadap pemerintahannya.  Polling membutuhkan suatu keterbukaan untuk membicarakan masalah atau isu-isu sosial.
Masyarakat bebas untuk menyuarakan pendapatnya sementara pemerintah dapat menerima apa yang dikritik oleh rakyat. Keterbukaan itu menyangkut dua hal. Pertama, keterbukaan untuk bebas menyuarakan pendapat, rakyat tidak sembunyi-sembunyi dalam mengekspresikan pendapatnya. Di negara fasis, proses keterbukaan semacam ini tidak ada. Masyarakat secara sembunyisembunyi mengkritik pemerintah, sementara pemerintah menyadap secara rahasia apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Jika pikiran rakyat itu berbahaya, akan cepat-cepat ditumpas sebelum membesar. Dalam suasana keterbukaan, baik rakyat atau pemerintah membicarakan masalah secara bersama-sama, tidak ada yang ditutupi. Kedua, keterbukaan untuk membicarakan semua masalah penting termasuk masalah yang sensitif, tidak ada previlese untuk membicarakan masalah tertentu. Di Indonesia, untuk jangka waktu lama kita tabu berbicara masalah lembaga kepresidenan – betapapun pentingnya isu tersebut. Masalah kepresidenan hanya dianggap sebagai masalah MPR sehingga hanya mereka yang berhak membicarakannya. 
Polling pendapat umum dapat memperkuat demokrasi. Fungsi ini dapat dibentuk jika hasil polling secara mendalam tersebar dan tidak menjadi informasi di antara elit politik yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut. Dalam hal ini media mempunyai peranan penting yakni membuka saluran debat publik di mana semua orang dapat berbicara secara terbuka. Mantan Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan yang meminta agar laporan kekayaan pribadi pejabat yang disampaikan kepada presiden dan atasannya untuk eselon di bawah menteri. Laporan kekayaan pribadi yang disimpan dalam laci presiden itu mirip dengan pola pikir Napoleon Bonaparte abad ke-18. Dalam sistem modern, yang diperlukan adalah transparansi dan keterbukaan, bukan sekadar arsip yang dirahasiakan. Ia harus menjadi bagian dari informasi yang terbuka untuk masyarakat luas agar secara proaktif mereka dapat menilai kinerja dan integritas pejabat yang bersangkutan dengan data dan informasi objektif, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Polling pendapat umum terhadap suatu isu hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap isu tersebut. Polling tidak dapat dilakukan jika ada informasi yang ditutupi mengenai isu itu. Misalnya, usaha pemerintah atau kelompok tertentu untuk mengontrol informasi, larangan terhadap media untuk meliputi kasus itu, atau penyebaran informasi palsu kepada masyarakat. Akibatnya, khalayak tidak mendapat kejelasan dan informasi yang sesungguhnya mengenai isu itu. Jikalau tetap saja dilakukan polling, yang kita ukur bukan lagi pendapat masyarakat tetapi kebingungan masyarakat. Mengenai hal ini, Dedy N. Hidayat mengajukan pendapat menarik yang dikutip agak panjang dibawah ini: 
“Apa signifikansi sebuah pendapat umum bagi sebuah sistem demokrasi bila proses pembentukannya berlangsung dalam suatu konteks struktual yang tidak memberi keleluasaan bagi tiap individu anggota masyarakat untuk mengemukakan dan mempertaruhkan pendapat mereka? Pendapat umum emang seringkali lebih tepat diamati sebagai ujud dinamis, suatu film (moving picture) – bukan potret – yang tidak bisa dilepaskan dari gambaran proses serta konteks pembentukan realitas pendapat umum itu sendiri. Pendapat umum harus dilihat sebagai suatu proses yang berjalan paralel dengan atau ditentukan oleh proses-proses politik yang berkaitan dengan hal-hal seperti derajat kebebasan media massa dalam memberitakan peristiwa tersebut, derajat persamaan akses ke media yang dimiliki berbagai kelompok politik dalam upaya mereka mengetengahkan versi definisi mereka masing-masing tentang peristiwa tersebut, serta konteks sosial, politik, budaya atau kesejarahan di mana peristiwa itu terjadi.  Khususnya untuk suatu sistem demokrasi, validitas pendapat umum sebagai sumber


legitimasi suatu realitas sosial, ataupun sebagai input dan feedback bagi kebijakan umum ditentukan oleh faktor sejauhmana pendapat umum itu bisa dinilai sebagai pendapat dari wellinformed citizen, yakni yang proses pembentukannya berlangsung dalam suatu ruang hampa di mana tersedia cukup keleluasaan dan kesetaraan akses bagi kelompok-kelompok terlibat untuk menyajikan pendapat mereka masing-masing.  Dalam kondisi di mana tidak terdapat kebebasan yang mencukupi bagi warga negara untuk bertukar pendapat, atau di mana forum-forum pertukaran pendapat umum seperti media massa, telah didominasi oleh usaha-usaha penguasa untuk memobilisasi pendapat umum, melakukan disinformasi, propaganda sepihak, dan sebagainya, maka jelas Poll pendapat umum sebenarnya tak lebih hanyalah mengukur efektifitas segala disinformasi dan propaganda sepihak itu sendiri.  Kita misalnya tidak dapat membuat polling mengenai masalah Timor – timur. Hal ini karena tidak ada kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan pers dalam membahas masalah tersebut. Pers lebih banyak didominasi penjelasan dari versi pemerintah atau militer dan tidak menyedikan tempat versi penjelasan masyarakat Timor-timur atau tokoh anti-integrasi. Adanya iformasi yang ditutupi dapat membuat pandangan yang keliru mengenai suatu isu. Karena itu sebelum polling dikerjakan, peneliti perlu melihat sejauhmana pendapat umum itu merupakan pendapat dari well informed citizen (yang hanya bisa dihasilkan oleh adanya keleluasaan dan kesetaraan akses bagi semua pihak).  3. Media sebagai Penekan  George Gallup pernah mengatakan bahwa polling hanya berguna jika ia didengar. Polling adalah alat yang baik untuk mengekspresikan pendapat, dan itu hanya terjadi jikalau hasilnya diperhatikan dan didengar. polling bisa meningkatkan kualitas demokrasi, sebab menjamin informasi mengalir dari bawah ke atas. Agar hasil polling efektif, diperlukan kondisi sistem politik yang mampu memaksa para elit politik mendengar suara khalayak. Agar polling mempunyai daya pemaksa itulah, polling mempunyai keharusan dimuat dalam media massa. Jika ia tidak dimuat di media massa, nasibnya mungkin hampir sama dengan ilustrasi Johnson di atas. Jutstru karena banyak ditulis di media massa, timbul diskusi publik yang akhirnya berwujud tuntutan agar Amerika secepatnya menghentikan Perang Vietnam.  Dengan diberitakan, pemerintah dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan dimuat di media massa hasil polling mempunyai kekutatan dalam mengontrol pemerintah – memaksa pemerintah untuk memperhatikan hasil polling. Apabila hasil polling tidak dipublikasikan nasibnya akan sama dengan hasil penelitian akademis yang tidak mempunyai pengaruh selain menambah pengetahuan terhadap suatu masalah. Di Amerika, hasilhasil polling dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan temuan polling mempunyai akibat langsung dalam politik, tidak semata-mata karena hasil polling itu sendiri, tetapi lebih disebabkan karena polling itu dipublikasikan oleh media. Artinya posisi media yang otonom terhadap kekuasan bahkan mengontrol kekuasaan, menyebabkan polling mau tidak mau harus diperhatikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah polling di Amerika mengenai skandal Iran Contra. Hasil polling ini cukup memaksa pemerintahan Reagan untuk memperhatikan tuntutan masyarakat. Tetapi harus diingat, hasil polling berbarengan dengan liputan dan desakan media yang kuat agar pemerintahan Reagan membuka skandal ini. Pemberitaan pers Amerika pada saat itu mencapai puncak yang tinggi, dengan pemberitaan tidak kurang 300 baris tiap harinya, menempati posisi utama dan menjadi headline di hampir semua koran.  
Tetapi logika ini dengan kata lain ingin mengatakan, kalau polling ingin efektif dan didengarkan media harus mempunyai posisi otonom. Posisi media yang otonom penting untuk


dua hal. Pertama, media mempunyai kebebasan untuk menyelenggarakan berbagai polling, termasuk polling mengenai tema-tema yang sensitif yang berhubungan dengan politik. Media otonom dalam menentukan tema apa yang akan dipollingkan, siapa yang menjadi sasaran polling dan sebagainya. Kedua, media yang otonom penting agar hasil polling mempunyai pengaruh terhadap pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Polling di Amerika dan negaranegara Barat lainnya maupun mempengaruhi jalannya pemerintahan karena media mempunyai posisi sentral sebagai pilar keempat dari demokrasi. Media mempunyai kekuatan dalam mengontrol jalannya kehidupan bernegara seperti mempunyai otonomi, mengawasi pemerintah (watchdog), menyingkap penyelewengan, menggerakkan dan mewakili masyarakat, melayani masyarakat untuk mengetahui, mengkritik pemerintah dan menjadi komentator masyarakat terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Media massa menjalankan fungsinya dengan membuka setiap kenyataan yang berlangsung di dalam sistem politik. Polling adalah salah satu kontrol yang dilakukan oleh media, Karena dalam polling hasil kerja dan kebijakan pemerintah dinilai secara langsung oleh masyarakat. 
Polling dapat dikatakan sebagai tradisi media massa. Kalau dilihat sejarahnya polling dipelopori oleh media massa meski dalam perkembangan selanjutnya menyertakan berbagai lembaga penelitian. Kenapa media massa amat getol dengan polling? Polling hanyalah salah satu cara untuk memaksimalkan peran media sebagai pengontrol pemerintah selain penyelidikan perhadap pejabat pemerintah, penyingkapan berbagai skandal politik dan sebagainya. Bagaimana kalau polling dilakukan dalam suatu negara dengan posisi media lemah di depan kekuasaan? Melakukan polling menjadi hal sulit – terutama kalau tema polling berhubungan dengan persoalan politik. Yang lebih penting hasil polling yang dihasilkan tidak berarti secara politik. Sebaik apapun polling itu dikerjakan, seberapapun banyaknya hasil polling itu dibaca oleh masyarakat, pemakaian polling itu amat tergantung kepada itikad baik pemerintah. Pemerintah sama sekali tidak terpengaruh hasil polling, karena berbagai kebijakan yang diambil pun tidak perlu menyesuaikan atau memperhatikan suara masyarakat sebagaimana ditunjukkan lewat angka-angka polling.  Tetapi media yang otonom ini bukan tanpa kelemahan. Pada akhirnya agenda penting tidak ditentukan oleh masyarkat tetapi oleh media. Suatu masalah yang dianggap penting – dan karena itu perlu dibuat polling – akhirnya tergantung kepada penilaian media mengenai isu tersebut. Media massa berfungsi menentukan agenda terhadap masalah dan kegiatan umum yang menjadi bahan perhatian khalayak. Media yang menentukan apa yang diberikan, diliput dan diabaikan. Dengan cara ini media akan mempengaruhi apa atau siapa yang hendak dijadikan bahan diskusi publik. 
Media mempengaruhi persepsi publik tentang peristiwa yang dianggap penting. Di sini kita bersinggungan dengan konsep yang disebut sebagai agenda setting. Polling selalu dibuat dengan asumsi bahwa masalah yang akan dipollingkan adalah masalah yang penting. Tetapi suatu masalah itu menjadi penting pada banyak hal bergantung kepada bagaimana perlakuan media terhadap masalah tersebut. Di sini adanya kecenderungan serta kemampuan media massa mempengaruhi persepsi publik mengenai isu-isu yang penting melalui pengendalian porsi liputannya. Dengan menjalankan fungsi tersebut, media lalu sadar memberikan bobot kemenonjolan atau arti penting topik atau isu yang diliputnya. Oleh karena itu, publik lalu mengadopsi penilaian media atas menonjol tidaknya suatu isu. Dengan perkataan lain, apa yang ditonjolkan oleh media massa melalui liputannya, maka dirasakan pula menonjol oleh publik.  Media massa dalam menurunkan polling senantiasa menyajikan suatu tema yang dianggap
penting diketahui pembacanya. Kalau dinilai sangat penting, akan diliput dalam porsi yang besar


atau ditempatkan pada posisi yang dipandang menonjol atau dengan teknik penonjolan lainnya. Pada akhirnya media ikut mengontrol agenda publik, apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting pula oleh masyarakat. Masalah apa yang akan diangkat dalam polling disesuaikan dengan isu-isu yang lagi hangat yang disajikan oleh media. Media yang mengontrol informasi dan menentukan apa yang layak dan harus dianggap penting sebagai dasar diadakannya polling. Publik boleh jadi mengartikan bahwa masalah tertentu adalah masalah penting. Ia boleh jadi tertarik dengan masalah pembatasan jabatan presiden. Tetapi apabila liputan media menghilangkan topik ini, maka hal itu tidak menjadi agenda publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms